April 5, 2019

Vantage Point

Dua pasien RSJ (rumah sakit jiwa) telah beberapa tahun dirawat & mengaku ke dokter bahwa mereka sudah sembuh.

Tidak lagi sakit jiwa.

Untuk menguji kebenaran warasnya mereka, sang dokter mengajak mereka berdua keluar sejenak, ke sebuah kolam renang yang tidak berisi air sejentik pun.

Kemudian, dokter menyuruh mereka bergantian masuk ke kolam itu dan berenang.

Pasien pertama takut, lalu berkata, "Ah nggak mau, Dok, kayaknya airnya dalem banget..."

Dokter menilai dia belum lulus alias masih gila, dan menyuruh kembali masuk dalam RS.

Giliran pasien kedua. Ia menatap dokter dan berkata, "Wah... Dokter sehat??? Kok orang tidak ada airnya gini, saya disuruh masuk kolam renang?" 

Dokter menyatakan dia sudah waras, serta segera boleh pulang dalam beberapa hari ke depan.

Setelah beberapa saat, sang dokter yang masih berada di tepi kolam, mencoba masuk ke dalam kolam kosong itu, lalu berkata, "Mereka berdua gila. Orang airnya nggak dalem gini. Berenang dulu ah."

Jadi, mana yang benar: masih ada air atau sudah kolam kering?

🙂

Sudahlah, nikmati saja candanya di atas tadi.

Kadang pemikiran dan sikap kita begituuu serius. Merasa sering kali apa yang sedang kita kerjakan, pikirkan, atau hadapi begitu dalamnya. Padahal, sometimes it's not that deep, tidaklah terlalu dalam. We can take it easy, bisa tetap tenang dalam segala hal.

Kadang apa yang kita kerjakan, pikirkan, atau hadapi itu kecil sekali. Masih kita bisa tertawa, masih kita bisa mengopi, masih kita bisa memiliki harapan.

"Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak" (Ams. 3:7 a).

Justru kadang yang dalam & harus kita serius pikirkan adalah kasih-Nya untuk kita yang sering gagal & jatuh. Dia memiliki vantage point (sudut pandang luas menyeluruh) terhadap segala sesuatu. Tidak seperti kita yang melihat cakupan sempit, terbatas dalam hidup.

Tak ada lubang dosa yang terlalu dalam yang tidak bisa dijangkau oleh kasih-Nya.

Tak ada pengetahuan yang terlalu tinggi yang tidak bisa digapai-Nya untuk melatih kita merendahkan hati.

Dokter yang tadi pun akhirnya menyadari tidak airnya di kolam itu, dan pergi ke pantai, lalu berenang di sana.

"Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin" (Ef. 3:18-19).



April 4, 2019

Sekali lagi, menulis puisi


Sekali lagi, masih ingin menulis puisi hari ini. 

Gara-garanya, diingatkan dalam hati bahwa saya sering melihat selumbar di mata orang lain, sedangkan ada balok di mata sendiri tidak saya lihat.

Ibarat berkata, kendaraan-kendaraan lain di depan saya kotor, padahal kendaraan kami lebih kotor, ataupun kaca depannya sedang kotor.

Juga, diingatkan tentang motifsesuatu yang sering kali tersembunyi, berada di alam bawah sadar, tapi cukup dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Misalnya, pernah suatu kali saya merasa sudah berbuat baik ke seorang teman ataupun saudara, tetapi setelah itu tidak merasa mendapat balasan yang baik, yang setimpal.

Omong-omong, semoga kita jadi orang yang lebih baik lagi.

Berikut puisi singkatnya.

Selumbar di Mata

Kalau saya menyatakan:

orang itu licik,
mungkin saya lebih licik

orang itu kikir
mungkin saya lebih kikir

orang itu lupa kebaikan
mungkin saya lebih lupa kebaikan

orang itu beringas tak sabaran
mungkin saya lebih beringas tak sabaran

Kalau saya menyatakan:

orang itu baik
mungkin saya tidak lebih baik,
tetapi sama

orang itu berani
hebat
mungkin saya tidak lebih berani
hebat
tetapi punya serupa potensi 


Kalau kita mau mengeluarkan balok yang ada di mata sendiri, maka kita tidak akan melihat selumbar yang ada di mata orang lain (Mat. 7:3-4). 

