April 24, 2015

Layak

Beberapa di antara kita mungkin merasa
tak layak
tak layak untuk hidup
tak layak untuk bekerja
tak layak untuk menerima apa pun

Tapi
ada, yang masih untuk kita, satu hal layak
layak mengasihi

Dan lagi
layak bersemangat
layak berharap
layak berjuang

Ya

layak untuk berjuang
layak untuk berjuang
layak untuk berjuang


April 21, 2015

Sampah?

Seorang abang, Ronald Politton pernah mem-posting pada akun Facebook-nya, yaitu gambar sebuah jalan di Jepang dengan status seperti ini:

Heran.. sepanjang jalan ngga ada tempat sampah tapi jalanan bersih banget.

Berikut pencerahannya.

 


Ada beberapa respons dari sejumlah teman. Lalu, saya pun ikut merespons:

Itulah Jepang bang. Wkt ada temen yg ke sini aja, waktu sy mau buang bungkus permen di dalam angkot, dimarahi! Disuruh masukin ke kantong ato tas aja.

Mgk krn Jepang ‘lahannya’ kecil kli y bang jd ngerasa ngehargai. Sdg, Indonesia ngerasa lahannya terlalu luas, jd buang sampah smbrgn.

Salut buat org2 Jepang yg bhkn buang bungkus permen pun ke tas ato saku dulu. Yg aneh, n kdg bikin kesel , kalo srg lht mobil mewah d Jakarta yg ngelempar sampah k luar dr jendela mobilnya. Terasa itu bukan mobil mewah, tp ‘mobil sampah’ ato mobilny tukang sampah.

Teman saya yang dari Jepang waktu itu bernama Junko.

Sedikit saja yang ingin saya tekankan, tentang lahan kecil Jepang, sehingga mungkin itu menjadi salah satu faktor orang-orang Jepang mau menjaga kebersihan lingkungan atau alam mereka. Lalu, mencoba mengaitkannya dengan kehidupan.

Walau memang tak mesti segala sesuatu bisa serta-merta kita kait-kaitkan ataupun analogikan dengan hal lain, mungkin ada kebenaran ataupun sesuatu yang bisa kita aplikasikan.

Ya, kembali ke topik. Karena negara Jepang termasuk lumayan kecil, sekitar 377.944 km2, mungkin warganya mau menjaga alamnya. Tak membuang sampah sembarangan. Meski nothing is really what it seems sih, sesuatu bisa dipelajari.

Sedangkan, luas Indonesia sekitar 1.904.569 km2 sehingga ada kemungkinan juga untuk penduduknya—meski tak semua—merasa bisa sekenanya saja mempedulikan lingkungan, alamnya karena terlalu besar, bukan?

Merasa alam tergolong besar, pulau terlampau banyak, tanah terlalu luas, jadi seenak-enaknya saja. Ambil gampang. Tenang. Tak seperti orang-orang Jepang.

Kalau boleh mengaitkan, menganalogikannya dengan kehidupan ini, mungkin sama saja. Kita orang-orang Indonesia. Taruhlah contohnya, kita merasa … 
  • gaji besar
  • teman masih banyak
  • umur masih panjang
  • pekerjaan, kantor besar
  • dan lain-lain yang membuat merasa bisa tenang-tenang saja, nyaman, tak mempedulikan 
Lalu, kita menyalahgunakannya. Melakukan sesuatu dengan sewenang-wenang. Sampai akhirnya sesuatu yang kita abuse atau salah gunakan itu mulai tak seperti itu lagi dan membuat kita merasa kehilangan besar. Mungkin sebesar, atau bahkan lebih besar daripada, sesuatu ataupun hal-hal yang besar-besar, panjang, dan banyak tadi.

Padahal, sebenarnya kita bisa saja menghargai apa saja yang kita miliki itu—baik besar maupun kecil. Tanpa menyalahgunakan. Mencoba seperti orang Jepang yang menghargai lingkungan, alam.

Kalau semua yang berharga itu memang sampah, mungkin bolehlah kita perlakukan bak sampah, salah gunakan. Tapi, lagipula, bukankah tidak semua sampah pun disalahgunakan?


April 20, 2015

Buta di Belakang, Tahu di Depan

Saya membaca ulasan singkat dari Linda Yezak tentang isi cerpen The Boy Who Smelled Colors oleh H. Lee Barnes.

Di paragraf-paragraf awal, penulisnya memperkenalkan kedua tokoh, Julian dan Christopher yang berpetualang di sebuah gurun pasir di Arizona. Christopher sebagai tokoh utama dengan sudut pandang pertama (POV), sedangkan Julian adalah saudaranya.

Christopher menghaturkan bahwa Julian menghadap ke cakrawala yang membentang di depannya, seolah ingin merasakan desiran angin dari berbagai penjuru.

Kemudian, pada paragraf-paragraf selanjutnya, cerpen tersebut berisi dialog antarkedua karakter tersebut seperti tentang cuaca panas ataupun hawa hangat. Sampai pada dialog berikut ini, barulah jelas tentang keadaan Julian yang sebenarnya:

“This way.” Christopher aims Julian toward the trailhead and takes his forearm in hand. “Careful. There’s rock ahead.” (terj. bebas: “Lewat sini.” Christopher mengarahkan Julian sambil memegang lengannya. “Hati-hati. Ada batu di depan.”)

