November 21, 2018

See you, Imelda Saputra


November 20. Bidang kepenulisan kehilangan salah seorang penulis muda wanita berbakatnya. Imelda Saputra. 

Nama Imelda awalnya saya kenal lewat tulisan renungan. Tulisan-tulisannya cukup khas menyemangati kita di dalam menjalani kehidupan.

Beruntung pada acara ASWELL, Annual Spirit Writers Fellowship 2012 yang diadakan oleh tim buku renungan Spirit dengan pembicara Xavier Quentin Pranata, sempat berbincang dengannya—walau sejenak, tentang kata-kata, penulisan, tentang hidupnya.

Akan bakal lama, bidang kepenulisan tidak menerima goresan-goresan kata dari Imelda lagi. Tulisan-tulisannya, dan tulisan-tulisan kita, sangatlah berarti, dan saya percaya, Imelda pun pasti menyepakatinya, bahwa lebih daripada kata-kata itu sendiri, hidup ini amatlah berarti.

See you, Imelda Saputra. 


***

Imelda, Memberi Inspirasi dari Kursi Rodanya
—oleh Lois Butterfly


Namaku Imelda Saputra, aku seorang penulis. Sebenarnya dulu aku tidak pernah berpikir akan menjadi seorang penulis, namun inilah cara Tuhan memakai aku menjadi pena-Nya untuk menyemangati banyak orang, sama seperti Ia menyemangati aku untuk menjalani hidupku.

Aku terlahir sebagai anak normal, namun saat aku masih balita, orangtuaku menemukan sebuah benjolan di punggungku. Ternyata saraf kaki kusut di benjolan tersebut. Dokter menyarankan untuk operasi, tetapi ketika operasi dilakukan, ternyata ada efek samping yang terjadi. Setelah operasi, kakiku bengkok dan menciut. Akhirnya aku tidak pernah bisa berjalan, aku lumpuh.

Orangtuaku melakukan berbagai upaya agar aku bisa berjalan lagi, mulai dengan ke dokter, tukang urut hingga ke dukun. Aku ingat, setiap kali ke dukun, aku sering disuruh minum air yang telah dijampi-jampi. Tapi usaha yang dilakukan oleh orangtuaku selama bertahun-tahun sia-sia belaka, aku pun telah lelah dan hampir putus asa. Tapi setiap kali aku bilang, "Malas ah…," orangtuaku kembali bertanya, "Kamu mau sembuh ngga?" Hal itu membuatku bangkit lagi dan mau mencoba lagi.

Hingga suatu hari, saat kami konsultasi dengan seorang dokter, dia memberikan sebuah nasihat yang berbeda. Bukan janji kesembuhan yang diberikan, dia menyatakan dengan jujur bahwa kemungkinan untuk sembuh itu sudah tidak ada. Dia meminta orangtuaku untuk menyekolahkanku.

Mendengar aku akan sekolah, hatiku bergejolak karena sangat senang. Karena anugerah Tuhan, aku bisa sekolah di sekolah umum, sekalipun aku cacat dan harus menggunakan kursi roda. Kadang memang ada orang yang memandangku dengan aneh karena keadaanku, tapi itu hanya di satu dua hari awal saja, selanjutnya, teman-teman dan guru-guruku bisa menerima keadaanku.

Sekalipun aku lumpuh dan harus beraktivitas dengan kursi roda, namun hal itu tidak menghalangiku untuk berprestasi. Bahkan ketika aku duduk di bangku SMP, aku cukup aktif dalam organisasi di sekolah. Aktivitasku sangat padat, kadang aku pulang sekolah antara jam dua atau setengah tiga sore. Setelah itu, kadang ada les yang kuikuti. Namun karena aku duduk terus, dan kadang karena kesibukan aku tidak mengganti pampers, akhirnya terjadi iritasi dan membuat kesehatanku menurun.

Aku tidak pernah memberitahu orangtuaku tentang apa yang aku rasakan karena aku takut tidak diizinkan ke sekolah. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, suatu hari aku jatuh pingsan karena tidak tahan lagi dengan sakitku. Dokter memvonisku dengan penyakit decubitus dan tipes akut sehingga aku harus dirawat di RS. Mulai bulan Mei di tahun itu, aku berhenti bersekolah. Aku sudah tidak bisa bangun lagi, jadi aku hanya terbaring di tempat tidur tanpa daya.

Aku tertekan dan putus asa karena aku tidak bisa melakukan apa-apa, padahal biasanya setiap hari aku sibuk dengan aktivitas sekolah. Sering tebersit di pikiran, kalau lebih baik aku mati. Tapi suatu hari seorang perawat datang dan berbincang denganku. Dia menceritakan tentang kesaksian hidupnya, dulu dia juga pernah sakit, bahkan mamanya pernah berkata, "Sudahlah Tuhan, ambil saja nyawa anak saya." Tapi perawat itu berkata pada mamanya, "Ngga ma, aku pasti sembuh. Aku pasti sehat. Aku ngga akan mati. Aku akan melayani Tuhan."