Benarlah kata Mother Teresa, "If you judge people, you have no time to love them. I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love" (Kalau terus-menerus kita menilai orang lain, tak punya kita kesempatan untuk mengasihi mereka. Ada paradoks bahwa saat kita benar-benar mengasihi, bahkan sampai merasa terluka, maka takkan ada lagi rasa sakit, melainkan kekuatan untuk makin mengasihi).

Benarlah juga Paulus mengujar,

"Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,' dan di antara mereka akulah yang paling berdosa" (1 Tim. 1:15).




April 2, 2019

Setelah lama tak berpuisi


Ingin menulis puisi. Sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan. 

Apakah menulis puisi supaya tulisan tidak perlu panjang-panjang? Bisa ya, bisa juga tidak. 

Apakah menulis puisi membuat kurang macho? Belum tentu, karena malah mampu melembutkan hati serta menguatkan pikiran (soften your heart, strengthen your mind). 

Berikut puisi singkat. 🙂


Tak bisa ku memilih jadi pelayan
s'kaligus menjadi tuan

Tak bisa ku memilih mengasihi
s'kaligus penuh benci

Tak bisa ku memilih bersabar
s'kaligus amarah murka berangkara 

Tak bisa ku memilih jadi hamba
s'kaligus dalam hati ingin dilayani

Tak bisa ku memilih mengejar cepat kaya
s'kaligus ingin melayani yang papa

Tak bisa ku memilih belajar rendah hati
s'kaligus tiap ada kesempatan meninggi hati

Tak bisa ku memilih tulus memuji
s'kaligus pendam motif merendahkan sang pribadi

Tak bisa ku memilih God-reliant, andalkan Dia
s'kaligus anut self-reliant, andalkan diri sendiri 

Ku mesti memilih satu
'pabila tidak, akan serbasalah

Ku mesti jadi satu
s'moga itu tiada yang salah


"Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya" (Yak. 1:8).

"Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain" (Mat. 6:24 a, b).



March 22, 2019

Tidak Tahu Nyerah


Suatu siang, saya pernah merindukan waktu-waktu bersama teman, baik yang lama maupun yang baru, terutama yang lama. Lebay-kah rasa rindu 🙂?

Saat itu pun saya juga merindukan semua keluarga saya. 

Lalu sambil mendengarkan album Snowbound oleh band Fourplay yang berisi kompilasi lagu-lagu Natal dalam versi jazz, saya cicipi kerinduan itu.

Sebenarnya, daripada rasa rindu itu, saat itu terlebih saya merindukan versi pribadi yang sebenarnya, the right version of me. Pernahkah seperti itu? Menginginkan jati diri Anda yang sebenarnya muncul dari diri Anda?

Kadang saya berpikir, apa yang masih bisa dipelajari dari orang seperti saya, yang mungkin mengalami banyak kegagalan serta menghadapi berbagai masalah?

Sebentar, sebelum menjawabnya, kita akan kembali ke soal rindu teman tadi. Sesekali saya juga rindu satu teman lama, yaitu sepeda motor Honda Spacy kami, yang sudah menempuh jarak ribuan km ketika masih bolak-balik dari Depok ke Daan Mogot maupun tempat lainnya naik motor itu. Karena sudah lama tidak memakainya dan mesinnya jarang saya panaskan, kurang lebih selama enam bulan semenjak terakhir kali memanasinya, apalagi belum perpanjangan STNK, ketika mencoba menyalakan mesin, tidak bisa nyala. 

Beberapa menit saya coba hidupkan, tapi tetap tidak mau menyala. Tetapi, saya tidak mau menyerah. Saya percaya, Spacy kami itu juga enggan menyerah. Tidak akan menyerah. Alay-kah sikap semangat 🙂?

Sekarang, kembali ke soal apa yang masih bisa dipelajari dari seorang seperti saya, atau kita, yang mungkin mengalami kegagalan dan sedang menghadapi masalah? 

Ya apabila tidak ada yang lain, itu sajalah—tidak nyerah—yang masih bisa dipelajari dari saya. 

Salah satu ketidaktahuan yang baik adalah tidak tahu cara menyerah dalam hidup ini.

