December 26, 2015

25 12 2015

You are my Christmas
You are my Celebration
You are my Miracle
You are my Music
You are my Forgiveness
You are my best Friend
You are my Joy
You are my Journey and ways
You are my Light
You are my king of my Life
You are my Harmony
You are my Hope in distress
You are my Truth or honesty
You are my Teammate when I don't have any
You are my Wholeness
You are my strength to Win when I feel like I'm losin'
You are my Everything when everything is everything
You are my Encourager
You are my Today
You are my Moment and words when I have nothing to say
You are my January
You are my December or the unseen help along the progress of time
You are my Expression
You are my Reality even though when many things inside of me or on the outside are trying to fake it all
You are my 'Tis the season

You are my

Jesus
25 12 2015

December 17, 2015

?

What is friendship?
What is a relationship?
What is motivation?
What is an encouragement?
What is hope?
What is reality?
What is coincidence?
What is miracle?
What is cloud?
And we can ask a lot of questions.
But, the most important, is, what is [put your name here].

"Why didn't you become you? Why didn't you become all that you are?" ~ Elie Wiesel

December 15, 2015

2

You're too selfish not to travel.
You're too selfish to be afraid for most of the time.
You're too selfish not to forgive yourself.
You're too selfish not to provide time to read.
You're too selfish to think you are always the center of the universe.
You're too selfish not to change at times.
You're too selfish not to share whatever it is you want to share.
You're too selfish not to teach, or motivate, or encourage others.

November 26, 2015

Terbaik

Aneh—atau setidaknya, itulah yang saya rasakan. Belakangan ini, saya sering bertanya-tanya di dalam hati ketika saya ataupun orang lain mengatakan tentang memberikan yang terbaik kepada Tuhan atau saat hendak melakukan sesuatu.

            Lalu, beberapa waktu yang lalu, seorang teman atau kakak, Jane Purnamasari meminta saya untuk menuliskan hal memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Dan inilah hasil dari penulisan tentang itu di dalam versi blog.

Apa sih sesungguhnya arti dari memberikan yang terbaik? Yang terbaik? Terbaik?

Apakah itu berarti mengerjakan semaksimal potensi, semampu kita—apa pun pendapat orang lain—sebab kita merasa telah memberikan atau melakukan sesuatu yang terbaik? Apakah memilih yang terbaik, atau setidaknya yang baik? Memanajemeni dengan baik? Memimpin dan mengikuti dengan baik?

Banyak hal atau kesempatan untuk kita mencoba memberikan atau melakukan yang terbaik. Dan apa yang dilakukan oleh istri saya berikut ini mungkin adalah salah satu upaya memberikan, melakukan yang terbaik.

Tidak lama ini, ayah serta ibu mertua saya sedang berselisih paham sangat sengit di depan kami anak-anaknya. Keduanya merasa sama-sama benar. Tidak ada yang mau mengalah atau meminta maaf. Hingga akhirnya istri saya berdiri menengahi sambil menangis dan berkata, “Oke, kalau sama-sama merasa benar dan tidak ada yang mau mengalah, sekarang aku tantang Mama sama Papa. Siapa yang merasa cinta sama Tuhan Yesus, minta maaf duluan. Ngga peduli siapa yang bener, siapa yang salah, kalau cinta Tuhan Yesus, minta maaf duluan.”

Beberapa detik kemudian, ayah mertua saya maju mendekati ibu, menjulurkan tangan dan meminta maaf terlebih dulu. Lalu ibu mau meminta maaf juga. Itulah hal terbaik yang bisa dilakukan istri saya. Daripada berdiam diri, memihak salah satu, atau turut larut di dalam perselisihan, istri saya ingin mendamaikan.

Mungkin itu konteks yang kecil di dalam sebuah keluarga. Tetapi, sekali lagi, ada banyak hal dan kesempatan untuk kita berupaya memberikan, melakukan yang terbaik kepada Tuhan, sesama manusia, dan diri kita sendiri.

Salah satu contoh lain hal atau kesempatan supaya kita dapat memberikan yang terbaik ialah saat menghadapi perubahan. Dua hal pasti ada selama kita masih hidup: masalah dan perubahan. Intinya, bagaimana respons kita?

