June 29, 2011

Memilih untuk Miskin

Kita tidak bisa menghapuskan kemiskinan sepenuhnya, semuanya, walaupun kita mungkin bisa memeranginya (menguranginya) seperti yang dilakukan oleh Manny Pacquiao, karena kemiskinan adalah pilihan. Ada orang-orang yang memilih untuk miskin.

Kekayaan sejati adalah di dalam hati. Rumah yang besar adalah di dalam hati. Orang kaya yang masih merasa miskin adalah orang miskin. Orang kaya yang memilih untuk miskin karena suatu misi atau panggilan hidup, dan ia tidak merasa malu atau keberatan menjadi miskin, pun ia merasa kaya di dalam hati dan pikiran--dan memang demikian dengan adanya damai sejahtera, pengetahuan, kebaikan, serta lain-lainnya--ia adalah orang kaya.

Henry David Thoreau menulis: However, when I have thought to indulge myself in this respect, and lay their Heaven under an obligation by maintaining certain poor persons in all respects as comfortably as I maintain myself, and have even ventured so far as to make them the offer, they have one and all unhesitatingly preferred to remain poor.

Kupu-kupu

Biar kutanya padamu.

Apakah ada kupu-kupu yang tunanetra?

Sebab keindahannya dapat mencelikkan mata seseorang.

Apakah engkau pernah mendengar kupu-kupu tertawa?

Sebab sayapnya dan terbangnya dapat membuat sukacita.

To Henry David Thoreau

To Henry David Thoreau:

Who never married and that had no children.
We--and those who admire and extend your works--are your children.

Who never went to church,
but made me (us) go to church because of your words.

Who never drank wine,
but your words could become wines.

Who never ate flesh,
but you were equipped with most adapted and serviceable body, firmly built, with strong, serious blue eyes, strong hands.

Who never knew the use of tobacco,
and that I (we) agree with you on that.

I wonder...
who is like you, who never married and had no children,
but has so many children who admire and extend his works?

who never went to church,
but made us go to church because of his words

whom his words could become wines

whom equipped with most adapted and serviceable body, firmly built, with strong, serious blue eyes, strong hands

whom never knew the use of tobacco,
and that we agree with him.

A Brief Conversation

"Were You there, Lord...?"

"I was there. But, you didn't ask whether I was there..."

"Are You here, Lord...?"

"No, son, but you're not trying to seek My face..."

June 13, 2011

I Agree














Perhaps they were too fast, but the sticker on the car says: "Don't drive faster than your guardian angel can fly."

June 9, 2011

Peninju & Petulis

Dibaca atau tidak, itulah yang membedakan atau memberikan kemenangan bagi seorang penulis. Dibaca per paragraf, per kalimat, per kata, maupun hanya satu kata, ataupun terikat satu huruf saja--asalkan secara sungguh-sungguh--maka penulis telah memperoleh kemenangan.

Seperti halnya dalam pertandingan tinju yang ada perhitungan oleh juri terhadap jumlah pukulan dari para petinju. Seperti itulah para pembaca. Tinjuan-tinjuan yang terlihat, terhitung oleh sang juri. Pukulan-pukulan yang tajam, sungguh-sungguh, yang berarti. Pukulan ibarat guntur yang mengagetkan, menghentakkan isi dada.

Penulis sudah menang, atau setidaknya, ia berusaha, ingin menang. Pun tujuannya adalah merobohkan hati pembacanya. Mengubah pola pikir, paradigmanya--ataupun kalau ada kata baru, maka parahatinya. Menyentuh hatinya, jiwanya. Memasuki relung dirinya.

Apakah engkau mempermasalahkan huruf 't' dan 'n' di atas sana?

Pretending

Although sometimes pretending is useful...

Don't pretend to be humble. Be humble.
Don't pretend to be smart. Be smart.
Don't pretend to care. Do care.
Don't pretend to smile. Smile.
Don't pretend to be enthusiastic. Be enthusiastic!
Don't pretend to be sluggish. Be sluggish.
Don't pretend to work hard. Work hard!
Don't pretend to write. Write.

June 6, 2011

Pleasing Someone

Have you ever really pleased someone? Or, if the English language is inadequate to question, try then this one in Bahasa Indonesia: Pernah nggak sih kamu membahagiakan [kami, seseorang, keluargamu]?

