October 12, 2018

Capt. Budi Soehardi


Capt. Budi Soehardi adalah mantan pilot dari sejumlah maskapai penerbangan kelas internasional. Saat ini beliau mengelola Panti Asuhan Roslin yang beliau dirikan bersama istri, Rosalinda Panagia "Peggy" Maria Lakusa di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Beliau pun meraih penghargaan CNN Heroes pada tahun 2009 atas jasa kemanusiaannya itu.

Mereka dikaruniai tiga anak kandung—Christine, Tassya, serta Christian.

Meski tanpa pengetahuan & pengalaman lembaga sosial, mereka berdua membuka panti asuhan itu.

ROSLIN merupakan akronim dari nama Rosalin yang merupakan nenek dari Peggy, serta Violin yang merupakan adik neneknya itu, karena keduanya menanamkan nilai-nilai yang berharga. Panti Asuhan Roslin bermula pada 1999 dengan menyewa sebuah rumah sederhana, dan ketika dibuka, hanya ada empat bayi yang mereka rawat. Itu pun bayi-bayi yang sebenarnya telantar karena tidak ada yang mengurus dengan kondisi begitu kurus, kurang gizi, dan tubuh penuh luka.

Menginjak tahun 2002, Capt. Budi Soehardi mulai membangun tempat permanen panti asuhan itu dari hasil sebagian gajinya yang beliau rutin sisihkan.

Awal beliau memiliki hati mendirikan panti asuhan adalah setelah menyaksikan tayangan di televisi tentang kamp pengungsi di Atambua, NTT. Para pengungsi membagi satu mie instan untuk seluruh keluarga, memasaknya di kaleng bekas sambil menambahkan "sayuran" di sekitar mereka seperti rumput liar.

Niat baik beliau sempat menjadi gunjingan masyarakat yang mengira menjadi sindikat penjual bayi. Namun, beliau beserta keluarga tidak mau menyerah karena tudingan tersebut.

Jumlah anak asuh di Panti Asuhan Roslin sekarang sudah mencapai lebih dari seratus anak. Bahkan, beberapa sudah lulus sekolah, hingga perguruan tinggi. Saat orang lain enggan mengakui anak, mantan pilot tersebut justru mengasuh ratusan anak angkat.

Chappy Hakim, yang merupakan seorang penulis serta mantan pilot juga, pernah menulis tentang Capt. Budi Soehardi: "Dia tidaklah dan jauh dari satu upaya mencari award dalam bekerja mengelola panti asuhan bagi anak telantar pengungsi Tim Tim. Dia membuktikan kepada dunia bahwa dirinya beserta Peggy dan ketiga anaknya adalah orang-orang yang benar-benar tulus & berhati mulia. Mereka mengesampingkan kemewahan & keglamoran yang bisa dengan mudah diperoleh, untuk mencari sesuatu yang lebih bermakna dalam hidup."

Tulisan kali ini tidak akan mengupas terlalu panjang tentang panti asuhan beliau maupun tentang Capt. Budi Soehardi sendiri, melainkan saya tertarik dengan sebuah catatan dari beliau tentang Fakta di Balik Senyuman Tulus Pramugari. Semoga bisa bermanfaat & menjadi pelajaran berharga.

Beliau akan menyempatkan diri untuk hadir serta berbagi pengalaman hidup serta kesaksian pada Rabu, 7 November 2018 di GBI PRJ pada pukul 19.00 WIB, di Integrity Convention Centre, Mall MGK lt. 9, Jl. Angkasa Kav. B - 6, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Berikut ini catatan Capt. Budi Soehardi.


***


Fakta di Balik Senyuman Tulus Pramugari


Ketika bepergian dengan pesawat—entah itu low cost, penerbangan domestik, internasional, apa pun namanya—kamu akan bertemu perempuan berseragam dan menyambutmu dengan senyum.

Kamu tidak pernah tahu: Mereka dilatih masuk hutan & berenang di laut untuk menolongmu dalam kondisi terburuk.

Kamu tidak pernah tahu: Mereka membagikan makanan untuk kamu, setelah itu baru dia makan untuk dirinya.

Kamu tidak pernah tahu: Untuk cabin crew yang Muslim, mereka lebih sering tayamum daripada wudhu. Mereka sholat dengan cara duduk di jump seat-nya seolah baru sakit. Mereka sholat tak tentu waktu karena mereka berpindah-pindah sangat cepat. Mereka sholat tak tentu arah Ka'bah. "Inilah keterbatasanku dalam pencarian nafkahku. Bahkan antara aku & Sang Penciptaku."

Kamu tidak pernah tahu: Saat pesawat panas karena AC error, mereka juga kepanasan. Bukan hanya kamu. Jadi, berhentilah menggerutu pada mereka.