Terhadap perubahan. Apakah kita mengeluh, menolak, marah-marah? Tidak lama ini, saya juga diperhadapkan dengan perubahan. Di satu sisi, saya bisa saja menolaknya; di sisi lain, mau tak mau saya mesti menerima. Saya mengambil pilihan yang kedua: menerimanya. Awalnya, saya berkeluh kesah karena dipindahkan ke lokasi kerja yang lain, bahkan di bidang yang bukan bagian pekerjaan saya. Namun, karena masih bisa terkait keahlian atau talenta saya, saya mau belajar sesuatu yang baru, berada di tempat yang baru, bersama dengan orang-orang yang baru.

Sulit serta terkadang ada waktu ingin menyerah, tetapi saya mau tetap belajar sembari ingin berusaha memberikan, melakukan yang terbaik. Fleksibel. Mau berubah. Tanpa meninggalkan prinsip-prinsip baik yang saya pegang teguh. Dan apabila menurut orang lain hasilnya belum maksimal, ataupun saya tak mendapatkan apa yang mungkin patut saya dapatkan, saya telah berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik. Sebisa saya. Dan itu adalah hal yang baik.

Terhadap masalah. Baik permasalahan dengan orang-orang ataupun hal-hal yang harus kita hadapi. Apakah kita ingin lari? Menghindari, apatis, atau berlama-lama bersedih, serta pasrah begitu saja?

Kalau kita ingin memberikan, melakukan yang terbaik, kita akan berusaha menghadapi masalah-masalah tersebut, berpikir tentang cara-cara untuk memecahkannya, serta memohon bimbingan dan penyertaan Tuhan untuk berhasil mengatasinya.

Rasul Paulus mengemukakan, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Filipi 4:8).” Di Alkitab versi The Message terjemahan Eugene H. Peterson tertulis: “Summing it all, friends, I’d say you’ll do best by filling your minds and meditating on things true, noble, reputable, authentic, compelling, gracious—the best, not the worst; the beautiful, not the ugly; things to praise, not things to curse.

Dennis Waitley pernah berkata, “Getting into a positive routine or groove will help you become more efective (terj. bebas: Saat kita memiliki suatu rutinitas yang positif atau kebiasaan baik, kita akan menjadi lebih efektif di dalam melakukan sesuatu).”

Atlet merupakan contoh yang bagus tentang memberikan, melakukan yang terbaik. Mungkin ia pernah, bahkan sering gagal, tetapi pantang menyerah. Mau memetik pelajaran dari kesalahan dan kegagalan atau kekalahan. Tetap berlatih hingga ia bisa memperoleh, mengecap kemenangan.

Seorang investor yang super kaya ditanyai (dengan nominal segini dan segitu) tentang seberapa sih ukuran tertinggi merasa puas atau cukup itu terhadap kekayaan. Dan di tiap pertanyaan nominal tertentu, ia selalu menjawab, “Sedikittt lagi…” Mungkin kita pun boleh mengaplikasikan jawaban tersebut saat untuk memberikan, melakukan yang terbaik. Apakah kita sudah memberikan, melakukan yang terbaik? “Sedikit lagi.”

Memberikan yang terbaik bukan berarti menjadi perfeksionis. Ingin segala sesuatu sempurna. Tanpa cacat atau cela.

Melakukan yang terbaik pun bukan berarti mencoba terus-menerus memberikan performa setengah mati untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan keahlian atau talenta kita serta banyak orang menegaskannya. Contohnya seperti yang kita tahu, banyak individu ingin menjadi penyanyi terkenal lewat audisi The X-Factor atau American Idol, tetapi tentu sedikit yang lolos seleksi juri.

Kemudian, antara satu orang dengan orang yang lainnya, takaran memberikan atau melakukan yang terbaik itu berbeda-beda. Seseorang yang memang hanya mampu memberikan sesuatu secara sedikit tapi sudah yang terbaik darinya, mungkin di mata orang lain taklah seberapa. Seseorang yang telah sekuat tenaga, semampunya mengusahakan dan mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, walau menurut orang-orang belumlah seberapa, asalkan ia yakin serta percaya di dalam hatinya bahwa itulah yang terbaik dari dirinya, maka ia telah memberikan, melakukan yang terbaik.

