December 5, 2018

Aku khawatir dengan suatu masa


Aku khawatir dengan suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan. Keyakinan hanya tinggal pemikiran, yang tidak berbekas dalam perbuatan.

Banyak orang baik tapi tidak berakal.
Ada orang berakal tapi tidak beriman.
Ada lidah fasih tapi berhati lalai.

Ada khusyuk namun sibuk dalam kesendirian.
Ada ahli ibadah namun mewarisi kesombongan Iblis.
Ada ahli maksiat rendah hati bagai sufi.
Ada yang banyak tertawa namun hatinya berkarat.
Ada yang banyak menangis karena kufur nikmat (keadaan seseorang yang tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh-Nya).

Ada yang murah senyum namun hatinya mengumpat.
Ada yang berhati tulus namun wajahnya cemberut.
Ada yang berlisan bijak namun tidak memberi tauladan.
Ada pezina tampil sebagai figur.
Ada yang punya ilmu tapi tak paham.

Ada yang paham tapi tak menjalankan.
Ada yang pintar tapi membodohi.
Ada yang bodoh tapi tapi tak tahu diri.
Ada yang beragama tapi tak berakhlak.
Ada yang berakhlak tapi tak ber-Tuhan.

Lalu di antara itu semua, di mana aku berada?


—Imam Ali bin Abi Thalib



November 29, 2018

When does the night end?


Time is sacred in Judaism, and from this, many questions arise. One that our sages have pondered is exactly when one recites the first prayers of the morning. And so a group of students asked their rabbi this question: "When does the night end?"

"Is it when the morning star appears?" asked one. 

"No," said the rabbi. "That is not it."

"Is it the first moment you can look at your tallis (prayer shawl) and distinguish the blue from the white?"

"No," said the rabbi. "It is not that either."

"Perhaps," said a third, "it is when you can see the lines on the palm of your hand?"

"No," said the rabbi, shaking his head. "I will tell you. When you look at your neighbor's face and recognize it as your own. Then, at last, the long night is over—and the day has begun."


by Joel ben Izzy




November 28, 2018

The Tomorrow Today Dare


I lived a life for many years waiting for tomorrow.

Tomorrow I'll start running.

Tomorrow I'll call that friend.

Tomorrow I'll read that book.

Tomorrow I'll tackle that room.

Tomorrow I'll speak up.

Tomorrow I'll try out for that part.

Tomorrow I'll plan that trip.

Tomorrow I'll take time for me.

Tomorrow, when the kids are grown, is really what I was telling myself.

Tomorrow, when the kids are grown, I'll really take time for myself because only then do I think I'm worth taking the time.

Tomorrow when all the things that need to get fixed will I do all the things that need me to be brave. That's also what I was really telling myself. It's not easy to admit those lost myself kind of thoughts. We tuck them behind guilt and yet, when asked, those are the moments where the tears well up in one's eyes.

Living for tomorrow means that you think you will have many tomorrows.

Here's the real truth: It means, at some level, you believe your life is invincible.

Humbling, isn't it? I so quickly forget that truth until those moments where it's smack in my face. Maybe it's easier to live without that urgency. Maybe we get caught up in the frenzy of life.

What, just what happens, if you stop with the excuse of the perpetual tomorrow and you start living today? What will you teach your kids then? You won't teach them that a mom gives up on her dreams and her passions and gets burnt out. You will teach them that it is just as noble and just as wise to not forget you.

Remember when you were young? The dreams, the possibilities, the excitement of when you were grown?

Don't lose that. This is your now.

Sometimes we just get so busy and so bogged down by life that all of that seems foolish, unwise and if there isn't the time. Trust me.

You are worth the time.

I know you have dreams. I also know you have dishes. I know you have hopes. I also know you have kids who either rebel or throw up or don't want the shirt with the lion on front and you are late and don't want to deal with changing it or well, you get the picture.

You are a mom. (You are a dad, emphasis added).

But, dear sister (and brother), just because you are a mom (or dad) does not mean that you get a pass on yourself.

You don't get to quit taking care of you.

You don't get to wait until tomorrow to find your spark again.

You get now.

Sometimes it will mean tough stuff. It means looking at all the excuses that you have built and deciding to go the other way. It might mean giving up something to gain something better.

But you are worth your tomorrow today.

You are worth living with vibrancy and excitement.

