January 29, 2014

Partai Jakarta


Sumber: bit.ly/1llkrVg

Terinspirasi dari dampak kemacetan akhir-akhir ini di Jakarta akibat banjir, hujan lebat tanpa rabat, dan lain sebab musabab, hence muncullah “Partai Jakarta”. Poin-poin partai ini sebagai berikut. 

  • Kalau Rakyat punya Hati Nurani, seharusnya mau saling mendahulukan pengendara lain di jalan, seperti yang biasa di Jepang. (Memang pernah ke Jepang? Belum sih.)
 
  • Sepertinya orang-orang perlu banyak hikmat waktu di jalan, ataupun kadang-kadang sangat butuh Amanat Nasional dari teman-teman mesti lewat mana supaya tidak terjebak macet. (Terima kasih, Lalu Lintas dan Polda Metro.)

  • Kalaupun masyarakat benar-benar bernas Demokrat, seharusnya mau mengalah juga kadang-kadang atau membiarkan sewaktu pengendara lain memakai jalur yang bukan lajurnya karena force majeure

  • Jika terjatuh atau terperosok ke lubang, jangan lupa untuk bangkit lagi mungkin dengan semangat Kebangkitan Bangsa ini. (Penting juga mungkin sesekali untuk latihan Kung fu supaya bisa antisipasi saat jatuh supaya tidak terlalu malu.)

  • Kadang win-win solution tidak bisa, tidak usah dipraktikkan kalau berkaitan dengan jalan. Yang penting mungkin ada Keadilan supaya semua orang Sejahtera

  • Kalau jenuh, suntuk, pasai, sumpek karena macet, waktu pagi jangan lupa lihat-lihat sekitaran atau pemandangan seperti matahari, awan, pepohonan. Jangan-jangan lupa kalau ada matahari, awan, pepohonan. Kalau malam, jangan lupa menikmati pemandangan di atas, Bulan dan Bintang

  • Semangat menembus macet, menerjang hujan itu mungkin aca(P) (DI)butuhkan banyak inisiatif dan Perjuangan

  • Beberapa Golongan tidak boleh memakai jalan raya asal-asalan atau seenaknya karena merasa memiliki posisi atau jabatan. (Angkat topi buat mobil-mobil CD Corps Diplomatic dan CC Corps Consular yang mau sabar terhadap sepak terjang orang-orang Indonesia di jalanan Jakarta.) Lebih baik pelan-pelan di jalan, supaya bisa membuat Karya di tempat kerja, selamat sampai rumah berjumpa dengan keluarga

  • Kalau semakin ada Persatuan di jalan atau di dalam tidak membuang sampah sembarangan, dan kota-kota besar mengurangi Pembangunan di mana-mana, mungkin banjir dan kemacetan akan berkurang, hence jalanan akan memanen kelancaran


January 28, 2014

Painful yet Beautiful



Sebuah pemandangan terpampang dari sebuah stasiun, stasiun Mangga Besar. Seorang bapak-bapak tua sedang terbaring, ibarat sekarat.

            Ingin saya awalnya mendekatinya, tetapi takut, dan merasa bersalah. Takut dikira ada motif-motif tersembunyi di balik tindakan yang akan saya lakukan. Akan tetapi, ya, saya hanya mencoba memotret pemandangan itu dari jauh. Tak berani berbuat lebih.

            Saat itu sebenarnya saya sedang mencari-cari objek foto untuk bahan Tugas Akhir kuliah saya. Saya yang mengambil mata kuliah Desain Komunikasi Visual (DKV). Saat berkeliling di sekitaran stasiun itu, orang-orang di sana mungkin mengira saya adalah wartawati. Dan mungkin mereka pun ada yang sepertinya meminta dipotret.

            Dan di sela-sela berjalan itulah, saya melihat seorang bapak-bapak tua tadi yang ternyata menderita lumpuh total. Beliau tinggal di stasiun itu bertahun-tahun.

