Bukan ingin narsis.
Hanya ingin berbagi tentang hidup menjadi penulis.
Sebelumnya, izinkan saya membagikan sepenggal tulisan yang pernah saya
buat di
campuran.
Maaf kalau terkesan agak kekanak-kanakan, ya. Boleh di-
skip, boleh dibaca juga.
***
Untuk Penjunan
"Apa yang menguji kata-katamu? Apa yang membuktikan tulisan-tulisanmu?
Tindakanmu!"
—Myiva Chara Yefa
Franisz. Kenapa ingin mengenalnya? Ia penulis.
Namun, saat ini ia editor. Ia tidak pernah menyangka akan menjadi editor.
Mulanya, ia hanya senang membaca buku dan sering ke perpustakaan. Saat ia
menemukan banyak kesalahan dalam buku, ia mulai berpikir ingin menjadi editor.
Namun, ia berjiwa penulis. Ia berpikir menjadi editor mudah dan tugas editor
itu mudah. Namun, saat ia menjadi editor, ternyata banyak hal yang harus
dipelajari. Banyak editor yang mengaku bahwa mereka tidak menyangka menjadi
editor.
Hasil penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa 80% editor tidak secara langsung memiliki keinginan, rencana,
atau cita-cita menjadi editor. Hanya sedikit orang yang benar-benar
mempersiapkan diri masuk dalam dunia penerbitan. Jika mereka benar-benar mempersiapkan
diri, mereka akan sukses. Editor adalah jembatan antara penulis dan pembaca.
Jika editor saja tidak mengerti inti pesan penulis, pembaca juga tidak
mengerti.
Ada orang yang berkata, “Editor adalah penulis
yang gagal. Penulis adalah editor yang gagal.” Franisz tidak setuju terhadap
keyakinan atau pendapat itu. Franisz percaya bahwa ia sedang dipersiapkan untuk
menjadi penulis yang baik. Ia percaya bahwa menjadi editor adalah baik untuk
maupun sebelum menjadi penulis. Namun, ada perbedaan kapasitas antara editor
dan penulis. Editor tidak sama dengan penulis, demikian pula sebaliknya. Namun,
kedua profesi itu mempunyai jalan yang baik untuk mengantarkan ke masing-masing
profesi. Akan tetapi, editor memberikan jalan terbaik untuk menjadi penulis. Mengapa?
Karena penulis yang baik belum tentu editor, tetapi editor yang baik pasti tahu
cara menulis yang baik.
Marcia Yudkin memiliki istilah “the
editor/writer revolving door”. Dia berkata, “Jika Anda ingin membangun
karier sebagai penulis, pekerjaan sebagai editor bisa memberikan jalan yang
berharga selagi Anda mengembangkan karier Anda.” Dia memberi contoh beberapa
orang yang menjadi penulis berhasil setelah menjadi editor: Jonathan Harr,
penulis buku A Civil Action sebelumnya adalah editor pada koran The
Valley Advocate. Penulis buku Emotional Intelligence, Dan Goleman,
sebelumnya adalah editor untuk Psychology Today. Thulani Davis, penulis
novel Maker of Saints adalah editor untuk The Village Voice.
Masih banyak lagi contoh lainnya.
Inilah yang membuat Franisz percaya bahwa
menjadi editor memberikan jalan yang baik baginya untuk menjadi penulis yang
baik. Editor majalah American Baby dan penulis freelancer, Anne
Winthrop berkata, “Saya tahu tulisan yang baik atau buruk. Jadi, saya tahu
tulisan yang seharusnya dikirim atau tidak kepada editor.”
Franisz juga mempunyai penulis idola. Ia
merasa dan menganggap penulis itu sebagai mentornya. Seperti halnya mentor Jim
Collins dan Rick Warren adalah Peter F. Drucker, dan mentor Oprah Winfrey
adalah Maya Angelou, Franisz pun ingin mempunyai mentor. Penulis idola dan
mentor Franisz adalah Xavier Quentin Pranata. Ia memang belum pernah bertemu
dengan idolanya tersebut. Namun, ia ingin bertemu dengannya dan menjadikan
beliau sebagai mentor. Ia mengenal nama Xavier Quentin Pranata karena terpesona
dengan nama tersebut.
