October 29, 2012

Answer from Suzanne


A few days ago, after reading an article from Suzanne Beecher in her online book club, I asked her a question. And I never thought that she would answered it on her column. The answer from Suzanne Beecher is as follows.

---

Dear Reader,

If you have a question about writing, feel free to ask. I'm happy to
reply. I can't send everyone a personal reply, but I'll answer
writing questions in my column. To view past questions and answers,
go to: http://tinyurl.com/WritingQ-A
 
After reading yesterday's column about my conversation with Bessie,
who lives in assisted living, book club reader, Franisz Ginting
emailed this writing question:

"Suzanne, how did you manage to remember the live conversations
[quotes] with Bessie? Did you use a recorder, or did you memorize
all of them instead?"--Franisz Ginting

(Suzanne replies:) After saying goodbye to Bessie, the minute I got
to my car, I grabbed my notebook and wrote down notes and the
handful of quotes I could remember from our conversation. There's a
paper and pen in my purse, in my car, bathroom, on the nightstand
next to my bed, and when I go outside to sit in the chaise and
relax, I set a pad of paper and a pen beside me on the ground, just
in case.

Writing isn't something I "do" when I sit down in front of my
computer. Everyday I'm watching and listening, and making mental
notes about things that happen, and the emotions I see on people's
faces. I listen closely to what they say, but if I don't write
things down immediately, I'll forget the details of the story and
worse, I can't recover how I felt at that very moment. So it's not
that I'm trying to actually write the story in my notes, but rather
I'm jotting down sentences that will trigger past emotions.

I've even saved a phone call from a friend (yes, they gave me
permission), so if I decided to write about their experience, I
could go back and listen to them tell the story in their own words,
and hear the excitement in their voice.

If you have a writing question, please send it to me at:
Suzanne@EmailBookclub.com

Thanks for reading with me. It's so good to read with friends.


Suzanne Beecher



Minta Es Krim, Tuhan

Minggu lalu saya membawa anak-anak makan ke restoran. Anak laki-laki saya yang berumur 6 tahun menawarkan diri untuk memimpin doa makan, “Tuhan yang baik, terima kasih untuk makanan ini. Saya akan sangat berterima kasih bila setelah ini Engkau menggerakkan hati Mama untuk membelikan kami es krim. Amin!”

     Tiba-tiba saya mendengar seorang wanita yang duduk di dekat kami berkata, “Negara ini benar-benar sudah kacau! Anak-anak sekarang sudah tidak tahu bagaimana berdoa dengan benar. Masak minta es krim sama Tuhan? Saya tidak bakalan berdoa seperti itu!”

     Mendengar hal itu, mata anak saya langsung berkaca-kaca dan ia bertanya, “Apakah saya salah berdoa, Mama? Apa Tuhan akan marah sama saya?”

     Ketika saya memeluknya sembari menyakinkan bahwa dia sudah berdoa dengan baik dan Tuhan tidak marah padanya, datanglah seorang bapak tua ke meja kami.

     Ia mengedipkan mata kepada anak saya dan berucap, “Saya tahu bahwa Tuhan senang sekali dengan doamu.” “Oh ya?” tanya anak saya. “Tentu saja,” jawab pria itu.

     Lalu, ia mendekat dan berbisik (sambil melirik pada wanita di meja sebelah yang mengomel tadi), “Sayang sekali dia tidak pernah meminta es krim pada Tuhan. Es krim itu baik untuk hatimu.”

     Tentu saja setelah kejadian ini saya membawa semua anak saya ke konter es krim. Setelah semua mendapat bagian masing-masing, anak laki-laki saya menatap es krimnya sesaat lalu melakukan sesuatu yang tak pernah akan saya lupakan seumur hidup saya.

     Tanpa berkata apa pun ia bergegas membawa es krimnya dan menaruhnya di depan wanita yang telah membuatnya menangis. Dengan senyum lebar ia berkata, “Ini buat Tante. Es krim itu baik untuk hati Tante; dan kebetulan hati saya sudah baik.”

     Kadang setiap kita butuh es krim dalam hidup kita. Kiranya Tuhan mengirimkannya pada Anda hari ini.


―oleh Timothy J. Daun

October 22, 2012

Pantai


I can hear the sea. Nothing else is as good as that.
Hilary Mantel

Saya jadi menyadari, mengetahui alasan mengapa saya menyukai pantai, hujan, atau air. Setiap kali bila ada suguhan pilihan tujuan wisata, acap kali saya pasti lebih memilih pergi ke pantai. Tiap kali saya bertandang ke rumah sahabat ataupun berkunjung ke kediaman kerabat, hal pertama kali yang saya cenderung selalu ingin lakukan adalah meminjam, melihat kamar mandinya. Apakah penyebab saya menyukai pantai, hujan, atau air ini?

          Penyebabnya adalah karena dulu ketika saya masih kecil, kira-kira berusia dua atau tiga tahun, ayah maupun bunda saya kerap mengajak, membawa baik saya maupun adik saya berwisata ke pantai. Waktu itu pantainya adalah Pantai Boom yang ada di Tuban―tempat kami tinggal dulu, kota yang berada di sekitar paling ujung kiri atas dekat perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Saya (kiri), bunda & adik Grace di pantai
          Hal yang amat masih saya ingat serta kenang hingga sekarang usia 30 tahunan ialah saat dahulu berlibur di pantai itu, saya bermain pistol air beserta ayah dan bunda. Saya pun teringat terduduk bersama bunda, dan ayah memotret kami di atas hamparan pasir putih. Tetapi, saya tidak tahu entah bagaimana keadaan pantai itu sekarang, sebab terhitung sudah lebih duapuluhan tahun saya jauh dari Tuban, dan tinggal di Surabaya, lalu juga di Jakarta.

