August 28, 2018

Apa yang menggerakkan kita berbuat jahat?


Beberapa waktu yang lalu mendengar berita tentang seorang hamba Tuhan yang tersangkut masalah pelecehan seksual.

Jurnalis New York Times pun membuat tulisannya di

Bukan kapasitas kita untuk menghakimi orang lain. Lagipula, kita mungkin menghakimi hal-hal yang kita sendiri melakukannya.

"Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: 'Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu'" (Yoh. 8:7). Bahasa sederhananya mirip mengejek resleting orang lain terbuka, sementara menyembunyikan fakta bahwa kancing celananya sendiri sedang terlepas dan menutupnya dengan cara mengikat sabuk erat-erat.

Pihak-pihak yang menuliskan berita-berita tentang hamba Tuhan tersebut juga belum tentu benar kehidupannya, bukan? Saya pun bukan pengecualian. Hal yang sama bisa saja menimpa dan terjadi pada kita.

Pertanyaannya, apa yang menggerakkan mereka, ataupun kita, sampai mau melakukan hal yang salah tersebut? Satu sisi, seperti kata Billy Graham, memang adalah karena dunia ini terjerat oleh dosa. Bukan serta-merta menyalahkan dunia ataupun pengaruh eksternal, tetapi mau tidak mau, mungkin berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.

Sisi lainnya adalah pilihan—kehendak bebas manusia untuk menentukan pilihan dan tindakan. Kehendak bebas sendiri bukanlah hal yang jahat atau salah, melainkan sebuah pemberian yang indah dari-Nya. Terserah orang lain mau melakukan apa, kita masih bisa memilih ikut-ikutan atau tidak.

Lalu, apakah penyebabnya adalah karena mengejar kebahagiaan? Apalagi rata-rata orang menginginkan kebahagiaan. Misalnya, dalam pernikahan.

Stanley Hauerwas pernah berkata, "Destructive to marriage is the self-fulfillment ethic that assumes marriage and the family are primarily institutions of personal fulfillment, necessary for us to become 'whole' and happy. The assumption is that there is someone just right for us to marry and that if we look closely enough we will find the right person. This moral assumption overlooks a crucial aspect to marriage. It fails to appreciate the fact that we always marry the wrong person.

"We never know whom we marry; we just think we do. Or even if we first marry the right person, just give it a while and he or she will change. For marriage, being [the enormous thing it is] means we are not the same person after we have entered it. The primary challenge of marriage is learning how to love and care for the stranger to whom you find yourself married."

(Hal yang merusak dalam sebuah pernikahan adalah kecenderungan pemenuhan diri dan menganggap bahwa dengan adanya perkawinan dan keluarga akan menjadi alat utama pemenuhan pribadi yang diperlukan bagi kita untuk merasa utuh dan menjadi bahagia. Berasumsi bahwa ada seseorang yang tepat untuk kita nikahi, dan jika kita melihat cukup dekat, akan menemukan orang yang tepat itu. Asumsi moral ini mengabaikan aspek yang sangat krusial dalam pernikahan, yaitu tidak menghargai kenyataan bahwa kita selalu menikahi orang yang salah.)

(Kita tidak pernah tahu siapa yang kita nikahi, kita hanya mengira mengetahuinya. Atau seandainya pun kita merasa menikahi orang yang tepat, tunggu saja barang sejenak dan dia akan berubah. Dalam pernikahan, hal yang sangat besar adalah kita bukan orang yang sama setelah memasukinya. Tantangan utama pernikahan adalah belajar mencintai dan merawat orang asing yang Anda nikahi.)

Tidak ada pribadi, pernikahan, maupun perusahaan selevel apa pun yang murni bebas dari godaan. Yang kelihatan baik di luar, yang kelihatan buruk di luar, sama-sama berpotensi melakukan hal yang serupa—entah baik, entah jahat. Di mana-mana pasti ada drama. Tidak ada jaminan satu tempat pasti aman, bebas dari godaan, bebas dari drama.

Nancy Beach pernah berkata, "How could we have done all this good, when there were such dark things happening behind the scenes?" (Penekanan ditambahkan)

Mengutip satu, dua, tiga ayat atau pasal dalam firman Tuhan tidaklah menjamin kita praktis telah serta bisa hidup benar, atau menjadi kunci untuk benar-benar keluar dari masalah.

Dan seumpama kita berada di posisi mereka—in their shoes—belum tentu kita tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan. Bahkan bisa saja malah lebih, atau setidaknya hampir sama.

Kadang penyebab orang-orang sengaja berbuat salah atau jahat adalah karena terbuai kenyamanan atau rasa aman. Boz Tchividjian pernah berkata, "Those leaders feel almost invincible. They don’t feel like the rules apply to them, because they’re doing great things for Jesus, even though their behavior doesn’t reflect Jesus at all."

Sisi penyebab lainnya, selain karena pengaruh dunia, kehendak diri sendiri atau pilihan, terbuai kenyamanan atau rasa aman, dan rupa-rupa keinginan, adalah bukan karena the devil atau si Jahat itu sendiri, melainkan lebih karena demen (doyan).
 

"For in your struggle against sin you have not yet had to resist to the point of being killed." 
Ibrani 12:4, GNB

"Jadikan kejadian mereka ini sebagai pelajaran & motivasi untuk kita untuk hidup sungguh-sungguh benar di mata Tuhan. Bukan untuk pembenaran sih, tapi sesalah apa pun kita di masa lalu, jangan terlalu merasa tertuduh (acidic accusations burning holes in our souls). Masih banyak, bahkan hamba Tuhan malahan, yang bikin kesalahan lebih fatal daripada kita, tapi pasti Tuhan maafkan & pulihkan."
—Stella Amelia