Beberapa waktu
yang lalu mendengar berita tentang seorang hamba Tuhan yang tersangkut masalah
pelecehan seksual.
Jurnalis New York Times pun membuat tulisannya di
Bukan kapasitas
kita untuk menghakimi orang lain. Lagipula, kita mungkin menghakimi hal-hal
yang kita sendiri melakukannya.
"Dan
ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu
berkata kepada mereka: 'Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia
yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu'" (Yoh. 8:7). Bahasa
sederhananya mirip mengejek resleting orang lain terbuka, sementara
menyembunyikan fakta bahwa kancing celananya sendiri sedang terlepas dan
menutupnya dengan cara mengikat sabuk erat-erat.
Pihak-pihak yang
menuliskan berita-berita tentang hamba Tuhan tersebut juga belum tentu benar
kehidupannya, bukan? Saya pun bukan pengecualian. Hal yang sama bisa saja
menimpa dan terjadi pada kita.
Pertanyaannya,
apa yang menggerakkan mereka, ataupun kita, sampai mau melakukan hal yang salah tersebut? Satu sisi, seperti kata Billy
Graham, memang adalah karena dunia ini terjerat oleh dosa. Bukan serta-merta
menyalahkan dunia ataupun pengaruh eksternal, tetapi mau tidak mau, mungkin berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung.
Sisi lainnya
adalah pilihan—kehendak bebas manusia untuk menentukan pilihan dan tindakan.
Kehendak bebas sendiri bukanlah hal yang jahat atau salah, melainkan sebuah
pemberian yang indah dari-Nya. Terserah orang lain mau melakukan apa, kita
masih bisa memilih ikut-ikutan atau tidak.
Lalu, apakah
penyebabnya adalah karena mengejar kebahagiaan? Apalagi rata-rata orang menginginkan kebahagiaan. Misalnya, dalam
pernikahan.
Stanley Hauerwas
pernah berkata, "Destructive to
marriage is the self-fulfillment ethic that assumes marriage and the family are
primarily institutions of personal fulfillment, necessary for us to become 'whole'
and happy. The assumption is that there is someone just right for us to marry
and that if we look closely enough we will find the right person. This moral
assumption overlooks a crucial aspect to marriage. It fails to appreciate the
fact that we always marry the wrong person.
"We never know whom we marry; we just think we
do. Or even if we first marry the right person, just give it a while and he or
she will change. For marriage, being [the enormous thing it is] means we are
not the same person after we have entered it. The primary challenge of marriage
is learning how to love and care for the stranger to whom you find yourself
married."
(Hal yang merusak
dalam sebuah pernikahan adalah kecenderungan pemenuhan diri dan menganggap bahwa
dengan adanya perkawinan dan keluarga akan menjadi alat utama pemenuhan pribadi
yang diperlukan bagi kita untuk merasa utuh dan menjadi bahagia. Berasumsi bahwa
ada seseorang yang tepat untuk kita nikahi, dan jika kita melihat cukup dekat, akan
menemukan orang yang tepat itu. Asumsi moral ini mengabaikan aspek yang sangat krusial
dalam pernikahan, yaitu tidak menghargai kenyataan bahwa kita selalu menikahi
orang yang salah.)
(Kita tidak
pernah tahu siapa yang kita nikahi, kita hanya mengira mengetahuinya. Atau seandainya
pun kita merasa menikahi orang yang tepat, tunggu saja barang sejenak dan dia
akan berubah. Dalam pernikahan, hal yang sangat besar adalah kita bukan orang
yang sama setelah memasukinya. Tantangan utama pernikahan adalah belajar mencintai
dan merawat orang asing yang Anda
nikahi.)
Tidak ada pribadi,
pernikahan, maupun perusahaan selevel apa pun yang murni bebas dari godaan.
Yang kelihatan baik di luar, yang kelihatan buruk di luar, sama-sama berpotensi
melakukan hal yang serupa—entah baik, entah jahat. Di mana-mana pasti ada drama. Tidak ada jaminan satu tempat
pasti aman, bebas dari godaan, bebas
dari drama.
Nancy Beach pernah
berkata, "How could we have done all
this good, when there were such dark things happening behind the scenes?" (Penekanan
ditambahkan)
Mengutip satu,
dua, tiga ayat atau pasal dalam firman Tuhan tidaklah menjamin kita praktis telah serta bisa hidup
benar, atau menjadi kunci untuk benar-benar keluar dari masalah.
Dan seumpama
kita berada di posisi mereka—in their
shoes—belum tentu kita tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan. Bahkan
bisa saja malah lebih, atau setidaknya hampir sama.
Kadang penyebab orang-orang sengaja berbuat salah atau jahat adalah karena terbuai kenyamanan atau rasa aman. Boz
Tchividjian pernah berkata, "Those leaders
feel almost invincible. They don’t feel like the rules apply to them, because
they’re doing great things for Jesus, even though their behavior doesn’t
reflect Jesus at all."
Sisi penyebab
lainnya, selain karena pengaruh dunia, kehendak diri sendiri atau pilihan, terbuai kenyamanan atau rasa aman, dan
rupa-rupa keinginan, adalah bukan karena the
devil atau si Jahat itu sendiri, melainkan
lebih karena demen (doyan).
"For in your struggle
against sin you have not yet had to resist to the point of being killed."
—Ibrani 12:4, GNB
"Jadikan kejadian mereka ini sebagai pelajaran & motivasi untuk
kita untuk hidup sungguh-sungguh benar di mata Tuhan. Bukan untuk pembenaran
sih, tapi sesalah apa pun kita di masa lalu, jangan terlalu merasa tertuduh (acidic accusations burning holes in our souls).
Masih banyak, bahkan hamba Tuhan malahan, yang bikin kesalahan lebih fatal daripada
kita, tapi pasti Tuhan maafkan & pulihkan."
—Stella Amelia