“The care of the soul is a matter
of the highest importance; beyond
anything which can be brought into comparison with it.”
—George Whitefield
Tempo lalu saya
menulis sedikit tentang Kichijiro, seorang
tokoh dalam Silence yang sering jatuh
dan bangun dalam hidupnya. Kemudian, baru-baru ini saya diingatkan tentang salah
satu tokoh dalam The Lord of the Rings
karya (John Ronald Reuel) Tolkien. Tokoh tersebut adalah Gollum, atau disebut juga
Sméagol.
Kalau
Kichijiro kadang jatuh, kadang bangun, Sméagol kadang jahat, kadang baik.
Apakah kedua
tokoh tersebut serupa? Saya tidak tahu, sebab saya tidak akan mengupasnya panjang
lebar—tapi satu yang pasti, yaitu bahwa
kalau Kichijiro, pada akhirnya benar-benar mau bertobat dan berubah, tidak mau
jatuh bangun lagi dalam hidupnya.
Bagaimana
dengan Gollum/Sméagol?
Mari kita
kupas sejenak tentang dia.
Gollum merupakan salah satu jenis hobbit, makhluk fantasi karangan Tolkien. Ciri-cirinya pendek dan
kotor karena agak memiliki semacam lendir di tubuhnya (small, slimy creature:
entah ‘slimy’ maksudnya berlendir, ataukah artinya picik), berkulit pucat,
berpakaiankan hanya secarik kain sehingga setengah telanjang.
Ia bisa berjalan dan memanjat mengendap-endap
layaknya seekor laba-laba. Hanya punya tersisa enam gigi di mulutnya, namun
gigitannya sangat kuat sampai-sampai bisa memutuskan jari manusia.
Nama Gollum berasal karena dari suara
seraknya yang mirip batuk berdahak keluar dari tenggorokannya saat berbicara—mengingatkan saya tentang seorang
pengkhotbah yang berbicara seperti itu ketika di mimbar yang pernah dibagikan oleh
komedian Michael Jr.
Usia Gollum menjelang kematiannya adalah
sekitar 500-an tahun karena dampak kuasa dari membawa sebuah cincin (Ring). Dan karena rentang usianya yang
begitu lisut akibat pengaruh buruk cincin itu, Gollum makin berubah dalam hal wujud
serta pikirannya. Meskipun begitu, masih hasrat utamanya ialah memiliki cincin
tersebut dan akan memburu siapa pun yang mengambil/menyimpannya. Salah satunya
adalah figur Bilbo Baggins.
Sebelumnya, Gollum mulai memiliki cincin
itu seusai memancing bersama seorang sepupunya. Ketika itu, sepupunyalah yang
menemukan cincin emas tersebut. Namun, Gollum terjerat pesona kuasa cincin itu,
lalu meminta sepupunya supaya menjadikannya hadiah ulang tahunnya.
Sepupunya menolak. Gollum pun murka dan
berkelahi dengan sepupunya itu, mencekiknya hingga mati, dan menyimpan cincin
itu.
Kian hari, perangai Gollum kian parah.
Sehingga diusir dari lingkungan hobbit-nya.
Kemudian ia tinggal di dalam sebuah gua di pegunungan, Misty Mountains. Di
sanalah ia dapat hidup selama ratusan tahun, memakan apa pun yang dapat ditangkap
dan dimakannya mentah-mentah.
Semasa ratusan tahun atas pengaruh
cincin itu, Gollum mulai juga memiliki perilaku yang menyimpang dan
berubah-ubah. Satu sisi, ia adalah Gollum yang memiliki sifat jahat, berkepribadian
buruk, menjadi hamba cincin itu, dengan bola mata yang menyorot runcing tiap
kali sisi ini muncul, dan sudi membunuh siapa pun yang mencoba mengambilnya. Di
sisi lain, ia adalah Sméagol yang memiliki
sifat kanak-kanak, berkepribadian baik, dengan pupil yang lebar, yang selalu
teringat akan arti persahabatan maupun cinta. (Bayangkan, bagaimana kita bisa hidup dengan seseorang yang mungkin
berkepribadian ganda seperti itu: jahat di belakang, tapi baik di depan? Bisakah?
Saya lupa ada juga seorang penulis yang mengakui dan mengatakan terhadap
istrinya bahwa memang tak mudah untuk hidup bersama dengan penulis itu. Entah disebabkan oleh kepribadian ganda atau
satu kepribadiannya yang memang menjengkelkan.)
Dua
personalitas dalam diri Gollum/Sméagol itu kerap berkecamuk di dalam dirinya; sering
kali berbicara dengan diri sendiri; merasakan kebencian maupun kasih kadang
secara bersamaan maupun bergantian—baik terhadap cincin itu ataupun dirinya
sendiri. Sepanjang ceritanya, ia terjebak di antara nafsunya memiliki cincin dan
keinginannya untuk terbebas dari hal itu.
Kita pun mungkin
sering seperti begitu. Mendengarkan pikiran kita sendiri yang cenderung
negatif. Padahal, sebenarnya kita bisa saja berkata-kata terhadap diri sendiri,
daripada mendengarkan apa kata pikiran kita yang cenderung negatif tadi. Apa
yang kita perkatakan terhadap diri sendiri sering positif atau bisa yang
baik-baik saja, sedangkan apa yang diperkatakan pikiran kita sebaliknya—mungkin
karena sudah teramat sering mendengar/melihat/membaca/mengalami atau
terpengaruh hal-hal buruk di sekitar kita semenjak kecil hingga usia saat ini.
