Sekali lagi, masih ingin menulis puisi hari ini.
Gara-garanya, diingatkan dalam hati bahwa saya sering melihat selumbar di mata orang lain,
sedangkan ada balok di mata sendiri tidak saya lihat.
Ibarat berkata, kendaraan-kendaraan lain di depan
saya kotor, padahal kendaraan kami lebih kotor, ataupun kaca depannya sedang kotor.
Juga, diingatkan tentang motif—sesuatu yang
sering kali tersembunyi, berada di alam bawah sadar, tapi cukup dapat mempengaruhi
cara berpikir dan bertindak. Misalnya, pernah suatu kali saya merasa sudah berbuat baik
ke seorang teman ataupun saudara, tetapi setelah itu tidak merasa mendapat balasan yang baik, yang setimpal.
Omong-omong, semoga kita jadi orang yang lebih baik
lagi.
Berikut puisi singkatnya.
Selumbar di Mata
Kalau
saya menyatakan:
orang
itu licik,
mungkin
saya lebih licik
orang
itu kikir
mungkin
saya lebih kikir
orang
itu lupa kebaikan
mungkin
saya lebih lupa kebaikan
orang
itu beringas tak sabaran
mungkin
saya lebih beringas tak sabaran
Kalau saya
menyatakan:
orang
itu baik
mungkin
saya tidak lebih baik,
tetapi
sama
orang
itu berani
hebat
mungkin
saya tidak lebih berani
hebat
tetapi
punya serupa potensi
Kalau kita mau mengeluarkan balok yang ada di mata sendiri, maka kita tidak akan melihat selumbar yang ada
di mata orang lain (Mat. 7:3-4).
Benarlah kata Mother Teresa, "If you judge people, you have no time to love
them. I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be
no more hurt, only more love" (Kalau terus-menerus kita menilai orang lain, tak punya kita kesempatan untuk mengasihi mereka. Ada paradoks bahwa
saat kita benar-benar mengasihi, bahkan sampai merasa terluka, maka takkan ada
lagi rasa sakit, melainkan kekuatan untuk makin mengasihi).
Benarlah juga Paulus mengujar,
"Perkataan ini benar dan patut diterima
sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,'
dan di antara mereka akulah yang paling berdosa" (1 Tim. 1:15).
No comments:
Post a Comment