February 28, 2012

This is a real life death job


















This is a real life death job. Pekerjaan antara hidup dan mati. Istilah membuminya, menurut seorang sahabat saya Daniel Deni Irawan, “Demi sesuap nasi, seseorang bergelantungan dengan tali gondola di bawah teriknya matahari.” Ya, padahal pemasukan bulanannya mungkin tak seberapa besar, tak sebanding dengan risiko pekerjaannya, namun pekerja tersebut berani melakukannya.

Pertanyaannya, seperti ending tagline iklan-iklan kebanyakan akhir-akhir ini, “Bagaimana denganmu?” Atau, “Kamu?” Atau, “Kita?”

Mungkin pekerjaan kita mentereng dan penerimaan bulanan kita lumayan besar, tapi bila pola bekerja kita sebenarnya tak sepadan dengan itu, mungkin percuma. Malu terhadap pekerja yang bergantungan dengan seutas tali yang bahkan hampir-hampir usang mau putus di atas.

Pada dasarnya, semua pekerjaan itu baik dan bagus, dan bisa menjadi pekerjaan yang antara hidup dan mati, asalkan kita selalu berupaya memberikan yang terbaik. Memberikan yang terbaik.

February 14, 2012

Elang dalam Eagle


Di halaman depan rumah seorang tetangga di dekat rumah kami, di Jl. Agnatis, Depok, tetangga tersebut memelihara seekor burung elang. Saya tidak tahu jenis apa.

Saya membayangkan, bagaimana kalau pemiliknya, tetangga ini, mau melepaskan burung elang itu terbang? Atau, bagaimana kalau ada orang yang mau meloloskannya dari sangkar itu, ya? Entah telah berapa lama elang tersebut terkurung berada di dalam sangkarnya. Hanya sebagai “hiasan” untuk dilihat-lihat orang, atau sebagai “kebanggaan”. Tapi, yang pasti, mungkin burung itu akan senang bila bebas dan dibiarkan terbang. (Tapi, kalau ada orang yang memelihara harimau, kuda nil, atau singa, jangan dilepaskan sembarangan, ya.)

Kadang, mungkin kita ibarat burung elang itu, yang terkurung dalam sangkar, tapi kadang kali ini barangkali diri kita sendirilah pemiliknya yang mengurung elang dalam diri kita untuk terbang bebas.


(Elang di dalam sangkar di halaman depan rumah tetangga)


















IM Jan 12, 2012 9:49:57 AM

9:39:40 AM   Franisz: Yes, let the eagle inside you be free.
9:39:41 AM   Ryan Darliansyah: butuh ga terikat waktu sih nisz
9:39:49 AM   Franisz: Me, too.
9:40:11 AM   Ryan Darliansyah: you see the eagle, rite?
9:42:20 AM   Franisz: Yes. I see the eagle, it will soar.
9:49:57 AM   Ryan Darliansyah: Amin : )


IM Feb 12, 2012 9:30:23 AM

9:24:37 AM   Franisz: Just let the eagle inside you be free...!
9:25:23 AM   Ryan Darliansyah: Now the eagle's suffering bro :D
9:25:31 AM   Franisz: :D
9:25:48 AM   Ryan Darliansyah: too much comfort...
9:25:55 AM   Ryan Darliansyah: but not growing
9:26:03 AM   Franisz: Yeah, let your eagle soaring high, let loose n be free from the cage...


February 8, 2012

NALO Vs LANO

Alkisah, di sebuah kerajaan ada seorang pangeran yang terkenal suka belajar. Berbagai ilmu telah ia pelajari, baik sastra, strategi militer, ilmu hitung, berkuda, memanah, dan lainnya. Sayangnya, ketika diajak untuk mempraktikkannya, ia selalu menolak dengan alasan bahwa ia sudah menguasai ilmu tersebut sehinga tidak perlu praktik karena hanya akan buang waktu. Ia seorang yang NALO.

