March 30, 2017

It was in the silence that I heard your voice

Setelah menonton film Silence oleh Martin Scorsese, ada satu kalimat yang terngiang-ngiang dari narasi Father Rodrigues yang diperankan oleh Andrew Garfield:

It was in the silence
that I heard your voice.

(Bahwa dalam keheninganlah,
ku mampu mendengar suara-Mu.)

Apakah benar seperti itu? Saya bertanya-tanya. Apakah benar bahwa hanya dalam keheningan, kita baru dapat mendengarkan suara-Nya?

Sempat membuat saya enggan membahasnya, menulisnya, dan agak takut-takut mempercayainya.

Lalu, saya membaca-baca majalah edisi lama Architectural Digest, dan menemukan tulisan yang mengulas tentang kediaman (tempat tinggal) Frank Sinatra. Dan di lembaran itu mata saya terperekat pada kata-kata:

I believe in the sun even when it’s not shining. I believe in love even when not feeling it. I believe in God even when he is silent.” 

Dan yang saya ketahui kemudian, itu adalah kata-kata seorang korban selamat dari kamp konsentrasi Auschwitz.

Lalu, ketika mencoba mencari-cari kutipan dari Father (Bapa) Rodrigues tadi di Internet, malah menemukan kata-kata soal silence (keheningan) itu dari Mother (Bunda) Teresa, “The essential thing is not what we say but what God says to us and through us. In that silence, He will listen to us; there He will speak to our soul, and there we will hear His voice.

We cannot put ourselves directly in the presence of God if we do not practice internal and external silence.

Dan…

What is essential is not what we say but what God tells us and what He tells others through us. In silence He listens to us; in silence He speaks to our souls. In silence we are granted the privilege of listening to His voice.

Mungkin kita butuh dan memang sedang mengalami banyak keheningan untuk dapat mendengarkan suara-Nya supaya tahu apa yang harus kita lakukan. Tapi, yang lebih penting ketimbang keheningan di luar—yang sering kali serbabising—adalah pikiran dan di dalam hati kita sendiri.


I am speechless, but I can't keep quiet. And I am wordless, but I can't stay silent.
Lauren Daigle
 
 
Image courtesy of The Cove

March 29, 2017

I see dead people

Is conversation a lost art today?
I see dead people.
Zombies.
The walking dead.
I see them shuffling down the street, foraging in Albertson's. Even slumped in chairs at restaurants.
Their arms contorted in front of them. Their faces glowing a soft blue... wait.
They're NOT zombies.
They're people, but they're nose-down in their phones or tablets.
Even when there are other humans right in front of them, they remain unaware of the other person's presence.
One day, they'll look up from those little screens, and wonder where their family and friends went.
Unless they discover the art of REAL "social."
You can't get much more "social" than actual conversation.
IMHBAO ("in my humble but accurate opinion"), we need to rediscover the art of conversation.
You see, it's not just "talking". It's So much more than that.
It's a pity I had to reach my forties (which are now squarely in my rear view mirror) before I really learned how to have a great conversation.

Ray Edwards















March 25, 2017

Perubahan itu memberi pandangan baru arti kehidupan

Untuk apa pun yang engkau akan lakukan hari ini, percayalah bahwa Tuhan sudah berada di depanmu untuk membuka jalan bagimu hari ini.

Karena itu, jangan takut dengan perubahan apa pun, karena Tuhan akan terus memberi pertolongan-Nya. 

Perubahan adalah saat di mana kita dapat menilai diri dan mengevaluasi iman kita. 

Seekor kupu-kupu tidak akan pernah dikagumi manusia jika dirinya tetap menjadi kepompong. Perubahan itu memberinya pandangan baru mengenai arti kehidupan.


I think it can be that way again if I can learn from Your Spirit how to walk humbly with You rather than proudly ahead of You.” (Richard Kriegbaum)


~ Jati Wicaksono





















A hot cup of coffee with a friend

Sometimes hurting people just need your presence, to sit and drink a cup of coffee with no words spoken.

Sometimes all people need is a moment when they’re not obligated to share all the details and you’re not pressured to offer advice. When there’s nothing to be said, don’t say a thing. A chance to breathe and a friend’s presence can be two of the most healing things.

Stacy Edwards


Sumber: istimewa

















March 23, 2017

Hidup Ini Ujian

Karakter dikembangkan & dimunculkan dari ujian. Dan hidup ini seluruhnya adalah ujian. Kita akan diuji oleh perubahan besar, janji yang tertunda, masalah yang mustahil, doa yang tak terjawab, kriktik yang tak layak, & bahkan tragedi yang tidak masuk akal.

Karakter itu dibangun & diuji oleh ujian. Masalah itu ujian, tapi berkat juga ujian. Dilengserkan itu ujian, tapi promosi itu juga ujian. Menerima kritik adalah ujian, tapi mendapat pujian juga sebuah ujian. Mengalami perubahan itu ujian, tapi berada di zona nyaman juga adalah ujian. Doa yang tak dijawab adalah ujian, tapi sikap hati saat menerima jawaban doa juga merupakan ujian.