Menurut Linda Yezak, penulis cerpen tersebut menguraikan sebanyak tujuh paragraf yang berisi narasi serta sejumlah dialog sebelum akhirnya pembaca dapat mengetahui bahwa Julian itu tunanetra. Bahkan, terdapat delapan paragraf lagi sebelum akhirnya penulis memasukkan kata buta.

Lagi, menurut Linda, sebenarnya bisa saja H. Lee Barnes memulai cerita langsung dengan menjelaskan bahwa Julian itu buta. Dan Christopher sedang bersamanya, membimbingnya melintasi gurun pasir. Tapi, kalau seperti itu, karena para pembaca sudah mengetahui di awal, kemungkinan alur ceritanya mudah ditebak. Tak terlalu menarik. (Mungkin ada perbedaan besar antara cerita yang mudah diikuti atau dinikmati dengan yang mudah ditebak, ya?)

Begitu juga mungkin halnya dengan kehidupan.

Kalau kita sudah tahu banyak yang akan terjadi di depan, mungkin rasanya kehidupan ini takkan terlalu menarik. Atau, mungkinkah karena kita haus kontrol sehingga kalau bisa, kita harus dapat mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi supaya kita tidak terlalu panik, kewalahan? Ataukah, sebenarnya kita sekadar takut?

Membuat perencanaan boleh-boleh saja. Dan perlu. Sebab kalau kita sudah tak punya rencana apa-apa, kita perlu bertanya-tanya, ke mana sebenarnya tujuan kita? Tapi, kita tak dapat selalu mengetahui apa saja yang akan terjadi di depan. Tapi, kita tahu kepada Siapa kita sebaiknya berharap.


Maybe the reason for this mystery is so that we will turn to him. After all, what do we need the Lord for if we already know what will happen?
—Rick J. Pritikin

Image from here














April 16, 2015

Siap

Seorang yang DEKAT dengan Tuhan bukan berarti tidak ada AIR MATA

Seorang yang TAAT pada Tuhan bukan berarti tidak ada KEKURANGAN

Seorang yang TEKUN berdoa bukan berarti tidak ada masa-masa SULIT
tapi, orang tersebut akan selalu mengalami PENYERTAAN-Nya

Seandainya BERGUMUL, pasti ada HARAPAN

Seandainya di padang gurun, pasti DIPELIHARA

Seandainya masih dalam PROSES, suatu saat pasti DIPROMOSIKAN
biarlah TUHAN yang berdaulat sepenuhnya atas hidup kita karena Tuhan TAHU waktu yang TEPAT untuk memberikan yang TERBAIK

Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kamu sedang belajar KETULUSAN

Ketika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kamu sedang belajar KEIKHLASAN

Ketika hatimu terluka sangat dalam, maka saat itu kamu sedang belajar MEMAAFKAN

Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar KESUNGGUHAN

Ketika kamu merasa sepi dan sendiri, maka saat itu kamu sedang belajar KETANGGUHAN

Ketika kamu harus membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kautanggung, maka saat itu kamu sedang belajar KEMURAHHATIAN

Karena kamu sedang menimba ilmu di universitas KEHIDUPAN

TUHAN menaruhmu di tempatmu yang sekarang bukan karena kebetulan

Orang yang HEBAT tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan

Mereka dibentuk melalui KESUKARAN, AIRMATA, dan TANTANGAN

Ketika engkau mengalami sesuatu yang sangat berat dan merasa sendiri di dalam hidup ini, angkatlah tangan dan kepalamu ke atas...

Tataplah masa depan...

Ketahuilah, TUHAN sedang mempersiapkanmu.


—Elvrina Sri Reva Sihaloho


April 10, 2015

I'm A Writer

Bukan ingin narsis.

Hanya ingin berbagi tentang hidup menjadi penulis.

Sebelumnya, izinkan saya membagikan sepenggal tulisan yang pernah saya buat di campuran. Maaf kalau terkesan agak kekanak-kanakan, ya. Boleh di-skip, boleh dibaca juga.

***

Untuk Penjunan

"Apa yang menguji kata-katamu? Apa yang membuktikan tulisan-tulisanmu? Tindakanmu!"
—Myiva Chara Yefa

Franisz. Kenapa ingin mengenalnya? Ia penulis. Namun, saat ini ia editor. Ia tidak pernah menyangka akan menjadi editor. Mulanya, ia hanya senang membaca buku dan sering ke perpustakaan. Saat ia menemukan banyak kesalahan dalam buku, ia mulai berpikir ingin menjadi editor. Namun, ia berjiwa penulis. Ia berpikir menjadi editor mudah dan tugas editor itu mudah. Namun, saat ia menjadi editor, ternyata banyak hal yang harus dipelajari. Banyak editor yang mengaku bahwa mereka tidak menyangka menjadi editor.

Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 80% editor tidak secara langsung memiliki keinginan, rencana, atau cita-cita menjadi editor. Hanya sedikit orang yang benar-benar mempersiapkan diri masuk dalam dunia penerbitan. Jika mereka benar-benar mempersiapkan diri, mereka akan sukses. Editor adalah jembatan antara penulis dan pembaca. Jika editor saja tidak mengerti inti pesan penulis, pembaca juga tidak mengerti.

Ada orang yang berkata, “Editor adalah penulis yang gagal. Penulis adalah editor yang gagal.” Franisz tidak setuju terhadap keyakinan atau pendapat itu. Franisz percaya bahwa ia sedang dipersiapkan untuk menjadi penulis yang baik. Ia percaya bahwa menjadi editor adalah baik untuk maupun sebelum menjadi penulis. Namun, ada perbedaan kapasitas antara editor dan penulis. Editor tidak sama dengan penulis, demikian pula sebaliknya. Namun, kedua profesi itu mempunyai jalan yang baik untuk mengantarkan ke masing-masing profesi. Akan tetapi, editor memberikan jalan terbaik untuk menjadi penulis. Mengapa? Karena penulis yang baik belum tentu editor, tetapi editor yang baik pasti tahu cara menulis yang baik.

Marcia Yudkin memiliki istilah “the editor/writer revolving door”. Dia berkata, “Jika Anda ingin membangun karier sebagai penulis, pekerjaan sebagai editor bisa memberikan jalan yang berharga selagi Anda mengembangkan karier Anda.” Dia memberi contoh beberapa orang yang menjadi penulis berhasil setelah menjadi editor: Jonathan Harr, penulis buku A Civil Action sebelumnya adalah editor pada koran The Valley Advocate. Penulis buku Emotional Intelligence, Dan Goleman, sebelumnya adalah editor untuk Psychology Today. Thulani Davis, penulis novel Maker of Saints adalah editor untuk The Village Voice. Masih banyak lagi contoh lainnya.

Inilah yang membuat Franisz percaya bahwa menjadi editor memberikan jalan yang baik baginya untuk menjadi penulis yang baik. Editor majalah American Baby dan penulis freelancer, Anne Winthrop berkata, “Saya tahu tulisan yang baik atau buruk. Jadi, saya tahu tulisan yang seharusnya dikirim atau tidak kepada editor.”

Franisz juga mempunyai penulis idola. Ia merasa dan menganggap penulis itu sebagai mentornya. Seperti halnya mentor Jim Collins dan Rick Warren adalah Peter F. Drucker, dan mentor Oprah Winfrey adalah Maya Angelou, Franisz pun ingin mempunyai mentor. Penulis idola dan mentor Franisz adalah Xavier Quentin Pranata. Ia memang belum pernah bertemu dengan idolanya tersebut. Namun, ia ingin bertemu dengannya dan menjadikan beliau sebagai mentor. Ia mengenal nama Xavier Quentin Pranata karena terpesona dengan nama tersebut.

Lambat laun, ia pun terpesona dengan tulisan-tulisan orang yang dianggap sebagai mentornya itu. Xavier Q. Pranata telah menulis beberapa buku, seperti Menulis Dengan Cinta dan Melayani Dia Melalui Pena. Ia menulis dengan hati. Franisz ingin seperti dirinya.

Ada orang-orang yang pandai bicara. Ada orang-orang yang pandai menulis. Namun, orang-orang yang pandai menulis belum tentu pandai bicara. Begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, bisa juga orang-orang pandai bicara dan menulis. Adapun kadang orang-orang lebih terdengar enak bicara melalui tulisan. Orang-orang berkata bahwa menulis itu gampang. Franisz tidak setuju, di satu sisi, terhadap pendapat itu. Ya, memang menulis itu mudah. Namun, menulis dengan baik itu susah. Apalagi menulis dengan hati—ini lebih susah. Mampu menulis dengan hatilah yang membuat menulis itu mudah.

Jadi, awalnya menulis itu susah. Bila ada pemain drum besar seperti Mike Portnoy, dan pendaki gunung besar seperti Edmund Hillary, tentu juga ada penulis besar. Pasti mereka tidak bisa melakukan sesuatu dengan biasa-biasa saja. David Rosenthal berkata, “Semua orang cenderung menganggap bahwa pekerjaan menulis dan membuat buku itu sebagai sesuatu yang mudah. Kalau Anda berada di sebuah pesta, akan ada saja seseorang—entah tukang pipa atau tukang binatu—yang datang kepada Anda dan berkata, 'Saya mempunyai kisah hidup yang menarik. Saya mau menuliskannya menjadi sebuah buku...' Hal yang sama tidak pernah Anda dengar dalam kaitan dengan keahlian bedah otak atau pendakian gunung. Anda tidak pernah mendengar seseorang berkata, 'Wah, operasi otak itu luar biasa. Saya juga mau mengoperasi otak,' atau 'Wah, pengalaman mendaki Gunung Everest itu sangat luar biasa. Saya juga mau mendaki Gunung Everest.'”

Menulis membutuhkan kerja keras, kemauan, dan waktu. Menulis itu, meminjam kata-kata iklan sepatu terkenal, just do it (cukup lakukan saja).

