Subuh tadi,
setelah sekian lama tidak melakukan, dan setelah cukup lama merindukan,
akhirnya kembali saya bersaat teduh. 🙂
Dan mungkin
ini akan terdengar agak kolokan, atau klise, tetapi sepertinya suara hati mengatakan
untuk saya membaca firman dari kitab yang berawalan huruf S saja.
Sekilas saya
coba cari-cari. Awalnya saya kira tidak ada. Entah mungkin karena mata saya
yang masih mengantuk.
Kalau yang berakhiran
dengan huruf S sih banyak. Amos. Yunus. Matius sampai Yohanes. 1-2 Korintus.
Efesus. Timotius. Yakobus, dan lainnya. Tapi yang berawalan S, kok tidak saya ketemukan.
Lantas, saya
coba lagi cari dari awal. Secara perlahan. Eh ternyata, ada.
1 & 2
Samuel.
Kemudian,
saya mulai membaca pasal 1 saja pagi ini. Dan lewat pembacaan itu, saya rasa memperoleh
sejumlah pengertian ataupun pewahyuan.
Tetapi,
memang benar kata Ps. Rubin Ong bahwa pewahyuan (revelation) atau pengertian (understanding)
tanpa dilakukan atau dipraktikkan, itu percuma. Tentu percuma. Sia-sia bagi
pihak yang menerimanya, bukan bagi pihak pemberi.
Ada sejumlah
hal maupun kata-kata yang belum pernah terlintas di benak maupun pelupuk mata
saya melalui membaca pasal 1 tersebut. Misalnya, Ramataim-Zofim, yaitu daerah asal Elkana, orang Efraim (ay. 1). Daerah
itu lebih singkat dikenal juga dengan nama Rama.
Elkana
mempunyai dua orang istri—hal yang mungkin masih lumrah kala itu.
Hana (yang
kalau dalam bahasa Jepang, artinya bunga) dan Penina. Itulah kedua nama
istrinya. Nama Hana juga berarti anugerah. Tetapi dia mungkin secara
pribadi belum menyadarinya. Penina dikaruniai anak, sementara Hana, disebutkan
waktu itu, tidak (ay. 2).
Elkana
mempunyai kebiasaan baik, yaitu untuk menyembah
Tuhan dan mempersembahkan korban di gedung peribadahan (rumah Tuhan) di
Silo (ay. 3).
Di ayat 4, Elkana
memberikan sebagian dari korban sembelihan bagi Tuhan kepada Penina serta semua
anaknya laki-laki dan perempuan untuk dimakan. Tradisi waktu itu memang membolehkan
sebagian dari hewan yang dipersembahkan sebagai korban kepada Tuhan, untuk sisanya
dimakan oleh orang-orang yang beribadah.
Elkana
memberikan kepada semua anaknya laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa ia
memperoleh sejumlah keturunan, bukan anak semata wayang, dari Penina.
Sedangkan, dari Hana belum ada satu pun.
Sedangkan,
kepada Hana, Elkana memberikan hanya satu bagian (ay. 5)—entah yang terbaik,
entah pilih kasih terhadapnya, entah apa. Disebutkan pula pada ayat ini, Tuhan
telah menutup kandungannya.
Tersirat bahwa
Tuhanlah yang menyebabkan kemandulannya. Bukan tanpa maksud. Sebab terkadang Dia sanggup mengizinkan kekecewaan kita
alami, maupun situasi-situasi yang membuat kita merasa tiada mampu atau rendah
diri, tetapi itu supaya kita dimampukan-Nya
untuk melakukan kehendak-Nya dalam hidup kita.
Kata madunya pada ayat 6 kurang saya mengerti
artinya. Mungkinkah mengacu pada Penina? Sebab di ayat 7 dijelaskan bahwa
setiap kali Hana pergi ke rumah Tuhan, Penina menyakiti hatinya. Hati Hana
selalu merasa tersakiti oleh madu itu,
sebab Tuhan telah menutup kandungannya. Mandul.
Beberapa
bagian Alkitab memang menyajikan hal-hal apa adanya secara jujur. Tapi ada juga
bagian yang masih terasa merupakan misteri bagi kita. Tetapi itu tidak mengapa.
Alright, sebenarnya ayat 7 ketika saya saat
teduh subuh tadi, benar-benar lolos dari sorotan mata saya yang masih
mengantuk. Sebab, saya belum membaca bagian yang menyatakan bahwa dari tahun ke tahun, setiap kali Hana pergi
ke rumah Tuhan, Penina menyakiti hati Hana.
Penina
menyakiti—membuat menggerutu, mengacaukan batin, membuat hati bergejolak,
menghasut—secara sengaja dan sadar. Sampai-sampai Hana menangis dan menolak
makan.
"Bukankah
aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?" kata Elkana (ay.
