April 5, 2019

Vantage Point

Dua pasien RSJ (rumah sakit jiwa) telah beberapa tahun dirawat & mengaku ke dokter bahwa mereka sudah sembuh.

Tidak lagi sakit jiwa.

Untuk menguji kebenaran warasnya mereka, sang dokter mengajak mereka berdua keluar sejenak, ke sebuah kolam renang yang tidak berisi air sejentik pun.

Kemudian, dokter menyuruh mereka bergantian masuk ke kolam itu dan berenang.

Pasien pertama takut, lalu berkata, "Ah nggak mau, Dok, kayaknya airnya dalem banget..."

Dokter menilai dia belum lulus alias masih gila, dan menyuruh kembali masuk dalam RS.

Giliran pasien kedua. Ia menatap dokter dan berkata, "Wah... Dokter sehat??? Kok orang tidak ada airnya gini, saya disuruh masuk kolam renang?" 

Dokter menyatakan dia sudah waras, serta segera boleh pulang dalam beberapa hari ke depan.

Setelah beberapa saat, sang dokter yang masih berada di tepi kolam, mencoba masuk ke dalam kolam kosong itu, lalu berkata, "Mereka berdua gila. Orang airnya nggak dalem gini. Berenang dulu ah."

Jadi, mana yang benar: masih ada air atau sudah kolam kering?

🙂

Sudahlah, nikmati saja candanya di atas tadi.

Kadang pemikiran dan sikap kita begituuu serius. Merasa sering kali apa yang sedang kita kerjakan, pikirkan, atau hadapi begitu dalamnya. Padahal, sometimes it's not that deep, tidaklah terlalu dalam. We can take it easy, bisa tetap tenang dalam segala hal.

Kadang apa yang kita kerjakan, pikirkan, atau hadapi itu kecil sekali. Masih kita bisa tertawa, masih kita bisa mengopi, masih kita bisa memiliki harapan.

"Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak" (Ams. 3:7 a).

Justru kadang yang dalam & harus kita serius pikirkan adalah kasih-Nya untuk kita yang sering gagal & jatuh. Dia memiliki vantage point (sudut pandang luas menyeluruh) terhadap segala sesuatu. Tidak seperti kita yang melihat cakupan sempit, terbatas dalam hidup.

Tak ada lubang dosa yang terlalu dalam yang tidak bisa dijangkau oleh kasih-Nya.

Tak ada pengetahuan yang terlalu tinggi yang tidak bisa digapai-Nya untuk melatih kita merendahkan hati.

Dokter yang tadi pun akhirnya menyadari tidak airnya di kolam itu, dan pergi ke pantai, lalu berenang di sana.

"Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin" (Ef. 3:18-19).



April 4, 2019

Sekali lagi, menulis puisi


Sekali lagi, masih ingin menulis puisi hari ini. 

Gara-garanya, diingatkan dalam hati bahwa saya sering melihat selumbar di mata orang lain, sedangkan ada balok di mata sendiri tidak saya lihat.

Ibarat berkata, kendaraan-kendaraan lain di depan saya kotor, padahal kendaraan kami lebih kotor, ataupun kaca depannya sedang kotor.

Juga, diingatkan tentang motifsesuatu yang sering kali tersembunyi, berada di alam bawah sadar, tapi cukup dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Misalnya, pernah suatu kali saya merasa sudah berbuat baik ke seorang teman ataupun saudara, tetapi setelah itu tidak merasa mendapat balasan yang baik, yang setimpal.

Omong-omong, semoga kita jadi orang yang lebih baik lagi.

Berikut puisi singkatnya.

Selumbar di Mata

Kalau saya menyatakan:

orang itu licik,
mungkin saya lebih licik

orang itu kikir
mungkin saya lebih kikir

orang itu lupa kebaikan
mungkin saya lebih lupa kebaikan

orang itu beringas tak sabaran
mungkin saya lebih beringas tak sabaran

Kalau saya menyatakan:

orang itu baik
mungkin saya tidak lebih baik,
tetapi sama

orang itu berani
hebat
mungkin saya tidak lebih berani
hebat
tetapi punya serupa potensi 


Kalau kita mau mengeluarkan balok yang ada di mata sendiri, maka kita tidak akan melihat selumbar yang ada di mata orang lain (Mat. 7:3-4). 

Benarlah kata Mother Teresa, "If you judge people, you have no time to love them. I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love" (Kalau terus-menerus kita menilai orang lain, tak punya kita kesempatan untuk mengasihi mereka. Ada paradoks bahwa saat kita benar-benar mengasihi, bahkan sampai merasa terluka, maka takkan ada lagi rasa sakit, melainkan kekuatan untuk makin mengasihi).

Benarlah juga Paulus mengujar,

"Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,' dan di antara mereka akulah yang paling berdosa" (1 Tim. 1:15).




April 2, 2019

Setelah lama tak berpuisi


Ingin menulis puisi. Sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan. 

Apakah menulis puisi supaya tulisan tidak perlu panjang-panjang? Bisa ya, bisa juga tidak. 

Apakah menulis puisi membuat kurang macho? Belum tentu, karena malah mampu melembutkan hati serta menguatkan pikiran (soften your heart, strengthen your mind). 

Berikut puisi singkat. 🙂


Tak bisa ku memilih jadi pelayan
s'kaligus menjadi tuan

Tak bisa ku memilih mengasihi
s'kaligus penuh benci

Tak bisa ku memilih bersabar
s'kaligus amarah murka berangkara 

Tak bisa ku memilih jadi hamba
s'kaligus dalam hati ingin dilayani

Tak bisa ku memilih mengejar cepat kaya
s'kaligus ingin melayani yang papa

Tak bisa ku memilih belajar rendah hati
s'kaligus tiap ada kesempatan meninggi hati

Tak bisa ku memilih tulus memuji
s'kaligus pendam motif merendahkan sang pribadi

Tak bisa ku memilih God-reliant, andalkan Dia
s'kaligus anut self-reliant, andalkan diri sendiri 

Ku mesti memilih satu
'pabila tidak, akan serbasalah

Ku mesti jadi satu
s'moga itu tiada yang salah


"Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya" (Yak. 1:8).

"Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain" (Mat. 6:24 a, b).