            Saya tepiskan sejenak sekenanya rasa ketakutan saya. Mulai memberanikan diri untuk berbincang-bincang dengan beliau. Semacam wawancara. Wawancara yang akan berujung pada pihak saya: mata yang ingin menangis, menitikkan air mata. Tak saya tulis di atas barisan-barisan kertas, tapi telah tertulis di dasar hati, dan sekarang mengalir begitu saja. Pun masih teringat baik di benak saya. Sebuah perbincangan yang takkan saya lupakan.

            Sayangnya, saya lupa nama bapak itu—walaupun dulu telah meminta tahu namanya. Please forgive me for my bad memory.

            Tapi, saya mengingat harapan bapak itu. Harapan yang seolah-olah painful yet beautiful. Menyakitkan tetapi menenteramkan. Indah.

            Awalnya, saya penasaran. Mengapa bapak-bapak tua itu di sana, terbaring di lantai yang beralaskan kardus cokelat lapuk. Mungkin selebar 2,5 x 2 meter persegi. Lingkungan sekitarnya kotor. Berdebu. Bercuil-cuil sampah-sampah di sana-sini. Tetapi, tak demikian dengan bapak itu. Beliau cukup resik. Bersih. Memang beliau punya dan menyimpan banyak barang di “istananya”, tapi semua tertata rapi.

            Lalu, saya duduk dekat beliau dan mulai membuka percakapan.

“Halo, Pak. Saya Julie... Nama Bapak siapa…?”

(Saya lupa namanya).

Yang pasti, mendengar sambutan saya, atau setidaknya mengetahui masih ada seseorang yang menaruh peduli, perhatian padanya, bapak itu mulai menyimpul senyum. Ah, giginya. Pun rapi—serapi barang-barangnya yang beliau susun. Giginya bersih bak sungguh rajin sikat gigi. Hanya, ada satu hal saja yang kurang… Tercium bau. Ya, aroma dari mulut beliau bau. Namun, saya pun masih menetapkan diri untuk duduk di sebelahnya.

“Kenapa Adek ada di sini…? Lagi apa…?” bapak itu juga mulai bertanya.

“Saya lagi foto-foto buat tugas kuliah, Pak…”

“Maaf ya Dek, Bapak engga bisa ke mana-mana… Kaki Bapak nggak bisa bergerak…”

            “Oh ya, Pak…? Bapak … kenapa…?” menyopankan diri, saya bertanya.

            Ringkas cerita, beliau dulu adalah seorang tukang becak. Pada suatu hari, beliau ditabrak mobil. Bapak-bapak itu terjatuh. Beberapa waktu setelah tertabrak, beliau mengira tidak akan apa-apa. Tidak sakit. Jadi, hanya biarlah dipijit-pijit saja. Tetapi, ternyata, lama-kelamaan malah terdeteksi adanya kelumpuhan syaraf. Bapak itu lumpuh. Di kedua kakinya.

            Bapak itu sempat pulang ke kampung halamannya sebab musibah itu. Tetapi, setelah bercerita dan mungkin mencurahkan segala keluh kesah hatinya, alih-alih mau menampung maupun setidaknya turut mengobati, malah menolaknya karena akan merepotkan saja!

            Keluarganya di kampung hanya memberi si bapak-bapak tua makan nasi seadanya, dan bahkan tak segan menyuapi makanan basi. Setiap hari. Tiap hari supaya tidak betah.

            Alhasil dari respons keluarga kampung halamannya, bapak-bapak tua itu memantapkan hati dengan kesabarannya untuk merantau sekali lagi ke muara negeri ini, kota Jakarta. Dan di sanalah di salah satu sudut emperan stasiun Mangga Besar, Jakarta Pusat itu beliau menetap. Sebuah tempat yang beliau sebut sebagai rumah. Luas 2,5 x 2 meter persegi.

