Ada seorang ibu rumah tangga yang
memiliki empat anak laki-laki dan seorang suami. Urusan belanja, cucian, makanan,
keteraturan rumah dapat ditanganinya dengan baik.
Rumah tampak selalu tertata rapi
dan teratur. Suami serta anak-anaknya menghargai pengabdiannya. Cuma ada satu
masalah, ibu rumah tangga ini tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Dia
bisa marah meledak-ledak berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di
atas karpet! Suasana tidak enak akan berlangsung seharian!
Padahal, dengan empat anak
laki-laki di rumah, rumah mudah sekali kotor. Hal ini menyiksanya, maka atas
saran keluarganya, dia pergi menemui seorang psikolog, dan menceritakan
masalahnya.
Setelah mendengarkan cerita
sang ibu dengan penuh perhatian, psikolog tersenyum lalu berkata kepada sang
ibu: “Ibu, tutup mata Ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan.”
Ibu itu kemudian menutup
matanya.
“Bayangkan rumah ibu yang rapi
dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak
sepatu. Bagaimana perasaan Ibu?” Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu
merekah, muka murungnya berubah cerah. Dia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Psikolog melanjutkan: “Itu
artinya tidak ada seorang pun di rumah, Ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak,
tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah Ibu sepi dan kosong
tanpa orang-orang yang Ibu kasihi.”
Seketika, muka ibu itu berubah
keruh, senyumnya menghilang, napasnya terisak. Perasaannya terguncang. Pikirannya cemas membayangkan apa yang terjadi pada
suami dan anak-anaknya.
“Sekarang lihat kembali karpet
itu. Ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak Ibu
ada di rumah, orang-orang yang Ibu cintai ada bersama Ibu dan kehadiran mereka
menghangatkan hati.”
Ibu itu mulai tersenyum
kembali, merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
“Sekarang bukalah mata Ibu. Bagaimana,
apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat Ibu?” Ibu itu tersenyum dan menggelengkan
kepalanya.
“Saya tahu maksud Anda,” ujar
sang ibu, “Jika kita melihat dengan sudut pandang yang tepat, maka hal yang
tampak negatif dapat dilihat secara positif.”
Sejak saat itu, sang ibu tak mengeluh
lagi soal karpetnya yang kotor karena setiap melihat jejak sepatu di sana, dia
tahu, keluarga yang dikasihinya di rumah.
***
Kisah di atas adalah kisah
nyata seorang ibu yang menemui Virginia
Satir, seorang psikolog yang mengilhami Richard Binder dan John Adler untuk
menciptakan Neuro-Linguistic Programming (NLP). Dan teknik yang dipakainya di
atas disebut reframing, yaitu 'membingkai
ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi
positif.
Berikut beberapa contoh pengubahan sudut pandang.
Berikut beberapa contoh pengubahan sudut pandang.
Saya bersyukur:
- Untuk istri yang mengatakan, “Malam ini kita hanya makan mie instan,” karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain
- Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum
- Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka berada di rumah dan bukan di jalanan
- Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman
- Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
- Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
- Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat
- Untuk bunyi alarm jam 5 subuh yang membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, hidup, dan bernapas...
[from Ms. Tjioe Ai Bie]