November 26, 2015

Terbaik

Aneh—atau setidaknya, itulah yang saya rasakan. Belakangan ini, saya sering bertanya-tanya di dalam hati ketika saya ataupun orang lain mengatakan tentang memberikan yang terbaik kepada Tuhan atau saat hendak melakukan sesuatu.

            Lalu, beberapa waktu yang lalu, seorang teman atau kakak, Jane Purnamasari meminta saya untuk menuliskan hal memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Dan inilah hasil dari penulisan tentang itu di dalam versi blog.

Apa sih sesungguhnya arti dari memberikan yang terbaik? Yang terbaik? Terbaik?

Apakah itu berarti mengerjakan semaksimal potensi, semampu kita—apa pun pendapat orang lain—sebab kita merasa telah memberikan atau melakukan sesuatu yang terbaik? Apakah memilih yang terbaik, atau setidaknya yang baik? Memanajemeni dengan baik? Memimpin dan mengikuti dengan baik?

Banyak hal atau kesempatan untuk kita mencoba memberikan atau melakukan yang terbaik. Dan apa yang dilakukan oleh istri saya berikut ini mungkin adalah salah satu upaya memberikan, melakukan yang terbaik.

Tidak lama ini, ayah serta ibu mertua saya sedang berselisih paham sangat sengit di depan kami anak-anaknya. Keduanya merasa sama-sama benar. Tidak ada yang mau mengalah atau meminta maaf. Hingga akhirnya istri saya berdiri menengahi sambil menangis dan berkata, “Oke, kalau sama-sama merasa benar dan tidak ada yang mau mengalah, sekarang aku tantang Mama sama Papa. Siapa yang merasa cinta sama Tuhan Yesus, minta maaf duluan. Ngga peduli siapa yang bener, siapa yang salah, kalau cinta Tuhan Yesus, minta maaf duluan.”

Beberapa detik kemudian, ayah mertua saya maju mendekati ibu, menjulurkan tangan dan meminta maaf terlebih dulu. Lalu ibu mau meminta maaf juga. Itulah hal terbaik yang bisa dilakukan istri saya. Daripada berdiam diri, memihak salah satu, atau turut larut di dalam perselisihan, istri saya ingin mendamaikan.

Mungkin itu konteks yang kecil di dalam sebuah keluarga. Tetapi, sekali lagi, ada banyak hal dan kesempatan untuk kita berupaya memberikan, melakukan yang terbaik kepada Tuhan, sesama manusia, dan diri kita sendiri.

Salah satu contoh lain hal atau kesempatan supaya kita dapat memberikan yang terbaik ialah saat menghadapi perubahan. Dua hal pasti ada selama kita masih hidup: masalah dan perubahan. Intinya, bagaimana respons kita?

Terhadap perubahan. Apakah kita mengeluh, menolak, marah-marah? Tidak lama ini, saya juga diperhadapkan dengan perubahan. Di satu sisi, saya bisa saja menolaknya; di sisi lain, mau tak mau saya mesti menerima. Saya mengambil pilihan yang kedua: menerimanya. Awalnya, saya berkeluh kesah karena dipindahkan ke lokasi kerja yang lain, bahkan di bidang yang bukan bagian pekerjaan saya. Namun, karena masih bisa terkait keahlian atau talenta saya, saya mau belajar sesuatu yang baru, berada di tempat yang baru, bersama dengan orang-orang yang baru.

Sulit serta terkadang ada waktu ingin menyerah, tetapi saya mau tetap belajar sembari ingin berusaha memberikan, melakukan yang terbaik. Fleksibel. Mau berubah. Tanpa meninggalkan prinsip-prinsip baik yang saya pegang teguh. Dan apabila menurut orang lain hasilnya belum maksimal, ataupun saya tak mendapatkan apa yang mungkin patut saya dapatkan, saya telah berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik. Sebisa saya. Dan itu adalah hal yang baik.

Terhadap masalah. Baik permasalahan dengan orang-orang ataupun hal-hal yang harus kita hadapi. Apakah kita ingin lari? Menghindari, apatis, atau berlama-lama bersedih, serta pasrah begitu saja?