8). Mungkin Hana sudah menceritakan keluh-kesahnya kepada suaminya itu. Dan
Elkana mungkin sudah memberi telinga untuk mendengarnya. Sehingga Elkana
mengetahui penyebab kegundahan hati Hana istrinya.
Tetapi,
kadang menumpahkan uneg-uneg kita kepada orang lain tidak akan memecahkan
masalah. Dan orang yang mendengar jeritan hati kita hanya bisa menanggapi.
Tanpa benar-benar mau bisa mengerti atau ikut merasakan.
Juga mungkin
baik Hana maupun Elkana, terlebih Penina yang menyakiti hati, waktu itu belum
tahu atau menyadari rencana Tuhan di balik semua pengalaman keluarga itu. Apa
salah satu rencana-Nya? Bahwa lebih baik
satu tapi diserahkan kepada Tuhan yang punya maksud ilahi yang baik dalam
hidup, daripada memiliki banyak tapi tanpa diserahkan kepada-Nya dan tanpa
tujuan apa pun dalam hidup.
Hal ini bukan
hanya menyangkut soal anak, melainkan juga tentang apa-apa yang sekiranya sedang Tuhan
proses dalam hidup kita. Entah itu kehidupan pribadi. Pekerjaan. Teman-teman.
Pendidikan. Masa depan. Dan lain-lain.
Ayat 9 dan
10 menunjukkan sikap hidup yang patut ditiru dari Hana.
Hana, anugerah itu, membawa situasi hidupnya
serta kepedihan hatinya langsung kepada Tuhan. Dia berdoa sambil menangis
tersedu-sedu—mungkin lebih basah, lebih deras daripada air hujan yang turun
membasahi muka bumi. Sudah sejak kapan kita belum menangis lagi? Air mata
adalah pelumas jiwa.
Menurut
saya, tidak banyak orang seperti Hana. Mereka, Anda dan saya, justru sering
kali tidak datang kepada Allah dalam pergumulan kita lewat doa dan mengutarakan
apa saja keluh-kesah hati kita.
Kita condong
memendamnya sendiri.
Ataupun,
mengoar-ngoarkannya kepada banyak orang. Kita mengandalkan kekuatan diri, kemampuan
berpikir, jarang datang kepada Dia—yang mendesain kita untuk senantiasa
mengutamakan Dia dan untuk berinteraksi utama dengan Dia. Kuat dan berpikir
memang tidak salah. Tetapi jika itu semata-mata, itu yang salah (Yer. 17:5-8).
Kita mungkin
lupa bahwa bukan hanya doa itu sanggup
mengubah sesuatu, ataupun seseorang, melainkan juga doa itu sanggup membuat, mengadakan sesuatu. Kalau
tidak secara segera, mungkin kelak.
"Tuhan semesta
alam," kata Hana di ayat 11 dan kata-kata pada ayat 3 sebelumnya. Jehova Zebaoth. Tuhan atas jagat raya,
bintang-bintang, malaikat, segenap daya alam semesta. Yang mampu menyembunyikan
matahari pagi terlebih dulu di balik tirai-tirai awan.
Dia berdaulat.
Atas alam raya, dan atas hidupmu.
Dan melalui
ayat itu juga, Hana sedikit-banyak menyatakan, Tuhan sanggup sungguh-sungguh memperhatikan—baik perilaku maupun
keadaan hidup kita.
Tuhan
sanggup sungguh-sungguh mengingat. Tidak melupakan (Yes. 49:15).
Serta apa yang
dilakukan Hana, berjanji untuk menyerahkan anaknya apabila dikaruniai
Tuhan—sebuah nazar yang memang nantinya di ayat selanjutnya ditepati—untuk
menjadi alat bagi pekerjaan-Nya maupun penginjilan, juga mendukung, mendorong,
dan mendoakannya merupakan hal yang amat berkenan kepada Allah.
Korban
persembahan Hana yang rela tersebut tentu jauh lebih besar maknanya daripada
korban persembahan Elkana yang rutinitas.
Keep on praying, keep
on pushing. Hana
terus-menerus berdoa di hadapan Tuhan (ay. 12). Kalau kita, apa yang kita
lakukan sekarang, secara terus-menerus?
Hana sekali
lagi menunjukkan teladan hidup yang patut ditiru, yang mungkin tidak dilakukan oleh
banyak orang pada zamannya—maupun sampai zaman ini. Hana terus-menerus berdoa. Coba
pertimbangkan dan renungkan kata-kata terus-menerus
ini.
Tetapi,
sekalipun demikian, terkadang pun kerap kali tindakan rohani yang kita lakukan
ditangkap secara berbeda oleh orang lain…
Mirip apa
yang dilakukan rekan-rekan Ayub ketika ia tertimpa musibah, demikian juga imam
Eli terhadap wanita yang mengalami kesengsaraan ini, Hana. Meski Eli menjabat
posisi imam, taklah serta-merta menjamin membuatnya tahu segala sesuatu yang
sebenarnya terjadi.
