March 22, 2019

Tidak Tahu Nyerah


Suatu siang, saya pernah merindukan waktu-waktu bersama teman, baik yang lama maupun yang baru, terutama yang lama. Lebay-kah rasa rindu 🙂?

Saat itu pun saya juga merindukan semua keluarga saya. 

Lalu sambil mendengarkan album Snowbound oleh band Fourplay yang berisi kompilasi lagu-lagu Natal dalam versi jazz, saya cicipi kerinduan itu.

Sebenarnya, daripada rasa rindu itu, saat itu terlebih saya merindukan versi pribadi yang sebenarnya, the right version of me. Pernahkah seperti itu? Menginginkan jati diri Anda yang sebenarnya muncul dari diri Anda?

Kadang saya berpikir, apa yang masih bisa dipelajari dari orang seperti saya, yang mungkin mengalami banyak kegagalan serta menghadapi berbagai masalah?

Sebentar, sebelum menjawabnya, kita akan kembali ke soal rindu teman tadi. Sesekali saya juga rindu satu teman lama, yaitu sepeda motor Honda Spacy kami, yang sudah menempuh jarak ribuan km ketika masih bolak-balik dari Depok ke Daan Mogot maupun tempat lainnya naik motor itu. Karena sudah lama tidak memakainya dan mesinnya jarang saya panaskan, kurang lebih selama enam bulan semenjak terakhir kali memanasinya, apalagi belum perpanjangan STNK, ketika mencoba menyalakan mesin, tidak bisa nyala. 

Beberapa menit saya coba hidupkan, tapi tetap tidak mau menyala. Tetapi, saya tidak mau menyerah. Saya percaya, Spacy kami itu juga enggan menyerah. Tidak akan menyerah. Alay-kah sikap semangat 🙂?

Sekarang, kembali ke soal apa yang masih bisa dipelajari dari seorang seperti saya, atau kita, yang mungkin mengalami kegagalan dan sedang menghadapi masalah? 

Ya apabila tidak ada yang lain, itu sajalah—tidak nyerah—yang masih bisa dipelajari dari saya. 

Salah satu ketidaktahuan yang baik adalah tidak tahu cara menyerah dalam hidup ini.

Saya tidak menyerah menyalakan Spacy. Sebab saya tahu kepunyaan saya, Spacy itu. Setelah beberapa kali mengengkol starter kaki, mesin mau hidup hari itu! Walau mesti berulang kali mesinnya mati, akhirnya mau nyala. Sejak itu, mesti telaten dan tidak lupa memanasinya, apalagi plat nomor sudah baru. Semoga ini sesuatu yang berarti, bukan yang sepele.

Dia pun demikian terhadap Anda dan saya, God hasn't given up on you yet. Siapa pun kita. Apa pun yang telah kita alami, asal kita berharap dan berseru hanya pada-Nya. Dia belum menyerah untuk memunculkan apa yang baik, menghidupkan yang masih baik, dari hidup kita.

Mungkin telah beberapa tahun kita menyerah mempercayai Dia atau lari dari-Nya. Namun, Ia tidak akan menyerah atas kita. Karena kita masih laik jalan!

Mengapa Ia enggan menyerah terhadap kita? Untuk menjawabnya, saya jadi teringat lagu rohani lama anak-anak yang berbunyi, "He knows my name, He knows my every thought, He sees each tear that falls, and He hears me when I call."

"Ia menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebut nama-nama semuanya" (Mzm. 147:4).

Karena Ia tahu kepunyaan-Nya. Biarlah sekiranya orang-orang menyerah terhadap kita, Ia tidak. Kecuali kita sendiri yang benar-benar menyerah terhadap-Nya.

Dia tahu namamu, dan memanggil namamu. Namaku juga. Dengan lembut. Pun bukankah mungkin Dia adalah Teman kita yang paling lama? Kalau Ia saja tidak menyerah terhadap bintang-bintang di atas sana dan tahu namanya semua, terlebih lagi Dia tidak akan menyerah terhadap kita, karena Dia tahu kepunyaan-Nya. 

Dan ingat, teman lama masih bisa menjadi teman yang baik, tetapi manusia lama kita tidak akan pernah jadi sahabat yang baik bagi kita.




March 21, 2019

Sakit Gigi


Sakit gigi tidak pandang bulu.