Lambat laun, ia pun terpesona dengan
tulisan-tulisan orang yang dianggap sebagai mentornya itu. Xavier Q. Pranata
telah menulis beberapa buku, seperti Menulis Dengan Cinta dan Melayani
Dia Melalui Pena. Ia menulis dengan hati. Franisz ingin seperti dirinya.
Ada orang-orang yang pandai bicara. Ada
orang-orang yang pandai menulis. Namun, orang-orang yang pandai menulis belum
tentu pandai bicara. Begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, bisa juga orang-orang
pandai bicara dan menulis. Adapun kadang orang-orang lebih terdengar enak
bicara melalui tulisan. Orang-orang berkata bahwa menulis itu gampang. Franisz
tidak setuju, di satu sisi, terhadap pendapat itu. Ya, memang menulis itu
mudah. Namun, menulis dengan baik itu susah. Apalagi menulis dengan hati—ini
lebih susah. Mampu menulis dengan hatilah yang membuat menulis itu mudah.
Jadi, awalnya menulis itu susah. Bila ada
pemain drum besar seperti Mike Portnoy, dan pendaki gunung besar seperti Edmund
Hillary, tentu juga ada penulis besar. Pasti mereka tidak bisa melakukan
sesuatu dengan biasa-biasa saja. David Rosenthal berkata, “Semua
orang cenderung menganggap bahwa pekerjaan menulis dan membuat buku itu sebagai
sesuatu yang mudah. Kalau Anda berada di sebuah pesta, akan ada saja
seseorang—entah tukang pipa atau tukang binatu—yang datang kepada Anda dan
berkata, 'Saya mempunyai kisah hidup yang menarik. Saya mau menuliskannya
menjadi sebuah buku...' Hal yang sama tidak pernah Anda dengar dalam kaitan
dengan keahlian bedah otak atau pendakian gunung. Anda tidak pernah mendengar
seseorang berkata, 'Wah, operasi otak itu luar biasa. Saya juga mau mengoperasi
otak,' atau 'Wah, pengalaman mendaki Gunung Everest itu sangat luar biasa. Saya
juga mau mendaki Gunung Everest.'”
Menulis membutuhkan kerja keras, kemauan, dan
waktu. Menulis itu, meminjam kata-kata iklan sepatu terkenal, just do it (cukup
lakukan saja).
Nah, menulis itu awalnya susah. Namun, menulis
dengan hati membuatnya mudah. Xavier Q. Pranata menulis dengan hati. Inilah
yang membuat Franisz ingin menjadi seperti dirinya. Menulis dengan hati akan
membuat ide-ide mengalir. Menulis dengan hati tidak akan merasa takut marah
atau dimarahi. Marah terhadap dunia dan dimarahi oleh orang-orang. Menulis
dengan hati akan membuat nothing to lose. Akan tetapi, menulis dengan
hati membutuhkan kejujuran. Menulis tanpa hati ibarat menulis bon atau
kuintansi pembelian voucher pulsa HP, dan hanya dunia film yang
membutuhkan akting.
Jadi, menulis itu dengan hati dan penulis
harus jujur. Namun, apakah semudah itu? Apakah penulis harus jujur—dalam
tulisan-tulisannya dan kehidupannya sehari-hari? Judy Reeves berujar, “Segala
hal menulis itu berisiko. Risiko untuk membuka diri. Risiko untuk jujur.” Semakin
tinggi risikonya, semakin tinggi 'bayarannya'. Bukankah bahkan love is
spelled r, i, s, k (risiko)? Tanpa risiko, tidak akan
kehilangan apa pun, tetapi juga tidak mendapatkan apa pun. Seseorang kadang
harus percaya dan membuat terobosan dalam hidupnya.
Lebih baik orang gila yang hidup daripada
orang hidup tanpa melakukan apa-apa. Lebih baik dalam gelap tapi berbuat
banyak daripada dalam terang tapi tidak berbuat apa-apa. Jujurlah kepada
kertas. Tidak jujur kepada kertas membuat resah hati. Franisz merasa bahwa jika
ia sanggup jujur dalam kehidupannya sehari-hari, ia akan sanggup jujur dalam
tulisannya. Hati lembut akan membuat menulis mudah. Namun, bagaimana ia bisa
jujur bila memendam dosa?