          Ketika saya membuka situs Ayahbunda dan mengetahui bahwa ada lomba menulis bertema Aku dan Ayahbunda, mau tidak mau saya langsung terkenang akan masa-masa itukala ayah, bunda dan saya keluar rumah saat sore menuju pantai, sekadar menghabiskan waktu. Namun, meskipun tema lombanya berkaitan dengan situs, majalah (yang akhir-akhir ini sering saya baca per bulan semenjak bekerja di kantor saya sekarang, yaitu sebuah institusi pendidikan berupa sekolah) maupun kegiatan Ayahbunda, tetapi ingatan kuat saya, kenangan saya, membawa untuk menuliskan kenangan tentang masa kanak-kanak itu di Pantai Boom, Tuban.

          Mungkin bukan pantai itulah yang saya rindukan, atau kota Tuban itu sendiri, melainkan masa kecil saya, berwisata bersama ayah serta bunda.

Bilalah saatnya sekarang kita menjadi orangtua (serta jika ingin mengetahui tips-tips berwisata, kita dapat melihat artikel dari situs Ayahbunda, salah satu contohnya Sukses Liburan dapat dibaca di sini), manfaatkanlah kesempatan berwisata, menginvestasikan waktu bersama keluarga tercinta sebagai momen yang indah, pengalaman berkesan, dan kenangan tiada terlupakan selamanya.

Dalam menjadi seorang ayah, saya berusaha sesering mungkin serta sebisanya mengajak anak saya berenang pada akhir pekan. Saya ingin putri saya, Cherish, memiliki harta karun yang berharga berupa kenangan bersama keluarga, ayah dan bundanya menuju masa depannya.

Putri saya, Cherish (kanan) belajar berenang
Juga, bila saya boleh berbagi dengan para pembaca yang budiman, saat melihat situs Ayahbunda maupun membaca majalah ataupun mengikuti kegiatannya yang ada, tentulah dapat membuat pembaca pun terkenang akan memori-memori bersama keluarga, baik yang dahulu ketika masih masa kanak-kanak maupun apa yang pembaca lakukan untuk orangtua atau anak-anak sebagai suatu keluarga.
  
Akhirnya sekarang-sekarang ini, saat saya mendengarkan senandung instrumental Rhythm of the Rain ('Irama Hujan'), saya merasa begitu tenang, hati saya seolah terhanyut, seakan mengingatkan dan membawa saya pada masa-masa kecil saat berusia dua atau tiga tahun itu, bersama ayah dan bunda di Pantai Boom, Tuban. Lagipula, bukankah hujan pun terdiri dari air dan kadang menuju ke pantai…?

October 19, 2012

Manusia Hati Mulia

Salah satu stasiun TV swasta pernah menayangkan sebuah liputan tentang tujuh manusia berhati mulia menurut versi program tersebut.

Dalam tayangannya, di antaranya disebutkan dua nama orang yang begitu kontras popularitas, status sosial, dan kekayaannya. Mereka adalah Bill Gates dan Bai Fangli.

Bill Gates pernah menyumbangkan uangnya sebesar 6 triliun rupiah untuk masyarakat miskin. Sementara itu, di sisi lain di belahan dunia yang jauh dari negeri Paman Sam-nya Bill Gates, ada seorang tukang becak di daratan China, yaitu Bai Fangli sendiri yang dengan segala keterbatasannya berani menyumbangkan penghasilannya untuk gerakan sosial kemanusiaan.

Bai Fangli
Memang kedua pribadi itu berbeda, tetapi ada kesamaan mendasar yang mereka miliki, yaitu hati yang tergerak oleh kepapaan, kemiskinan dan ketidakberdayaan orang lain.

Dari tayangan ini, tampak bahwa Tuhan telah memberi setiap orang hati yang tahu akan kebutuhan orang lain serta hati yang berani mempraktikkan kebaikan kepada orang-orang yang papa, miskin dan tak berdaya. Itu berarti, siapa pun dan apa pun status sosial seseorang, bagaimana pun kondisinya, dapat melakukan sesuatu yang bernilai mulia, bahkan sangat mulia bagi orang-orang yang membutuhkan dan ada di sekelilingnya.

Yakobus 2:1-4 memberi kita yang percaya kepada Kristus petunjuk untuk mempraktikkan apa yang kita imani, tanpa memandang objek yang akan kita layani, bahkan memandang mereka tanpa hidden agenda. Mungkin itu sesuatu yang sudah usang, kuno dan langka di dunia modern ini, namun itulah yang harus dilakukan oleh pengikut-pengikut-Nya.

Terlepas dari keyakinan yang dianut oleh kedua orang di atas, kenyataannya masih ada orang-orang seperti mereka di dunia saat ini. Apa kuncinya sehingga mereka rela seperti itu? Hati. Sebagaimana terkatakan dalam ayat ke-4 dari surat Yakobus dapat menjadi perenungan bersama.

Pertanyaannnya sekarang, seberapa besar setiap kita mengasah hati yang Tuhan berikan kepada kita untuk tetap peka akan kebutuhan masyarakat marginal dan orang-orang lain yang ada di sekitar kita?

Tuhan memberkati.


oleh Ronald N. Manuputty