Kalau kita ingin memberikan, melakukan yang terbaik, kita akan berusaha menghadapi masalah-masalah tersebut, berpikir tentang cara-cara untuk memecahkannya, serta memohon bimbingan dan penyertaan Tuhan untuk berhasil mengatasinya.

Rasul Paulus mengemukakan, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Filipi 4:8).” Di Alkitab versi The Message terjemahan Eugene H. Peterson tertulis: “Summing it all, friends, I’d say you’ll do best by filling your minds and meditating on things true, noble, reputable, authentic, compelling, gracious—the best, not the worst; the beautiful, not the ugly; things to praise, not things to curse.

Dennis Waitley pernah berkata, “Getting into a positive routine or groove will help you become more efective (terj. bebas: Saat kita memiliki suatu rutinitas yang positif atau kebiasaan baik, kita akan menjadi lebih efektif di dalam melakukan sesuatu).”

Atlet merupakan contoh yang bagus tentang memberikan, melakukan yang terbaik. Mungkin ia pernah, bahkan sering gagal, tetapi pantang menyerah. Mau memetik pelajaran dari kesalahan dan kegagalan atau kekalahan. Tetap berlatih hingga ia bisa memperoleh, mengecap kemenangan.

Seorang investor yang super kaya ditanyai (dengan nominal segini dan segitu) tentang seberapa sih ukuran tertinggi merasa puas atau cukup itu terhadap kekayaan. Dan di tiap pertanyaan nominal tertentu, ia selalu menjawab, “Sedikittt lagi…” Mungkin kita pun boleh mengaplikasikan jawaban tersebut saat untuk memberikan, melakukan yang terbaik. Apakah kita sudah memberikan, melakukan yang terbaik? “Sedikit lagi.”

Memberikan yang terbaik bukan berarti menjadi perfeksionis. Ingin segala sesuatu sempurna. Tanpa cacat atau cela.

Melakukan yang terbaik pun bukan berarti mencoba terus-menerus memberikan performa setengah mati untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan keahlian atau talenta kita serta banyak orang menegaskannya. Contohnya seperti yang kita tahu, banyak individu ingin menjadi penyanyi terkenal lewat audisi The X-Factor atau American Idol, tetapi tentu sedikit yang lolos seleksi juri.

Kemudian, antara satu orang dengan orang yang lainnya, takaran memberikan atau melakukan yang terbaik itu berbeda-beda. Seseorang yang memang hanya mampu memberikan sesuatu secara sedikit tapi sudah yang terbaik darinya, mungkin di mata orang lain taklah seberapa. Seseorang yang telah sekuat tenaga, semampunya mengusahakan dan mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, walau menurut orang-orang belumlah seberapa, asalkan ia yakin serta percaya di dalam hatinya bahwa itulah yang terbaik dari dirinya, maka ia telah memberikan, melakukan yang terbaik.

Anda bisa menyebutnya Man In the Arena (Pribadi di Sebuah Pertandingan) untuk tajuk kutipan dari Eleanor Roosevelt yang menulis, “It is not the critic who counts. It is not the man who sits and points out how the doer of deeds could have done things better and how he falls and stumbles. The credit goes to the man in the arena whose face is marred with dust and blood and sweat. But when he’s in the arena, at best he wins, and at worst he loses, but when he fails, when he loses, he does so daring greatly (terj. bebas: Tidaklah begitu penting orang-orang yang hanya mampu mengkritik. Tidak juga orang-orang yang hanya duduk diam serta memberi tahu apa yang seharusnya bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh orang yang benar-benar mengerjakannya, atau mengapa ia terjatuh serta gagal. Orang yang patut menerima pujian ialah ia yang benar-benar berada di pertandingan dengan wajah penuh debu, kotor, bahkan terluka, dan berbalut peluh. Saat ia bertanding, kadang kala ia menang, kadang tertimpa kekalahan. Namun, meskipun mungkin ia gagal atau kalah, ia telah berusaha memberikan, melakukan yang terbaik).”

Sudahkah yang terbaik kuberikan
kepada Yesus, Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya di Kalvari!
Diharapkan-Nya terbaik dariku.

