(Sharing beberapa hari lalu di COOL, Community of Love)
“Karena barangsiapa
mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa
kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” (Lukas 9:24)
Kita tahu, semakin tinggi posisi seseorang, terutama dalam pekerjaan, semakin
besar tanggung jawab atau kewajibannya, dan semakin kecil atau mengerucut
hak-haknya.
Melepaskan hak mungkin sebuah kebenaran obsolet atau usang yang sudah kita
ketahui, tetapi sudah lama pula kita tidak menerapkannya. Dulu ketika masih
dalam cinta mula-mula terhadap Tuhan, kita mudah melakukannya. Tetapi seiring sebanyaknya kebutuhan yang kita rasakan, sesegera itu pula kita menjadi serba menuntut. Sebab manusia
cenderung egois. Aku, aku, dan aku. Saya, saya, dan saya. Dilayani, dilayani, dan dilayani. Minta didulukan, didahulukan, dan didahulukan selalu.
Melepas hak artinya dengan rela tidak menikmati apa pun yang
menjadi bagian atau milik kita, serta rela dalam melepaskan apa yang sebenarnya
menjadi porsi atau kepunyaan kita demi kepentingan pihak lain.
Melepas hak, jauh berbeda dengan sistem dunia yang sering
kali menuntut hak-hak. Hak untuk dihargai, hak untuk diperlakukan secara adil,
hak untuk dikasihi, dan lain-lain. Tetapi, kita melepaskan hak kita kepada
Tuhan, dan membiarkan Dia yang memenuhi serta memperhatikan kebutuhan kita.
Seseorang yang dapat melepas hak adalah orang yang dapat
melayani Allah dengan lepas alias tanpa beban. Mengapa? Karena ia merasa nothing to lose, nothing to proof, nothing
to hide. Atau tidak ada yang perlu dibuktikan atau berkoar-koar kepada
orang-orang, tidak perlu merasa terikat kepada sesuatu, serta tidak perlu ada
yang disembunyi-sembunyikan.
Tokoh-tokoh yang rendah hati dalam Alkitab pun seperti
Daniel, Yusuf, Maria dan lain-lain adalah orang-orang yang telah sadar dan
belajar arti dari melepas hak bukan?
“Kata Maria: ‘Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.’ Lalu
malaikat itu meninggalkan dia.’” (Lukas 1:38)
Orang-orang dunia mungkin berhak untuk menuntut hak. Hal itu
sah-sah saja. Tetapi kita akan melihat hasilnya di akhirnya bagaimana
perbedaannya antara memaksakan hak kita terus-menerus dan melepaskan hak.
Lukas 20:25 menyatakan, “Lalu
kata Yesus kepada mereka: ‘Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib
kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada
Allah!’”
Kata berikanlah pada
ayat di atas dalam bahasa aslinya yaitu Yunani adalah apodote yang berarti serahkanlah
kembali. Jadi, serahkanlah kepada-Nya kembali apa yang seharusnya menjadi hak-Nya,
yaitu termasuk menyerahkan hak kita kepada Tuhan.
Melepas hak juga artinya kita tidak lagi berkuasa mengatur
diri. Bukan berarti kita tidak bisa membuat rencana-rencana dan lain-lain,
tetapi kita mau menjadi lebih peka dan lebih rela apabila Dia menginterupsi, mengintervensi
seluruh perencanaan kita, keinginan dan cita-cita kita, pengharapan kita, dan
lain-lain. Terutama impian kita 🙂. Biarlah kehendak-Nya yang terjadi.
Melepas hak juga berarti apakah kita rela menjadi yang nomor
dua dalam hal keegoisan? Walaupun demikian, rela menjadi nomor dua, tidak
menjadi yang nomor satu dalam segalanya, bukan berarti kita memberikan
pelayanan kelas bintang dua, tidak mengerahkan yang terbaik, tidak maksimal dan
tidak excellent dalam mengerjakan sesuatu.
Maukah juga kita melayani―sungguh-sungguh? Maukah kita
mendahului dalam memberi hormat?
“Hendaklah kamu saling
mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rm.
12:20)
Biarlah Allah yang memperhatikan hak-hak kita. Boleh saja
tetap berusaha, tetapi biarlah kehendak-Nya yang terjadi dan semua demi
kemuliaan nama-Nya.
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan
yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi
2:5-8)
Forever is a long time
That's how long I'll love you
That's how long I'll love you
Forever...
―Jason Nelson