            Seiring saya mengingat wawancara saya dengan beliau ini, sepertinya sudah lebih dari lima tahun beliau mengaku telah bermukim di sana. Hingga usianya waktu itu sekitar 60 – 70an tahun.

            Lalu, tersembul pertanyaan yang membuat saya terenyuh.

            “Kenapa … Tuhan enggak panggil saya saja…?”

            Saya terdiam beberapa detik, lalu hanya sanggup memikirkan dan mengeluarkan kata-kata yang mungkin terdengar dangkal bagi beliau ataupun orang-orang yang pernah merasakan seperti yang bapak itu rasakan, “Karena … Tuhan mungkin masih punya rencana buat Bapak…

            Kata-kata yang mungkin juga menyalurkan harapan untuk bapak itu. Harapan, tetapi, yang painful yet beautiful. Terasa menyakitkan sekaligus menenteramkan, indah.

            “Rencana apa, Dek…? Saya nggak bisa apa-apa…” si bapak kembali bertanya.

            “Rencana … mungkin rencana … bisa, bisa ketemu saya hari ini. Dan saya senang hari ini bisa kenal Bapak… Saya sendiri engga tahu, Pak, tapi itu yang saya percaya…”

            “Tuhan bisa pakai semua orang, Pak,” saya melanjutkan.

            Beliau sepertinya cuma tersenyum. Senyuman harapan. Setidaknya mau tersenyum. Salah satu hal yang menurut saya ialah arti dari kesuksesan. Melihat orang tersenyum karena saya, atau sekadar mau tersenyum untuk saya.

            “Pak … apa yang paling sulit Bapak lakukan dengan hidup seperti ini…?”

            “Susah makan tidak, Pak…? Bapak cari makannya bagaimana…?”

            (Dan sejumlah pertanyaan yang mungkin mengelitkan, atau mengernyitkan hatinya).

            “Saya sudah biasa … puasa, Dek… Makan bukan masalah…”

            “Jadi … yang paling jadi masalah apa, Pak…?”

            “Maaf, Dek … yang paling susah buat saya adalah … buang air…”

            “Itu ... maaf,” bapak itu melanjutkan sambil menunjuk ke suatu arah, “Di sebelah kamu ada kaleng…”

            Tiba-tiba saya mencoba menahan napas karena tahu arah maksud bapak tadi.

            “Kalau ada yang baik,” si bapak meneruskan, “orang-orang di sekitar sini suka bantuin saya buangin, Dek...

            “Saya sendiri juga engga enak sebenernya kalau minta tolong terus dibuangin, Dek…”

            Saya yang ternyata juga terduduk bersebelahan dengan “WC” dadakan, mau merasa jijik, menunjukkan kejijikan, tetapi tidak mau. Atau sebenarnya tidak sempat karena lebih menaruh perhatian terhadap keadaan sengsaranya bapak itu. Saya lebih merasa speechless daripada merasa jijik.

            Memotong waktu, saya bertanya kepada bapak itu.

“Bapak … Bapak mau didoakan?”

“Mau…”

            Lalu, saya berdoa. Berdoa apa adanya, bukan dengan doa-doa sebatas kata-kata anak-anak remaja atau para penggila sosial media di media sosial.

            Sambil berdoa, saya pun memberanikan diri memegang kakinya.

            Tuhan, salahkah aku meminta mukjizat…?

Walaupun mungkin iman saya tak sebesar kota ini dan saya tak berharap terlalu banyak, serta merasa tak benar-benar punya iman sebenarnya, saya hanya bisa berdoa meminta kekuatan, bahkan mungkin kesembuhan untuk bapak itu.

Lalu, saya pergi. Pulang. Dan saya bersyukur dapat mengenal bapak itu.

Ketika sampai di rumah dan hampir tertidur, pikiran saya masih tertuju pada si bapak-bapak tua tadi.