Perawat itu berkata dengan penuh kasih kepadaku, "Kalau aku bisa sembuh, kamu juga pasti bisa sembuh."

Ketika perawat itu keluar dari ruanganku, aku langsung berdoa. "Tuhan terima kasih karena Engkau masih sayang sama aku. Aku mengasihimu Tuhan..." Kata-kata itu sudah lama tidak pernah kuucapkan kepada Tuhan. Hari itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda di hidupku. Aku merasakan Tuhan melembutkan hatiku kembali.

Semangat hidupku pun bangkit, bahkan kesehatanku juga berangsur membaik. Suatu saat aku diingatkan kepada seorang kakak rohaniku. Hari itu juga aku menghubunginya. Di telepon itu dia berkata, "Mel, beberapa bulan lagi kita ada konser doa. Yuk ikut gabung melayani..."

Hal itu menjadi jawaban doa bagiku, aku ingin melupakan apa yang telah lalu dan memulai sesuatu yang baru. Hingga tiba di perayaan Natal di tahun 2005, saat itu hamba Tuhan yang melayani memintaku untuk maju ke tengah.

"Saya mau berdoa buat kamu," demikian ucap pendeta tersebut.

"Saya minta seorang perempuan untuk peluk dia..." katanya.

Aku berpikir, aku akan diapakan nih? Seorang teman datang memelukku dan hamba Tuhan itu berdoa untukku, saat itu Tuhan menyampaikan isi hati-Nya kepadaku melalui hamba Tuhan itu.

Salah satunya adalah:

"Kamu akan nulis buku, kamu akan Tuhan pakai jadi penanya Tuhan."

Sempat aku merasakan keraguan, "Bener nih, Tuhan...?"

Tapi saat itu juga Tuhan serasa berbicara, "Aku yang akan melakukannya, bukan kamu."

Waktu berlalu, karena kondisiku, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Aku pun mulai banyak membaca, mulai dari buku, hingga berbagai majalah. Saat membaca sebuah majalah anak-anak, aku berpikir aku juga bisa menulis seperti itu. Aku pun mulai mencoba menulis, ketika ada lomba menulis, aku kirim karyaku. Tapi saat itu, semua yang kukirimkan ditolak dan dikembalikan semua.

Waktu berbagai karyaku ditolak, aku sempat merasa, "Udahlah Tuhan, memang aku ngga berbakat." Beberapa lama aku sempat berhenti menulis, tapi perkataan hamba Tuhan yang berdoa bagiku terus teringat olehku. Aku ingat janji Tuhan itu, aku tahu kalau aku perlu bekerja sama dengan Tuhan. Jika aku mau janji Tuhan itu terwujud, aku harus terus menulis.

Aku tidak tahu dari mana datangnya inspirasi itu, terkadang seperti Tuhan sedang berbicara atau mendiktekan sesuatu kepadaku. "Nanti nulisnya seperti ini… awalnya seperti ini..." Tuhan hanya memberi tahu aku sedikit, kemudian aku harus mengembangkannya sendiri.

Selama beberapa tahun aku hanya menulis, tanpa ada tanda-tanda janji Tuhan itu terwujud. Hingga tiba di tahun 2008, sebuah penerbit menghubungiku.

"Imelda, bukunya diterima ya, kami terbitkan."

Aku seakan tidak percaya, "Buku… penerbit… buku yang mana ya?"

Itulah cerita bagaimana akhirnya buku pertamaku akhirnya diterbitkan. Aku merasa sangat senang lagi, ternyata memang janji Tuhan itu tidak pernah gagal. Kini semua nubuatan itu telah menjadi kenyataan.

Aku melihat karya Tuhan begitu ajaib, apa yang tidak pernah aku pikirkan, tidak pernah timbul dalam hati, Tuhan melakukan itu dalam hidupku. Hal itulah yang membuatku merasa Tuhan itu begitu luar biasa.

Jika orang heran bagaimana aku bisa menulis buku, aku pun juga heran. Tapi semua itu terjadi karena Tuhan. Dari semua yang terjadi itu, aku tahu bahwa hidupku penting, bagi Tuhan dan juga bagi sesama. Aku bersyukur untuk apa yang Tuhan lakukan dalam hidupku, apa yang terlihat buruk dapat Tuhan ubahkan menjadi kebaikan, bukan hanya untukku, namun juga untuk orang lain.


Imelda bersama Petrus Kwik
  
(Sumber kesaksian: Imelda Saputra, jawaban.com)