Kamu tidak pernah tahu: Mereka hari ini sudah menjalani 6x flight yang delay dengan penumpang yang menggerutu, dan tetap harus tersenyum. Senyumnyalah senjatanya.

Kamu tidak pernah tahu: Macam penumpang-pnumpang yang naik di pesawat. Dari orang kantor sampai tukang sol sepatu. Dari yang diam, berisik, sampai yang jahil sekalipun, dia harus menegur dengan senyum & sopan.

Kamu tidak pernah tahu: Berapa kali mereka digoda penumpang dalam sehari? Dari anak muda bau kencur sampai orangtua bau tanah. Mereka harus tetap berlaku ramah, menghindar dengan halus walau hasrat hati ingin melempar sepatu ke mukanya.

Kamu juga tidak tahu: Mereka bisa mengatasi penyakit jantung, asma, dll., membantu persalinan, mengoperasikan emergency equipment, mengatasi teroris, menjinakkan bom, dll. karena di pesawat cuma mereka yang bisa kalian andalkan, maka pelatihan ekstra diberikan kepada mereka.

Kamu tidak pernah tahu: Mereka berdoa supaya semua lancar selama penerbangan, mereka juga bisa pulang dengan selamat.

Kadang kamu melihat mereka tersenyum sejak take-off sampai landing, padahal kamu tidak tahu, jauh di dalam hatinya, mereka menangis rindu keluarga & memikirkan ayah bundanya yang semakin menua.

Kadang kamu melihat mereka dengan barang bermerek, padahal mereka berbelanja karena berusaha melupakan segala rasa kangen untuk pulang ke rumah oleh sebab terhalang tugas.

Kadang kamu melihat mereka berjalan tergesa-gesa di pintu terminal, padahal yang kamu tidak tahu, mereka ingin harinya cepat berlalu, segera besok, dan hari selanjutnya, menjadikan sehari lebih dekat dengan cuti tahunan mereka. Sebab ini melelahkan & menjemukan—jauh dari keluarga.

Kadang kamu melihat mereka duduk di jump seat ketika selesai service, mereka tidak juga memejamkan matanya, padahal kamu tidak tahu, mereka sangat mengantuk sampai bisa tidur tanpa harus memejamkan mata! Mereka menjalani flight pagi buta, bahkan ayam belum berkokok pun, ataupun flight tengah malam barengan sama "kuntilanak cari makan".

Kadang kamu protes karena tidak ada pilihan untuk makan siangmu, padahal kamu tidak pernah tahu, mereka pun ingin memenuhi keinginanmu, tapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Karena tak semuanya ada di sini. Ini pesawat, bukan hotel bintang. Mereka frontliners yang sering kena omelan kalian.

Kadang kamu minta mereka membawakan tentenganmu ke bagasi di atas tempat duduk, padahal kamu tidak tahu, mereka sebenarnya tidak diizinkan melakukannya. Di samping itu, mereka cewek, bagaimana kalau semua penumpang meminta hal yang sama…? Maaf, mereka pramugari, bukan kuli…

Dan kamu tidak pernah tahu, mereka sangat berharap ada di posisi sepertimu: Bepergian dengan keluarga, duduk di samping orang yang disayangi, bersebelahan dengan kekasih untuk berangkat liburan, pulang untuk mudik Lebaran, Natal, dll. karena mereka tak seberuntung kamu ketika mereka melihat ke luar pesawat. Mereka ingin apa yang terjadi di luar sana, karena 70 persen waktunya dihabiskan di dalam burung besi itu.

Bukan hanya tingkat cantik, smart, & bodi bagus, salari tinggi, sarapan di Medan, makan siang di Singapura, menumpang toilet pipis di Denpasar, makan malam di Makassar, dan tidur di Sydney. Ini tentang hati. Ini tentang social time yang terenggut. Ini tentang profesionalitas. Tersenyum atas nama profesionalisme. Mau tulus atau palsu bukan menu pokoknya.


—oleh Capt. Budi Soehardi



October 11, 2018

Hai


"Hai, Tuhan…"

Sapaku pada Tuhan sore ini.

"Hai, Tuhan… terima kasih sudah diberi kekuatan, untuk bisa tersenyum, meski secara jiwa aku lelah."

Teringat beberapa masa waktu, berjalan disertai oleh-Mu. Penuh air mata, karena faktanya, tidak sesedap yang kubayangkan. Dan sore ini, aku mau mengingat perjalananku bersama-Mu, saat aku mulai membuka ingatanku tentang-Mu, bulir air dari mata ini menetes perlahan, kuusap dengan lembut, seperti yang sering Kau lakukan padaku.

Kau mengusap pipiku, dan Kau bisikkan, "Kuat ya, Aku bersamamu."