Sedari masa kanak-kanak, masa kecilmu--mungkin hingga sekarang--apakah engkau pernah teringat, terngiang bahwa engkau pernah membahagiakan seseorang? Bukan membahagiakan yang meminta balasan, bukan pula membahagiakan yang sekadar dari materi atau kepuasan. Tetapi, cukup membahagiakan hati mereka--entah itu dengan hal-hal atau momen-momen kecil, ataupun dari peristiwa-peristiwa yang membanggakan.

Juga, proses maupun hasil membahagiakan itu sebaiknya bertahan, bahkan bertambah dan berkembang, terus ada.

Orang yang kaubahagiakan akan mungkin sejenak dapat terlepas, terbebaskan dari apa pun yang membebankan(-i), seberat apa pun itu. Mungkin ia (mereka) tak akan mengakuinya atau menyembunyikan senyum mungil sukacita di balik keketusan raut wajah. Tetapi, engkau telah membahagiakan mereka, apa pun buahnya, hasilnya. Benih kebahagiaan sudah ada di sana, dataran hati mereka.

Membahagiakan pun mungkin berisiko. Tetapi, tidaklah perlu berlayar atau berpikir terlalu jauh seperti itu. Membahagiakan, secara tulus, selalu ada di sana, di tempatmu berada.

Don't be Too Much

Soccer (football) player, don't be fatter than the ball, lest you can't after the ball.

Basketball player, don't be too much taller than the ring, lest the game is uninteresting and not challenging.



"Simplify in what is not necessary for your content."
--Henry Siedel Canby

Demo Diri Sendiri

Banyak orang mendemo orang-orang yang lainnya. Mereka mendemo para wakil rakyat yang ingin membangun gedung baru DPR-MPR RI. Tetapi, apakah mereka pernah mendemo diri mereka sendiri? Apakah mereka pernah mempunyai ambisi sebesar itu--membangun gedung baru yang tinggi dan megah? Apakah mereka pernah mempunyai hasrat, keberanian, dan kenyataan untuk memiliki setidak-tidaknya rumah sendiri?

Banyak orang mendemo orang-orang yang melakukan korupsi. Mereka mendemo pejabat-pejabat pemerintahan yang menerima suap, mengambil uang rakyat, serta korupsi. Tetapi, mereka sendiri tergoda untuk mengambil uang sisa kembalian Rp19.000,-. Mereka juga kerap telat. Mereka mengorupsi kejujuran dan keberanian. Mereka lepas ingatan bahwa berkhianat terhadap hal-hal besar pasti telah terlebih dulu selingkuh dari hal-hal kecil.

Semoga pribadi-pribadi yang mendemo orang-orang lainnya itu mau mendemo diri mereka sendiri terlebih dahulu. Tetapi, mungkin orang-orang yang didemo tersebut pun pernah melakukan seperti orang-orang yang mendemo itu. Lalu, mereka lupa ingatan. Mereka membiarkan diri didemo karena tiada lagi orang-orang atau hal-hal yang bisa mereka demo. Akhirnya, walaupun memang perlu pribadi-pribadi pendemo, orang-orang yang didemo tersebut dapat melakukan sesuatu yang besar--mendemo diri mereka sendiri.

Pensil, Jurnal, HP

Saat sedang berada di perpustakaan, seorang penulis memasuki sebuah toilet membawa dua pensil, dua jurnal, dan satu HP. Ia meletakkan barang-barangnya di wastafel, lalu menuju ke pispot. Di dalam toilet itu, ia bersama satu orang lain yang memakai kacamata, berbaju hijau bergaris, dan celana selutut.

Penulis tadi curiga terhadap orang itu dan khawatir ia akan mencuri barang-barangnya. Tetapi, penulis itu berpikir di dalam hatinya, tidak apa-apa kalau dia mengambil HP saya.

Penulis itu merasa tidak apa-apa bila HP-nya diambil, tetapi ia akan mengejar kalau orang itu mengambil dua pensil, apalagi dua jurnalnya. Ia merasa kedua pensil dan kedua jurnalnya lebih penting, lebih berharga ketimbang sebuah HP-nya itu.

June 5, 2011

5 Juni 2011

Ini bukan seperti dalam film. Tetapi, gambarannya masih terasa jelas di ingatan. Dan saya mungkin akan merasa bersalah bila tidak menuliskannya.

