April 12, 2017

Bicara tentang kematian


How does one become a butterfly?” she asked pensively. “You must want to fly so much that you are willing to give up being a caterpillar.
Trina Paulus

Bicara tentang kematian. Mungkin itu seperti ketika kita sedang berenang dan berada di dalam air, lalu mencoba membuka mata (syukur-syukur kalau memakai kacamata renang) dan melihat ke atas. Agak buram mungkin, tidak jelas pemandangannya bukan. Dan setelah kita mengeluarkan kepala ke atas permukaan air, barulah jelas pemandangannya (apalagi kalau kita melepaskan kacamata renang).

Teman—atau yang mengaku begitu—saya pun bercanda apakah kalau mati mendadak itu enak? Ada teman lain yang juga bercanda, atau mungkin setengah bernada serius, bahwa bisa saja mengurus akta kelahiran sendiri, asal jangan mengurus akta kematian sendiri.

Kalau tidak salah, Norman Vincent Peale, penulis buku-buku berpikir dan bersikap positif, pernah juga menulis buku tentang kematian—atau tepatnya, kehidupan setelah kematian. Berjudul Life Beyond Death. Di dalamnya, dia mengatakan bahwa mungkin kematian itu mirip bayi yang baru dilahirkan ke dunia. Selama kurang lebih sembilan bulan janin hanya mengenal “dunia” di dalam kandungan ibunya. Baru, setelah keluar dari kandungan ibunyalah, bayi itu merasakan seperti apa dunia yang sebenarnya—meskipun masih jabang bayi.

Ketika Peale melayat ke pemakaman seorang temannya bernama Neil Collum dan berkhotbah pada masa kedukaan tersebut, Peale sejenak melihat ke peti jenazah temannya itu serta berkata kepada para pelayat yang lain bahwa Neil Collum tidaklah berada di dalam peti itu. Bahwa itu hanyalah tubuh yang pernah didiami oleh Neil sewaktu masih hidup di bumi.

Peale melanjutkan, sebelum temannya itu lahir ke dunia, tentu masih berada di dalam kandungan ibunya dan bisa merasakan kasih ibunya. Sebagai janin, pasti senang berada di dalam perut ibu. Tapi, lanjut Peale, bayangkan kalau ada orang yang dapat berkata kepada bayi itu, “Kamu tidak bisa terus-menerus berada di dalam perut ibumu. Kamu akan dilahirkan.” Mungkin janin itu mengira bahwa hal itu merupakan kematian baginya, lalu berkata, “Aku nggak mau lahir! Aku mau terus di sini. Aku senang di sini. Nyaman. Diberi makan. Dikasihi.”

Bagaimanapun, tibalah hari kelahiran. Bayi keluar dari tempatnya dia berada selama ini, dan masuk ke tempat yang baru. Namun, ternyata masih ada terasa, bahkan lebih lagi kasih dari ibunya.

Lalu ia beranjak besar. Mengalami beberapa masalah serta kegagalan. Namun, ia mencintai hidup ini dan dunia tempat yang ia tinggali ini.

Ketika tua, ia berpikir, Aku akan meninggal. Lalu berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak, aku tidak mau mati. Aku senang di sini. Aku mau menikmati bintang-bintang, sinar matahari, dan segalanya. Aku tidak mau mati.” Mirip pemikiran bayi tadi.

Bagaimanapun, tibalah hari kematian.

Peale berkata, ia percaya bahwa seperti halnya bayi yang baru lahir akan merasakan kasih sayang dan perhatian yang begitu besar dari ibunya, begitu juga ketika Neil temannya meninggal, ia percaya dia akan melihat wajah Tuhan yang baik yang menatap dia dan merasakan kasih sayang yang besar dari-Nya.

Mengapa saya menulis atau berbicara tentang kematian? Mungkin karena kematian itu selalu dekat dengan kita, bahkan mungkin di depan hidung kita, tapi sering kali tanpa menyadarinya, sedangkan hidup itu, untuk bisa sungguh-sungguh hidup, terasa masih jauh sekali. Seperti kata William Wallace, “Every man dies. Not every man really lives.

Mungkin, hanya mungkin, yang lebih penting daripada kematian itu sendiri adalah mati bagi diri sendiri. Kita pun mesti mati bagi diri sendiri supaya bisa empati terhadap orang lain. Sebab jika kita selama hidup masih selalu memenangkan, menghidupkan keinginan diri sendiri, kita mungkin sedang mati, tidak sungguh-sungguh hidup.


What happens after we die? If there is nothing higher than ourselves, then is life just a fleeting, meaningless accident?
—Plato