Nah, menulis itu awalnya susah. Namun, menulis dengan hati membuatnya mudah. Xavier Q. Pranata menulis dengan hati. Inilah yang membuat Franisz ingin menjadi seperti dirinya. Menulis dengan hati akan membuat ide-ide mengalir. Menulis dengan hati tidak akan merasa takut marah atau dimarahi. Marah terhadap dunia dan dimarahi oleh orang-orang. Menulis dengan hati akan membuat nothing to lose. Akan tetapi, menulis dengan hati membutuhkan kejujuran. Menulis tanpa hati ibarat menulis bon atau kuintansi pembelian voucher pulsa HP, dan hanya dunia film yang membutuhkan akting.

Jadi, menulis itu dengan hati dan penulis harus jujur. Namun, apakah semudah itu? Apakah penulis harus jujur—dalam tulisan-tulisannya dan kehidupannya sehari-hari? Judy Reeves berujar, “Segala hal menulis itu berisiko. Risiko untuk membuka diri. Risiko untuk jujur.” Semakin tinggi risikonya, semakin tinggi 'bayarannya'. Bukankah bahkan love is spelled r, i, s, k (risiko)? Tanpa risiko, tidak akan kehilangan apa pun, tetapi juga tidak mendapatkan apa pun. Seseorang kadang harus percaya dan membuat terobosan dalam hidupnya.

Lebih baik orang gila yang hidup daripada orang hidup tanpa melakukan apa-apa. Lebih baik dalam gelap tapi berbuat banyak daripada dalam terang tapi tidak berbuat apa-apa. Jujurlah kepada kertas. Tidak jujur kepada kertas membuat resah hati. Franisz merasa bahwa jika ia sanggup jujur dalam kehidupannya sehari-hari, ia akan sanggup jujur dalam tulisannya. Hati lembut akan membuat menulis mudah. Namun, bagaimana ia bisa jujur bila memendam dosa?

Salah satu penyebab tidak ada produktivitas dalam menulis, selain waktu, adalah dosa. Jika Franisz mau produktif dalam menulis, ia harus berhenti berbuat dosa. Walaupun dosa 'bisa' membawa kepada pertobatan, dosa akan menyendat produktivitas. Sekalipun bisa saja tetap menulis selagi berdosa, hati tidak akan ikut menulis. “Anda bisa saja lebih berfokus kepada produktivitas,” demikian kata Miriam Adeney, “daripada kekudusan.”

Bill Crowder berkata, “Kita bisa saja mempunyai segunung pengetahuan tentang isi Alkitab tanpa mengerti esensinya. Kita bisa saja memiliki Roh Kudus dalam diri kita tanpa membawa orang-orang mengenal-Nya. Kita bisa saja menghakimi orang-orang tanpa mengerti bahwa tanpa kasih, kita sama saja dengan mereka.” Bila Franisz mau berhenti berbuat dosa, ia akan bisa jujur. Namun, ini tidak mudah. Bila ia bisa jujur, ia akan menulis dengan hati. Menulis dengan jujur akan membuat hati lembut. Jujur dalam hidup akan membuat hati lembut.

Contoh ujian kejujuran dalam menulis adalah saat menulis jurnal seks. Joan Mazza berkata, “Banyak orang yang menulis jurnal harian belum pernah menulis tentang masa lalu, kecenderungan, keinginan, dan pergumulan mereka dalam kehidupan seks. Dengan menuliskan dan menjabarkannya dalam tulisan, mereka akan lebih mengerti diri mereka dan menjelaskan pikiran-pikiran atau perasaan mereka dalam seks.” Menulis tentang seks membutuhkan kejujuran besar. Tanpa ditutup-tutupi. Cobalah! Bukan untuk mengumbar seks, seperti mengumbar uang, melainkan jujur tentang kehidupan dalam seks. Lembaga Alcoholic Anonymous membisikkan moto di setiap pertemuan mereka: “To thine own self be true” (Jujurlah kepada dirimu sendiri).

Satu hal lain yang penting dalam menulis, selain menulis dengan hati, adalah voice (suara, panggilan, visi, gaya, dan lain-lain). Franisz ingin memilikinya, karena ia merasa belum memilikinya. Apa visi dalam menulis? Dipanggil untuk menulis apa? Seperti halnya setiap pemain drum profesional mempunyai gaya atau voice, setiap penulis juga harus memilikinya. Voice akan melepaskan diri dari aturan-aturan atau rumusan-rumusan dalam menulis. Bukan untuk menghilangkan aturan atau rumusan itu, melainkan untuk bermain dalam aturan atau rumusan itu.

Sama saja seperti inti cerita dalam film Patch Adams. Film ini menceritakan dobrakan terhadap kekakuan dan peraturan rumah sakit. Orang-orang dianggap tidak berharga. Nama-nama pasien dipanggil dengan sebutan angka. Namun, Hunter “Patch” Adams mendobrak semua itu. Ia mendirikan RS Gesundheit yang ceria, menerima semua orang, ramah, dan yang terpenting menghargai orang-orang dan memanggil pasien dengan sebutan nama mereka. Meskipun ia kehilangan orang yang dikasihinya, Adams telah membuat terobosan besar dalam kedokteran. Ia melakukannya karena menemukan voice-nya. Jika Franisz menemukan voice-nya (visi, suara, gaya, panggilan, dan lain-lain) dalam menulis, ia tidak akan terpaku rumusan-rumusan.