Pada pagi, hari ini, sekitar pukul 9.30, saat saya hendak pulang menuju ke rumah setelah membeli buku di pasar kaget Juanda, saya melihat ada sepeda motor biru (mungkin sejenis Mi*) tergeletak di sebelah kiri, dekat pembatas, jalur cepat jalan Margonda, Depok. Hampir di dekat terminal.

Saya kira hanya sepeda motor yang tergeletak. Spion sepertinya terlepas. Dan orang-orang berlalu-lalang, tidak ada yang berhenti. Ternyata, setelah saya hampir mendekati dan melewati motor ringsek itu, ada seseorang (bapak-bapak) bertopi, mungkin warna merah putih, menyeberang dari arah berlawanan menuju ke sepeda motor itu.

Ada *maaf* otak terburai. Darah merah menempel di permukaan tanah jalan raya.

Beberapa pengendara sepeda motor berhenti, ingin mengetahui apa yang telah dan tengah terjadi. Saya pun berhenti. Tetapi, kami semua berhenti agak jauh dari lokasi sepeda motor terjatuh. Mungkin karena kami takut dituduh sebagai pelaku yang menabrak atau menyebabkan korban itu jatuh, dan mungkin meninggal... Sepertinya--saya tidak berani melihat langsung--korbannya adalah seorang pemuda. Mungkin karena ia mengenakan helm yang tidak kuat sehingga *maaf* kepalanya hancur...

Bapak-bapak tua tadi berseru sambil mengarahkan telunjuknya ke arah depan di kejauhan, (saya harus menyensor) "Mobil P*rt*m*n*! Yang nabrak mobil P*rt*m*n*!" Pengemudi mobil yang baru datang lewat jalur lambat ikut berseru, memerintahkan, "Kejar!" Lalu, seorang pemuda pengendara motor, berlari ke motornya sendiri dan memburu mobil P*rt*m*n* yang memang sepertinya masih kelihatan agak jauh di depan, tetapi tidak mungkin tak terkejar. Tetapi, mungkin kami pun sebenarnya takut mengejar mobil P*rt*m*n* itu. Tidak mau ambil urusan, pusing, atau kepedulian. Apakah kepedulian kami cukup?

Sementara, jiwa anak muda itu melayang.

Saya terenyuh--jika memang ini kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan batin yang terhenyak (mual seperti campuran mabuk darat, mabuk laut, dan mabuk udara)--dalam hati, menangis dalam hati. Bahkan saya masih dapat merasakannya sekarang saat menuliskan ini.

Apa yang akan dilakukan oleh ibu anak muda itu, responsnya? Ke mana anak muda itu sebenarnya sebelumnya ingin pergi? Apakah hendak menemui teman-teman, atau apakah hendak pulang? Apa yang membuat anak muda itu pantas mendapatkan kecelakaan semacam itu? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah, dan beberapa pertanyaan lainnya, yang tebersit di dalam pikiran.

Angka penanda pada lampu merah, yang tidak jauh dari lokasi kejadian, saya lupa menunjukkan angka berapa, tapi berjalan mundur mungkin dari 14... lalu 4... hingga 1. Saya lupa karena masih terbayang tragisnya kejadian itu. Saya terhenti di situ. Sedangkan, untungnya, pemuda pengejar tadi telah jauh ke depan, mengejar mobil P*rt*m*n* yang masih kelihatan.

Di lampu merah itu, saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan, Tuhan Yesus, supaya jiwanya sampai kepada-Nya. Agar Ia menerimanya. Saya pun hanya bisa speaking in tongue, menguatkan diri saya. Ini bukanlah hal atau kejadian yang sering saya lihat pada kehidupan nyata. Ini adalah pertama atau kedua kalinya. Tetapi, mungkin saya--dan kita--perlu hal itu. Mengingatkan kita akan hari kematian. Betapa singkatnya hidup. Kita adalah tanah, terbuat dari debu tanah. Dibandingkan dengan galaksi dan alam semesta, kita tidak ada apa-apanya, betapa kecilnya kita. Saya merasa korban tadi adalah teman saya, saudara saya. Saya merasa bertanggung jawab. Setiap tatapan orang lain yang menatap mata saya terasa seperti tatapan mata Tuhan.