Keesokannya, saya mengajak dua teman ke sana setelah menceritakan yang saya alami. Sebelumnya, saya berniat untuk membawa uang dan memberikannya nanti kepada si bapak, tetapi mama saya melarang karena takut kemungkinan dirampok di jalan, apalagi di stasiun di tengah ingar-bingar kehidupan Jakarta. Jadinya, saya hanya membawa sekaleng besar biskuit supaya bisa tahan lama dan dapat dinikmati si bapak berhari-hari. Juga, sebuah buku karya dari Max Lucado. Juga, segenggam buku tebal berupa Alkitab.

Di hari kedua itu, saya dan kedua teman saya datang ke sana. Ke salah satu sudut emperan stasiun di tempat bapak itu terbaring tak mampu berjalan.

Saat bertemu, si bapak sedang duduk waktu itu, dan ketika melihat saya datang lagi, muka beliau menjadi sangat ceria! Lalu, kami memberikan sekaleng biskuit, buku Max Lucado dan Alkitab itu kepada si bapak.

“Saya pikir si Adek engga bakal dateng-dateng lagi…” sambil tersenyum si bapak berujar. Lalu, juga berkenalan dengan dua teman saya, cowok dan cewek. Tak lama kami kala itu berkunjung di sana. Dan saya teringat si bapak mengatakan sesuatu.

“Makasih … ya Dek… Adek ingetin saya kemaren ... kalau Tuhan ada rencana buat saya... Saya bisa lebih merasa tenang sekarang…

“Makasih … saya juga udah lama ga baca Alkitab… Saya dulu orang Kristen, Dek... Mata saya sih sekarang sudah kurang bagus… tapi saya ada kaca pembesar, Adek…”

Ingin saya menangis. Di sana.

Tapi, saya merasa tak etis menangis di sana. Entah karena di hadapan teman-teman. Juga mungkin karena berpasang-pasang mata yang melihat-lihat.

Saya hanya bisa, dan memberanikan diri, untuk memeluk bapak-bapak tua itu. Harapan memeluk harapan. Keinginan menangis masih ada, keinginan untuk berkata-kata, memberikan kata-kata pengharapan juga masih ada, tetapi saya hanya bisa memberikan sejentik pelukan untuk bapak-bapak tua itu.

Lalu, saya dan kedua teman saya pun pulang…

            Sampai saat ini, saya tidak tahu lagi bagaimana keadaan, atau sekadar bagaimana si bapak itu… Hampir ingin selalu mampir lagi ke sana, tapi entah selalu juga belum bisa, atau tak menyempatkan diri. Mungkin lupa akan where there is a will, there is a way—there is time. Sampai sekarang.

            Dan setiap kali saya melewati stasiun Mangga Besar itu, saya cuma bisa berdoa, “Tuhan … semoga Engkau bersama dengannya saat ini, ya…

            Itulah perkenalan saya dengan seorang bapak-bapak tua yang lumpuh tadi. Di stasiun Mangga Besar. Waktu itu tahun 2008, dan kini telah enam tahun lamanya hingga 2014. Dan peristiwa pertemuan itu masih mengiang jelas di pikiran saya. Masih memberkas di hati. Painful yet beautiful.


by Juliana Putra


January 27, 2014

Bryce

Di Winfield, sebuah kota kecil di pinggiran Kansas, ada sebuah sekolah Little Builders untuk tempat anak-anak belajar dan dititipkan.

Di sekolah tersebut, ada seorang bernama Bryce, anak laki-laki yang berambut merah (orang-orang menyebutnya redhead atau si kepala merah) dengan bintik-bintik cokelat di mukanya. Bryce baru berusia empat tahun.

Sebenarnya, Bryce anak yang manis, tetapi dia lebih sering menjadi anak yang nakal. Sering kali Bryce membuat guru-guru di sekolah Little Builders marah. Padahal, Bryce ingin sekali menjadi anak yang manis, yang mendapat hadiah stiker ketika pulang sekolah. Sayangnya, Bryce sering kali tidak mendapat stiker karena dia sering tidak tidur siang dan tidak mau mendengarkan gurunya.