Don't worry. It's not going mean that you deny being a mom, buy a plane ticket and fly to Europe. It simply means that you will remember you with the same tenacity that you remember your kids. I bet your kids doctor's appointments are up to date and you make sure they eat well and have a good education. That goes for you too.

Not tomorrow.

Today.

So I challenge you, wait, I dare you—to do one thing today that is about you finding you, finding joy or just makes you happy. I dare you to start living today like it was your tomorrow. No excuses, no putting you last, no more waiting.

You see, if you burn out, what good are you to everyone around you who needs you?

Ponder that.

Live today doing everything you put off for tomorrow.

I dare you.



—by Rachel Martin



November 21, 2018

See you, Imelda Saputra


November 20. Bidang kepenulisan kehilangan salah seorang penulis muda wanita berbakatnya. Imelda Saputra. 

Nama Imelda awalnya saya kenal lewat tulisan renungan. Tulisan-tulisannya cukup khas menyemangati kita di dalam menjalani kehidupan.

Beruntung pada acara ASWELL, Annual Spirit Writers Fellowship 2012 yang diadakan oleh tim buku renungan Spirit dengan pembicara Xavier Quentin Pranata, sempat berbincang dengannya—walau sejenak, tentang kata-kata, penulisan, tentang hidupnya.

Akan bakal lama, bidang kepenulisan tidak menerima goresan-goresan kata dari Imelda lagi. Tulisan-tulisannya, dan tulisan-tulisan kita, sangatlah berarti, dan saya percaya, Imelda pun pasti menyepakatinya, bahwa lebih daripada kata-kata itu sendiri, hidup ini amatlah berarti.

See you, Imelda Saputra. 


***

Imelda, Memberi Inspirasi dari Kursi Rodanya
—oleh Lois Butterfly


Namaku Imelda Saputra, aku seorang penulis. Sebenarnya dulu aku tidak pernah berpikir akan menjadi seorang penulis, namun inilah cara Tuhan memakai aku menjadi pena-Nya untuk menyemangati banyak orang, sama seperti Ia menyemangati aku untuk menjalani hidupku.

Aku terlahir sebagai anak normal, namun saat aku masih balita, orangtuaku menemukan sebuah benjolan di punggungku. Ternyata saraf kaki kusut di benjolan tersebut. Dokter menyarankan untuk operasi, tetapi ketika operasi dilakukan, ternyata ada efek samping yang terjadi. Setelah operasi, kakiku bengkok dan menciut. Akhirnya aku tidak pernah bisa berjalan, aku lumpuh.

Orangtuaku melakukan berbagai upaya agar aku bisa berjalan lagi, mulai dengan ke dokter, tukang urut hingga ke dukun. Aku ingat, setiap kali ke dukun, aku sering disuruh minum air yang telah dijampi-jampi. Tapi usaha yang dilakukan oleh orangtuaku selama bertahun-tahun sia-sia belaka, aku pun telah lelah dan hampir putus asa. Tapi setiap kali aku bilang, "Malas ah…," orangtuaku kembali bertanya, "Kamu mau sembuh ngga?" Hal itu membuatku bangkit lagi dan mau mencoba lagi.

Hingga suatu hari, saat kami konsultasi dengan seorang dokter, dia memberikan sebuah nasihat yang berbeda. Bukan janji kesembuhan yang diberikan, dia menyatakan dengan jujur bahwa kemungkinan untuk sembuh itu sudah tidak ada. Dia meminta orangtuaku untuk menyekolahkanku.

Mendengar aku akan sekolah, hatiku bergejolak karena sangat senang. Karena anugerah Tuhan, aku bisa sekolah di sekolah umum, sekalipun aku cacat dan harus menggunakan kursi roda. Kadang memang ada orang yang memandangku dengan aneh karena keadaanku, tapi itu hanya di satu dua hari awal saja, selanjutnya, teman-teman dan guru-guruku bisa menerima keadaanku.

Sekalipun aku lumpuh dan harus beraktivitas dengan kursi roda, namun hal itu tidak menghalangiku untuk berprestasi. Bahkan ketika aku duduk di bangku SMP, aku cukup aktif dalam organisasi di sekolah. Aktivitasku sangat padat, kadang aku pulang sekolah antara jam dua atau setengah tiga sore. Setelah itu, kadang ada les yang kuikuti. Namun karena aku duduk terus, dan kadang karena kesibukan aku tidak mengganti pampers, akhirnya terjadi iritasi dan membuat kesehatanku menurun.

