Menjadi tumpuan dari sejuta bahasamu
Ketika engkau memegangku
Kutahu sepenggal kata kauucapkan
Dan ketika engkau merangkulku
Kutahu, selesai ceritamu
Tak apa bila pundakku menjadi lidahmu
Bila memang aku tetap dapat mendengar kisah-kisahmu
Sambil melihat matahari berpulang hari
Dan sekali lagi kudengar senandungmu yang sunyi
Tidaklah salah bila dirimu seperti ini
Sudah cukup tegar kaudengar semua caci
Dan ketika mereka tak mengerti keadaanmu
Aku masih di sini menunggumu
Kawan,
Biarlah aku jadi telinga dari bibir sunyimu
dan segala napas asamu kutampung selalu
Tak usah kau takut kehilangan hari
Seratus, seribu, bahkan sejuta jam kuberikan padamu
Kawan,
Aku masih di sini…
Walau dirimu bagai ombak tak berdebur
Namun aku tetap mengerti bahasa lidahmu
Ketika sekali lagi kau menumpu pada pundakku
Senandunglah kisah hari ini, kawan
Mungkin sama seperti lalu
Tapi biarpun begitu, aku tak pernah bosan
Ketika engkau memegangku
Kutahu sepenggal kata kauucapkan
Dan ketika engkau merangkulku
Kutahu, selesai ceritamu
Tak apa bila pundakku menjadi lidahmu
Bila memang aku tetap dapat mendengar kisah-kisahmu
Sambil melihat matahari berpulang hari
Dan sekali lagi kudengar senandungmu yang sunyi
Tidaklah salah bila dirimu seperti ini
Sudah cukup tegar kaudengar semua caci
Dan ketika mereka tak mengerti keadaanmu
Aku masih di sini menunggumu
Kawan,
Biarlah aku jadi telinga dari bibir sunyimu
dan segala napas asamu kutampung selalu
Tak usah kau takut kehilangan hari
Seratus, seribu, bahkan sejuta jam kuberikan padamu
Kawan,
Aku masih di sini…
Walau dirimu bagai ombak tak berdebur
Namun aku tetap mengerti bahasa lidahmu
Ketika sekali lagi kau menumpu pada pundakku
Senandunglah kisah hari ini, kawan
Mungkin sama seperti lalu
Tapi biarpun begitu, aku tak pernah bosan
—oleh Juliana Putra