Salah satu penyebab tidak ada produktivitas
dalam menulis, selain waktu, adalah dosa. Jika Franisz mau produktif dalam
menulis, ia harus berhenti berbuat dosa. Walaupun dosa 'bisa' membawa kepada
pertobatan, dosa akan menyendat produktivitas. Sekalipun bisa saja tetap
menulis selagi berdosa, hati tidak akan ikut menulis. “Anda bisa saja lebih
berfokus kepada produktivitas,” demikian kata Miriam Adeney, “daripada
kekudusan.”
Bill Crowder berkata, “Kita bisa saja
mempunyai segunung pengetahuan tentang isi Alkitab tanpa mengerti esensinya.
Kita bisa saja memiliki Roh Kudus dalam diri kita tanpa membawa orang-orang
mengenal-Nya. Kita bisa saja menghakimi orang-orang tanpa mengerti bahwa tanpa
kasih, kita sama saja dengan mereka.” Bila Franisz mau berhenti berbuat dosa,
ia akan bisa jujur. Namun, ini tidak mudah. Bila ia bisa jujur, ia akan menulis
dengan hati. Menulis dengan jujur akan membuat hati lembut. Jujur dalam hidup
akan membuat hati lembut.
Contoh ujian kejujuran dalam menulis adalah
saat menulis jurnal seks. Joan Mazza berkata, “Banyak orang yang
menulis jurnal harian belum pernah menulis tentang masa lalu, kecenderungan,
keinginan, dan pergumulan mereka dalam kehidupan seks. Dengan menuliskan dan
menjabarkannya dalam tulisan, mereka akan lebih mengerti diri mereka dan
menjelaskan pikiran-pikiran atau perasaan mereka dalam seks.” Menulis tentang
seks membutuhkan kejujuran besar. Tanpa ditutup-tutupi. Cobalah! Bukan untuk
mengumbar seks, seperti mengumbar uang, melainkan jujur tentang kehidupan dalam
seks. Lembaga Alcoholic Anonymous membisikkan moto di setiap pertemuan mereka:
“To thine own self be true” (Jujurlah kepada dirimu sendiri).
Satu hal lain yang penting dalam menulis,
selain menulis dengan hati, adalah voice (suara, panggilan, visi, gaya,
dan lain-lain). Franisz ingin memilikinya, karena ia merasa belum memilikinya.
Apa visi dalam menulis? Dipanggil untuk menulis apa? Seperti halnya setiap
pemain drum profesional mempunyai gaya atau voice, setiap penulis juga
harus memilikinya. Voice akan melepaskan diri dari aturan-aturan atau
rumusan-rumusan dalam menulis. Bukan untuk menghilangkan aturan atau rumusan
itu, melainkan untuk bermain dalam aturan atau rumusan itu.
Sama saja seperti inti cerita dalam film Patch
Adams. Film ini menceritakan dobrakan terhadap kekakuan dan peraturan rumah
sakit. Orang-orang dianggap tidak berharga. Nama-nama pasien dipanggil dengan
sebutan angka. Namun, Hunter “Patch” Adams mendobrak semua itu. Ia mendirikan
RS Gesundheit yang ceria, menerima semua orang, ramah, dan yang terpenting
menghargai orang-orang dan memanggil pasien dengan sebutan nama mereka.
Meskipun ia kehilangan orang yang dikasihinya, Adams telah membuat terobosan
besar dalam kedokteran. Ia melakukannya karena menemukan voice-nya. Jika
Franisz menemukan voice-nya (visi, suara, gaya, panggilan, dan
lain-lain) dalam menulis, ia tidak akan terpaku rumusan-rumusan.
Maya Angelou berkata, “Kata-kata memiliki arti
lebih daripada sekadar tulisan di atas kertas. Dibutuhkan suara manusia untuk menghidupkan
kata-kata itu dengan arti yang lebih dalam.” Bagaimana caranya menemukan voice?
Untunglah Franisz memperoleh empat cara dari blog-nya Stephen Covey:
1. Kenali bakat
(tapping into your talent)
2. Kenali
kesukaan (fueling your passion)
3. Kenali beban
(being burdened with a need)
4. Penuhi
panggilan (meeting the need)
Jika Franisz telah menemukan suaranya,
ia tidak akan sekadar menulis (memberi tahu), tetapi menunjukkan (menyuarakan)
pesan kepada pembaca. Para pemain drum profesional sudah tahu bila diberitahu
tentang Mike Portnoy. Para ahli psikologi sudah tahu bila diberi tahu tentang
Viktor Emil Frankl atau Dr. Gordon W. Allport. Percuma bila memberi tahu
mereka. Kesannya akan beda bila menunjukkan Mike Portnoy atau Viktor E. Frankl
kepada mereka. Demikian pula dalam menulis tidak bisa sekadar memberi tahu,
tetapi harus menunjukkan kepada pembaca.