Anda bisa menyebutnya Man In the Arena (Pribadi di Sebuah Pertandingan) untuk tajuk kutipan dari Eleanor Roosevelt yang menulis, “It is not the critic who counts. It is not the man who sits and points out how the doer of deeds could have done things better and how he falls and stumbles. The credit goes to the man in the arena whose face is marred with dust and blood and sweat. But when he’s in the arena, at best he wins, and at worst he loses, but when he fails, when he loses, he does so daring greatly (terj. bebas: Tidaklah begitu penting orang-orang yang hanya mampu mengkritik. Tidak juga orang-orang yang hanya duduk diam serta memberi tahu apa yang seharusnya bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh orang yang benar-benar mengerjakannya, atau mengapa ia terjatuh serta gagal. Orang yang patut menerima pujian ialah ia yang benar-benar berada di pertandingan dengan wajah penuh debu, kotor, bahkan terluka, dan berbalut peluh. Saat ia bertanding, kadang kala ia menang, kadang tertimpa kekalahan. Namun, meskipun mungkin ia gagal atau kalah, ia telah berusaha memberikan, melakukan yang terbaik).”

Sudahkah yang terbaik kuberikan
kepada Yesus, Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya di Kalvari!
Diharapkan-Nya terbaik dariku.

Sebuah lagu mengingatkan kita. Dan saat kita sedang memberikan atau melakukan sesuatu yang menurut kita adalah yang terbaik, kita bisa berkata-kata di dalam hati, “Sedikit lagi.” Dan saat kita sedang mengerjakan sesuatu yang lain, apa pun itu, kita bisa bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya sudah memberikan yang terbaik?” “Apakah ini sudah yang terbaik?”

Jadi, apa arti sesungguhnya dari memberikan yang terbaik? Apa definisi yang terbaik—terlebih kepada dan untuk Tuhan? Saya rasa, kita dan hati kita sendirilah yang tahu jawabannya. Dan Tuhan.

Apakah kita sudah memberikan, melakukan yang terbaik hari ini?

Menjelang hari-hari ke depan dan saat Natal nanti pun, apakah kita akan memberikan, melakukan yang terbaik? Bukankah Allah Bapa pun telah memberikan, melakukan yang terbaik, melalui pengurbanan Putra-Nya, Yesus Kristus di kayu salib? Yang terbaik. Terbaik.

I firmly believe that any man’s finest hour, the greatest fulfillment of all that he holds dear, is that moment when he has worked his heart out in a good cause and lies exhausted on the field of battle—victorious (terj. bebas: Saya sangat yakin bahwa saat terbaik seseorang, atau rasa puas terhadap segala sesuatu yang ia pegang teguh, adalah ketika ia telah memberikan segenap hatinya untuk sebuah tujuan mulia, serta terbaring kelelahan karena kehabisan tenaga di medan pertandingan. Berkemenangan).”
—Vince Lombardi

Tunggu. Biasanya setelah memberi kutipan ilustrasi di bagian tengah bawah seperti di atas dari Vince Lombardi tadi, saya menyudahi sebuah tulisan. Tapi, kali ini ingin memberikan lebih. Mencoba memberikan, melakukan yang terbaik.

Kadang kita ingin menyerah karena merasa telah gagal berulang-ulang. Atau mungkin kita merasa tidak, kurang layak melakukan sesuatu. Tetapi, saat kita tetap mencoba mau memberikan segenap hati, melakukan yang terbaik—atau setidaknya yang baik pun sudah berarti yang terbaik bagi kita—menjadi seperti man in the arena, itu adalah hal yang baik.

  
I want no more and no less than the best life God wants to give me!” 
—Joyce Meyer


November 11, 2015

Too

Do you feel …

Too busy to pray?
Too many things to do save to read?
Too many busyness to handle and can’t make time to write?
Too ashamed not to be perfect?
Too sinful not to do at least one good single thing to do each day?
Too fearful, too guilty to start or maintain prospective relationship?
Too many possessions to have that it feels like they own you already?
Too … (etc.)


Pray.
Read.
Make time. Anytime. Write.
Try.
Try.
Relate.
Do. Not.
One.




November 10, 2015

Udara

Udah pernah iseng nanyain harga oksigen? Kalo belum, kira-kira Rp25.000/liter.

Dan pernah nanyain harga nitrogen di apotek? Kalo belum, kira-kira Rp9.950/liter.