Anak pernah.

Istri pun. Sehari yang lalu.

Saya juga.

Pukul 01.11 dini hari. Cherish putri kami suatu hari sakit gigi dan tidak bisa tidur. Sambil menangis. Dia mengganjal pipinya dengan tangan, menahan rasa sakitnya.

Sebelumnya, dia makan banyak sekali permen & tidak sikat gigi. Hal seperti itu pun pernah terjadi beberapa kali, sehingga sakit gigi & tak bisa tidur. Walau begitu, sepertinya dia belum jera, dan hari-hari berikutnya ketika sakitnya reda, seenaknya makan permen. Meremehkan kekuatan gigi yang ngilu.

Pagi jelang subuh itu, saya terbangun sejenak, serta agak memarahi Cherish. Mamanya pun bangun, kesal juga, walau masih mencarikan obat baginya.

Pernah mengalami sakit gigi seperti itu? Yang ngilunya bikin tidak bisa tidur? Pernah ya.

Bicara efek sakit gigi, kita pun bisa belajar dari anak-anak kita.

Sering kali saya rasa Dia pun mengajarkan sesuatu lewat yang Cherish alami maupun lakukan. Lagipula, bisa juga kan like father, like daughter.

Seperti halnya putri kami meremehkan kekuatan sakit gigi, kita kerap cenderung meremehkan kekuatan akibat melakukan sesuatu yang salah atau dosa. Padahal, dampaknya lebih besar daripada ngilu sakit gigi. Dosa menyebabkan depresi. Hati bimbang. Pikiran tanpa kedamaian.

Ulangan 2:4 menyebutkan tentang berhati-hati supaya tidak meremehkan sesuatu, "Perintahkanlah kepada bangsa itu, demikian: Sebentar lagi kamu akan berjalan melalui daerah saudara-saudaramu, bani Esau, yang diam di Seir; mereka akan takut kepadamu. Tetapi hati-hatilah sekali."

Manusia cenderung menganggap remeh. Sering kali kita lebih bisa mengerjakan sesuatu yang kelihatan sulit dikerjakan, daripada menghargai sesuatu atau seseorang yang sebenarnya tidak boleh kita remehkan.

Mungkin kita pun meremehkan pekerjaan kita sekarang—entah sekecil apa pun, gaji seberapa pun. Tidak menghargai yang Dia beri dan percayakan. Lalu, komplain terhadap banyak hal yang tak perlu dikomplainkan. 1.001 alasan. Bersungut-sungut. Membanding-bandingkan. Apalagi, meremehkan dampak karakter yang kita hasilkan.

Kalau Esau yang memandang rendah hak kesulungannya, mungkin contoh yang klise dan sudah sering mendengarnya. Tetapi, contoh lain dan agak modern adalah...

Charlie Zelenoff.

Tidak tahu apakah saat ini ia sudah berubah atau belum, tetapi ia seorang yang menganggap remeh banyak orang, terutama yang ia rasa lebih lemah ketimbang dirinya. Apakah ia seperti itu karena sebenarnya belum mampu menghargai diri sendiri—kita tidak tahu. 

Ia suka membual, mem-bully"Mereka tidak menunjukkan belas kasihan, mereka membual" (Mzm. 17:10). Dan pengecut. Pun pernah ia meninju seorang petinju senior dari belakang! 

Sampai akhirnya, Charlie Zelenoff harus berhadapan dengan orang-orang yang sanggup mengalahkannya, memberi dia pelajaranDarinya, kita bisa belajar untuk tidak menganggap remeh orang lain, siapa pun atau seperti apa pun mereka. Ataupun meremehkan sesuatu. Termasuk kekuatan efek ngilu karena sakit gigi akibat tidak sikat gigi.

Sebenarnya, orang yang menganggap remeh adalah seseorang yang tidak memiliki esensi atau hal pokok, yang benar-benar penting dalam hidupnya, dan hatinya.

"Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama" (2 Tim. 3:2).



March 20, 2019

Versi yang Baru


Kemarin seorang teman kantor bercelatuk, "Wah, kelihatan baru, nih." Padahal, sebenarnya ia ingin menyapa dan menyatakan ke seorang teman lainnya bahwa dia baru kelihatan setelah beberapa saat tidak bertemu.