Contoh tulisan yang sanggup menunjukkan pesan
adalah tulisan-tulisan dari Bondan Winarno. Ia pernah menuliskan Kidu, Si
Ulat Enau. Dalam tulisannya itu, orang yang gemar berkata mak nyuss
ini mampu menghadirkan rasa makanan ke dalam tulisan! Jika Franisz sudah
menemukan suaranya, ia akan sanggup memberikan jawaban kepada pembaca.
Mengapa? Karena orang-orang akan bertanya dalam hati, untuk apa aku
mendengarkanmu? Dengarkanlah Franisz. Mengapa? Karena ia mengalami
tulisannya. Orang-orang akan mendengarkan bila ada:
1. Keterbukaan
atau kejujuran
2. Pengalaman
keberhasilan
3. Pengalaman
penderitaan
4. Kebutuhan
yang sesuai
5. Hubungan
dekat
6.
Kerendah-hatian
7. Pengetahuan
8. Kemampuan
9. Integritas
10. Keberanian
Hal terpenting dari sepuluh hal itu adalah
yang nomor sepuluh. Sedangkan, hal yang paling penting di atas semua hal itu adalah
kepercayaan. Apa yang Franisz percaya? Bukan apa yang dimiliki, diketahui, dan
lain-lain, melainkan apa yang dipercayai? Dengan kepercayaan, sepuluh hal itu
dapat dicapai dan teratasi. Apatah artinya memiliki pengetahuan tanpa percaya?
Apatah arti kemampuan tanpa percaya sanggup melakukannya? Franisz ingin
percaya—sekali dalam hidupnya.
Joan d'Arc berkata bahwa yang lebih buruk
daripada mati muda adalah hidup tanpa percaya. Orang-orang akan membaca tulisan
dan mendengarkan Franisz kalau ia percaya. Sekali dalam hidupnya, ia ingin
percaya. Sepuluh kali lebih baik. Berkali-kali lebih baik, apalagi setiap hari.
Jika seseorang tidak percaya kepada tulisan dan voice-nya sendiri, orang
lain tidak akan percaya atau mendengarkannya.
Franisz cinta menulis karena terbiasa. Ia
ingat rasanya seperti masa SMP. Setiap hari di ruang kelas yang sama bersama
gadisnya yang berparas cantik. Suasana yang dingin dan suara angin pohon-pohon
rindang yang hijau di luar kelas, menambah dalam suasana hatinya keinginan untuk
selalu bersama gadisnya. Gadisnya menjadi sandaran berkeluh kesah. Semua yang
perlu Franisz ketahui untuk menulis telah ada saat SMP, bahkan SD. Franiz telah
belajar menulis dengan baik. Ia telah belajar tata kalimat dan bahasa dengan
baik. Ia pun pernah dihukum menulis ratusan kalimat di buku tulis sampai buku
itu penuh, karena ia melakukan kesalahan di sekolah.
Sayangnya, waktu telah mencuri perhatian
Franisz dan mengalihkan dirinya dari menulis kepada hal-hal yang sia-sia.
Namun, tidak ada kata terlambat untuk menulis.
Meskipun kadang tekanan diperlukan, Franisz
tidak bisa dipaksa saat menulis. Siapakah yang bisa memaksa seseorang untuk
mencintai seseorang lainnya? Dengan menulis, orang-orang bisa berpikir lebih kritis
dan melihat segala sesuatunya dengan jelas. Penulis mampu melihat yang negatif
dalam yang negatif dan yang positif dalam yang positif. Banyak orang melihat
yang negatif dalam yang segala sesuatu yang positif dan tidak semua orang bisa
melihat yang positif dalam yang negatif. Penulis mampu melihat sesuatu yang
lain di balik yang harfiah. Bersyukurlah para penulis.
Franisz percaya bahwa Tuhan sedang
mempersiapkannya untuk menjadi penulis. Ia pernah menuliskan beberapa impiannya
di atas kertas. Saat ia selesai melakukannya, tiba-tiba ia menuliskan satu
impian lagi. Impiannya menjadi penulis bagi Tuhan. Mungkin Franisz terkesan
muluk-muluk. Bagaimana ia dapat menyembunyikannya, akan tetapi? Namun, ia pun
kadang berpikir kritis dan bertanya-tanya tentang Tuhan atau kehidupan.