Menurut Peter Jackson, produser maupun
sutradara film The Lord of the Rings,
Sméagol adalah sosok yang penuh keceriaan, manis sikapnya (a joyful, sweet character). Sméagol enggan berbohong, menipu,
ataupun memanipulasi orang lain. Sméagol juga enggan menguasai orang-orang yang
lemah ketimbang dirinya. Bahkan, ia sangat layak dikasihi. Sebaliknya, masih
menurut Peter, segala sifat jahat hanya dimiliki oleh Gollum. Gollum yang
kejam.
Sméagol pun kalem (lemah lembut) dan
cinta damai.
Apakah ciri-ciri Gollum/Sméagol
menggambarkan juga akan kebanyakan dari kita?
Dua sisi
bergejolak di dalam diri kita.
Sisi jahat dan sisi baik rasanya kadang
seperti terpisah antara jurang yang jauh dan dalam, tapi sekaligus dekat dan
bisa terjatuh ke dalamnya kapan saja. Gambaran realitas yang mungkin kita alami
sehari-hari.
Viktor
F. Frankl pernah berkata, “Bagaimana kita bisa menduga perilaku manusia?
Kita bisa menduga gerakan mesin, sebuah robot; lebih jauh lagi, kita bahkan
bisa menduga mekanisme atau dinamika jiwa manusia. Tetapi manusia lebih
dari sekadar jiwa. Saya akan
menceritakan kepada Anda kisah Dr J.—waktu itu, dia lebih dikenal sebagai 'si
pembunuh massal dari Steinhof.' Ketika pihak Nazi memulai program eutanasia,
dia sendirilah yang menjadi algojonya, yang sangat fanatik dalam melaksanakan
tugasnya, dan berusaha keras agar tidak ada satu orang pun yang bisa lolos dari
kamar gas.
“Setelah perang, ketika saya kembali ke Wina,
saya bertanya, apa yang terjadi dengan Dr J. 'Dia ditahan oleh pihak Rusia di
salah satu sel Steinhof yang terasing. Tetapi, keesokan harinya, sel tempatnya
ditahan ditemukan terbuka, dan Dr J. tidak pernah terlihat lagi batang
hidungnya.'
“Kemudian, saya yakin bahwa seperti yang lain,
dan berkat bantuan rekan-rekannya, dia berhasil melarikan diri ke Amerika
Selatan. Tetapi, baru-baru ini saya kedatangan seorang mantan diplomat Austria
yang selama bertahun-tahun pernah ditahan di negara Tirai Besi (Rusia).
Pertama-tama di Siberia, kemudian dipindahkan ke penjara Lubianka yang terkenal
di kota Moskow. Ketika saya sedang memeriksa syarafnya, tiba-tiba orang
tersebut bertanya, apakah saya mengenal Dr. J.
“Ketika saya katakan saya mengenalnya, orang
itu menambahkan, 'Saya bertemu dengannya saat berada di Lubianka. Di tempat itu
dia meninggal pada usia 40 tahun akibat kanker kantung kemih. Tetapi, sebelum
meninggal, dia merupakan teman terbaik yang pernah bisa Anda bayangkan! Dia
menghibur semua orang. Dia hidup dengan menerapkan nilai-nilai moral yang
paling tinggi yang bisa dipikirkan. Dialah teman terbaik yang saya miliki
selama saya mendekam di penjara untuk waktu yang lama!'”
Ibarat sosok
Gollum serta Sméagol dalam satu orang,
bukan?
Saya rasa, berhati-hatilah
terhadap baik Gollum maupun Sméagol yang bisa saja muncul dalam diri kita. Mungkin
masih lebih baik, menurut saya, sosok Kichijiro yang mungkin ada dalam diri
kita.
Mungkin
pelajaran terbaik yang bisa kita ambil adalah dari hidup Paulus. Tapi, adakah Gollum dalam diri Paulus? Sebagaimana
yang pernah ia katakan bahwa “Dan supaya
aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu,
maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk
menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah
tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku”
(2 Kor. 12:7-8). Adakah sifat Gollum dalam diri kita masing-masing? Apakah Sméagol?
Ataukah Kichijiro?
Semoga Satyameva Jayate sajalah. Kebenaran pasti akan menang. Pasti.
Semoga juga, kalaulah boleh berlebih
sedikit, jadi seperti berlian saja—sebuah batu yang pada awalnya hanyalah
karbon biasa, hitam, kotor, dan mudah terbakar. Tetapi, setelah mengalami tekanan
candradimuka dan tempaan panas tinggi selama bertahun-tahun, akhirnya batu karbon
ini menjadi murni dan kuat. Menjadi perhiasan yang indah dan mahal.
Apa pun kekotoran, tekanan, atau
penderitaan yang kita hadapi saat ini, semoga kita menjadi jati diri kita yang sejati. Menjadi yang baik saja. Dan apa
pun yang kita alami, semoga dapat menjadi Parama
Suha Salai bagi kita nantinya.
“However, I consider my life worth
nothing to me; my only aim is to finish the race and complete the task the Lord
Jesus has given me—the task of testifying to the good news of God’s grace.”
—Kis. 20:24, NIV