Lucu juga sih, daripada mengatakan, baru kelihatan, lebih baik kelihatan baru. 🙂🙂 

Terkait sesuatu yang baru, istri saya Iva pernah mencoba melampirkan file risalah serta beberapa bahan lain dan ingin mengirimkan dengan e-mail. Tetapi, karena masih menggunakan Yahoo versi lama, maka proses melampirkannya memakan waktu yang sangat lama, entah kenapa. Mungkin karena tidak kompatibel untuk melampirkan file yang akan dikirimkan.

Lalu, saya mencoba meng-upgrade atau memperbarui versi yang lama itu dengan yang baru. Sehingga tampilan layarnya pun lebih baik. Dan akhirnya, lampiran pun bisa terkirim semua. Tampilan & kinerja e-mail lama yang lemot (lambat), terasa terbatas & mengganggu, sudah teratasi dengan fitur-fitur versi yang lebih baru.

Seperti halnya e-mail versi yang lama, banyak dari antara kita juga yang masih senang dengan tampilan serta cara hidup dan pola pikir yang lama. Padahal, kita sudah memiliki pemikiran & hati yang baru.

"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang" (2 Kor. 5:17).

Maukah selalu mengenakan fitur-fitur yang baru dari manusia baru kita itu?

Apakah keseharian kita sudah in tune, kompatibel dengan firman & kehendak-Nya supaya kita tidak lemot, merasa terbatas, atau terganggu terhadap setiap keadaan yang kita hadapi dalam hidup ini?



March 17, 2019

Setia

Saya rasa faithfulness atau kesetiaan lebih penting daripada thinking big atau sekadar berpikir besar.

Sebab banyak orang mungkin bisa berpikir besar. Tetapi tidak banyak orang yang bisa belajar untuk setia. Padahal, kesetiaan pun pasti termasuk dalam area berpikir besar.

Dalam Nehemia 13, ada kalimat yang menarik.

"Karena orang-orang itu dianggap setia. Mereka diserahi tugas untuk mengurus pembagian kepada saudara-saudara mereka" (Neh. 13:13 b, c).

Ingatan saya masih setia terhadap ayat berikut ini.

"Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya" (Ams. 20:6)?

Semoga bukan hanya ingatan atau memori yang setia pada alamat firman, melainkan juga dalam melakukannya.

Saya rasa juga, tidak ada penghargaan yang lebih besar dari orang lain ataupun dari Dia bahwa kita dianggap & dipandang setia. Dan bahwa kita memang setia, meski mungkin belum ada orang yang mengakui maupun menghargainya.

Ada penghargaan dan upah terhadap kesetiaan.

Dua orang panutan terbaik tentang kesetiaan adalah Tikhikus dan Onesimus (see Kolose 4:7-9, yang menyebutkan mereka hamba yang setia, dan saudara yang setia.)

Dalam hal apakah kita setia?

Mungkin kesetiaan menagih kita setiap hari dan setiap saat lebih sering daripada seorang debt collector atau penagih utang.

Kita pernah gagal dan tidak setia. Tetapi, mohonlah ampunan-Nya.

"Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya" (2 Tim. 2:13).

Kegagalan masih bisa jadi batu-batu pijakan bagi kita di antara lumpur-lumpur godaan maupun pasir isap yang mencoba membuat kita tetap jatuh. Asalkan kita punya sikap yang benar, terutama dalam hati kita, mau ambil tanggung jawab, apa adanya, serta sadar akan pelajaran berharga yang telah kita terima dari kegagalan itu supaya kita mencapai potensi diri yang sebenarnya.

Dia terpesona dengan kesetiaan kita. Yang tak mau tetap dalam keadaan jatuh. Yang mau selalu bangkit lagi. Yang terus mau mengikut Dia.


"[I'm] a believer who love to sing, fall many times in life but willing to learn and stand up even more! I belong to Jesus." Trully Wismandanu



March 15, 2019

Sendirian




Apa yang sering kita lakukan saat sendirian?

Acap kali mungkin melakukan atau menginginkan kehendak ataupun kemauan diri sendiri. 

Sebenarnya, kita seperti itu karena tidak tahu apa yang sesungguhnya kita inginkan. 

"Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia [Filipus—atau ganti dengan nama kita], sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya" (Yoh. 6:6).