Pernah suatu ketika di bulan Juni yang sangat terik, Bryce harus dihukum duduk di “kursi nakal” karena dia melempar saus spageti ke muka temannya, si Ruby. Di “kursi nakal” yang bergambar jerapah tersebut, Bryce harus duduk diam dan merenungkan kesalahannya. Biasanya, dia harus duduk selama 5 menit, tetapi karena hari itu Bryce sangat nakal, dia harus duduk selama 15 menit. Bryce pun menangis karena dia tidak bisa bernyanyi bersama teman-teman dan Miss J, guru yang mengajarnya. Miss J kemudian meminta Bryce untuk tidak menangis dan tidak nakal lagi.

“Pinky promise!” seru Bryce ketika Miss J meminta Bryce berjanji tidak akan nakal lagi dan dia boleh duduk bersama teman-temannya.

Bryce langsung berlari ke karpet Circle Time, karpet yang berbentuk lingkaran dengan banyak gambar binatang. Anak-anak di sekolah Little Builders senang melihat gambar-gambar di karpet itu, dan mereka duduk berdasarkan binatang yang sudah ditentukan sesuai inisial nama mereka.

Bryce. Duduk di huruf B. Butterfly! Tetapi, Bryce tidak suka Butterfly! Tidak suka kupu-kupu. Bryce paling senang Dinosaur. Dinosaurus. Tetapi, tidak ada gambar dinosaurus di karpet itu. Miss J sering berpikir mungkin itu sebabnya Bryce tidak suka duduk lama-lama di karpet Circle Time. Miss J sering kali berharap bisa menggambar dinosaurus di karpet agar Bryce bisa diam 5 menit saja.

Sambil menghela napas melihat kelakuan Bryce yang iseng, Miss J akhirnya mengajak anak-anak untuk menyanyikan lagu Rock-A-Bye Your Bear sebelum tidur siang karena waktu sudah menunjukkan pukul satu.


Everybody clap,
(Clap! Clap! Clap! )
Everybody sing,
La la la la la!
Bow to your partner,
Then you turn around,
YIPEE!


Hands in the air,
Rock-a-bye your bear,
Bear's now asleep,
Shh! Shh! Shh!
Bear's now asleep,
Shh! Shh! Shh!


Ah, anak-anak Little Builders senang sekali menyanyikan lagu ini. Mereka menyanyikan lagu ini dua kali. Pertama, mereka diizinkan menyanyi dengan berteriak-teriak sesuka hati, tetapi yang kedua kalinya harus menyanyikannya berbisik-bisik. Berbisik-bisik sampai tidak ada yang bisa mendengar, sambil pelan-pelan berjinjit ke tempat untuk tidur. Bryce juga senang menyanyikan lagu ini, dan dia senang bisa berjinjit-jinjit ke tempat tidur.

Saat tidur siang, anak-anak mendengarkan lagu pengantar tidur yang dimainkan oleh Miss J. Lampu di ruangan pun dimatikan agar anak-anak bisa tidur nyenyak. Miss J mengusap kepala Ruby kecil agar ia bisa tidur. Ruby suka sekali merasakan tangan Miss J. Sambil memeluk Mr. Rabbit, boneka kesayangannya, Ruby berusaha menutup mata rapat-rapat.

Belum sepuluh menit, Ruby sudah tertidur, tetapi tiba-tiba Miss J mendengar suara kencang sekali dari tempat tidur Bryce! Miss J hanya menggeleng-geleng kepala. Bryce tidak pernah ingin tidur siang. Dia suka sekali membongkar-bongkar lemari yang ada di sebelahnya dan membaca buku bergambar bentuk-bentuk. Entah mengapa Bryce suka sekali melihat lingkaran, segitiga, dan kotak yang ada di buku itu.