Suatu ketika, bosanlah pangeran tersebut karena merasa semua ilmu di kerajaan itu telah ia kuasai. Ia lalu mengajak pamannya yang juga merupakan mahapatih kerajaan untuk berdiskusi. Beliau adalah seorang yang LANO. Setelah mendengarkan curhat sang keponakan, sang mahapatih pun mengajak pangeran untuk berlayar di sungai dengan sampan.

“Mengapa kita tidak naik perahu kerajaan saja, Paman? Bukankah lebih nyaman?” tanya sang pangeran.

Sambil tersenyum dan mengelus janggut putihnya, sang mahapatih menjawab, “Ada yang ingin saya tunjukkan kepada Pangeran.”

Saat pelayaran dan mahapatih mendengarkan curhat keponakannya, tiba-tiba, sampan mereka berguncang karena ombak keras dan sang pangeran tercebur ke dalam sungai!

Pangeran berteriak minta tolong karena tidak bisa berenang. Namun, bukannya segera menolong, sang paman malah hanya menginstruksi, “Ya, Pangeran, kakinya ditendang bersamaan seperti kaki katak, ya. Tangannya jangan diangkat seperti itu, tapi seperti ini, ya,” ujar mahapatih sambil mencontohkan.

“Paman! Cepat tolong saya! Nanti saya tenggelam!” teriak sang pangeran, gusar bercampur takut.

“Pangeran ‘kan sudah menguasai teori berenang gaya katak, berarti Pangeran sudah bisa berenang…”

Sang pangeran segera mengerti maksud pamannya dan sambil terbata-bata ia pun berkata, “Saya mengerti maksud Paman. Sekarang cepat tolong saya!”

Dengan sigap, mahapatih melemparkan tali tambang dan tak lama kemudian sang pangeran telah duduk kembali di dalam sampan, sambil basah kuyup.

“Apa yang sudah Pangeran pelajari…?”

Sambil terengah-engah, pangeran menjawab, “Satu, segala pengetahuan dan teori yang saya miliki ternyata tidak ada gunanya kalau belum diterapkan dan dilatih di lapangan. Dua, saya tidak akan naik sampan berdua dengan Paman lagi!”

Pengetahuan yang kita terima akan bertahan lebih lama ketika kita mempraktikkannya. Bukankah ada pepatah practice makes perfect? Jadi, mari jangan hanya NALO (No Action, Learn Only), tapi sebaiknya juga LANO (Learn & Act Now, Okay).


―by Timothy Daun

February 7, 2012

When was my first love with Twitter

Saya menggunakan akun jasa Twitter pertama kali pada 7 April 2009. Saya lupa apa twit mula-mula saya, Twitter pun belum bisa menginfo “kicauan” nomor satu saya. Awalnya, seingat saya, saya acap kali meng-twit updates berupa tulisan-tulisan singkat, tuangan pikiran-pikiran saya. Saya juga mulanya memakai Twitter untuk mencari atau terkoneksi dengan penulis-penulis idola saya. Itulah ‘prioritas’ awal saya tertarik Twitter. 

Lambat laun, tujuan utama itu beralih. Pindah, berganti menjadi menggunakan Twitter untuk meng-twit kutipan-kutipan orang lain. Berharap akan banyak memikat followers baru, hal ini pun, mempunyai banyak followers baru, menjadi motif tambahan. Kadang juga updates-nya tidak keruan, asal-asalan. Seolah-olah tak akan disimak, padahal tiap tulisan kita diperhatikan.

Sudah sekitar 1.036 hari penggunaan Twitter sejak tanggal di paragraf pertama di atas. Sebenarnya, saya ingin kembali ke prioritas mula-mula, yaitu untuk menuangkan pikiran-pikiran saya. Senang sekali dulu, ketika baru bisa menuliskan kata-kata di atas kertas, di dalam buku, dan di sisi dinding-dinding kamar indekos, akhirnya fasilitas Twitter muncul untuk mengekspresikan diri dan pemikiran-pemikiran. Nah, namun sebaiknya kembali pada awal mula, motivasi kita menggunakannya.