Tidak hanya Yesus tahu dan sadar status-Nya, Ia juga tahu apa yang telah, sedang, maupun hendak dilakukan-Nya. 

Waktu sendirian pun, Ia berdoa.

"Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ" (Mat. 14:23).

"Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri" (Yoh. 6:15).

Dia bukan penyendiri (ogre atau hermit), sebab pun ada waktu-waktunya berinteraksi dengan orang-orang lain. Seperti halnya yang pernah dilakukan Henry David Thoreau ketika mengungsi, menyendiri ke hutan, dan menuliskan Walden.

Beberapa kali mungkin Ia yang sering kali terlebih dulu membuka interaksi, memulai percakapan, ataupun menyapa orang-orang. He led an intentional living. Ia tahu apa yang ingin Ia lakukan. Saat bersama orang lain, maupun saat sendirian.

Apa yang kita lakukan saat sendiri sering kali akan menentukan bagaimana respons, sikap, tindakan, keadaan kita, dan lain-lain ketika di tengah keramaian maupun di depan orang-orang.

Dia menyukai, menikmati waktu-waktu kesendirian dengan kita. Bahkan mungkin saat ini Ia menantiberduaan dengan Anda, meskipun Anda sedang merasa sendiri.

March 14, 2019

Jalan Segala yang Fana


Baru tadi membaca artikel tentang telah lewat setahunnya Billy Graham berpulang, entah mengapa hari ini bertepatan mempostingkan sedikit tulisan tentang beliau. 

Billy Graham.

Beliau wafat pada 21 Februari 2018 yang lalu, sehari setelah ulang tahun saya. Di usianya yang ke-99 tahun.

Steven Furtick, seorang pahlawan iman juga, berduka, "You showed us how to leave the 99 for the 1. Thank you Dr. Graham. Rest in Peace." Maksudnya, Billy Graham telah meninggal, namun yang penting beliau telah memberikan teladan, yaitu untuk menyerahkan sepanjang sisa kehidupannya kepada Tuhan Yesus, satu Pribadi itu.

Begitu banyak ucapan belasungkawa dari pemimpin-pemimpin besar dunia maupun tulisan yang meneguhkan dampak pelayanan, pengalaman, serta pribadi beliau.

Kalau seseorang seperti Billy Graham, yang telah berkhotbah bagi ratusan juta orang, sekitar 215 juta, lebih banyak daripada siapa pun sepanjang sejarah, dan pernah menjadi sahabat bagi sejumlah presiden AS maupun pemimpin negara-negara lainnya, dan sudah berbuat banyak bagi Dia saja bisa meninggal dunia, masakah kita tidak mau menyadari fakta bahwa suatu hari pun kita akan mengalami hal yang sama, menempuh jalan segala yang fana?

Sebab jujur, kadang kala kita merasa seolah dapat hidup lama dan tidak akan meninggal dunia dengan segera. Apa pun yang kita lakukan pun sering kali menunjukkan bahwa kita hidup tanpa gentar terhadap apa puntermasuk kematian.

"Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka" (Ibr. 13:7).

Kalaupun sekirannya firman itu belum mampu menusuk dada, menyentuh hati kita, setidaknya belajarlah dari akhir hidup beliau. Karakter seperti apa yang kita wariskan selama masih menumpang di dunia ini?

Billy Graham pernah berujar, "Jika harta sirna, sebenarnya tidak ada yang sirna dan hal itu bukanlah segalanya. Jika kesehatan atau keprimaan hidup sirna, memang terasa ada sesuatu yang hilang. Namun saat karakter sirna, segala-segalanya benar-benar sirna dari hidup kita."

Kelak ketika kita pun akhirnya sampai pada hari menjumpai Pencipta kita, semoga orang-orang yang kita kasihi maupun sahabat-sahabat yang kita tinggalkan akan belajar juga dari hidup kita, dan bahwa mereka telah kehilangan satu pahlawan iman mereka.


"In the end, it’s not the years in your life that count. It’s the life in your years."
―Abraham Lincoln





March 13, 2019

Leluasa


Apa yang membuat kita tidak dapat bersaksi dengan leluasa?

Apakah karena kehidupan kita sendiri tidak sesuai dengan yang ingin kita bagikan? (Tidak apa-apa, itu semua butuh waktu & proses. Seseorang yang berpindah kewarganegaraan pun tentu tidak bisa langsung ujug-ujug berubah. Perlu beradaptasi dulu dengan budaya yang beda, dan lainnya.)

