November 5, 2014

Bohong Adalah Pisau


Ilustrai dari Fancy
Gestapo, polisi rahasia Nazi mendesak: “Di mana kalian sembunyikan orang-orang Yahudi itu?!”

“Saya tahu mereka di sini! Jangan bohong!”

Corrie ten Boom yang sejujurnya tidak suka berbohong, mungkin terpaksa melakukannya, bohong. “Tidak ada orang Yahudi di sini…” jawab Corrie.

Setelah saat itu, sempat terjadi perselisihan kecil dan singkat antara Corrie dengan kakaknya, Betsie ten Boom tentang apakah boleh berbohong—apalagi dalam keadaan seperti di atas?

Saya tidak tahu. Atau apakah saya tahu? Tapi mungkin untuk keadaan seperti itu boleh. Menurut cerita lain, Betsie menjawab jujur kepada Gestapo, dan hasilnya malah polisi rahasia itu tidak percaya, menganggapnya bercanda.

Jadi, apakah sebaiknya bohong—ataukah jujur?

Saya tidak tahu. Tapi mungkin suara hati kecil kita yang paling tahu, suara yang bisa saja paling keras ataupun sangat lembut, mengingatkan kita untuk apa yang sebaiknya kita lakukan.

Bohong mungkin seumpama pisau. Pisau seperti politik. Bisa digunakan untuk tujuan jahat atau baik. Seperti halnya bahasa Jerman. Apakah Elie Wiesel dan Viktor Frankl tidak mau menggunakan bahasa itu, bahasa yang negaranya pernah mengadopsi Nazi yang telah memenjarakan dan menyiksa mereka di kamp-kamp konsentrasi? Masih mau menggunakannya, bukan?

Saya tidak tahu apakah analogi pisau, politik, dan bahasa ini linear atau segaris untuk kebohongan, tidak? Tetapi, satu yang saya tahu. Saya tahu kadang saya harus bohong, saya tahu kapan saya mau jujur.