Kau mengirimkanku malaikat-Mu untuk menjagaiku. "Sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu. Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu" (Mzm. 91:11-12).

Perlindungan-Mu nyata kurasakan, saat aku takut, khawatir, firman-Mu menguatkanku.

Terpikirku untuk menyerah, tapi Kau selalu menghampiriku dan mengingatkanku. "Jangan menyerah!" Masa di mana aku harus terus mengandalkan diri-Mu. Dan pastinya, akan selalu mengandalkan-Mu untuk selama-lamanya.

Tuhan, aku tidak pernah takut dan malu untuk jujur tentang isi hatiku, pada-Mu. Kau adalah partner curhat terbaikku. Kau selalu ada dan mendengarkanku, bila ku sakit, Kau datang dengan jamahan tangan-Mu dan aku sembuh.

Kau mengajariku untuk percaya dan punya iman, Kau bilang padaku, bahwa Kau memberikan kuasa, dan Kau mengajariku untuk memakai kuasa itu. Ya kuasa-Mu, aku belajar menggunakan kuasa itu, dengan benar.

Terlalu banyak dan tak terhitung kebaikan-Mu dalam hidupku. Bisa bernyanyi saat galau, itu adalah keahlian, yang Kau ajarkan padaku.

Saat merasa down, Kau ajari aku untuk memberikan semangat baru pada orang yang letih lesu, padahal aku sendiri pun perlu disemangati. Di saat lapar ingin makan, Kau mengingatkanku untuk memberi pada mereka yang kelaparan. Ketika aku ambil waktu teduhku, Kau mengingatkanku untuk berdoa, padahal aku pun sedang ingin bercerita tentang kesesakan hatiku, pada-Mu.

Tuhan, ajar aku untuk menjadi pribadi yang menghormati-Mu. Sekali lagi, terima kasih banyak kuucapkan, bahwa Kau adalah pribadi yang mengasihi dan menyanyangiku, Kau selalu ada untukku, ya Kau adalah Tuhan yang banyak mengajariku di masa-masa ini.

Waktu-Mu penuh untukku. Ya Kau penuh bagiku. Masa di mana Kau puaskan aku dengan kasih-Mu. Ya masa ini tidak akan pernah kulupakan. Karena kutahu, Kau mau aku menikmati janji-Mu.

Senang sekali sore ini bisa menyapa-Mu, girang hatiku, terobati keluh kesahku. Setiap hari Kau selalu kunanti. Ya kunanti, selamat sore Tuhanku.


—oleh Vino Sinaga




October 4, 2018

ben Ezra


Berikut ini puisi panjang dari Robert Browning.

Semoga menginspirasi.

Lagipula, bukankah sebuah puisi dapat mengembalikan posisi tenang bagi jiwa?


***


Rabbi Ben Ezra
—by Robert Browning


Grow old along with me!
The best is yet to be,
The last of life, for which the first was made:
Our times are in His hand
Who saith, 'A whole I planned,
Youth shows but half; trust God: see all, nor be afraid!'

Not that, amassing flowers,
Youth sighed, 'Which rose make ours,
Which lily leave and then as best recall?'
Not that, admiring stars,
It yearned, 'Nor Jove, nor Mars;
Mine be some figured flame which blends, transcends them all!'
              
Not for such hopes and fears
Annulling youth's brief years,
Do I remonstrate: folly wide the mark!
Rather I prize the doubt
Low kinds exist without,
Finished and finite clods, untroubled by a spark.

Poor vaunt of life indeed,
Were man but formed to feed
On joy, to solely seek and find and feast;
Such feasting ended, then
As sure an end to men;
Irks care the crop-full bird? Frets doubt the maw-crammed beast?

Rejoice we are allied
To That which doth provide
And not partake, effect and not receive!
A spark disturbs our clod;
Nearer we hold of God
Who gives, than of His tribes that take, I must believe.

Then, welcome each rebuff
That turns earth's smoothness rough,
Each sting that bids nor sit nor stand but go!
Be our joys three-parts pain!
Strive, and hold cheap the strain;
Learn, nor account the pang; dare, never grudge the throe!

For thence,—a paradox
Which comforts while it mocks,—
Shall life succeed in that it seems to fail:
What I aspired to be,
And was not, comforts me:
A brute I might have been, but would not sink i' the scale.
           
What is he but a brute
Whose flesh has soul to suit,
Whose spirit works lest arms and legs want play?
To man, propose this test—
Thy body at its best,
How far can that project thy soul on its lone way?

Yet gifts should prove their use:
I own the Past profuse
Of power each side, perfection every turn:
Eyes, ears took in their dole,
Brain treasured up the whole;
Should not the heart beat once 'How good to live and learn'?