Aku tidak pernah memberitahu orangtuaku tentang apa yang aku rasakan karena aku takut tidak diizinkan ke sekolah. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, suatu hari aku jatuh pingsan karena tidak tahan lagi dengan sakitku. Dokter memvonisku dengan penyakit decubitus dan tipes akut sehingga aku harus dirawat di RS. Mulai bulan Mei di tahun itu, aku berhenti bersekolah. Aku sudah tidak bisa bangun lagi, jadi aku hanya terbaring di tempat tidur tanpa daya.

Aku tertekan dan putus asa karena aku tidak bisa melakukan apa-apa, padahal biasanya setiap hari aku sibuk dengan aktivitas sekolah. Sering tebersit di pikiran, kalau lebih baik aku mati. Tapi suatu hari seorang perawat datang dan berbincang denganku. Dia menceritakan tentang kesaksian hidupnya, dulu dia juga pernah sakit, bahkan mamanya pernah berkata, "Sudahlah Tuhan, ambil saja nyawa anak saya." Tapi perawat itu berkata pada mamanya, "Ngga ma, aku pasti sembuh. Aku pasti sehat. Aku ngga akan mati. Aku akan melayani Tuhan."

Perawat itu berkata dengan penuh kasih kepadaku, "Kalau aku bisa sembuh, kamu juga pasti bisa sembuh."

Ketika perawat itu keluar dari ruanganku, aku langsung berdoa. "Tuhan terima kasih karena Engkau masih sayang sama aku. Aku mengasihimu Tuhan..." Kata-kata itu sudah lama tidak pernah kuucapkan kepada Tuhan. Hari itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda di hidupku. Aku merasakan Tuhan melembutkan hatiku kembali.

Semangat hidupku pun bangkit, bahkan kesehatanku juga berangsur membaik. Suatu saat aku diingatkan kepada seorang kakak rohaniku. Hari itu juga aku menghubunginya. Di telepon itu dia berkata, "Mel, beberapa bulan lagi kita ada konser doa. Yuk ikut gabung melayani..."

Hal itu menjadi jawaban doa bagiku, aku ingin melupakan apa yang telah lalu dan memulai sesuatu yang baru. Hingga tiba di perayaan Natal di tahun 2005, saat itu hamba Tuhan yang melayani memintaku untuk maju ke tengah.

"Saya mau berdoa buat kamu," demikian ucap pendeta tersebut.

"Saya minta seorang perempuan untuk peluk dia..." katanya.

Aku berpikir, aku akan diapakan nih? Seorang teman datang memelukku dan hamba Tuhan itu berdoa untukku, saat itu Tuhan menyampaikan isi hati-Nya kepadaku melalui hamba Tuhan itu.

Salah satunya adalah:

"Kamu akan nulis buku, kamu akan Tuhan pakai jadi penanya Tuhan."

Sempat aku merasakan keraguan, "Bener nih, Tuhan...?"

Tapi saat itu juga Tuhan serasa berbicara, "Aku yang akan melakukannya, bukan kamu."

Waktu berlalu, karena kondisiku, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Aku pun mulai banyak membaca, mulai dari buku, hingga berbagai majalah. Saat membaca sebuah majalah anak-anak, aku berpikir aku juga bisa menulis seperti itu. Aku pun mulai mencoba menulis, ketika ada lomba menulis, aku kirim karyaku. Tapi saat itu, semua yang kukirimkan ditolak dan dikembalikan semua.

Waktu berbagai karyaku ditolak, aku sempat merasa, "Udahlah Tuhan, memang aku ngga berbakat." Beberapa lama aku sempat berhenti menulis, tapi perkataan hamba Tuhan yang berdoa bagiku terus teringat olehku. Aku ingat janji Tuhan itu, aku tahu kalau aku perlu bekerja sama dengan Tuhan. Jika aku mau janji Tuhan itu terwujud, aku harus terus menulis.

Aku tidak tahu dari mana datangnya inspirasi itu, terkadang seperti Tuhan sedang berbicara atau mendiktekan sesuatu kepadaku. "Nanti nulisnya seperti ini… awalnya seperti ini..." Tuhan hanya memberi tahu aku sedikit, kemudian aku harus mengembangkannya sendiri.