Saya merasa mendapat pertanyaan mendalam dalam hati saya, "Kapan kamu akan menjadi misionaris? Kapan kamu akan benar-benar peduli terhadap (jiwa-jiwa) orang-orang, yang mungkin terhilang? Kapan kamu akan benar-benar melakukan sesuatu yang baik?"

Sesaat saya akan melintasi dan sampai di Polres Depok yang ada di depan kantor Walikota, mobil tangki minyak P*rt*m*n* merah putih itu berhenti--atau lebih tepatnya, terhentikan. Saya melihat pemuda pemburu tadi sepertinya telah berhasil mencegat supir mobil P*rt*m*n*, dan paling aktif menjelaskan tragedi anak muda yang daging-daging *maaf* otaknya yang berharga sekali berceceran. Orang-orang pun berkerumun memastikan kepada seorang polisi bahwa benar ada korban kecelakaan, tapi pelaku penabraknya lari, kabur. Supir mobil truk P*rt*m*n* dan rekannya tak berkutik.

Saya, kami, bersyukur pelakunya sudah ditangkap dan akan ditahan. Dan semoga pihak yang bertanggung jawab akan memberikan ganti rugi--jika ini memang frasa yang tepat--kepada keluarga sang korban.

Akhirnya, saya--kami--pun melanjutkan perjalanan, kali ini mungkin dengan lebih hati-hati. Ditambah mungkin perasaan mual karena terenyuh tadi.

Setelah sampai di jalan Merdeka, saya masih memikirkan anak muda tadi, keluarganya, jiwanya. Saya pun, ternyata akhirnya memikirkan pelaku penabrak tadi. Pada satu sisi, dia memang bersalah dan ditangkap. Beruntung tidak diadili oleh massa. Tetapi, pada sisi lain, buah hasilnya saya juga berpikir, Bagaimana dengan keluarga supir itu sendiri? Bagaimana dengan anak atau anak-anaknya? Bagaimana jika dia harus dipenjara dan meninggalkan keluarganya, siapa yang akan menghidupi mereka?

Apakah supir tadi sadar atau tidak menyadari saat menabrak atau memepet, atau melindas pemuda korban tadi...? Ataukah ia memang sengaja tabrak lari? Semoga saksi-saksi mata yang melihat jelas dapat memberikan penjelasan, keterangan, kesaksian yang sebenarnya.

Kedua orang tadi mungkin sama-sama bisa dikatakan sebagai korban. Tetapi, anak muda tadi sebagai yang lebih parah.

Apa yang membuat kedua pribadi, jiwa, tadi layak (mungkin ini bukan kata yang tepat) mengalami kejadian itu...? Saya tidak tahu. Mungkin ada orang yang kembali ke pertanyaan mendasar: Di mana Tuhan saat kejadian itu... (atau sebelumnya)? Saya hanya mengetahui bahwa kita memiliki pilihan dalam hidup, dan semoga kita sebaiknya memilih melakukan hal yang benar. Pikiran pun adalah hasil pilihan. Jika ada orang yang mengatakan bahwa kita boleh-boleh saja berdosa, tetapi berdosa secara mulia, seperti kata Robertson Davies, "Live in the large! Avoid sin if you can, but if you must sin, then sin nobly!" Itu terserah dia. Dan semoga...

Semoga kiranya Tuhan melindungi kita.

Semoga kita mendapatkan kematian yang mulia.

Semoga apa pun yang kita alami, jiwa kita diterima, dipangku oleh-Nya.

Semoga kita sungguh-sungguh peduli.

Semoga kita melakukan sesuatu yang benar.

Kulit dan Sentuhan

Betapa elastis kulitmu.
Seiring tahun merangkak, berjalan, dan berlalu,
daging dan tulang dan sendi-sendi
memaksa kulitmu untuk terus berkembang.

Janganlah bosan akan sentuhan, dengan kulitmu.
Seolah-olah tiap sentuhan
adalah yang pertama kalinya,
di dalam kehidupanmu.

Bahkan, setiap hari engkau menyentuh bumi
melalui jejak-jejak kakimu.
Bahkan, setiap pagi, udara sejuk
menyapa rongga napas, menyentuh kulitmu.