Saya tidak menyerah menyalakan Spacy. Sebab saya tahu kepunyaan saya, Spacy itu. Setelah beberapa kali mengengkol starter kaki, mesin mau hidup hari itu! Walau mesti berulang kali mesinnya mati, akhirnya mau nyala. Sejak itu, mesti telaten dan tidak lupa memanasinya, apalagi plat nomor sudah baru. Semoga ini sesuatu yang berarti, bukan yang sepele.

Dia pun demikian terhadap Anda dan saya, God hasn't given up on you yet. Siapa pun kita. Apa pun yang telah kita alami, asal kita berharap dan berseru hanya pada-Nya. Dia belum menyerah untuk memunculkan apa yang baik, menghidupkan yang masih baik, dari hidup kita.

Mungkin telah beberapa tahun kita menyerah mempercayai Dia atau lari dari-Nya. Namun, Ia tidak akan menyerah atas kita. Karena kita masih laik jalan!

Mengapa Ia enggan menyerah terhadap kita? Untuk menjawabnya, saya jadi teringat lagu rohani lama anak-anak yang berbunyi, "He knows my name, He knows my every thought, He sees each tear that falls, and He hears me when I call."

"Ia menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebut nama-nama semuanya" (Mzm. 147:4).

Karena Ia tahu kepunyaan-Nya. Biarlah sekiranya orang-orang menyerah terhadap kita, Ia tidak. Kecuali kita sendiri yang benar-benar menyerah terhadap-Nya.

Dia tahu namamu, dan memanggil namamu. Namaku juga. Dengan lembut. Pun bukankah mungkin Dia adalah Teman kita yang paling lama? Kalau Ia saja tidak menyerah terhadap bintang-bintang di atas sana dan tahu namanya semua, terlebih lagi Dia tidak akan menyerah terhadap kita, karena Dia tahu kepunyaan-Nya. 

Dan ingat, teman lama masih bisa menjadi teman yang baik, tetapi manusia lama kita tidak akan pernah jadi sahabat yang baik bagi kita.




March 21, 2019

Sakit Gigi


Sakit gigi tidak pandang bulu.

Anak pernah.

Istri pun. Sehari yang lalu.

Saya juga.

Pukul 01.11 dini hari. Cherish putri kami suatu hari sakit gigi dan tidak bisa tidur. Sambil menangis. Dia mengganjal pipinya dengan tangan, menahan rasa sakitnya.

Sebelumnya, dia makan banyak sekali permen & tidak sikat gigi. Hal seperti itu pun pernah terjadi beberapa kali, sehingga sakit gigi & tak bisa tidur. Walau begitu, sepertinya dia belum jera, dan hari-hari berikutnya ketika sakitnya reda, seenaknya makan permen. Meremehkan kekuatan gigi yang ngilu.

Pagi jelang subuh itu, saya terbangun sejenak, serta agak memarahi Cherish. Mamanya pun bangun, kesal juga, walau masih mencarikan obat baginya.

Pernah mengalami sakit gigi seperti itu? Yang ngilunya bikin tidak bisa tidur? Pernah ya.

Bicara efek sakit gigi, kita pun bisa belajar dari anak-anak kita.

Sering kali saya rasa Dia pun mengajarkan sesuatu lewat yang Cherish alami maupun lakukan. Lagipula, bisa juga kan like father, like daughter.

Seperti halnya putri kami meremehkan kekuatan sakit gigi, kita kerap cenderung meremehkan kekuatan akibat melakukan sesuatu yang salah atau dosa. Padahal, dampaknya lebih besar daripada ngilu sakit gigi. Dosa menyebabkan depresi. Hati bimbang. Pikiran tanpa kedamaian.

Ulangan 2:4 menyebutkan tentang berhati-hati supaya tidak meremehkan sesuatu, "Perintahkanlah kepada bangsa itu, demikian: Sebentar lagi kamu akan berjalan melalui daerah saudara-saudaramu, bani Esau, yang diam di Seir; mereka akan takut kepadamu. Tetapi hati-hatilah sekali."

Manusia cenderung menganggap remeh. Sering kali kita lebih bisa mengerjakan sesuatu yang kelihatan sulit dikerjakan, daripada menghargai sesuatu atau seseorang yang sebenarnya tidak boleh kita remehkan.

Mungkin kita pun meremehkan pekerjaan kita sekarang—entah sekecil apa pun, gaji seberapa pun. Tidak menghargai yang Dia beri dan percayakan. Lalu, komplain terhadap banyak hal yang tak perlu dikomplainkan. 1.001 alasan. Bersungut-sungut. Membanding-bandingkan. Apalagi, meremehkan dampak karakter yang kita hasilkan.