Misalnya, jika orang-orang diciptakan oleh Tuhan, lalu siapa yang menciptakan
Tuhan? Lalu, mengapa orang-orang menganggap tidak boleh beda berpendapat dengan
Tuhan (orang-orang besar pernah melakukannya?) Lalu, mengapa orang-orang tidak
pernah terpikir bisa menyebut-Nya dengan panggilan Ibu, padahal umat manusia,
baik laki-laki maupun perempuan, kadang bisa disebut mempelai perempuan?
Kadang meremehkan orang itu perlu supaya bisa
tetap maju. Namun, jangan memberi tahu orang-orang kalau ingin lebih pintar
daripada mereka dan kadang jangan menganggap rendah orang lain. Saat ini Tuhan
sedang mempersiapkan Franisz untuk menjadi penulis melalui profesi editor lebih
dulu. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi penulis. Seperti halnya Bunda
Teresa percaya bahwa dia pensil di tangan Tuhan, Franisz pun ingin seperti itu.
Tanpa menulis, Franisz bisa gila. Anaϊs Nin berkata, “Tugas penulis bukanlah
menyuarakan yang bisa kita katakan, melainkan yang tidak mampu kita ucapkan.”
Ide-ide dalam pikiran yang tidak tertuang ke kertas akan membuat resah jiwa dan
hati.
Franisz percaya, suatu saat kiblat buku yang
wajib dibaca adalah ke bangsa-bangsa Asia. Suatu hari, bukan bangsa Indonesia
yang mengarahkan diri ke buku-buku bangsa-bangsa Barat, melainkan merekalah
yang mengarahkan diri kepada buku-buku Indonesia. Mengapa orang-orang bangsa
Barat, misalnya Amerika, yang rata-rata hanya bisa satu bahasa, lebih pintar
daripada orang Indonesia? Padahal banyak orang Indonesia yang bisa berbahasa
lebih dari dua atau tiga bahasa! Meskipun demikian, masih ada juga orang-orang
Indonesia yang hanya bisa satu bahasa, dan orang-orang Amerika yang tidak bisa
Matematika. Coba bayangkan, Franisz saja bisa tujuh bahasa: Jawa, Indonesia,
Batak Karo, Batak Toba, Sunda, Inggris, dan Jepang. Ini belum lagi ditambah
mengerti sedikit bahasa Perancis, China, Spanyol, Jerman, dan Latin. Franisz
memang cinta bahasa. Dulu, saat SMA pun ia kelas 3 Bahasa. Kuliah Sastra.
Namun, ia juga butuh energi untuk menulis. Ia butuh olah raga, seperti Philip
Yancey dan Jim Collins, yang selain menulis banyak buku bagus dan besar, mereka
juga senang mendaki gunung.
Suatu saat bahkan akan ada pemenang Nobel dari
Indonesia. Pemenang Nobel Sastra. Jika satu orang Indonesia, misalnya Kendro
Hendra, saja ada yang menciptakan banyak piranti HP dan bekerja di perusahaan
HP terkenal, masakah tidak ada satu orang Indonesia yang bisa menang hadiah
Nobel? Siapakah yang layak menilai tulisan jelek atau baik? Siapakah juri-juri
dalam lomba-lomba penulisan, yang mengenyahkan yang satu dan memilih yang lain
untuk menang? Satu-satunya juri yang layak menilai tulisan buruk atau tidak
adalah jerih payah penulis, dan berjerih payah lagi, dan berjerih payah lagi.
Franisz tidak bisa mengandalkan orang-orang
dalam menulis, walaupun ia bisa belajar dari mereka. Franisz hanya bisa
mengandalkan orang-orang dalam tulisan-tulisannya. Ia ingin menulis
tentang orang-orang biasa dan yang belum terkenal, seperti yang dilakukan oleh
Stephen Covey tentang Muhammad Yunus, sehingga Yunus terkenal. Tuhan pun membuang
Franisz ke pengasingan. Namun, bukankah para penulis menghasilkan
karya-karya terbaik saat dalam pengasingan, penjara, kesepian, dan penderitaan.
