“How does one become a
butterfly?” she asked pensively. “You must want to fly so much that you are
willing to give up being a caterpillar.”
—Trina Paulus
Bicara tentang
kematian. Mungkin itu seperti ketika kita sedang berenang dan berada di dalam
air, lalu mencoba membuka mata (syukur-syukur kalau memakai kacamata renang)
dan melihat ke atas. Agak buram mungkin, tidak jelas pemandangannya bukan. Dan
setelah kita mengeluarkan kepala ke atas permukaan air, barulah jelas
pemandangannya (apalagi kalau kita melepaskan kacamata renang).
Teman—atau yang mengaku begitu—saya pun
bercanda apakah kalau mati mendadak itu enak? Ada teman lain yang juga
bercanda, atau mungkin setengah bernada serius, bahwa bisa saja mengurus akta
kelahiran sendiri, asal jangan mengurus akta kematian sendiri.
Kalau tidak
salah, Norman Vincent Peale, penulis buku-buku berpikir dan bersikap positif,
pernah juga menulis buku tentang kematian—atau
tepatnya, kehidupan setelah kematian. Berjudul Life Beyond Death. Di dalamnya, dia mengatakan bahwa mungkin
kematian itu mirip bayi yang baru dilahirkan ke dunia. Selama kurang lebih
sembilan bulan janin hanya mengenal “dunia” di dalam kandungan ibunya. Baru,
setelah keluar dari kandungan ibunyalah, bayi itu merasakan seperti apa dunia
yang sebenarnya—meskipun masih jabang bayi.
Ketika
Peale
melayat ke pemakaman seorang temannya bernama Neil Collum dan berkhotbah
pada masa kedukaan tersebut, Peale sejenak melihat ke peti jenazah
temannya itu
serta berkata kepada para pelayat yang lain bahwa Neil Collum tidaklah
berada
di dalam peti itu. Bahwa itu hanyalah tubuh yang pernah didiami oleh
Neil
sewaktu masih hidup di bumi.
Peale
melanjutkan, sebelum temannya itu lahir ke dunia, tentu masih berada di dalam
kandungan ibunya dan bisa merasakan kasih ibunya. Sebagai janin, pasti
senang berada di dalam perut ibu. Tapi, lanjut Peale, bayangkan kalau ada orang
yang dapat berkata kepada bayi itu, “Kamu tidak bisa terus-menerus berada di dalam
perut ibumu. Kamu akan dilahirkan.” Mungkin janin itu mengira bahwa hal
itu merupakan kematian baginya, lalu berkata, “Aku nggak mau lahir! Aku mau
terus di sini. Aku senang di sini. Nyaman. Diberi makan. Dikasihi.”
Bagaimanapun,
tibalah hari kelahiran. Bayi keluar dari tempatnya dia berada selama ini, dan
masuk ke tempat yang baru. Namun, ternyata masih ada terasa, bahkan lebih lagi
kasih dari ibunya.
Lalu ia
beranjak besar. Mengalami beberapa masalah serta kegagalan. Namun, ia mencintai
hidup ini dan dunia tempat yang ia tinggali ini.
Ketika tua, ia
berpikir, Aku akan meninggal. Lalu
berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak, aku tidak mau mati. Aku senang di sini.
Aku mau menikmati bintang-bintang, sinar matahari, dan segalanya. Aku tidak mau
mati.” Mirip pemikiran bayi tadi.
Bagaimanapun,
tibalah hari kematian.
Peale berkata, ia percaya bahwa seperti halnya bayi yang baru lahir akan merasakan kasih
sayang dan perhatian yang begitu besar dari ibunya, begitu juga ketika Neil
temannya meninggal, ia percaya dia akan melihat wajah Tuhan yang baik yang menatap dia
dan merasakan kasih sayang yang besar dari-Nya.
Mengapa saya
menulis atau berbicara tentang kematian? Mungkin karena kematian itu selalu
dekat dengan kita, bahkan mungkin di depan hidung kita, tapi sering kali tanpa menyadarinya,
sedangkan hidup itu, untuk bisa sungguh-sungguh hidup, terasa masih jauh sekali.
Seperti kata William Wallace, “Every man
dies. Not every man really lives.”
Mungkin, hanya
mungkin, yang lebih penting daripada kematian itu sendiri adalah mati bagi diri
sendiri. Kita pun mesti mati bagi diri sendiri
supaya bisa empati terhadap orang lain. Sebab jika kita selama hidup masih selalu memenangkan, menghidupkan
keinginan diri sendiri, kita mungkin sedang
mati, tidak sungguh-sungguh hidup.
“What happens after we die? If
there is nothing higher than ourselves, then is life just a fleeting,
meaningless accident?”
—Plato