Saya membaca ulasan singkat dari Linda Yezak tentang isi cerpen The Boy Who Smelled Colors oleh H. Lee
Barnes.
Di paragraf-paragraf awal, penulisnya memperkenalkan kedua tokoh,
Julian dan Christopher yang berpetualang di sebuah gurun pasir di Arizona. Christopher
sebagai tokoh utama dengan sudut pandang pertama (POV), sedangkan Julian adalah saudaranya.
Christopher menghaturkan bahwa Julian menghadap ke cakrawala yang
membentang di depannya, seolah ingin merasakan desiran angin dari berbagai
penjuru.
Kemudian, pada paragraf-paragraf selanjutnya, cerpen tersebut berisi
dialog antarkedua karakter tersebut seperti tentang cuaca panas ataupun hawa
hangat. Sampai pada dialog berikut ini, barulah jelas tentang keadaan Julian
yang sebenarnya:
“This way.” Christopher
aims Julian toward the trailhead and takes his forearm in hand. “Careful.
There’s rock ahead.” (terj. bebas: “Lewat sini.” Christopher mengarahkan
Julian sambil memegang lengannya. “Hati-hati. Ada batu di depan.”)
Menurut Linda Yezak, penulis cerpen tersebut menguraikan sebanyak tujuh
paragraf yang berisi narasi serta sejumlah dialog sebelum akhirnya pembaca
dapat mengetahui bahwa Julian itu tunanetra. Bahkan, terdapat delapan paragraf
lagi sebelum akhirnya penulis memasukkan kata buta.
Lagi, menurut Linda, sebenarnya bisa saja H. Lee Barnes memulai cerita
langsung dengan menjelaskan bahwa Julian itu buta. Dan Christopher sedang
bersamanya, membimbingnya melintasi gurun pasir. Tapi, kalau seperti itu, karena
para pembaca sudah mengetahui di awal, kemungkinan alur ceritanya mudah ditebak.
Tak terlalu menarik. (Mungkin ada
perbedaan besar antara cerita yang mudah diikuti atau dinikmati dengan yang
mudah ditebak, ya?)
Begitu juga mungkin halnya dengan kehidupan.
Kalau kita sudah tahu banyak yang akan terjadi di depan, mungkin
rasanya kehidupan ini takkan terlalu menarik. Atau, mungkinkah karena kita haus
kontrol sehingga kalau bisa, kita harus dapat mengetahui segala sesuatu yang
akan terjadi supaya kita tidak terlalu panik, kewalahan? Ataukah, sebenarnya kita
sekadar takut?
Membuat perencanaan boleh-boleh saja. Dan perlu. Sebab kalau kita sudah
tak punya rencana apa-apa, kita perlu bertanya-tanya, ke mana sebenarnya tujuan
kita? Tapi, kita tak dapat selalu mengetahui apa saja yang akan
terjadi di depan. Tapi, kita tahu kepada Siapa kita sebaiknya berharap.
“Maybe
the reason for this mystery is so that we will turn to him. After all, what do
we need the Lord for if we already know what will happen?”
—Rick J. Pritikin
![]() |
Image from here |