November 7, 2014

K


Saat baca-baca kemarin pas kelompok sharing di kantor, mata menyorot, atau hati sih tepatnya, pada kata-kata, “Mungkin karena kita takut terhadap kekosongan dalam jiwa kita yang cenderung terasa pada jam-jam sunyi,” oleh Charless Swindoll. Mungkin karena kita takut terhadap kekosongan dalam jiwa kita yang cenderung terasa pada jam-jam sunyi. Ketemplak.

Saya tahu orang-orang pasti memiliki kuota rasa tidak puas, atau kekosongan, di dalam hati, entah berapa pun jumlahnya, kadarnya. Dan barangdanau (bukan barangkali) itu sah-sah saja kalau ada rasa puas yang tidak sah, maksudnya suka keadaan stagnan, mencari hal-hal yang gampang saja, terpaku dan terpukau masa lalu. Atau, mungkin wajar-wajar saja kalau ingin mengejar pekerjaan bergaji lebih besar lagi atau yang lebih baik sesuai panggilan hidup—maksudnya, untuk itu kita mulai terpanggil merasa benar-benar hidup—memiliki hubungan, menguasai komunikasi, mengatur keuangan dengan lebih bagus lagi, mencoba kesempurnaan, kesuksesan. Kejarlah.

Rasa puas bukan hanya berarti mencakup pada materi atau makanan, seperti kata penulis Ibrani, “… cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu (lih. Ibrani 13:5).” Kecukupan.

Rasa puas itu mungkin juga bisa berarti, dipelajari, didapatkan melalui, atau bicara tentang puas terhadap kerjaan yang banyak, atau teman yang masih sedikit, rumah yang jaraknya jauh, mengalami sakit, atau ditinggal orang dekat, dan apa pun yang mungkin kita alami dan anggap sebagai sesuatu yang negatif atau membuat merasa kosong. Kini.

Di satu sisi, St. Agustinus memang pernah berkata, “Thou hast made us for thyself, O Lord, and our heart is restless until it finds its rest in thee,” atau Tuhan telah menciptakan manusia sebenarnya semata-mata bagi-Nya dan hati mereka takkan pernah tenang sebelum tenang, puas, berserah hanya di dalam Dia. Kristus.

Di sisi lainnya, mungkin kita pun tak akan belajar memperoleh ketenangan sebelum kita berada, menghadapi, mensyukuri keadaan yang tidak kita inginkanataukah yang sebenarnya kita inginkan, butuhkan. Memang ini sesusah membalik telapak tangan kalau sekadar teori, segampang membalikkan Telaga Sarangan apabila mengalaminya sendiri. Krisis.

Apakah bisa terasa kosong kala merasa puas, serta sebaliknya? Bagaimana dengan sesudahnya, apakah akan ada kekosongan setelah mengalami kepuasan, lalu merasa puas setelah rasa tidak puas? Apakah kekosongan dan kepuasan, rasa tidak puas dan puas itu seimbang? Tetapi, mungkin rasa puas yang sejati tidak memberi tempat untuk rasa tidak puas, meski mengakui keberadaan perasaan tersebut. Rasa puas itu selalu berada jauh lebih di atas, walau merasa adanya hal-hal yang sedang di bawah. Klop.

 
ilustrasi dari sini