Apakah juga karena kita masih memiliki, menyimpan rahasia-rahasia buruk? Rahasia atau keburukan yang kita pendam akan menghentikan potensi kita. (Ingat, mobil Ferrari tidak akan bisa melaju kencang dengan semestinya apabila masih memanggul beban seberat truk pengaduk semen, atau sebesar kontainer.)

Sering kita takut. Ragu-ragu. Atau tidak tahu apa yang mesti dibagikan kepada orang lain. Di taksi misalnya, atau di pasar, bahkan di rumah, dan di manapun. Padahal kita cukup bersaksi saja. Dan apa yang kita bagikan mungkin adalah obat bagi kehidupan yang mereka selama ini butuhkan. 

"Karena mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa" (1 Tim. 3:13).

Bayangkan, betapa segarnya saat kita bisa bersaksi dengan bebas! Tanpa rasa takut!

Saat kita merasa gagal—itulah yang musuh inginkan, yaitu membuat kita merasa tidak jadi bermanfaat dan terpuruk kalah dalam kegagalan—kita pun merasa tidak bisa memberi kesaksian dengan leluasa. Jeremy Foster pernah berkata, "Your faith is more important than your failure." Imanmu jauh lebih berharga daripada kegagalan-kegagalanmu. Jadi, tak perlulah membela diri, sebab Pembela terbaik adalah Dia.

Apalagi menyerah, jangan pernah.

Berlarilah, tapi tetap kepada-Nya.

Asalkan, jika kita sudah dapat bersaksi secara leluasa, jangan lupa diri. Terlalu leluasa bersaksi mungkin adalah salah satu ciri kepongahan dan memegahkan diri sendiri. Apalagi menggunakan kemerdekaan, bersaksi, itu untuk tujuan-tujuan kita sendiri yang akan menjadi rahasia-rahasia buruk lagi (Ibr. 10:26-31).

Hati nurani yang bersih adalah mata air kesaksian yang paling leluasa. Bukan hebat di mimbar atau kesaksian saja, tetapi kesehari-harian kita akan berbicara dengan sendirinya serta dilihat oleh orang-orang lainnya.

"Juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan. Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara" (Ef. 6:19-20).

Orang yang berhenti bersaksi, berhenti menjadi efektif.

Hikmat, kuasa, kasih karunia-Nya semoga menuntun dan menyertai kita bersaksi dengan leluasa. Oh, betapa bebasnya!



March 12, 2019

Connected Blessings


Berkat, sebagaimana halnya promosi, datangnya dari-Nya. Bukan manusia.

Bicara berkat, ada yang namanya connected blessings atau terjemahan bebasnya, berkat yang dicurahkan & diperintahkan-Nya oleh karena ketaatan-ketaatan kita. Billy Graham pernah berkata, "It is in prayer and obedience that we fight the battle." Di dalam doa dan ketaatanlah kita berperang. 

"Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya" (Kol. 3:24). 

Kadang susah, dan memang kita cenderung memilih untuk tidak mau percaya, bahwa berkat itu datangnya dari Dia. Padahal, demikian adanya, berkat itu dari-Nya. Apalagi yang benar-benar tidak bisa kita usahakan sebagaimanapun caranya.

Walaupun Ia tidak tampak, atau lebih tepatnya belum tampak, Ia akan mencurahkan berkat-Nya, sekalipun berkat itu juga belum tampak sekarang. "Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa! Amin" (1 Tim. 1:17). Apa yang Anda dan saya alami hari ini tidaklah mendiskualifikasikan janji-Nya.

Jika kita berbuat salah, kita akan menanggung konsekuensi dari yang kita lakukan. Ia tidak memandang muka. Tidak melakukan favoritism atau pilih-pilih kasih. Yudas saja mengembalikan 30 keping perak (Mat. 27:3-6) karena menyesal telah mengkhianati Yesus, walaupun ia salah satu dari hawari (murid)-Nya, percuma. Dan ia lebih memilih menjauhi Dia, bukannya lari mendekati Dia.