Kalau Esau yang memandang rendah hak kesulungannya, mungkin contoh yang klise dan sudah sering mendengarnya. Tetapi, contoh lain dan agak modern adalah...

Charlie Zelenoff.

Tidak tahu apakah saat ini ia sudah berubah atau belum, tetapi ia seorang yang menganggap remeh banyak orang, terutama yang ia rasa lebih lemah ketimbang dirinya. Apakah ia seperti itu karena sebenarnya belum mampu menghargai diri sendiri—kita tidak tahu. 

Ia suka membual, mem-bully"Mereka tidak menunjukkan belas kasihan, mereka membual" (Mzm. 17:10). Dan pengecut. Pun pernah ia meninju seorang petinju senior dari belakang! 

Sampai akhirnya, Charlie Zelenoff harus berhadapan dengan orang-orang yang sanggup mengalahkannya, memberi dia pelajaranDarinya, kita bisa belajar untuk tidak menganggap remeh orang lain, siapa pun atau seperti apa pun mereka. Ataupun meremehkan sesuatu. Termasuk kekuatan efek ngilu karena sakit gigi akibat tidak sikat gigi.

Sebenarnya, orang yang menganggap remeh adalah seseorang yang tidak memiliki esensi atau hal pokok, yang benar-benar penting dalam hidupnya, dan hatinya.

"Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama" (2 Tim. 3:2).



March 20, 2019

Versi yang Baru


Kemarin seorang teman kantor bercelatuk, "Wah, kelihatan baru, nih." Padahal, sebenarnya ia ingin menyapa dan menyatakan ke seorang teman lainnya bahwa dia baru kelihatan setelah beberapa saat tidak bertemu.

Lucu juga sih, daripada mengatakan, baru kelihatan, lebih baik kelihatan baru. 🙂🙂 

Terkait sesuatu yang baru, istri saya Iva pernah mencoba melampirkan file risalah serta beberapa bahan lain dan ingin mengirimkan dengan e-mail. Tetapi, karena masih menggunakan Yahoo versi lama, maka proses melampirkannya memakan waktu yang sangat lama, entah kenapa. Mungkin karena tidak kompatibel untuk melampirkan file yang akan dikirimkan.

Lalu, saya mencoba meng-upgrade atau memperbarui versi yang lama itu dengan yang baru. Sehingga tampilan layarnya pun lebih baik. Dan akhirnya, lampiran pun bisa terkirim semua. Tampilan & kinerja e-mail lama yang lemot (lambat), terasa terbatas & mengganggu, sudah teratasi dengan fitur-fitur versi yang lebih baru.

Seperti halnya e-mail versi yang lama, banyak dari antara kita juga yang masih senang dengan tampilan serta cara hidup dan pola pikir yang lama. Padahal, kita sudah memiliki pemikiran & hati yang baru.

"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang" (2 Kor. 5:17).

Maukah selalu mengenakan fitur-fitur yang baru dari manusia baru kita itu?

Apakah keseharian kita sudah in tune, kompatibel dengan firman & kehendak-Nya supaya kita tidak lemot, merasa terbatas, atau terganggu terhadap setiap keadaan yang kita hadapi dalam hidup ini?



March 17, 2019

Setia

Saya rasa faithfulness atau kesetiaan lebih penting daripada thinking big atau sekadar berpikir besar.

Sebab banyak orang mungkin bisa berpikir besar. Tetapi tidak banyak orang yang bisa belajar untuk setia. Padahal, kesetiaan pun pasti termasuk dalam area berpikir besar.

Dalam Nehemia 13, ada kalimat yang menarik.

"Karena orang-orang itu dianggap setia. Mereka diserahi tugas untuk mengurus pembagian kepada saudara-saudara mereka" (Neh. 13:13 b, c).

Ingatan saya masih setia terhadap ayat berikut ini.

"Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya" (Ams. 20:6)?

Semoga bukan hanya ingatan atau memori yang setia pada alamat firman, melainkan juga dalam melakukannya.

Saya rasa juga, tidak ada penghargaan yang lebih besar dari orang lain ataupun dari Dia bahwa kita dianggap & dipandang setia. Dan bahwa kita memang setia, meski mungkin belum ada orang yang mengakui maupun menghargainya.