Maya Angelou berkata, “Kata-kata memiliki arti lebih daripada sekadar tulisan di atas kertas. Dibutuhkan suara manusia untuk menghidupkan kata-kata itu dengan arti yang lebih dalam.” Bagaimana caranya menemukan voice? Untunglah Franisz memperoleh empat cara dari blog-nya Stephen Covey:

1.      Kenali bakat (tapping into your talent)
2.      Kenali kesukaan (fueling your passion)
3.      Kenali beban (being burdened with a need)
4.      Penuhi panggilan (meeting the need)

Jika Franisz telah menemukan suaranya, ia tidak akan sekadar menulis (memberi tahu), tetapi menunjukkan (menyuarakan) pesan kepada pembaca. Para pemain drum profesional sudah tahu bila diberitahu tentang Mike Portnoy. Para ahli psikologi sudah tahu bila diberi tahu tentang Viktor Emil Frankl atau Dr. Gordon W. Allport. Percuma bila memberi tahu mereka. Kesannya akan beda bila menunjukkan Mike Portnoy atau Viktor E. Frankl kepada mereka. Demikian pula dalam menulis tidak bisa sekadar memberi tahu, tetapi harus menunjukkan kepada pembaca.

Contoh tulisan yang sanggup menunjukkan pesan adalah tulisan-tulisan dari Bondan Winarno. Ia pernah menuliskan Kidu, Si Ulat Enau. Dalam tulisannya itu, orang yang gemar berkata mak nyuss ini mampu menghadirkan rasa makanan ke dalam tulisan! Jika Franisz sudah menemukan suaranya, ia akan sanggup memberikan jawaban kepada pembaca. Mengapa? Karena orang-orang akan bertanya dalam hati, untuk apa aku mendengarkanmu? Dengarkanlah Franisz. Mengapa? Karena ia mengalami tulisannya. Orang-orang akan mendengarkan bila ada:

1.      Keterbukaan atau kejujuran
2.      Pengalaman keberhasilan
3.      Pengalaman penderitaan
4.      Kebutuhan yang sesuai
5.      Hubungan dekat
6.      Kerendah-hatian
7.      Pengetahuan
8.      Kemampuan
9.      Integritas
10.  Keberanian

Hal terpenting dari sepuluh hal itu adalah yang nomor sepuluh. Sedangkan, hal yang paling penting di atas semua hal itu adalah kepercayaan. Apa yang Franisz percaya? Bukan apa yang dimiliki, diketahui, dan lain-lain, melainkan apa yang dipercayai? Dengan kepercayaan, sepuluh hal itu dapat dicapai dan teratasi. Apatah artinya memiliki pengetahuan tanpa percaya? Apatah arti kemampuan tanpa percaya sanggup melakukannya? Franisz ingin percaya—sekali dalam hidupnya.

Joan d'Arc berkata bahwa yang lebih buruk daripada mati muda adalah hidup tanpa percaya. Orang-orang akan membaca tulisan dan mendengarkan Franisz kalau ia percaya. Sekali dalam hidupnya, ia ingin percaya. Sepuluh kali lebih baik. Berkali-kali lebih baik, apalagi setiap hari. Jika seseorang tidak percaya kepada tulisan dan voice-nya sendiri, orang lain tidak akan percaya atau mendengarkannya.

Franisz cinta menulis karena terbiasa. Ia ingat rasanya seperti masa SMP. Setiap hari di ruang kelas yang sama bersama gadisnya yang berparas cantik. Suasana yang dingin dan suara angin pohon-pohon rindang yang hijau di luar kelas, menambah dalam suasana hatinya keinginan untuk selalu bersama gadisnya. Gadisnya menjadi sandaran berkeluh kesah. Semua yang perlu Franisz ketahui untuk menulis telah ada saat SMP, bahkan SD. Franiz telah belajar menulis dengan baik. Ia telah belajar tata kalimat dan bahasa dengan baik. Ia pun pernah dihukum menulis ratusan kalimat di buku tulis sampai buku itu penuh, karena ia melakukan kesalahan di sekolah.

Sayangnya, waktu telah mencuri perhatian Franisz dan mengalihkan dirinya dari menulis kepada hal-hal yang sia-sia. Namun, tidak ada kata terlambat untuk menulis.

Meskipun kadang tekanan diperlukan, Franisz tidak bisa dipaksa saat menulis. Siapakah yang bisa memaksa seseorang untuk mencintai seseorang lainnya? Dengan menulis, orang-orang bisa berpikir lebih kritis dan melihat segala sesuatunya dengan jelas. Penulis mampu melihat yang negatif dalam yang negatif dan yang positif dalam yang positif. Banyak orang melihat yang negatif dalam yang segala sesuatu yang positif dan tidak semua orang bisa melihat yang positif dalam yang negatif. Penulis mampu melihat sesuatu yang lain di balik yang harfiah. Bersyukurlah para penulis.

