Apakah punya
anak tiga, empat, atau banyak anak berarti lebih jagoan menghadapi kehidupan?
Apakah merasa
sudah bekerja lama empat, lima, 12 atau 20 tahun berarti lebih amat berpengalaman?
Apakah umur
sudah 35, 40, atau > 55 berarti lebih senior serta patut didengar?
Apakah sangat
pintar dengan S1, S2, Ph.D. tersandang gelar berarti lebih pintar daripada supir,
mbok jamu, pelayan rendahan?
Apakah
bergaji 36 juta, 72, 120 juta rupiah atau ribuan dolar, banyak harta, mobil Porsche
berjejer berarti lebih hebat daripada orang lain?
Apakah
banyak teman berarti lebih luwes?
Apakah mampu
membuat orang lain tertawa dan tampak sering terbahak berarti lebih bahagia?
Mungkin jawaban
semua itu iya.
Namun, tidak
mesti demikian, bukan?
Mempunyai, mengalami,
melakukan semua itu tak serta-merta membuat kita lebih, lebih, dan lebih
daripada orang lain.
Ada yang
tidak, belum punya anak maupun menikah tapi mampu menopang orang-orang yang
membutuhkan bantuan.
Ada yang
baru bekerja dua tahun di tempat baru, tapi banyakan pengalaman dari pekerjaan sebelum-sebelumnya,
hidupnya.
Ada yang
masih berusia dua puluhan tapi bersemangat mempedulikan orang-orang lansia, percaya diri memimpin eksekutif-eksekutif batu bara.
Ada yang
bergaji tujuh juta tapi mau punya a
billionaire mindset.
Ada yang bisa
berteman dengan diri sendiri terlebih dulu.
Ada yang urip sederhana saja, menerima pribadi diri sendiri.
![]() |
Image courtesy of Forbes |