Dalam bidang penerbangan, ada
istilah yang disebut dengan tunnel vision
atau situasi di mana seorang pilot mengalami pandangan seolah melihat di
terowongan. (Mohon maaf dan mohon
mengoreksi apabila salah menjabarkan).
Hal itu terjadi pada pilot pesawat
tempur ataupun akrobatik saat melakukan manuver sehingga efek G-Force (gaya tarik bumi atau gravitasi
tinggi terhadap tubuh) berdampak besar padanya.
Pesawat tempur ataupun akrobatik
yang terbang dalam posisi lurus normal, kemudian melakukan gerakan berputar ke
atas maupun berbelok secara tiba-tiba, akan mengalami G-Force yang berdampak negatif terhadap pilot.
Saat melakukan gerakan tersebut, ada
juga efek arah gaya sentrifugal yang membuat darah pada bagian atas tubuh pilot
mengikuti arah sentrifugal itu, yaitu ke tubuh bagian bawah atau kaki. Hal itu
mengakibatkan otak perlahan tidak menerima asupan darah serta oksigen secara
normal. Dan itu berdampak pada mata pilot yang mulai tak berfungsi normal pula.
Hal pertama yang terjadi adalah graying out (wilayah abu-abu). Pilot
kehilangan sementara kemampuan untuk membedakan warna yang dilihatnya di luar.
Setelah itu, ia akan mengalami gejala tunnel
vision. Peristiwa itu diawali saat pilot mulai melihat perifer (lingkup
pandang pinggir kedua mata) atau cakrawala seolah menyusut. Kedua sisi pandang
akan makin terlihat gelap. Lalu, kian mengecil hingga hampir seolah melihat
melalui lubang sedotan. Kemudian, sekitarnya benar-benar terlihat gelap. Pilot
mungkin masih sadar, tapi ia tak bisa melihat apa pun. Hingga akhirnya, ia
benar-benar kehilangan kesadaran diri alias pingsan.
Solusi
Pilot dapat memakai anti-G suit atau pakaian khusus untuk
penerbang yang dapat menghambat aliran darah menuju ke tubuh bagian bawah
sehingga darah tetap mengalir di atas.
Pilot juga mesti berlatih anti-G straining manuver atau metode
mengencangkan otot perut supaya mencegah berkumpulnya darah di bagian dalam
perut.
Pilot juga dapat menggunakan reclining seat atau kursi yang dibuat
landai agar kerja jantung tak terlalu berat memompa darah ke otak karena jarak
vertikal antara jantung dengan otak berkurang.
Sekali lagi, mohon maaf dan
mengoreksi apabila saya salah menjabarkan sebab saya awam dalam bidang
penerbangan. Namun, izinkan saya menganalogikan tunnel vision tersebut pada ilmu penerbangan dengan kehidupan kita.
Salah satu sahabat saya, Mas Jati
Wicaksono, pernah berkata bahwa manusia-manusia saat ini sering “tanpa hati”
saat melakukan sesuatu ataupun berinteraksi dengan sesamanya. Tanpa rasa. Hatinya ada di tempat atau
hal lain ketika sedang mengerjakan sesuatu. Pikirannya menerawang ke hal atau
orang lain ketika mendengarkan seseorang berbicara dengannya atau di depan
hadirin. Ia tidak benar-benar mendengarkan. Simpati ataupun empati dan emosinya
pun flat, rata. Seolah mengalami tunnel vision.
Bisa saja banyak hal yang
menyebabkan ia tunnel vision. Mungkin
daya tarik dosa atau kejahatan lainnya mulai bertambah hari demi hari. Awalnya,
kecil-kecilan. Lalu, lambat laun terjadi graying
out—tak bisa atau tidak mau membedakan secara sadar diri lagi tentang yang
benar dan yang salah.
Setelah itu, karena berlama-lama
mematikan rasa, ia mengalami tunnel
vision. Tak peka terhadap banyak hal yang sebenarnya memerlukan perhatian
dan dirinya. Hingga akhirnya, “pingsan” secara rohani ataupun hal-hal penting
dan baik lainnya.
Apa yang Ia Bisa Lakukan untuk Menekel Tunnel Vision?
“Maka
kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: ‘Jikalau kamu tetap
dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku (Yoh. 8:31).’” Sering
kali kita lambat menyadari sesuatu. Setidaknya, itulah yang saya alami. Atau
bukannya tidak kita sadari, melainkan sengaja kita melambatkan diri dalam
menyadari, mengetahui sesuatu. Padahal, apabila kita mau, kita bisa dengan
segera memperoleh kesadaran itu. Sadar diri.
Salah satu hal yang bisa kita perbuat untuk menekel keadaan tunnel vision kehidupan ialah melakukan firman Tuhan. Mau tidak mau. Mungkin dulu kita kerap melandaskan, mendasari, membandingkan, mengingat-ingat terlebih dulu firman Tuhan sebelum atau di tengah melakukan sesuatu. Tapi, perlahan-lahan kita mulai memakai pengertian kita sendiri maupun dari orang-orang lain. Tak lagi mengandalkan apa yang dulu sangat kita andalkan.