Seperti halnya sebenarnya Dia ingin menghibur kitabukan cuma dalam arti bercandaan, walau hal itu perlu sesekali untuk pelumas terhadap ketegangan hidup kita, melainkan lebih pada tentang menguatkan dan menyemangatiDia pun senang memberkati kita; Dia tidak suka kutuk.

"Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah" (2 Kor. 1:3-4)

Lebih baik memberi hidup kita & membuang jauh-jauh kutuk, daripada menyepelekan berkat atau yang semestinya bisa menjadi berkat & membuang-buang waktu hidup kita.


March 8, 2019

Let Him Lead


Ketika kita mencoba memimpin di depan, dan bukannya membiarkan Dia yang memimpin (let Him lead), kita mendahului Dia dan cenderung akan mengkhianati atau melukai hati-Nya.

Tony Evans pernah berujar, "Anything that competes with, negates or downplays God's glory exists in a perpetual state of misalignment." Atau, segala sesuatu yang mencoba menyaingi, meniadakan, ataupun merendahkan kemuliaan-Nya sebenarnya sedang memposisikan dalam kondisi ketidakselarasan yang terus-menerus. 

Omong-omong tentang memimpin, ada perbedaan mencolok antara Yudas dan Yesus.

"Waktu Yesus masih berbicara datanglah serombongan orang, sedang murid-Nya yang bernama Yudas, seorang dari kedua belas murid itu, berjalan di depan mereka. Yudas mendekati Yesus untuk mencium-Nya" (Luk. 22:47).

"Yesus dan murid-murid-Nya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem dan Yesus berjalan di depan. Murid-murid merasa cemas dan juga orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut. Sekali lagi Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan Ia mulai mengatakan kepada mereka apa yang akan terjadi atas diri-Nya" (Mark. 10:32).

Yudas Iskariot mencoba mencium-Nya, tapi bermaksud untuk mengkhianati Dia. Kita pun, bahkan dengan bahasa-bahasa tubuh sok rohani, atau kadang kata-kata klise religius, melukai hati-Nya kalau mencoba berjalan memimpin di depan, mendahului Dia. Apalagi kalau membiarkan ilah-ilah lain memimpin hidup kita.

"Ketika bangsa itu melihat, bahwa Musa mengundur-undurkan turun dari gunung itu, maka berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya: 'Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir—kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia'" (Kel. 32:1).

Bukankah kita sering seperti itu? 

Kita bego, bukan 'bebek goreng', tapi benar-benar bodoh. Hampir ibarat menyusun, mengatur, ataupun memperbaiki lego, tetapi tidak sungguh-sungguh tahu apa yang harus kita perbuat. Lalu hidup kita malah bisa hancur terlindas banyak hal.

Ketika kita membiarkan diri memimpin—bukan berarti saya melarang memimpin diri sendiri ya, sebab memang pribadi pertama yang harus kita pimpin ialah diri sendiri, melainkan memimpin yang mencoba menggeser posisi Dia dari keseharian kita—itulah yang salah. Kita akan cemas malah, gentar, berprasangka buruk.

Alih-alih menyerahkan segala kekhawatiran kita kepada-Nya & menaklukkan seluruh pikiran kita di bawah kaki-Nya, kita mencoba mengendalikan semuanya. Dengan keras kepala. Dan mengeraskan hati. Padahal, dari manakah tiap embusan napas kita sebenarnya berasal...?

Dunia ini seharusnya bukan panggung sandiwara yang kebanyakan drama. Bisa saja kita pura-pura baik atau memimpin di manapun, dan orang-orang memberi aplaus. Tetapi, bukan Dia, yang akan memberikan standing ovation jika kita seperti itu.

"Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia daripada kehormatan Allah" (Yoh. 12:34).

"Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: 'Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah'" (Kis. 7:55-56).

Sering kali, membiarkan Dia memimpin cukup berarti dengan rendah hati kita menaati yang Dia kehendaki. Let Him lead.



March 6, 2019

Satu • Per • Satu


Kalau sekarang-sekarang ini kita merasa hari demi hari yang kita jalani kian berat, ada baiknya kita menjalaninya satu per satu.

"Aku harap segera berjumpa dengan engkau dan berbicara berhadapan muka. Damai sejahtera menyertai engkau! Salam dari sahabat-sahabatmu. Sampaikanlah salamku kepada sahabat-sahabat satu per satu" (3 Yoh. 1:14-15).