Franisz percaya bahwa Tuhan sedang mempersiapkannya untuk menjadi penulis. Ia pernah menuliskan beberapa impiannya di atas kertas. Saat ia selesai melakukannya, tiba-tiba ia menuliskan satu impian lagi. Impiannya menjadi penulis bagi Tuhan. Mungkin Franisz terkesan muluk-muluk. Bagaimana ia dapat menyembunyikannya, akan tetapi? Namun, ia pun kadang berpikir kritis dan bertanya-tanya tentang Tuhan atau kehidupan. Misalnya, jika orang-orang diciptakan oleh Tuhan, lalu siapa yang menciptakan Tuhan? Lalu, mengapa orang-orang menganggap tidak boleh beda berpendapat dengan Tuhan (orang-orang besar pernah melakukannya?) Lalu, mengapa orang-orang tidak pernah terpikir bisa menyebut-Nya dengan panggilan Ibu, padahal umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kadang bisa disebut mempelai perempuan?

Kadang meremehkan orang itu perlu supaya bisa tetap maju. Namun, jangan memberi tahu orang-orang kalau ingin lebih pintar daripada mereka dan kadang jangan menganggap rendah orang lain. Saat ini Tuhan sedang mempersiapkan Franisz untuk menjadi penulis melalui profesi editor lebih dulu. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi penulis. Seperti halnya Bunda Teresa percaya bahwa dia pensil di tangan Tuhan, Franisz pun ingin seperti itu. Tanpa menulis, Franisz bisa gila. Anaϊs Nin berkata, “Tugas penulis bukanlah menyuarakan yang bisa kita katakan, melainkan yang tidak mampu kita ucapkan.” Ide-ide dalam pikiran yang tidak tertuang ke kertas akan membuat resah jiwa dan hati.

Franisz percaya, suatu saat kiblat buku yang wajib dibaca adalah ke bangsa-bangsa Asia. Suatu hari, bukan bangsa Indonesia yang mengarahkan diri ke buku-buku bangsa-bangsa Barat, melainkan merekalah yang mengarahkan diri kepada buku-buku Indonesia. Mengapa orang-orang bangsa Barat, misalnya Amerika, yang rata-rata hanya bisa satu bahasa, lebih pintar daripada orang Indonesia? Padahal banyak orang Indonesia yang bisa berbahasa lebih dari dua atau tiga bahasa! Meskipun demikian, masih ada juga orang-orang Indonesia yang hanya bisa satu bahasa, dan orang-orang Amerika yang tidak bisa Matematika. Coba bayangkan, Franisz saja bisa tujuh bahasa: Jawa, Indonesia, Batak Karo, Batak Toba, Sunda, Inggris, dan Jepang. Ini belum lagi ditambah mengerti sedikit bahasa Perancis, China, Spanyol, Jerman, dan Latin. Franisz memang cinta bahasa. Dulu, saat SMA pun ia kelas 3 Bahasa. Kuliah Sastra. Namun, ia juga butuh energi untuk menulis. Ia butuh olah raga, seperti Philip Yancey dan Jim Collins, yang selain menulis banyak buku bagus dan besar, mereka juga senang mendaki gunung.

Suatu saat bahkan akan ada pemenang Nobel dari Indonesia. Pemenang Nobel Sastra. Jika satu orang Indonesia, misalnya Kendro Hendra, saja ada yang menciptakan banyak piranti HP dan bekerja di perusahaan HP terkenal, masakah tidak ada satu orang Indonesia yang bisa menang hadiah Nobel? Siapakah yang layak menilai tulisan jelek atau baik? Siapakah juri-juri dalam lomba-lomba penulisan, yang mengenyahkan yang satu dan memilih yang lain untuk menang? Satu-satunya juri yang layak menilai tulisan buruk atau tidak adalah jerih payah penulis, dan berjerih payah lagi, dan berjerih payah lagi.

Franisz tidak bisa mengandalkan orang-orang dalam menulis, walaupun ia bisa belajar dari mereka. Franisz hanya bisa mengandalkan orang-orang dalam tulisan-tulisannya. Ia ingin menulis tentang orang-orang biasa dan yang belum terkenal, seperti yang dilakukan oleh Stephen Covey tentang Muhammad Yunus, sehingga Yunus terkenal. Tuhan pun membuang Franisz ke pengasingan. Namun, bukankah para penulis menghasilkan karya-karya terbaik saat dalam pengasingan, penjara, kesepian, dan penderitaan.

Philip Yancey berkata, “Apakah kita lupa bahwa Luther dan Calvin hidup dalam masa tanpa eter (cairan kimia yang biasanya dipakai dalam obat penghilang rasa nyeri) dan penisilin, saat hasrat hidup hanya sampai 30 tahun? Apakah kita lupa bahwa (John) Bunyan dan (John) Donne menulis karya-karya terbesar mereka di dalam penjara dan kamar karantina untuk penderita wabah?” Ketika Helmut Thielicke ditanya pendapatnya setelah mengamati orang-orang Amerika, ia menjawab, “Mereka punya pengertian yang sangat lemah tentang penderitaan.” Orang-orang bisa saja pergi. Tuhan bisa saja 'mengambil' orang-orang. Kehidupan bisa saja mengambil segalanya. Namun, sikap tidak bisa dirampas. Pilihan tidak bisa dirampas.