Selama beberapa tahun aku hanya menulis, tanpa ada tanda-tanda janji Tuhan itu terwujud. Hingga tiba di tahun 2008, sebuah penerbit menghubungiku.

"Imelda, bukunya diterima ya, kami terbitkan."

Aku seakan tidak percaya, "Buku… penerbit… buku yang mana ya?"

Itulah cerita bagaimana akhirnya buku pertamaku akhirnya diterbitkan. Aku merasa sangat senang lagi, ternyata memang janji Tuhan itu tidak pernah gagal. Kini semua nubuatan itu telah menjadi kenyataan.

Aku melihat karya Tuhan begitu ajaib, apa yang tidak pernah aku pikirkan, tidak pernah timbul dalam hati, Tuhan melakukan itu dalam hidupku. Hal itulah yang membuatku merasa Tuhan itu begitu luar biasa.

Jika orang heran bagaimana aku bisa menulis buku, aku pun juga heran. Tapi semua itu terjadi karena Tuhan. Dari semua yang terjadi itu, aku tahu bahwa hidupku penting, bagi Tuhan dan juga bagi sesama. Aku bersyukur untuk apa yang Tuhan lakukan dalam hidupku, apa yang terlihat buruk dapat Tuhan ubahkan menjadi kebaikan, bukan hanya untukku, namun juga untuk orang lain.


Imelda bersama Petrus Kwik
  
(Sumber kesaksian: Imelda Saputra, jawaban.com)

November 13, 2018

Make A Space for Him


Di tengah kehidupan dunia yang hiruk-pikuk ini, ada begitu banyak pengaruh yang membuat kita tidak lagi bertekun di dalam Tuhan. Pekerjaan, hobi, dan aktivitas-aktivitas jasmani lainnya telah menguras waktu dan mengupas tenaga kita sehingga kita pun mengabaikan persekutuan kita dengan Dia. 

Kita harus punya ruang, menyediakan waktu buat berduaan dengan Tuhan. Make a space for God.

Jangan cuma sediakan ruang atau waktu untuk pacar, pasangan kita, urusan kita, kesibukan kita. Semua itu saja kok bisa? Masa buat Dia kagak bisa, sedangkan Dia yang selalu memberkati kita dalam kehidupan. Sedangkan pacar, pasangan, kesibukan, dan lain-lain sering kali mengecewakan kita.

Banyak orang berpikir bahwa menyediakan waktu untuk berdoa dan merenungkan firman Tuhan adalah sebuah pemborosan waktu. Padahal, justru semakin kita bertekun di dalam Dia, hidup kita makin diperbaharui dari hari ke hari sehingga kita memiliki kehidupan yang berkualitas. 

Jadi, tidak ada kata sia-sia atau mubazir jika kita berjerih lelah dan bertekun bersama Dia. 

Alkitab dengan tegas meminta: "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang" (1 Timotius 4:7b-8). 

Bertekun juga di dalam doa dan firman-Nya adalah sama seperti orang yang membangun rumahnya di atas batu,  "Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu" (Matius 7:25). 

Memiliki persekutuan yang karib dengan Tuhan = fondasi yang kuat bagi kehidupan kita. 

Bagaimana jika kita mengabaikan persekutuan kita dengan Dia?

Sudah pasti kita tidak akan memiliki kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan dan badai kehidupan yang datang menyerang kita. 

Daud mengingatkan kita bahwa di sepanjang hari Tuhan telah mencurahkan kasih setia-Nya kepada kita, maka sudah seharusnya pada malam hari atau di waktu-waktu pribadi, kita mempersembahkan korban syukur bagi Dia melalui doa kita.

Milikilah kerinduan untuk mendekat kepada Dia seperti Daud. "Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?" (Mazmur 42:2-3)

Kedekatannya dengan Tuhan adalah kunci kekuatan Daud dalam menghadapi setiap masalah, bukan karena kekuasaan yang dimilikinya sebagai raja.

Daud sadar, ia tidak bisa hidup tanpa penyertaan-Nya. Itulah sebabnya ia memohon kepada Dia, "Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!" (Mazmur 51:13)

Di luar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa—dan kita ini bukan siapa-siapa, karena itu: "Carilah Tuhan dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!" (Mazmur 105:4)


—by Yusnia Febriani