Tahukah bahwa dalam sehari manusia menghirup 2,880 liter oksigen & 11,376 liter nitrogen? Jadi, 2,880 x Rp25.000 = Rp72.000.000, 11,376 x Rp9.950 = Rp113.191.200.

Total biaya untuk bernapas 1 hari adalah Rp72.000.000 + Rp113.191.200 = Rp185.191.200.

Kalau sebulan, 30 x Rp185.191.200 = Rp5.555.736.000.

Kalau per satu tahun, 365 hari x Rp185.191.200 = Rp67.594.788.000.

185 juta rupiah per hari.

5,5 miliar rupiah per bulan.

Dan 67,5 miliar rupiah per tahun.

Tanyalah pada diri kita sendiri, sudah berapa lama kita hidup di bumi ini...? Dan berapa kita harus membayar oksigen yang udah kita hirup?

Orang yang paling kaya sekalipun tidak akan sanggup membiayai napas hidupnya. Ini baru dihitung dari biaya napas, belum biaya yang lainnya.

Marilah belajar bersyukur…

―oleh Timothy J. Daun & dr. Edy Tadius
 















June 30, 2015

A Bit About A Pit

I watched one of Dr. John C. Maxwell teachings on Youtube several days ago when he was delivering his message during Global Pastors and Leadership Conference 2015. And when he shared this one special thing, it caught my attention. He shared about (which I quoted and modified a bit from an online source): 
A man fell into a pit and couldn't get himself out.

A subjective person came along and said, "I feel for you down there."

An objective person came along and said, "Well, it's logical that someone would fall down there."

A Christian Scientist came along and said, "You only think you're in the pit."

A Pharisee said, "Only bad people fall into pits."

A mathematician calculated how he fell into the pit.

A news reporter wanted an exclusive story on his pit.

A fundamentalist said, "You deserve your pit."

A Calvinist said, "If you'd been saved, you'd never have fallen in to that pit."

A Wesleyan said, "You were saved and still fell in the pit."

A Charismatic said, "Just confess that you're not in that pit."

A realist came along and said, "Now that's a pit!"

A geologist told him to appreciate the rock strata in the pit.

An IRS man asked him if he was paying taxes on his pit.

The county inspector asked him if he had a permit to dig the pit.

An evasive person came along and avoided the subject altogether.

A self-pitying person said, "You haven't seen anything until you've seen my pit..."

An optimist said, "Things could be worse."

A pessimist said, "Things will get worse."

Jesus, seeing the man, reached down, and took him by the hand and lifted him out of the pit.

image from here

June 12, 2015

True Colors

(An adaptation of True Colors by Cindy Lauper)

With sad eyes
sometimes I get discouraged
and, oh, I realize
it’s hard to take courage

In a world full of people
I can lose sight of it all
and the darkness inside
can make me feel small, so small

Try to show a smile then,
try not to be unhappy

When did I last saw myself laughing, really laughing?

And if this world makes me crazy
and thinking I’m taking all I can bear
and need to call up someone,
who will be there?

I'll show my true colors
shining through
I'll show my true colors
that's why I love you
I’m not afraid to let them show

True colors...
true colors...
beautiful
like a rainbow

Image from here


May 21, 2015

How to be A Poet

HOW TO BE A POET
(to remind myself)


Make a place to sit down.
Sit down. Be quiet.
You must depend upon
affection, reading, knowledge,
skill — more of each
than you have — inspiration,
work, growing older, patience,
for patience joins time
to eternity. Any readers
who like your poems,
doubt their judgment.

Breathe with unconditional breath
the unconditioned air.
Shun electric wire.
Communicate slowly. Live
a three-dimensioned life;
stay away from screens.
Stay away from anything
that obscures the place it is in.
There are no unsacred places;
there are only sacred places
and desecrated places.

Accept what comes from silence.
Make the best you can of it.
Of the little words that come
out of the silence, like prayers
prayed back to the one who prays,
make a poem that does not disturb
the silence from which it came.


—by Wendell Berry


April 24, 2015

Layak

Beberapa di antara kita mungkin merasa
tak layak
tak layak untuk hidup
tak layak untuk bekerja
tak layak untuk menerima apa pun

Tapi
ada, yang masih untuk kita, satu hal layak
layak mengasihi

Dan lagi
layak bersemangat
layak berharap
layak berjuang

Ya

layak untuk berjuang
layak untuk berjuang
layak untuk berjuang


April 21, 2015

Sampah?

