Suara
ayam jantan berkokok memecah kesunyian dinginnya subuh. Suti terbangun,
mengucek matanya yang masih mengantuk. Ingin rasanya dia menggulung selimut ke tubuhnya,
melanjutkan tidur. Namun, suara ibu menyuruhnya bangun untuk segera ke dapur. Terpaksa
Suti bangun dengan mata yang masih berat. Sebentar dia membasuh muka, lalu
menyekanya dengan handuk, dan duduk di dingklik di depan tungku perapian, berdoa:
“Tuhan, Engkau masih memberi aku hidup di
hari yang baru ini. Kelelahan kemarin sudah lenyap saat aku terlelap. Aku harus
menghadapi satu hari lagi. Tolong bantu aku menjalaninya, ya Tuhan, agar aku
makin mengetahui dan mengerti tujuan untuk apa aku hidup hari ini. Amin…”
Suti
adalah gadis remaja kelas 1 SMP. Sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, hari-hari
Suti sarat dengan segala jenis pekerjaan rumah. Setiap hari sepulang sekolah, selalu
dengan cepat dia mengganti pakaian, mengeluarkan enam ekor domba peliharaan
dari kandang, dan menggiring kawanan itu ke kebun belakang rumahnya untuk merumput.
Agar domba-domba itu tidak merusak tanaman milik tetangga, domba-domba itu diikatkan
ke pohon. Sehabis itu, dia pergi ke rumah salah seorang tetangganya yang hidup tunggal,
sendiri, karena suaminya sudah meninggal. Di sana Suti membantu memasak, beres-beres
rumah, dan menyapu dengan menerima upah 400 rupiah setiap kali datang. Sering
juga mendapat nasi dengan sedikit lauk atau sayur. Lumayan, jadi tambahan lauk
atau sayur untuk makan bersama keluarga di rumah.
Dia
menyalakan tungku, mulai menjerang air. Menceduk beras dengan gelas, mencucinya,
lalu memasaknya. Sambil memasak, dia mencuci baju, menyapu dan mengepel. Sebentar-sebentar
diselingi membetulkan tungku perapian. Sarapan siap sudah untuk seluruh
keluarga. Sambil bernyanyi kecil, Suti mandi, lalu berganti pakaian, dan bersiap
untuk bersekolah seperti hari-hari biasanya. Disandang tasnya yang terbuat dari
kain terigu di pundaknya, lalu berpamitan kepada ayah-ibunya untuk berangkat.
Setengah
perjalanan telah tertempuh dengan langkah kaki cepat. Keringat mengucur. Perut
kosongnya yang belum terisi apa-apa semenjak pagi mulai mengeluarkan suara keroncongan.
Sambil tetap berjalan, dia merogoh tas kantung terigunya dan mengambil sekepal
nasi terbungkus sobekan daun pisang yang telah dipersiapkannya sebagai bekal. “Tuhan, buatlah makanan ini menjadi tenaga
dan kekuatan supaya aku bisa melalui hari ini tanpa mengeluh dan dapat
mengerjakan seluruh tugas yang harus aku kerjakan,” Suti berdoa kecil, lalu
memakan nasi itu sambil mempercepat langkahnya agar tidak terlambat tiba di
sekolah.
***
Pukul
dua siang. Bel panjang tanda berakhirnya kegiatan belajar berbunyi. Suti
bergegas menerobos segerombolan para siswa yang hendak pulang. Namun, di ambang
pintu keluar sekolah, Kepala Sekolah memanggilnya untuk masuk ke ruangnya. Suti
deg-degan tak keruan. Ternyata, Kepala Sekolah menagih uang sekolah yang telah empat
bulan belum terbayar dan meminta agar orangtuanya datang melunasi karena minggu
depan akan ada ulangan. Suti tertunduk, berusaha untuk tegar. Dia menarik napas
dalam-dalam dan sebentar menelan ludah, lalu menegakkan kepalanya.
“Pak,
saya minta maaf atas keterlambatan pembayaran uang sekolah saya. Saya mohon, jangan
memanggil orangtua saya. Saya berjanji akan mencicilnya. Izinkan saya untuk
tetap ikut ulangan dan segera pulang, ya Pak,” Suti memelas.