Imam Eli,
yang mengamat-amati Hana berdoa, menyangka Hana mabuk karena hanya bibirnya
yang seperti komat-kamit, tidak terdengar suara doanya.
Tetapi,
masih lebih baik dikira mabuk karena sangat rindu akan Allah dan
pertolongan-Nya, daripada benar-benar mabuk dan mencari-cari pelarian lain. Sebab
cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku (Mzm. 69:10). Rumah atau kediaman itu
juga bisa berbicara tentang kehadiran, kuasa, kasih, dan damai sejahtera Tuhan.
Kita pun tentu
dapat sedikit-banyak mengerti bagaimana rasanya berdoa tapi tanpa bersuara,
atau setidaknya suara pelaaan sekali, ketika berdoa. Seperti Hana. Mengapa? Itu
saking beratnya penderitaan atau beban hidup dan pergumulan yang kita alami.
Ada dua pilihan
jalan ketika seseorang mengalami beban berat hidupnya: mencari pelarian dan
menghakimi orang lain, ataukah berlutut dalam doa dan tidak menghakimi. Orang
seperti Hana, yang berbeban berat, tidak
punya banyak waktu untuk menghakimi, dia lebih punya banyak waktu untuk
mendoakan.
Hana membela
diri karena benar (ay. 15-16). Meski demikian, dia tidak ingin membalas, dia lebih
memilih mengharapkan menerima berkat saja dari imam Eli yang menyangkanya
mabuk.
Ayat 18
adalah salah satu ayat yang saya suka dari pasal ini. Khususnya bagian akhir.
Muka Hana
tidak lagi muram. 🙂
Barangkali lebih
cerah ketimbang bunga Sakura yang mekar di musim semi. Mata yang bersinar-sinar
menyukakan hati, dan kabar yang baik menyegarkan tulang (Ams. 15:30). Baik menyukakan
hati diri sendiri maupun orang lain.
Mungkin itu
pulalah yang menyebabkan Elkana jadi ingin memadu asmara (ay. 19) dengannya
setelah kembali pulang ke Rama. Padahal mungkin sebelumnya enggan, sebab
memandang wajahnya saja yang merengut kisut membuat tidak mau mendekatinya.
Apakah
sekarang muka kita masih muram oleh sesuatu? Janganlah sembunyikan masalah. Datanglah
kepada Allah agar tidak masam atau muram muka.
Kemudian,
hamillah Hana dan melahirkan berupa anak laki-laki, Samuel (ay. 20).
Dan ketika
seperti biasanya, Elkana hendak pergi ke rumah Tuhan untuk menyembah di sana
serta mempersembahkan korban, Hana tidak mau ikut (ay. 21-22). Entah kenapa
pastinya, walau telah dia nyatakan alasannya di ayat selanjutnya.
Kita hanya
bisa menduga-duga. Mungkin karena takut akan disakiti hatinya lagi oleh
Penina—bahwa meski Hana telah memberikan anak bagi Elkana, tapi baru satu.
Entahlah.
Ada lagi bagian
lain yang menarik bagi saya. Waktu itu
masih kecil betul kanak-kanak itu (ay. 24).
Samuel, sang
nabi besar, pernah anak-anak. Tetapi dia tidak tetap di situ, berkanjang di
level kanak-kanak. Ia terus bertumbuh rohaninya, terus setia mau diproses oleh
Tuhan, dan terus mengikuti Dia, melakukan perintah-Nya.
Mungkin kita
sekarang masih stuck dan mempunyai
sifat kanak-kanak dalam hal tanggung jawab, emosi, dan lainnya. Tinggalkanlah (1
Kor. 13:11). Bertumbuhlah secara rohani.
Akhir kata 🙂, bagian ujung pada pasal 1 ini juga
sangat-sangat menarik bagi saya.
"'Maka
akupun menyerahkannya kepada TUHAN; seumur
hidup terserahlah ia kiranya kepada TUHAN.' Lalu sujudlah mereka di sana
menyembah kepada TUHAN" (1 Sam. 1:28).
Seumur hidup
terserahlah ia kiranya kepada Tuhan.
Terserahlah
ia kiranya.
Terserahlah.
Satu orang,
satu kehidupan, yang diserahkan secara sungguh-sungguh kepada Tuhan, bisa
meraih banyak bagi-Nya. Dan Dialah yang akan sungguh-sunguh memelihara. Tangan-Nya tak pernah salah.
Tinggal
pilihannya pada kita.
Apakah mau menjadi
seperti contoh yang tidak baik dengan awalan maupun akhiran nama huruf S seperti
Saul dan Yudas? Ataukah contoh yang baik dengan awalan maupun akhiran nama
huruf S seperti Samuel dan... Yesus?
Terserahlah.
29 Juni 2018
Franisz