Saat baca-baca kemarin pas
kelompok sharing di kantor, mata
menyorot, atau hati sih tepatnya, pada kata-kata, “Mungkin karena kita takut
terhadap kekosongan dalam jiwa kita yang cenderung terasa pada jam-jam sunyi,”
oleh Charless Swindoll. Mungkin karena kita takut
terhadap kekosongan dalam jiwa kita yang cenderung terasa pada jam-jam sunyi. Ketemplak.
Saya tahu orang-orang pasti
memiliki kuota rasa tidak puas, atau kekosongan, di dalam hati, entah berapa pun jumlahnya, kadarnya. Dan
barangdanau (bukan barangkali) itu sah-sah saja kalau ada rasa puas yang tidak
sah, maksudnya suka keadaan stagnan, mencari hal-hal yang gampang saja, terpaku
dan terpukau masa lalu. Atau, mungkin wajar-wajar saja kalau ingin mengejar
pekerjaan bergaji lebih besar lagi atau yang lebih baik sesuai panggilan hidup—maksudnya, untuk itu kita mulai terpanggil merasa
benar-benar hidup—memiliki hubungan, menguasai komunikasi, mengatur
keuangan dengan lebih bagus lagi, mencoba kesempurnaan, kesuksesan. Kejarlah.
Rasa puas bukan hanya berarti
mencakup pada materi atau makanan, seperti kata penulis Ibrani, “… cukupkanlah
dirimu dengan apa yang ada padamu (lih. Ibrani
13:5).” Kecukupan.
Rasa puas itu mungkin juga bisa
berarti, dipelajari, didapatkan melalui, atau bicara tentang puas terhadap kerjaan yang banyak, atau teman yang masih sedikit,
rumah yang jaraknya jauh, mengalami sakit, atau ditinggal orang dekat, dan apa pun yang mungkin kita alami dan
anggap sebagai sesuatu yang negatif atau membuat merasa kosong. Kini.
Di satu sisi, St. Agustinus memang pernah
berkata, “Thou hast made us for thyself,
O Lord, and our heart is restless until it finds its rest in thee,” atau
Tuhan telah menciptakan manusia sebenarnya semata-mata bagi-Nya dan hati mereka
takkan pernah tenang sebelum tenang, puas, berserah hanya di dalam Dia.
Kristus.
Di sisi lainnya, mungkin kita pun tak
akan belajar memperoleh ketenangan sebelum kita berada, menghadapi, mensyukuri
keadaan yang tidak kita inginkan—ataukah yang sebenarnya kita inginkan,
butuhkan. Memang ini sesusah membalik telapak tangan kalau sekadar teori, segampang membalikkan Telaga Sarangan apabila mengalaminya sendiri. Krisis.
Apakah bisa terasa kosong kala merasa puas, serta sebaliknya? Bagaimana dengan sesudahnya, apakah akan
ada kekosongan setelah mengalami kepuasan, lalu merasa puas setelah rasa tidak
puas? Apakah kekosongan dan kepuasan, rasa tidak puas dan puas itu seimbang? Tetapi, mungkin rasa puas yang sejati tidak memberi tempat untuk rasa
tidak puas, meski mengakui keberadaan perasaan tersebut. Rasa puas itu selalu berada
jauh lebih di atas, walau merasa adanya hal-hal yang sedang di bawah. Klop.
![]() |
ilustrasi dari sini |