“Suti…
Bapak tahu kamu anak yang rajin. Kamu baik dan pantang menyerah. Bapak mengerti
keadaanmu dan percaya pada kamu… Tetapi, Bapak ingin orangtuamu datang ke
sekolah. Kalau sekarang ini orangtuamu tidak bisa datang, baiklah, tidak
apa-apa, tapi tolong sampaikan bahwa Bapak ingin bertemu orangtuamu. Nah,
sekarang pulanglah dan hati-hati di jalan.”
Suti
segera bangkit dari tempat duduk, dan pamit pada Kepala Sekolahnya.
***
Dengan
sedikit berlari seperti harus mengejar sesuatu, Suti pulang menempuh perjalanan
sekitar tujuh kilometer ke rumahnya. Teriknya mentari, dan panasnya telapak
kaki―karena harus menapaki tanah dengan melepas satu-satunya
sepatunya yang alasnya sudah bolong agar lebih awet―tak
dirasakannya. Dia ingin sesegera mungkin sampai di rumah. Meskipun demikian, Suti
tak lupa mampir di pasar untuk membeli sayuran atau lauk titipan tetangga yang
tinggal sendiri tadi. Memang upah menolong berbelanja itu tak seberapa
jumlahnya. Namun, Suti mau mengumpulkannya untuk bermaksud membeli sepatu
sekolah yang baru.
Sesampainya
di rumah, Suti menyalakan tungku, memasak. Menyapu, mencuci perabot, menimba
air, dan mengisi bak mandi. Mengambil jemuran pakaian, membakar arang, lalu
menyeterika sambil belajar.
Selepas
mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, dia menggiring domba ke sebuah pekuburan
di bukit, di mana terhampar rerumputan menghijau. Dia mengikat lagi domba-domba
itu dengan tali ke batang pohon. Sementara kawanan dombanya merumput, Suti
sibuk mencari atau mengumpulkan ranting-ranting kering untuk kayu bakar sambil memotongi
rumput, lalu memasukkannya ke dalam karung untuk domba-dombanya. Bila karungnya
telah penuh, Suti akan mengaso di tembok-tembok pusara sambil membuka-buka buku
pelajarannya. Dia menghapal atau mengerjakan PR-nya di sana. Saat sore menjelang
magrib, Suti membawa pulang kawanan dombanya sambil menggendong sekarung rumput
di punggung, lalu mengais dan memanggul kayu bakarnya.
***
Waktu
berkumpul bersama keluarga adalah saat makan malam pukul enam. Waktu yang sangat
berharga dan membahagiakan. Di meja makan, ibu akan melayani seluruh anggota
keluarga, mulai dari menceduk nasi hingga membagi-bagikan lauk atau sayur seadanya
pertama-tama kepada ayah, kemudian saudara-saudari Suti, sementara Suti yang
terakhir sebelum ibu melayani dirinya sendiri. Jika sayur atau lauk sangat
sedikit, maka Suti dan ibu rela tidak kebagian. Selesai makan malam, ayah akan
memimpin dalam pujian, doa dan perenungan firman Tuhan.
Bagi
Suti, kebebasannya untuk belajar atau melakukan hal-hal lainnya adalah selepas pukul
tujuh malam. Setiap Senin dan Kamis, Suti mengikuti olahraga badminton di
lingkungan sekitar, dekat rumahnya. Selasa dan Jumat digunakannya untuk membaca
atau menyulam atau merenda. Setiap Rabu dan Minggu, Suti aktif mengikuti kegiatan
di gereja. Suti rutin dan rajin melakukan hal-hal tersebut sampai pukul
setengah sembilan malam. Selalu, setiap hari. Selepas itu, Suti belajar hingga
pukul sepuluh. Melepas lelah, lalu berdoa sebelum tidur, “Tuhan, terima kasih Engkau telah membimbing aku sepanjang hari ini. Sebentar
lagi aku mau istirahat, sebelum esok menghadapi hari yang baru lagi. Tetap
sertai aku, ya Tuhan, tiap hari makin dekat dengan tujuan hidupku. Amin.”
―oleh Beti Sukmawati