Ujian dalam hidup adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Setiap hari kita mengalaminya. Ketika kita lulus ujian, Tuhan menyediakan berkat. Before every blessing, there is testing. Bagaimana jika kita tidak lulus? Kita harus mengulanginya lagi. Berapa kali? Sampai lulus. Terkadang "mata pelajaran" yang sama juga diujikan lagi kepada kita. Dulu kita pernah berhasil, tapi kadang saat diuji ulang lagi, bisa saja kita gagal. Tujuan dari semua ujian itu adalah karakter yang kuat. Karakter & kesempurnaan seperti Kristus.

Daud pernah menyampaikan doa yang sangat indah, sekaligus berani, "Ujilah aku, ya Tuhan dan cobalah aku, selidikilah batinku dan hatiku" (Mazmur 26:2). Bukannya seolah Daud mau menyombongkan diri. Sebaliknya, Daud ingin memiliki karakter yang menyenangkan hati Tuhan. Daud ingin hidup dalam kebenaran-Nya.

Sadarkah kita bahwa segala peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita ini adalah sebuah ujian? Pastikan kita lulus saat diuji. Mintalah pertolongan Roh Kudus agar ujian-ujian itu tidak malah menjauhkan kita dari kasih karunia Tuhan, sebaliknya hal itu justru mendekatkan kita kepada-Nya. Berdoalah agar ujian itu tidak merusak karakter kita, tapi justru menyempurnakan karakter kita seperti karakter Kristus.


"THE TEST. Next Jesus was taken into the wild by the Spirit for the Test." (Mat. 4:1, MSG)

—Jati Wicaksono


Sumber: istimewa















March 21, 2017

Bagaimana Keadaan Iman Kita Sekarang?


Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1)


Iman tidak hanya percaya Tuhan Yesus sebagai Allah dan Juruselamat, tapi percaya Tuhan Yesus sanggup memulihkan keadaan kita.

Bagaimana kondisi iman kita sekarang?

Ada hal-hal yg bisa membuat iman kita berkurang, yaitu:
1. Doa yang tidak kunjung dijawab
2. Memendam kekecewaan dan rasa sakit hati
3. Tidak dalam akan mengenal Tuhan Yesus
4. Jarang membaca firman
5. Memperoleh berkat yang melimpah, tapi sehingga menjadi kurang berharap pada Tuhan lagi
6. dll.

Ciri-ciri orang yang beriman:
1. Penuh sukacita
2. Tidak memendam kekecewaan atau rasa sakit hati
3. Memiliki pengenalan yang dalam akan Tuhan Yesus
4. Rajin membaca firman Tuhan
5. Menjadi berkat bagi sesama
6. dll.

Berdoalah minta pengampunan dari Tuhan kalau kita kurang beriman. Minta pembaharuan iman dan kasih yang mula-mula akan Dia.


Jati Wicaksono


Image courtesy of success.com



















March 17, 2017

Selagi masih ada kesempatan


Image courtesy of Naval Ravikant
Manusia yang berdosa itu rohnya mati. Kalau rohnya mati, dia tak bisa kontak dengan Tuhan. Karena tidak bisa kontak dengan Tuhan, ia hanya kontak dengan dunia melalui tubuh dan kontak dengan dirinya melalui jiwa. Akibatnya ia menjadi orang yang duniawi dan egosentris. Jika berlarut-larut, maka terjadi ketidakseimbangan dalam dirinya. Sebab manusia terdiri atas tubuh, jiwa, dan roh. Ketidakseimbangan ini menyebabkan penyakit dalam diri manusia. Biasanya penyakit ini menyerang jiwa yang berisi pikiran, emosi, dan kehendak. Bila ketiga elemen jiwa ini terganggu, maka cepat atau lambat tubuh merespons dengan penyakit pula. Sehingga penyakitnya menjalar ke tubuh. Dan bila tubuh sudah tidak mampu menanggung penyakit, maka matilah dia. Itulah efek dari dosa. Dosa itu menimbulkan kematian yang diawali dari kematian roh, lalu jiwa, dan akhirnya tubuh. Jadi, jangan biarkan dosa sampai membawa kematian dalam diri kita. Segeralah minta ampun dan bertobat kepada Tuhan selagi masih ada kesempatan.

Yopi Jalu Paksi


















March 9, 2017

Perangai Ayah akan Pengaruhi Anak


Beberapa hari yang lalu saya meng-interview ibu dari seorang anak yang disponsori oleh perusahaan tempat di mana saya bekerja. Dalam setiap langkah si ibu yang semakin mendekat, saya melihat sosok seorang ibu yang sedang memikul beban yang cukup berat, namun tetap tegar dalam menjalani hidup.

Ketegaran ini memang merupakan ciri khas wanita khas suku saya. Belakangan saya tahu bahwa ibu tersebut adalah seorang Batak asli. Namanya Solimah, nama yang cukup aneh bagi wanita batak, sama anehnya dengan nama Sri Rejeki. Bagi kami, nama wanita Batak yang cukup familiar di telinga hanyalah Kak Emmaaaaa, pengusaha Fitsa Hats yang terkenal itu.