“Mengapa Allah mengizinkanmu melalui pengalaman-pengalaman yang menyesakkan, memalukan, menyakitkan, dan penuh kesepian?” tanya Miriam Adeney, “Mungkin Ia ingin melembutkan hatimu dan supaya pengalamanmu berguna buat banyak orang dan ini lebih berarti bagimu.” Dr. Paul Brand berseru tentang penderitaan, “Thank God for pain!” “Penulis yang menulis tanpa benar-benar mengalami yang ia tulis, akan menggunakan kata-kata yang kaku, mati, dan tidak memberikan dampak apa pun kepada pembaca,” demikian kata Henry David Thoreau.

Franisz kadang-kadang harus menarik diri dari menulis. Biasa, seorang pria pun kadang harus menarik diri dari gadisnya dan masuk ke dalam gua. Gua untuk merenung dan berpikir. Namun, menarik diri dari rutinitas itu perlu. Ini sebagai keseimbangan. Bukan untuk berhenti dari menulis, melainkan untuk melepaskan diri dari kejenuhan. Jika seseorang tidak menikmati pekerjaan, ia harus menarik diri dulu. Pergi ke tempat yang tenang untuk memperoleh ketenangan. Ia harus menarik diri dan menjauhkan dirinya dari pekerjaannya.

Seperti pelukis harus menjauh dulu sebentar untuk melihat hasil lukisannya. Jika ia terlalu dekat terus-menerus, lukisannya justru akan tambah jelek karena ia tidak bisa melihat lebih jelas. Namun, keseimbangan adalah alat, bukan tujuan, dan rutinitas kadang memang harus dijalani. Penyanyi Bryan Adams, ketika ditanya alasan ia juga menjadi fotografer, ia menjawab, “Begini, ada orang yang terlibat narkoba, ada yang menghabiskan uangnya untuk beli yacht, mobil, dan rumah. Salah satu cara untuk membuatmu tetap tertarik dengan pekerjaanmu adalah dengan tidak mengerjakannya sepanjang waktu dalam hidup. Kadang-kadang kita harus melepasnya dan menikmati aspek-aspek seni dan kreativitas lainnya. Banyak kolega saya di dunia musik yang juga menjadi pelukis, fotografer, aktor, penulis, dan filantropis.”

Franisz juga ingin menjadi seperti Henry David Thoreau (yang menulis buku Walden saat 'mengungsi' ke hutan) dan Ralph Waldo Emerson. Mereka bersahabat. Sebaiknya memang harus ada persahabatan antarpenulis untuk mengasah penulisan. Idola dan mentor Franisz, Xavier Q. Pranata, pun pasti setuju dan memiliki komunitas atau hubungan dengan antarpenulis.

Jika Franisz tahu seberapa banyak ia bisa membuat tulisan, ia akan terheran-heran dengan banyaknya. Franisz sudah menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk uang, makan, pornografi, mencari kesenangan sendiri, kesepian, dan lain-lain. Franisz ingin menyerahkan hidupnya untuk menulis. Ia ingin mencari kebahagiaan orang lain. Lebih baik mati untuk banyak orang daripada hidup di dunia penuh dengan diri sendiri.

Pada akhirnya, yang terpenting adalah keluarga dan siapa saja yang dimiliki. Tidak penting yang orang-orang pikirkan tentang seseorang, yang penting adalah yang seseorang itu pikirkan tentang dirinya, dan yang paling penting adalah yang seseorang itu lakukan terhadap orang lain. Tidak penting yang terjadi kepada seseorang (tuangan ide), yang penting adalah yang terjadi dalam dirinya (tuangan tulisan), dan yang paling penting adalah yang ia lakukan (tindakan). Jika seseorang tidak bisa membagikan apa pun, selain menulis, sebaiknya ia menulis. Tulisan belum tentu merupakan tindakan. Namun, tindakan bisa menjadi tulisan. Ide atau pikiran dalam diri seseorang adalah kumpulan ide-ide dari orang-orang lain. Lebih baik menentukan pikiran sendiri, berdiri kokoh di atasnya, dan percaya terhadapnya.

Mengapa orang-orang disibukkan dengan hal-hal memusingkan, seperti mendengar berita-berita buruk atau iklan-iklan kartu perdana HP di televisi? Mengapa orang-orang tidak menulis saja? Bukankah berita-berita atau iklan-iklan itu malahan akan memusingkan mereka, karena semua itu hanya saling berusaha merebut konsumen-konsumen. Padahal berita buruk menghancurkan jiwa dan pikiran mereka, dan berusaha membuat mereka takut. Padahal HP hanyalah alat biasa, yang tidak lebih daripada seperti yang dulu sebagai alat komunikasi. Namun, orang-orang menambah-nambahkan. Mereka tidak puas. Andaikan mereka bisa menerima diri mereka. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya orang-orang kayalah pelayan orang-orang miskin.