Miss J jalan berjinjit ke arah tempat tidur Bryce. “BRYCE! Kamu sedang apa? Kenapa semua mainan di lemari ini ada di lantai? Ayo tidur!" 

Bryce pura-pura tidak mendengar Miss J. Miss J pun akhirnya marah sampai-sampai mukanya merah sekali. Ketika Miss J mengepalkan kedua tangan di pinggang, Bryce berkata:

"Miss!! ARE YOU A WITCH?!”

Miss J hampir tidak bisa menahan ketawanya, dan sekaligus bingung, mengapa Bryce berpikir Miss J adalah seorang nenek sihir. Miss J berkata, "IYA! Aku adalah nenek sihir yang berasal dari negeri sihir. Aku ke sini untuk datang melihat, siapa anak-anak yang nakal?? Miss  akan sulap mereka jadi kodok!!"

Tanpa disangka, Bryce mendengar perkataan Miss J dengan serius, dan tiba-tiba mengumpet di balik selimut bergambar dinosaurusnya. Miss J tersenyum dan mengintip di bawah selimut sambil berbisik serak, “Hei… apakah kamu anak nakal?" 

Dengan muka ketakutan, Bryce menggelengkan kepala dengan keras dan menjawab, "Tidak… aku bukan anak nakal… aku tidak mau jadi kodok, Miss…"

Miss J lalu tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, Bryce harus tidur siang, karena kamu sudah tidak tidur siang seminggu kemarin dan hanya mengganggu teman-teman. Apakah aku harus memanggil temanku si penyihir jahat agar kamu diubah menjadi kodok?"

Bryce lalu memasang muka serius sambil menatap Miss J tajam-tajam, "Jadi, Miss adalah penyihir baik?? Kalau gitu, Miss J temani Bryce tidur siang di sini ya? Di sampingku, supaya aku bisa tidur dan tidak jadi kodok. Jangan panggil penyihir jahat ya Miss, please…”

“Asal Bryce berjanji tidak nakal, Miss tidak akan memanggil si penyihir jahat."


"Pinky promise!"

Miss J lalu duduk di samping Bryce dan menyelimutinya. Bryce menarik Miss J dan menutup muka Miss J dengan selimut dinosaurus sambil berbisik, "Kita harus sembunyi di sini, Miss! Gimana kalau ada ular naga di luar sana?! Aku tidak mau mati atau jadi kodok hari ini!"

Lalu Miss J berkata, "Sepertinya Miss punya cara yang hebat untuk bisa lari dari ular naga dan penyihir jahat!"

"BAGAIMANA CARANYA?"

"Tutup matamu. Kita bisa menghilang ke dunia yang indah. Di sana tidak ada penyihir jahat atau naga!"

Lalu Bryce menutup mata kecilnya.

"HEI! Aku tidak bisa melihat Bryce!! Mana dia??! OH TIDAK! DIA HILANG!!" teriak Miss J.

Bryce lalu membuka mata.

"Miss! Aku di sini!"

"OH BRYCE…! Hampir saja jantung Miss copot. Kamu tiba-tiba menghilang!"

"Miss J, aku berhasil menghilang dari PENYIHIR JAHAT! Dan dari naga-naga!!"

Lalu Bryce menutup mata sekali lagi.

"OH TIDAK! Bryce hilang lagi!!” seru Miss J.

"Jangan berisik, Miss! Kalau Miss teriak-teriak terus, Bryce sulit konsentrasi dan memejamkan mata! Aku harus ke dunia yang indah itu, Miss!”

Lima belas menit kemudian Miss J melihat muka Bryce yang penuh kedamaian, tidur nyenyak dengan selimut bergambar dinosaurusnya. Miss J senang melihat Bryce bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya. Miss J kemudian mengusap kepala Bryce dan berkata, "Selamat tidur Bryce, mimpilah yang indah…"

(perhaps to be continued...)


—oleh seorang teman perempuan
yang rindu menjadi guru