Sebuah lagu mengingatkan kita. Dan saat kita sedang memberikan atau melakukan sesuatu yang menurut kita adalah yang terbaik, kita bisa berkata-kata di dalam hati, “Sedikit lagi.” Dan saat kita sedang mengerjakan sesuatu yang lain, apa pun itu, kita bisa bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya sudah memberikan yang terbaik?” “Apakah ini sudah yang terbaik?”

Jadi, apa arti sesungguhnya dari memberikan yang terbaik? Apa definisi yang terbaik—terlebih kepada dan untuk Tuhan? Saya rasa, kita dan hati kita sendirilah yang tahu jawabannya. Dan Tuhan.

Apakah kita sudah memberikan, melakukan yang terbaik hari ini?

Menjelang hari-hari ke depan dan saat Natal nanti pun, apakah kita akan memberikan, melakukan yang terbaik? Bukankah Allah Bapa pun telah memberikan, melakukan yang terbaik, melalui pengurbanan Putra-Nya, Yesus Kristus di kayu salib? Yang terbaik. Terbaik.

I firmly believe that any man’s finest hour, the greatest fulfillment of all that he holds dear, is that moment when he has worked his heart out in a good cause and lies exhausted on the field of battle—victorious (terj. bebas: Saya sangat yakin bahwa saat terbaik seseorang, atau rasa puas terhadap segala sesuatu yang ia pegang teguh, adalah ketika ia telah memberikan segenap hatinya untuk sebuah tujuan mulia, serta terbaring kelelahan karena kehabisan tenaga di medan pertandingan. Berkemenangan).”
—Vince Lombardi

Tunggu. Biasanya setelah memberi kutipan ilustrasi di bagian tengah bawah seperti di atas dari Vince Lombardi tadi, saya menyudahi sebuah tulisan. Tapi, kali ini ingin memberikan lebih. Mencoba memberikan, melakukan yang terbaik.

Kadang kita ingin menyerah karena merasa telah gagal berulang-ulang. Atau mungkin kita merasa tidak, kurang layak melakukan sesuatu. Tetapi, saat kita tetap mencoba mau memberikan segenap hati, melakukan yang terbaik—atau setidaknya yang baik pun sudah berarti yang terbaik bagi kita—menjadi seperti man in the arena, itu adalah hal yang baik.

  
I want no more and no less than the best life God wants to give me!” 
—Joyce Meyer


November 11, 2015

Too

Do you feel …

Too busy to pray?
Too many things to do save to read?
Too many busyness to handle and can’t make time to write?
Too ashamed not to be perfect?
Too sinful not to do at least one good single thing to do each day?
Too fearful, too guilty to start or maintain prospective relationship?
Too many possessions to have that it feels like they own you already?
Too … (etc.)


Pray.
Read.
Make time. Anytime. Write.
Try.
Try.
Relate.
Do. Not.
One.




November 10, 2015

Udara

Udah pernah iseng nanyain harga oksigen? Kalo belum, kira-kira Rp25.000/liter.

Dan pernah nanyain harga nitrogen di apotek? Kalo belum, kira-kira Rp9.950/liter.

Tahukah bahwa dalam sehari manusia menghirup 2,880 liter oksigen & 11,376 liter nitrogen? Jadi, 2,880 x Rp25.000 = Rp72.000.000, 11,376 x Rp9.950 = Rp113.191.200.

Total biaya untuk bernapas 1 hari adalah Rp72.000.000 + Rp113.191.200 = Rp185.191.200.

Kalau sebulan, 30 x Rp185.191.200 = Rp5.555.736.000.

Kalau per satu tahun, 365 hari x Rp185.191.200 = Rp67.594.788.000.

185 juta rupiah per hari.

5,5 miliar rupiah per bulan.

Dan 67,5 miliar rupiah per tahun.

Tanyalah pada diri kita sendiri, sudah berapa lama kita hidup di bumi ini...? Dan berapa kita harus membayar oksigen yang udah kita hirup?

Orang yang paling kaya sekalipun tidak akan sanggup membiayai napas hidupnya. Ini baru dihitung dari biaya napas, belum biaya yang lainnya.

Marilah belajar bersyukur…

―oleh Timothy J. Daun & dr. Edy Tadius