Negara-negara teknologi majulah pelayan negara-negara kecil. Lagipula, negara-negara teknologi maju bermain robot-robotan layaknya anak kecil saja. Dengan menulis, orang-orang akan lupa waktu. Ini lebih baik daripada menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang sia-sia. Dengan menulis, Miriam Adeney berkata, “Anda akan lebih peka terhadap sekelilingmu, karena Anda tidak disibukkan dengan diri Anda sendiri.” Menelantarkan penulisan sama dengan menelantarkan orang-orang yang dikasihi.

Franisz memiliki potensi dalam dirinya. Jangan remehkan dia. Seandainya ia tahu potensi dirinya. Seandainya orang-orang tahu potensi mereka. Kalau Franisz mempunyai komputer pribadi, ia akan menulis. Adakah orang yang mau membantunya? Adakah yang ingin memintanya menulis? Bagaimanapun, ia akan tetap menulis, baik dengan kertas maupun tanpa komputer. Lagipula, bukankah menulis itu dengan kertas, sedangkan dengan komputer adalah mengetik? Mengetik pun sebenarnya untuk mesin tik. Lalu, apakah untuk komputer adalah mengkomputer atau “menguter”? Ide akan lebih mengalir kalau menulis dengan tangan dan di atas kertas.

Franisz terkagum-kagum (amaze) terhadap tulisan-tulisannya. Ini bukan kesombongan. Ini tidak apa-apa. Tulisan ini mungkin tidak berarti bagi seseorang. Namun, tulisan ini berarti bagi Franisz. Bukankah sebuah tulisan harus memikat penulisnya lebih dulu sebelum pembaca? Penulis Dan Millman mengurutkan, “Sebuah buku sukses harus dijual bukan satu kali, melainkan delapan kali: Pertama, Anda harus menjual buku itu kepada diri Anda (Jika bukan Anda, siapa yang akan bergairah membaca buku Anda?). Lalu, Anda menjualnya kepada agen, yang harus menjualnya kepada penerbit, yang harus menjualnya kepada sebuah dewan editor dan penerbit, yang menjualnya kepada tim penjualan supaya mereka dengan penuh semangat menjualnya kepada toko buku. Lalu, toko buku menjualnya kepada publik. Akhirnya, yang terpenting, publik menjualnya kepada pembaca lain melalui mulut ke mulut.”

Fiuh. Akhirnya sampai sudah di pengakuan sebenarnya. Susah juga menulis 3.000 kata, apalagi kalau hanya untuk mengejar target. Namun, senang juga rasanya kalau tinggal mengetik satu huruf lagi saat sudah sampai 2.999 kata. Ini tidak sia-sia.

Bila menulis dengan hati, tulisan-tulisan itu akan mengalir, apalagi ditambah musik dan ketenangan. Hati yang akan mendiktenya. Meskipun masih ada keresahan dan beban dalam hati saya, saya telah berusaha menulis dan akan tetap menulis. Ternyata lebih mudah juga saat menulis tentang diri sendiri melalui sudut pandang orang ketiga. Hartaku adalah tulisan. Jika saya tak bisa membagikan apa pun, selain hidupku dan tulisan, saya akan tetap menulis.

Saya masih tetap berusaha mendesak hati untuk tetap jujur, supaya hati saya menyala sehingga dapat menulis dengan indah. Saya tidak bisa mengakhiri tulisan ini, karena saya tidak akan pernah berhenti menulis. Namun, saya harus berhenti sebentar sampai di sini, kita akan bertemu lagi. Saya ingin memberi sentuhan akhir kepada bejana ini dengan percaya.

Remehkan aku sebagai apa pun. Tapi, jangan remehkan aku sebagai penulis.
—Franisz Ginting

***

Kembali ke topik tentang hidup sebagai penulis.

Teman saya, Kenny Saputra, membuatkan secuplik klip tentang penulis ini. Semoga bisa menjadi berkat saja. Lagipula, siapakah saya ini, apakah sudah menulis dan memiliki banyak buku yang terbit?

Belum sih. Hanya pernah mencoba mengirimkan satu naskah cerita, itu pun masih berupa cerita untuk anak-anak. Juga tetap berusaha bisa, baik menulis dan mengirimkan lagi maupun yang terpenting, mau menulis setiap hari. Seberapa pun, sehalaman atau selembar pun.

Di bawah ini cuplikan oleh teman saya tadi, dan sekali lagi, maaf kalau terkesan narsis ataupun agak kekanak-kanakan, ya. Sedikit pengakuan:

Entah, saya lupa apakah Romo Mangun atau nama lain untuk Y.B. Mangunwijaya, entah Putu Wijaya, atau memang Pramoedya Ananta Toer yang pernah berkata bahwa ia tak bisa melakukan hal lain, hanya menulis. Mohon memberi tahu, ya, apabila mengetahuinya.

Maaf juga kalau masih ada yang salah, ya. Semuanya pada saya, bukan kesalahan pada teman saya ini, Kenny. (Videonya yang berjudul I'm a writer ini juga ada di website teman saya di sini: tripleninestudio.com.)

Semoga memberkati.