Beberapa hari yang lalu saya meng-interview ibu dari seorang anak yang disponsori oleh perusahaan tempat di mana saya bekerja. Dalam setiap langkah si ibu yang semakin mendekat, saya melihat sosok seorang ibu yang sedang memikul beban yang cukup berat, namun tetap tegar dalam menjalani hidup.
Ketegaran
ini memang merupakan ciri khas wanita khas suku saya. Belakangan saya tahu
bahwa ibu tersebut adalah seorang Batak asli. Namanya Solimah, nama yang cukup aneh bagi wanita batak,
sama anehnya dengan nama Sri Rejeki. Bagi kami, nama wanita Batak yang cukup
familiar di telinga hanyalah Kak Emmaaaaa, pengusaha Fitsa Hats yang terkenal
itu.
Dia
bercerita bahwa saat ini usia anaknya sudah menginjak 9 tahun, usia tersebut
normalnya sudah duduk di kelas 3 SD. Anak tersebut termasuk anak yang daya
tangkapnya sangat lemah, berbeda dengan anak normal lainnya, sering menjadi
sasaran bully-an anak lainnya. Walau
begitu, anak tersebut tidak pernah mau melaporkan kepada orangtua meski dipaksa
sekalipun. Saking seringnya menerima bully-an
dan pukulan, baginya hal tersebut sudah seperti sebuah “kenikmatan”.
Anak
tersebut termasuk anak yang sering jatuh sakit, tidak punya banyak teman, dan
sebagian besar hari-harinya hanya dihabiskan bermain dengan lemari—satu-satunya
“harta benda” yang mereka miliki dalam ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter
tersebut.
Ketika saya
tanyakan apakah anak tersebut mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua
orangtua, dengan raut wajah sedih si ibu tersebut mengatakan bahwa anaknya
termasuk anak yang tidak pernah dapat perhatian dari ayahnya. Tidak sudi
meluangkan waktu untuk bermain dan menghabiskan waktu bersama si anak, malah
cenderung malu punya anak seperti dia, tidak pernah peduli akan sekolah anak
dan yang lainnya. Dan yang lebih menyedihkan adalah ayahnya cenderung tidak mengakui
bahwa anak tersebut merupakan anak kandungnya sendiri!
Padahal,
seharusnya justru anak seperti itu yang harusnya diberi perhatian yang lebih
karena menurut penelitian bahwa seorang
anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari ayah akan mengakibatkan
anak cenderung tidak berani menentukan sikap dalam mengambil keputusan,
mempunyai sikap yang pemurung dan pendiam, memiliki pribadi yang lemah, anak
menjadi nakal, agresif. Dan fatalnya, dapat terjerumus pada narkoba dan seks
bebas.
Sebaliknya,
anak yang memiliki hubungan baik dengan ayahnya akan cenderung tumbuh menjadi
pribadi sociable, mudah berinteraksi,
dan pengasih.
Pingin
rasanya menyedot lobang hidung ayahnya pake vacuum
cleaner sambil membisikkan kata-kata, “Bahwa tugas seorang ayah bukan hanya
mencari nafkah, dan buka celana, dan kekku-kukek-kekek-kukek,”
akan tetapi untuk membentuk karakter anak yang biasa disebut dual parenting atau co-parenting.
Bagi semua
ayah di dunia: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau
perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu
dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang
dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”, dan “Didiklah
orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak
akan menyimpang dari pada jalan itu.”