Cuma Baca

Suatu hari, penulis David Foster Wallace ditanyai oleh seorang temannya, "Bagaimana caranya kamu menjadi begitu pintar?"1

David Foster Wallace menjawab, "Saya cuma membaca."

Saya heran, bukan tentang anekdot singkat di atas tadi, melainkan tentang penulis Henry David Thoreau yang mungkin tidak pernah pergi keluar negeri, tetapi tulisan-tulisannya bisa ke luar negeri. (Mirip dengan pengalaman penulis Stephen King--menurut penulis dan sahabat saya, Julius Fernando--yang mungkin dulu tak pernah keluar negeri dan hanya membuat setting novel-novelnya di kota Maine.)

Ia, Henry David Thoreau, pun sepertinya sangat pintar. Kabarnya, ia sering ke perpustakaan dan meminjam segudang buku. Jadi, saya percaya, seperti halnya Wallace, Thoreau pun cuma membaca.

Jadi, kalau ketiga contoh penulis itu saja, hanya dengan membaca bisa begitu pintar, kita pun tentu dapat menjadi seperti mereka.

Penulis wanita pula, Laura Hillenbrand, yang mungkin tidak akan pernah bisa beranjak keluar negeri, selain keluar kamar dan rumahnya, karena penyakit Chronic Fatigue Syndrome (CFS) yang dideritanya, tetapi tulisan-tulisan melalui buku-bukunya, saya percaya, mampu menembus negeri-negeri. Monica Hesse menulis tentang dia:
"Before she got sick, she loved to travel. Now, when she is well enough, her favorite thing is to drive down to Reagan National Airport and sit in view of the runway. She loves the big openness of the runway, and the fact that she can see very far away.
"It's a gateaway to another world."2 

(Referensi:
1. http://sethgodin.typepad.com/seths_blog/2011/05/the-hard-part-one-of-them.html
2. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/11/28/AR2010112803533.html)

Senyata Rayuan Tulisan Purbakala

Mira bertanya kepada Agni, "Seharusnya, seberapa nyata, sih, tulisan kita itu?"

Lalu, Agni berkata, "Sini, coba berikan tangan kananmu..."

Kemudian, Agni menghisap sayap tangan Mira, menggigitnya hingga berdarah, dan Mira menjerit kesakitan kecil.

Akan tetapi, alih-alih meminta menghentikan gigitan, Mira malah menikmati kenyataan itu, membiarkan Agni menggigit sayap tangan kanannya, di antara ibu jari dan telunjuknya tersebut.

Agni berkata, "Seharusnya, seperti itulah nyatanya tulisan kita, Mira."

Within A Humility

I digested these types of knowledge
with a humility in mind,
to feed my soul,
and mostly to cheer up my heart,
in which
I owe and will repay
onto others' mind,
heart and soul.

My dedication in learning
is to dwell in, to measure
my humility.

Above all else,
I owed to the Lord, my God,
and that I am asking Him
to guard and guide my paths
as I continue to walk in this life,
after I learned of these subjects,
and will do still, keep learning,
and He is my Source
of everything.

Amen.

June 4, 2011

Dialah Sastra

Penulis, jika kecintaanmu pada sastra adalah setengah-setengah, mungkin cintamu kepada Tuhan juga setengah-setengah. Padahal, jika engkau suam-suam kuku (setengah-setengah), Ia--Penulis kehidupanmu--menurut Wahyu 3:16, akan memuntahkanmu (bukan seperti Yohanes 3:16 yang: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia [umat manusia] ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal). Saya tidak tahu bagaimana dengan sastra akan memperlakukanmu.

Anehnya, jika cintamu kepada-Nya total, kecintaanmu pada sastra akan total pula. Tetapi, Dialah segalanya, Yang utama, dan mencakup segalanya. Dialah Sastra dengan S besar.

Saya merasa beruntung dulu, ketika kuliah, mengambil--a.k.a. mendapat anugerah--jurusan Sastra. Nah, bukannya saya mengecilkan arti linguistik--saya suka linguistik, tata bahasa, etc. Linguistik adalah seumpama mencintai Dia dengan segenap logika, pikiran, akal budi kita (Lih. Lukas 10:27). Sastra ialah seumpama mengasihi-Nya dengan segenap hati kita, perasaan penuh, serta emosi kita.