Seorang abang, Ronald Politton pernah mem-posting pada akun Facebook-nya, yaitu gambar sebuah jalan di Jepang dengan status seperti ini:

Heran.. sepanjang jalan ngga ada tempat sampah tapi jalanan bersih banget.

Berikut pencerahannya.

 


Ada beberapa respons dari sejumlah teman. Lalu, saya pun ikut merespons:

Itulah Jepang bang. Wkt ada temen yg ke sini aja, waktu sy mau buang bungkus permen di dalam angkot, dimarahi! Disuruh masukin ke kantong ato tas aja.

Mgk krn Jepang ‘lahannya’ kecil kli y bang jd ngerasa ngehargai. Sdg, Indonesia ngerasa lahannya terlalu luas, jd buang sampah smbrgn.

Salut buat org2 Jepang yg bhkn buang bungkus permen pun ke tas ato saku dulu. Yg aneh, n kdg bikin kesel , kalo srg lht mobil mewah d Jakarta yg ngelempar sampah k luar dr jendela mobilnya. Terasa itu bukan mobil mewah, tp ‘mobil sampah’ ato mobilny tukang sampah.

Teman saya yang dari Jepang waktu itu bernama Junko.

Sedikit saja yang ingin saya tekankan, tentang lahan kecil Jepang, sehingga mungkin itu menjadi salah satu faktor orang-orang Jepang mau menjaga kebersihan lingkungan atau alam mereka. Lalu, mencoba mengaitkannya dengan kehidupan.

Walau memang tak mesti segala sesuatu bisa serta-merta kita kait-kaitkan ataupun analogikan dengan hal lain, mungkin ada kebenaran ataupun sesuatu yang bisa kita aplikasikan.

Ya, kembali ke topik. Karena negara Jepang termasuk lumayan kecil, sekitar 377.944 km2, mungkin warganya mau menjaga alamnya. Tak membuang sampah sembarangan. Meski nothing is really what it seems sih, sesuatu bisa dipelajari.

Sedangkan, luas Indonesia sekitar 1.904.569 km2 sehingga ada kemungkinan juga untuk penduduknya—meski tak semua—merasa bisa sekenanya saja mempedulikan lingkungan, alamnya karena terlalu besar, bukan?

Merasa alam tergolong besar, pulau terlampau banyak, tanah terlalu luas, jadi seenak-enaknya saja. Ambil gampang. Tenang. Tak seperti orang-orang Jepang.

Kalau boleh mengaitkan, menganalogikannya dengan kehidupan ini, mungkin sama saja. Kita orang-orang Indonesia. Taruhlah contohnya, kita merasa … 
  • gaji besar
  • teman masih banyak
  • umur masih panjang
  • pekerjaan, kantor besar
  • dan lain-lain yang membuat merasa bisa tenang-tenang saja, nyaman, tak mempedulikan 
Lalu, kita menyalahgunakannya. Melakukan sesuatu dengan sewenang-wenang. Sampai akhirnya sesuatu yang kita abuse atau salah gunakan itu mulai tak seperti itu lagi dan membuat kita merasa kehilangan besar. Mungkin sebesar, atau bahkan lebih besar daripada, sesuatu ataupun hal-hal yang besar-besar, panjang, dan banyak tadi.

Padahal, sebenarnya kita bisa saja menghargai apa saja yang kita miliki itu—baik besar maupun kecil. Tanpa menyalahgunakan. Mencoba seperti orang Jepang yang menghargai lingkungan, alam.

Kalau semua yang berharga itu memang sampah, mungkin bolehlah kita perlakukan bak sampah, salah gunakan. Tapi, lagipula, bukankah tidak semua sampah pun disalahgunakan?


April 20, 2015

Buta di Belakang, Tahu di Depan

Saya membaca ulasan singkat dari Linda Yezak tentang isi cerpen The Boy Who Smelled Colors oleh H. Lee Barnes.

Di paragraf-paragraf awal, penulisnya memperkenalkan kedua tokoh, Julian dan Christopher yang berpetualang di sebuah gurun pasir di Arizona. Christopher sebagai tokoh utama dengan sudut pandang pertama (POV), sedangkan Julian adalah saudaranya.