Philip Yancey berkata, “Apakah kita lupa bahwa
Luther dan Calvin hidup dalam masa tanpa eter (cairan kimia yang biasanya
dipakai dalam obat penghilang rasa nyeri) dan penisilin, saat hasrat hidup
hanya sampai 30 tahun? Apakah kita lupa bahwa (John) Bunyan dan (John) Donne
menulis karya-karya terbesar mereka di dalam penjara dan kamar karantina untuk
penderita wabah?” Ketika Helmut Thielicke ditanya pendapatnya setelah mengamati
orang-orang Amerika, ia menjawab, “Mereka punya pengertian yang sangat lemah
tentang penderitaan.” Orang-orang bisa saja pergi. Tuhan bisa saja 'mengambil'
orang-orang. Kehidupan bisa saja mengambil segalanya. Namun, sikap tidak bisa
dirampas. Pilihan tidak bisa dirampas.
“Mengapa Allah mengizinkanmu melalui
pengalaman-pengalaman yang menyesakkan, memalukan, menyakitkan, dan penuh
kesepian?” tanya Miriam Adeney, “Mungkin Ia ingin melembutkan hatimu dan supaya
pengalamanmu berguna buat banyak orang dan ini lebih berarti bagimu.” Dr. Paul
Brand berseru tentang penderitaan, “Thank God for pain!” “Penulis yang
menulis tanpa benar-benar mengalami yang ia tulis, akan menggunakan kata-kata
yang kaku, mati, dan tidak memberikan dampak apa pun kepada pembaca,” demikian
kata Henry David Thoreau.
Franisz kadang-kadang harus menarik diri dari
menulis. Biasa, seorang pria pun kadang harus menarik diri dari gadisnya dan
masuk ke dalam gua. Gua untuk merenung dan berpikir. Namun, menarik diri dari
rutinitas itu perlu. Ini sebagai keseimbangan. Bukan untuk berhenti dari
menulis, melainkan untuk melepaskan diri dari kejenuhan. Jika seseorang tidak
menikmati pekerjaan, ia harus menarik diri dulu. Pergi ke tempat yang tenang
untuk memperoleh ketenangan. Ia harus menarik diri dan menjauhkan dirinya dari
pekerjaannya.
Seperti pelukis harus menjauh dulu sebentar untuk
melihat hasil lukisannya. Jika ia terlalu dekat terus-menerus, lukisannya
justru akan tambah jelek karena ia tidak bisa melihat lebih jelas. Namun,
keseimbangan adalah alat, bukan tujuan, dan rutinitas kadang memang harus
dijalani. Penyanyi Bryan Adams, ketika ditanya alasan ia juga menjadi
fotografer, ia menjawab, “Begini, ada orang yang terlibat narkoba, ada yang
menghabiskan uangnya untuk beli yacht, mobil, dan rumah. Salah satu cara
untuk membuatmu tetap tertarik dengan pekerjaanmu adalah dengan tidak
mengerjakannya sepanjang waktu dalam hidup. Kadang-kadang kita harus melepasnya
dan menikmati aspek-aspek seni dan kreativitas lainnya. Banyak kolega saya di
dunia musik yang juga menjadi pelukis, fotografer, aktor, penulis, dan
filantropis.”
Franisz juga ingin menjadi seperti Henry David
Thoreau (yang menulis buku Walden saat 'mengungsi' ke hutan) dan Ralph
Waldo Emerson. Mereka bersahabat. Sebaiknya memang harus ada persahabatan
antarpenulis untuk mengasah penulisan. Idola dan mentor Franisz, Xavier Q.
Pranata, pun pasti setuju dan memiliki komunitas atau hubungan dengan
antarpenulis.
Jika Franisz tahu seberapa banyak ia bisa
membuat tulisan, ia akan terheran-heran dengan banyaknya. Franisz sudah
menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk uang, makan, pornografi, mencari
kesenangan sendiri, kesepian, dan lain-lain. Franisz ingin menyerahkan hidupnya
untuk menulis. Ia ingin mencari kebahagiaan orang lain. Lebih baik mati untuk
banyak orang daripada hidup di dunia penuh dengan diri sendiri.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah keluarga
dan siapa saja yang dimiliki. Tidak penting yang orang-orang pikirkan tentang
seseorang, yang penting adalah yang seseorang itu pikirkan tentang dirinya, dan
yang paling penting adalah yang seseorang itu lakukan terhadap orang lain.