Ada penghargaan dan upah terhadap kesetiaan.

Dua orang panutan terbaik tentang kesetiaan adalah Tikhikus dan Onesimus (see Kolose 4:7-9, yang menyebutkan mereka hamba yang setia, dan saudara yang setia.)

Dalam hal apakah kita setia?

Mungkin kesetiaan menagih kita setiap hari dan setiap saat lebih sering daripada seorang debt collector atau penagih utang.

Kita pernah gagal dan tidak setia. Tetapi, mohonlah ampunan-Nya.

"Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya" (2 Tim. 2:13).

Kegagalan masih bisa jadi batu-batu pijakan bagi kita di antara lumpur-lumpur godaan maupun pasir isap yang mencoba membuat kita tetap jatuh. Asalkan kita punya sikap yang benar, terutama dalam hati kita, mau ambil tanggung jawab, apa adanya, serta sadar akan pelajaran berharga yang telah kita terima dari kegagalan itu supaya kita mencapai potensi diri yang sebenarnya.

Dia terpesona dengan kesetiaan kita. Yang tak mau tetap dalam keadaan jatuh. Yang mau selalu bangkit lagi. Yang terus mau mengikut Dia.


"[I'm] a believer who love to sing, fall many times in life but willing to learn and stand up even more! I belong to Jesus." Trully Wismandanu



March 15, 2019

Sendirian




Apa yang sering kita lakukan saat sendirian?

Acap kali mungkin melakukan atau menginginkan kehendak ataupun kemauan diri sendiri. 

Sebenarnya, kita seperti itu karena tidak tahu apa yang sesungguhnya kita inginkan. 

"Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia [Filipus—atau ganti dengan nama kita], sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya" (Yoh. 6:6).

Tidak hanya Yesus tahu dan sadar status-Nya, Ia juga tahu apa yang telah, sedang, maupun hendak dilakukan-Nya. 

Waktu sendirian pun, Ia berdoa.

"Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ" (Mat. 14:23).

"Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri" (Yoh. 6:15).

Dia bukan penyendiri (ogre atau hermit), sebab pun ada waktu-waktunya berinteraksi dengan orang-orang lain. Seperti halnya yang pernah dilakukan Henry David Thoreau ketika mengungsi, menyendiri ke hutan, dan menuliskan Walden.

Beberapa kali mungkin Ia yang sering kali terlebih dulu membuka interaksi, memulai percakapan, ataupun menyapa orang-orang. He led an intentional living. Ia tahu apa yang ingin Ia lakukan. Saat bersama orang lain, maupun saat sendirian.

Apa yang kita lakukan saat sendiri sering kali akan menentukan bagaimana respons, sikap, tindakan, keadaan kita, dan lain-lain ketika di tengah keramaian maupun di depan orang-orang.

Dia menyukai, menikmati waktu-waktu kesendirian dengan kita. Bahkan mungkin saat ini Ia menantiberduaan dengan Anda, meskipun Anda sedang merasa sendiri.

March 14, 2019

Jalan Segala yang Fana


Baru tadi membaca artikel tentang telah lewat setahunnya Billy Graham berpulang, entah mengapa hari ini bertepatan mempostingkan sedikit tulisan tentang beliau. 

Billy Graham.

Beliau wafat pada 21 Februari 2018 yang lalu, sehari setelah ulang tahun saya. Di usianya yang ke-99 tahun.

Steven Furtick, seorang pahlawan iman juga, berduka, "You showed us how to leave the 99 for the 1. Thank you Dr. Graham. Rest in Peace." Maksudnya, Billy Graham telah meninggal, namun yang penting beliau telah memberikan teladan, yaitu untuk menyerahkan sepanjang sisa kehidupannya kepada Tuhan Yesus, satu Pribadi itu.

Begitu banyak ucapan belasungkawa dari pemimpin-pemimpin besar dunia maupun tulisan yang meneguhkan dampak pelayanan, pengalaman, serta pribadi beliau.

Kalau seseorang seperti Billy Graham, yang telah berkhotbah bagi ratusan juta orang, sekitar 215 juta, lebih banyak daripada siapa pun sepanjang sejarah, dan pernah menjadi sahabat bagi sejumlah presiden AS maupun pemimpin negara-negara lainnya, dan sudah berbuat banyak bagi Dia saja bisa meninggal dunia, masakah kita tidak mau menyadari fakta bahwa suatu hari pun kita akan mengalami hal yang sama, menempuh jalan segala yang fana?