Not once beat 'Praise be thine!
I see the whole design,
I, who saw power, see now love perfect too:
Perfect I call thy plan:
Thanks that I was a man!
Maker, remake, complete,—I trust what Thou shalt do!'

For pleasant is this flesh;
Our soul, in its rose-mesh
Pulled ever to the earth, still yearns for rest:
Would we some prize might hold
To match those manifold
Possessions of the brute,—gain most, as we did best!

Let us not always say,
'Spite of this flesh to-day
I strove, made head, gained ground upon the whole!'
As the bird wings and sings,
Let us cry, 'All good things
Are ours, nor soul helps flesh more, now, than flesh helps soul!'
              
Therefore I summon age
To grant youth's heritage,
Life's struggle having so far reached its term:
Thence shall I pass, approved
A man, for aye removed
From the developed brute; a god though in the germ.

And I shall thereupon
Take rest, ere I be gone
Once more on my adventure brave and new:
Fearless and unperplexed,
When I wage battle next,
What weapons to select, what armour to indue.

Youth ended, I shall try
My gain or loss thereby;
Leave the fire ashes, what survives is gold:
And I shall weigh the same,
Give life its praise or blame:
Young, all lay in dispute; I shall know, being old.

For, note when evening shuts,
A certain moment cuts
The deed off, calls the glory from the grey:
A whisper from the west
Shoots—'Add this to the rest,
Take it and try its worth: here dies another day.'

So, still within this life,
Though lifted o'er its strife,
Let me discern, compare, pronounce at last,
'This rage was right i' the main,
That acquiescence vain:
The Future I may face now I have proved the Past.'
              
For more is not reserved
To man, with soul just nerved
To act to-morrow what he learns to-day:
Here, work enough to watch
The Master work, and catch
Hints of the proper craft, tricks of the tool's true play.

As it was better, youth
Should strive, through acts uncouth,
Toward making, than repose on aught found made:
So, better, age, exempt
From strife, should know, than tempt
Further. Thou waitedst age: wait death nor be afraid!

Enough now, if the Right
And Good and Infinite
Be named here, as thou callest thy hand thine own,
With knowledge absolute,
Subject to no dispute
From fools that crowded youth, nor let thee feel alone.

Be there, for once and all,
Severed great minds from small,
Announced to each his station in the Past!
Was I, the world arraigned,
Were they, my soul disdained,
Right? Let age speak the truth and give us peace at last!

Now, who shall arbitrate?
Ten men love what I hate,
Shun what I follow, slight what I receive;
Ten, who in ears and eyes
Match me: we all surmise,
They, this thing, and I, that: whom shall my soul believe?

Not on the vulgar mass
Called 'work', must sentence pass,
Things done, that took the eye and had the price;
O'er which, from level stand,
The low world laid its hand,
Found straightway to its mind, could value in a trice:

But all, the world's coarse thumb
And finger failed to plumb,
So passed in making up the main account;
All instinct immature,
All purposes unsure,
That weighed not as his work, yet swelled the man's amount:

Thoughts hardly to be packed
Into a narrow act,
Fancies that broke through language and escaped;
All I could never be,
All, men ignored in me,
This, I was worth to God, whose wheel the pitcher shaped.

Ay, note that Potter's wheel,
That metaphor! and feel
Why time spins fast, why passive lies our clay,—
Thou, to whom fools propound,
When the wine makes its round,
'Since life fleets, all is change; the Past gone, seize to-day!'

Fool! All that is, at all,
Lasts ever, past recall;
Earth changes, but thy soul and God stand sure:
What entered into thee,
That was, is, and shall be:
Time's wheel runs back or stops: Potter and clay endure.
              
He fixed thee mid this dance
Of plastic circumstance,
This Present, thou, forsooth, wouldst fain arrest:
Machinery just meant
To give thy souls its bent,
Try thee and turn thee forth, sufficiently impressed.

What though the earlier grooves
Which ran the laughing loves
Around thy base, no longer pause and press?
What though about thy rim,
Skull-things in order grim
Grow out, in graver mood, obey the sterner stress?

Look not thou down but up!
To uses of a cup,
The festal board, lamp's flash, and trumpet's peal,
The new wine's foaming flow,
The Master's lips a-glow!
Thou, heaven's consummate cup, what need'st thou with earth's wheel?

But I need, now as then,
Thee, God, who mouldest men;
And since, not even while the whirl was worst,
Did I—to the wheel of life
With shapes and colours rife,
Bound dizzily,—mistake my end, to slake Thy thirst:

So, take and use Thy work,
Amend what flaws may lurk,
What strain o' the stuff, what warpings past the aim!
My times be in Thy hand!
Perfect the cup as planned!
Let age approve of youth, and death complete the same!