Berangkat dari terbakarnya sekitar 3.000 buku koleksi Bpk. Iwan Gardono
Sujadmiko di
sini dan di
sini pada awal tahun ini, apakah kita siap kehilangan barang-barang yang mungkin berarti bagi kita? Tetapi, itu terhadap barang-barang atau
benda-benda. Belum kalau tentang orang-orang. Saya sendiri membayangkan, bagaimana kalau-kalau rumah saya di Ciliwung
– Depok kebakaran atau kebanjiran dan melahap buku-buku saya… Semoga tidak terjadi, sih.
Entah salah, entah benar, Thomas Alva Edison pernah
berkata kepada putranya, “Where is mom? Go
get her and tell her to bring her friends they’ll never see a fire like this
one again (Mana Ibumu?! Cepat panggil Ibumu dan suruh membawa
teman-temannya untuk melihat kebakaran luar biasa ini)!” Saat labnya hampir
habis dilalap api.
Sepertinya Thomas Edison
tidak terlalu memegang erat-erat benda-benda atau barang-barang sebagai
miliknya. Seindah apa pun. Mesti siap kehilangannya.
Seperti mawar mungkin. Siapa yang mau menggenggamnya terlalu erat?
Terkait tentang itu, berikut
tulisan—sekali lagi—dari Pak Jati
tentang saat kita memegang sesuatu atau
banyak hal terlalu erat. Go ahead, Mr. Jati.
***
Pekan ini ada banyak orang yang sedang menikmati momen hari Valentine, entah karena benar-benar
merayakannya, entah sekadar latah ikut-ikutan momennya.
Bicara tentang kasih sayang atau kaitannya dengan
mencintai, ada satu hal yang ingin saya bagikan.
Kita selalu diminta untuk menyayangi dan mencintai apa
pun yang kita miliki, entah kepada orang lain, pekerjaan, komunitas, benda atau
hal yang lainnya.
Tapi, pernah tidak kita ketika menyayangi atau
mencintai seseorang atau suatu hal, kita tersakiti atau terlukai? Ada yang
mengatakan, “Mencintai atau menyayangi itu menyakitkan.” Saya berpikir, kenapa bisa muncul ungkapan itu, ya?
Setelah saya mencoba merenungkannya dan refleksi
dengan pengalaman pribadi saya, kalau dianalogikan mencintai atau menyayangi seseorang
atau sesuatu hal yang kita miliki itu seperti sedang memegang setangkai bunga
mawar.
Kalau kita memegang dengan terlalu erat, pasti telapak
tangan kita akan terluka karena durinya akan menusuk, tetapi kalau kita
memegangnya dengan benar, tepat (pas), dan yang utama dengan kasih, pasti rasanya akan indah.
Begitu pula ketika mencintai atau menyayangi segala
hal yang kita miliki di dunia ini—
keluarga, sahabat, teman, harta, atau pekerjaan—kita perlu melakukannya dengan pas dan yang utamanya dengan kasih.
Kasih membuat
kita tidak merasa tersakiti ketika mencintai atau menyayangi sesuatu hal,
bahkan dapat menguatkan atau mengikhlaskan ketika yang kita cintai atau kita
kasihi itu hilang…
Kita dapat belajar dari Allah yang kasih-Nya tak berkesudahan bagi kita
semua.
Nah, selamat belajar mencintai dan mengasihi dengan kasih.
—Jati Wicaksono
(Secangkir teh dan sepotong
singkong rebus bagi sahabat.)
![]() |
Image courtesy of Lifehack |