Sebab jujur, kadang kala kita merasa seolah dapat hidup lama dan tidak akan meninggal dunia dengan segera. Apa pun yang kita lakukan pun sering kali menunjukkan bahwa kita hidup tanpa gentar terhadap apa puntermasuk kematian.

"Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka" (Ibr. 13:7).

Kalaupun sekirannya firman itu belum mampu menusuk dada, menyentuh hati kita, setidaknya belajarlah dari akhir hidup beliau. Karakter seperti apa yang kita wariskan selama masih menumpang di dunia ini?

Billy Graham pernah berujar, "Jika harta sirna, sebenarnya tidak ada yang sirna dan hal itu bukanlah segalanya. Jika kesehatan atau keprimaan hidup sirna, memang terasa ada sesuatu yang hilang. Namun saat karakter sirna, segala-segalanya benar-benar sirna dari hidup kita."

Kelak ketika kita pun akhirnya sampai pada hari menjumpai Pencipta kita, semoga orang-orang yang kita kasihi maupun sahabat-sahabat yang kita tinggalkan akan belajar juga dari hidup kita, dan bahwa mereka telah kehilangan satu pahlawan iman mereka.


"In the end, it’s not the years in your life that count. It’s the life in your years."
―Abraham Lincoln





March 13, 2019

Leluasa


Apa yang membuat kita tidak dapat bersaksi dengan leluasa?

Apakah karena kehidupan kita sendiri tidak sesuai dengan yang ingin kita bagikan? (Tidak apa-apa, itu semua butuh waktu & proses. Seseorang yang berpindah kewarganegaraan pun tentu tidak bisa langsung ujug-ujug berubah. Perlu beradaptasi dulu dengan budaya yang beda, dan lainnya.)

Apakah juga karena kita masih memiliki, menyimpan rahasia-rahasia buruk? Rahasia atau keburukan yang kita pendam akan menghentikan potensi kita. (Ingat, mobil Ferrari tidak akan bisa melaju kencang dengan semestinya apabila masih memanggul beban seberat truk pengaduk semen, atau sebesar kontainer.)

Sering kita takut. Ragu-ragu. Atau tidak tahu apa yang mesti dibagikan kepada orang lain. Di taksi misalnya, atau di pasar, bahkan di rumah, dan di manapun. Padahal kita cukup bersaksi saja. Dan apa yang kita bagikan mungkin adalah obat bagi kehidupan yang mereka selama ini butuhkan. 

"Karena mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa" (1 Tim. 3:13).

Bayangkan, betapa segarnya saat kita bisa bersaksi dengan bebas! Tanpa rasa takut!

Saat kita merasa gagal—itulah yang musuh inginkan, yaitu membuat kita merasa tidak jadi bermanfaat dan terpuruk kalah dalam kegagalan—kita pun merasa tidak bisa memberi kesaksian dengan leluasa. Jeremy Foster pernah berkata, "Your faith is more important than your failure." Imanmu jauh lebih berharga daripada kegagalan-kegagalanmu. Jadi, tak perlulah membela diri, sebab Pembela terbaik adalah Dia.

Apalagi menyerah, jangan pernah.

Berlarilah, tapi tetap kepada-Nya.

Asalkan, jika kita sudah dapat bersaksi secara leluasa, jangan lupa diri. Terlalu leluasa bersaksi mungkin adalah salah satu ciri kepongahan dan memegahkan diri sendiri. Apalagi menggunakan kemerdekaan, bersaksi, itu untuk tujuan-tujuan kita sendiri yang akan menjadi rahasia-rahasia buruk lagi (Ibr. 10:26-31).

Hati nurani yang bersih adalah mata air kesaksian yang paling leluasa. Bukan hebat di mimbar atau kesaksian saja, tetapi kesehari-harian kita akan berbicara dengan sendirinya serta dilihat oleh orang-orang lainnya.

"Juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan. Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara" (Ef. 6:19-20).

Orang yang berhenti bersaksi, berhenti menjadi efektif.

Hikmat, kuasa, kasih karunia-Nya semoga menuntun dan menyertai kita bersaksi dengan leluasa. Oh, betapa bebasnya!