Dia bercerita bahwa saat ini usia anaknya sudah menginjak 9 tahun, usia tersebut normalnya sudah duduk di kelas 3 SD. Anak tersebut termasuk anak yang daya tangkapnya sangat lemah, berbeda dengan anak normal lainnya, sering menjadi sasaran bully-an anak lainnya. Walau begitu, anak tersebut tidak pernah mau melaporkan kepada orangtua meski dipaksa sekalipun. Saking seringnya menerima bully-an dan pukulan, baginya hal tersebut sudah seperti sebuah “kenikmatan”.

Anak tersebut termasuk anak yang sering jatuh sakit, tidak punya banyak teman, dan sebagian besar hari-harinya hanya dihabiskan bermain dengan lemari—satu-satunya “harta benda” yang mereka miliki dalam ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter tersebut.

Ketika saya tanyakan apakah anak tersebut mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua orangtua, dengan raut wajah sedih si ibu tersebut mengatakan bahwa anaknya termasuk anak yang tidak pernah dapat perhatian dari ayahnya. Tidak sudi meluangkan waktu untuk bermain dan menghabiskan waktu bersama si anak, malah cenderung malu punya anak seperti dia, tidak pernah peduli akan sekolah anak dan yang lainnya. Dan yang lebih menyedihkan adalah ayahnya cenderung tidak mengakui bahwa anak tersebut merupakan anak kandungnya sendiri!

Padahal, seharusnya justru anak seperti itu yang harusnya diberi perhatian yang lebih karena  menurut penelitian bahwa seorang anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari ayah akan mengakibatkan anak cenderung tidak berani menentukan sikap dalam mengambil keputusan, mempunyai sikap yang pemurung dan pendiam, memiliki pribadi yang lemah, anak menjadi nakal, agresif. Dan fatalnya, dapat terjerumus pada narkoba dan seks bebas.

Sebaliknya, anak yang memiliki hubungan baik dengan ayahnya akan cenderung tumbuh menjadi pribadi sociable, mudah berinteraksi, dan pengasih.

Pingin rasanya menyedot lobang hidung ayahnya pake vacuum cleaner sambil membisikkan kata-kata, “Bahwa tugas seorang ayah bukan hanya mencari nafkah, dan buka celana, dan kekku-kukek-kekek-kukek,” akan tetapi untuk membentuk karakter anak yang biasa disebut dual parenting atau co-parenting.

Bagi semua ayah di dunia: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”, dan “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

oleh Lintong Manik















March 8, 2017

And He Loves Reality...



 O God, help us to agree on what is true about who we are and where we are, so that we may agree on where to go and the best way to get there. Though we will not all look at our reality in the same way, help us to see the same reality and agree on its meaning for us, whether or not we like what we see. Other wise, God, we will waste precious time and energy arguing from different assumptions. 

Obviously, God, you love variety! You made us so diverse that all we can do is laugh and wonder. That in itself is part of the reality we must understand. We each have our own reactions and feelings about everything. This wonderful range of perspectives helps us to excel, as long as you help us to respect each other. 

On my own it is not at all clear to me what is true, God. I wish I could explain it all logically or factually for everyone. This one I just know somehow, without all the normal rational processes. With foresight, I see the beginning and the end without the middle.  I feel in my gut, and I think it is right, but the part of me that loves data and logic always complains. So will all the logical people around me, God, and who can blame them? 

Somehow, God, in all our differences, and despite all the erratic information, give us a shared reality, a similar idea of how things truly are for us. Lead my spirit to the truth about our situation, so that I can describe it in a way that leads to consensus. 

Some of us cannot see the truth because we fear it. Some of us invested heavily in another view of reality, and we may feel shamed if it turns out we were wrong.  Some of us actually worked to build a different reality and do not want it to change. 

I know that the truth tends to win in the long run, but I need to see it early enough to act wisely.  Help us to understand our situation accurately so that we do not waste this opportunity for greatness. We want the truth because only the truth can free us to achieve our mission.

Show us what is real, God. We have to know the truth.

Richard Kriegbaum


March 2, 2017

T. S. (True Strength)

We mistake strong feelings for strong character. A man who bears all before him—before whose frown domestics tremble, and whose bursts of fury make the children of the house quake—because he has his will obeyed and his own way in all things, we call him the strong man. The truth is, that is the weak man: it is his passions that are strong; he, mastered by them, is weak. You must measure the strength of a man by the power of the feelings be subdues, not by the power of those which subdue him. And hence composure is often the highest result of strength. Did we never see a man receive a flagrant insult, and only grow a little pale, and then reply quietly? That was a man spiritually strong. Or did we never see a man in anguish stand as if carved out of solid rock, mastering himself? Or one bearing a hopeless daily trial remain silent, and never tell the world what it was that cankered his home peace? That is strength. He who, with strong passions, remains chaste—he who, keenly sensitive, with manly power of indignation in him, can be provoked, yet can restrain himself and forgive—these are strong men, spiritual heroes. 

(New York Observer)


There is something higher than the making of wealth; there is the making of men.”  
~ A. M. Fairbairn