Frasa yang menarik perhatian saya pada ayat tersebut: satu per satu.

Seringkah kita khawatir? Sering, bukan 🙂? Misalnya, ingin kita mengubah banyak halseandainya begini, seandainya begitudan harus sesuai jalan pemikiran kita sendiri. Padahal, tidak bisa selalu seperti itu.

Reinhold Niebuhr pernah berkata, "God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference." (Tuhan, berikanku kerelaan hati untuk menerima hal-hal yang tak dapat aku ubah, dan berikanku keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, serta berikanku hikmat untuk dapat membedakan keduanya.) 

Yuk, belajar untuk mencoba tidak selalu khawatir sepanjang waktu. Jangan biarkan kerutan yang tidak semestinya berada di wajahmu. 

Tetapi, jika kita sudah tidak khawatir, kita masih sering juga mengeluh. Ada saja untuk dikeluhkan: hujan deras saat pagi hendak berangkat kerja atau sekolah, lama menunggu di antrean atau suatu pesanan, menerima perlakuan yang kurang mengenakkan dari orang-orang. Atau terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan yang kita bayangkan, harap, atau pikirkan.

Memang akan selalu ada bahan untuk keluhan, tetapi semestinya dengan porsi respons yang menyejukkan, menyegarkan sikap kita nantinya. Jika tidak ingin ada keluhan, cobalah pergi ke makam 😊.

Steve Jobs pernah berkata, "Being the richest man in the cemetery doesn't matter to me. Going to bed at night saying we've done something wonderful, that's what matters to me." (Menjadi orang terkaya tetapi ujungnya menjadi seorang almarhum tidaklah terlalu berkesan bagi saya. Namun, dapat beranjak pergi tidur di malam hari dan telah melaksanakan sesuatu yang berarti hari itu, lebih berharga bagi saya.)

Selain khawatir dan mengeluh, sering juga kita sukar percayaentah terhadap sesuatu yang baik, entah Tuhan, sebuah kebenaran, ataupun lainnya.

Lalu kita menumpuk berbagai hal tersebutkekhawatiran, keluhan-keluhan, ketidakpercayaan akan suatu kebenarandalam satu hari sehingga kita merasa stres, kewalahan, atau depresi.

Hadapilah segalanya satu per satu. Sehari demi sehari. 

Saya tahu, mungkin sulit, atau sakit. Kita tidak sabaran. Bersabarlah. Kita ingin memborong semuanya. Tapi, jalanilah:

Satu.

Per.

Satu.

Segenggam demi segenggam.

Ed Young pernah berkata, "So often the small tweaks take us to giant peaks." (Setapak demi setapak pendakian akan membawa kita ke puncak.)  

Asalkan, jangan buka celah meski kecil-kecil, satu per satu, untuk sesuatu yang salah. Sebab sebagaimana yang baik saja bisa menumpuk, apalagi ini dengan sesuatu yang buruk.



March 5, 2019

Rumah Pipit


Burung pipit.

Sering melihatnya, bukan?

Seingat saya pun, dulu sewaktu saya SMP ataupun mungkin antara kelas 4 atau 5 SD, sering mencari dan mengambil sarang burung pipit di pohon-pohon. Dan senang bila mendapatkannya, terutama bila ada telur maupun anakannya. Padahal mungkin induknya akan mencari-cari sarang dan anaknya itu.

Melihat burung pipit terbang di langit mengingatkan saya tentang sesuatu.

"Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku" (Mzm. 84:4)!

Siapa yang ingin memiliki rumah sendiri ? Saya ingin. Terlebih putri kami Cherish, yang berusia delapan tahun, kelas 3 SD, beberapa kali mengatakan bahwa dia ingin punya kamarnya sendiri. 🙂

Tetapi kalau burung pipit saja telah mendapatkan sebuah rumah, Dia pasti lebih tahu kerinduan hati kita yang ingin memiliki tempat tinggal sendiriterlebih bagi yang sudah berkeluarga, bukan?

Dan yang lebih penting, kita menjadi bait-Nya. Ia rindu supaya kita benar-benar menjadi bait atau rumah yang bersih dan baik untuk menyalurkan kasih-Nya. "Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela" (Mzm. 84:12).


"I found my fortress in You, and my soul is anchored with You, my resting place is in Your name. Forever safe." Isa Fabregas