Christopher menghaturkan bahwa Julian menghadap ke cakrawala yang membentang di depannya, seolah ingin merasakan desiran angin dari berbagai penjuru.

Kemudian, pada paragraf-paragraf selanjutnya, cerpen tersebut berisi dialog antarkedua karakter tersebut seperti tentang cuaca panas ataupun hawa hangat. Sampai pada dialog berikut ini, barulah jelas tentang keadaan Julian yang sebenarnya:

“This way.” Christopher aims Julian toward the trailhead and takes his forearm in hand. “Careful. There’s rock ahead.” (terj. bebas: “Lewat sini.” Christopher mengarahkan Julian sambil memegang lengannya. “Hati-hati. Ada batu di depan.”)

Menurut Linda Yezak, penulis cerpen tersebut menguraikan sebanyak tujuh paragraf yang berisi narasi serta sejumlah dialog sebelum akhirnya pembaca dapat mengetahui bahwa Julian itu tunanetra. Bahkan, terdapat delapan paragraf lagi sebelum akhirnya penulis memasukkan kata buta.

Lagi, menurut Linda, sebenarnya bisa saja H. Lee Barnes memulai cerita langsung dengan menjelaskan bahwa Julian itu buta. Dan Christopher sedang bersamanya, membimbingnya melintasi gurun pasir. Tapi, kalau seperti itu, karena para pembaca sudah mengetahui di awal, kemungkinan alur ceritanya mudah ditebak. Tak terlalu menarik. (Mungkin ada perbedaan besar antara cerita yang mudah diikuti atau dinikmati dengan yang mudah ditebak, ya?)

Begitu juga mungkin halnya dengan kehidupan.

Kalau kita sudah tahu banyak yang akan terjadi di depan, mungkin rasanya kehidupan ini takkan terlalu menarik. Atau, mungkinkah karena kita haus kontrol sehingga kalau bisa, kita harus dapat mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi supaya kita tidak terlalu panik, kewalahan? Ataukah, sebenarnya kita sekadar takut?

Membuat perencanaan boleh-boleh saja. Dan perlu. Sebab kalau kita sudah tak punya rencana apa-apa, kita perlu bertanya-tanya, ke mana sebenarnya tujuan kita? Tapi, kita tak dapat selalu mengetahui apa saja yang akan terjadi di depan. Tapi, kita tahu kepada Siapa kita sebaiknya berharap.


Maybe the reason for this mystery is so that we will turn to him. After all, what do we need the Lord for if we already know what will happen?
—Rick J. Pritikin

Image from here














April 16, 2015

Siap

Seorang yang DEKAT dengan Tuhan bukan berarti tidak ada AIR MATA

Seorang yang TAAT pada Tuhan bukan berarti tidak ada KEKURANGAN

Seorang yang TEKUN berdoa bukan berarti tidak ada masa-masa SULIT
tapi, orang tersebut akan selalu mengalami PENYERTAAN-Nya

Seandainya BERGUMUL, pasti ada HARAPAN

Seandainya di padang gurun, pasti DIPELIHARA

Seandainya masih dalam PROSES, suatu saat pasti DIPROMOSIKAN
biarlah TUHAN yang berdaulat sepenuhnya atas hidup kita karena Tuhan TAHU waktu yang TEPAT untuk memberikan yang TERBAIK

Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kamu sedang belajar KETULUSAN

Ketika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kamu sedang belajar KEIKHLASAN

Ketika hatimu terluka sangat dalam, maka saat itu kamu sedang belajar MEMAAFKAN

Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar KESUNGGUHAN

Ketika kamu merasa sepi dan sendiri, maka saat itu kamu sedang belajar KETANGGUHAN

Ketika kamu harus membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kautanggung, maka saat itu kamu sedang belajar KEMURAHHATIAN

Karena kamu sedang menimba ilmu di universitas KEHIDUPAN

TUHAN menaruhmu di tempatmu yang sekarang bukan karena kebetulan

Orang yang HEBAT tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan

Mereka dibentuk melalui KESUKARAN, AIRMATA, dan TANTANGAN

Ketika engkau mengalami sesuatu yang sangat berat dan merasa sendiri di dalam hidup ini, angkatlah tangan dan kepalamu ke atas...

Tataplah masa depan...

Ketahuilah, TUHAN sedang mempersiapkanmu.


—Elvrina Sri Reva Sihaloho