Tidak penting yang terjadi kepada seseorang (tuangan ide), yang penting adalah
yang terjadi dalam dirinya (tuangan tulisan), dan yang paling penting adalah
yang ia lakukan (tindakan). Jika seseorang tidak bisa membagikan apa pun, selain
menulis, sebaiknya ia menulis. Tulisan belum tentu merupakan tindakan. Namun,
tindakan bisa menjadi tulisan. Ide atau pikiran dalam diri seseorang adalah
kumpulan ide-ide dari orang-orang lain. Lebih baik menentukan pikiran sendiri,
berdiri kokoh di atasnya, dan percaya terhadapnya.
Mengapa orang-orang disibukkan dengan hal-hal
memusingkan, seperti mendengar berita-berita buruk atau iklan-iklan kartu
perdana HP di televisi? Mengapa orang-orang tidak menulis saja? Bukankah
berita-berita atau iklan-iklan itu malahan akan memusingkan mereka, karena
semua itu hanya saling berusaha merebut konsumen-konsumen. Padahal berita buruk
menghancurkan jiwa dan pikiran mereka, dan berusaha membuat mereka takut.
Padahal HP hanyalah alat biasa, yang tidak lebih daripada seperti yang dulu
sebagai alat komunikasi. Namun, orang-orang menambah-nambahkan. Mereka tidak
puas. Andaikan mereka bisa menerima diri mereka. Mereka tidak menyadari bahwa
sebenarnya orang-orang kayalah pelayan orang-orang miskin.
Negara-negara teknologi majulah pelayan
negara-negara kecil. Lagipula, negara-negara teknologi maju bermain
robot-robotan layaknya anak kecil saja. Dengan menulis, orang-orang akan lupa
waktu. Ini lebih baik daripada menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang
sia-sia. Dengan menulis, Miriam Adeney berkata, “Anda akan lebih peka terhadap
sekelilingmu, karena Anda tidak disibukkan dengan diri Anda sendiri.”
Menelantarkan penulisan sama dengan menelantarkan orang-orang yang dikasihi.
Franisz memiliki potensi dalam dirinya. Jangan
remehkan dia. Seandainya ia tahu potensi dirinya. Seandainya orang-orang tahu
potensi mereka. Kalau Franisz mempunyai komputer pribadi, ia akan menulis.
Adakah orang yang mau membantunya? Adakah yang ingin memintanya menulis? Bagaimanapun,
ia akan tetap menulis, baik dengan kertas maupun tanpa komputer. Lagipula,
bukankah menulis itu dengan kertas, sedangkan dengan komputer adalah mengetik?
Mengetik pun sebenarnya untuk mesin tik. Lalu, apakah untuk komputer adalah
mengkomputer atau “menguter”? Ide akan lebih mengalir kalau menulis dengan
tangan dan di atas kertas.
Franisz terkagum-kagum (amaze)
terhadap tulisan-tulisannya. Ini bukan kesombongan. Ini tidak apa-apa. Tulisan
ini mungkin tidak berarti bagi seseorang. Namun, tulisan ini berarti bagi
Franisz. Bukankah sebuah tulisan harus memikat penulisnya lebih dulu sebelum
pembaca? Penulis Dan Millman mengurutkan, “Sebuah buku sukses harus dijual
bukan satu kali, melainkan delapan kali: Pertama, Anda harus menjual buku
itu kepada diri Anda (Jika bukan Anda, siapa yang akan bergairah membaca buku
Anda?). Lalu, Anda menjualnya kepada agen, yang harus menjualnya kepada
penerbit, yang harus menjualnya kepada sebuah dewan editor dan penerbit, yang
menjualnya kepada tim penjualan supaya mereka dengan penuh semangat menjualnya
kepada toko buku. Lalu, toko buku menjualnya kepada publik. Akhirnya, yang
terpenting, publik menjualnya kepada pembaca lain melalui mulut ke mulut.”
Fiuh. Akhirnya sampai sudah di pengakuan
sebenarnya. Susah juga menulis 3.000 kata, apalagi kalau hanya untuk mengejar
target. Namun, senang juga rasanya kalau tinggal mengetik satu huruf lagi saat
sudah sampai 2.999 kata. Ini tidak sia-sia.
Bila menulis dengan hati, tulisan-tulisan itu
akan mengalir, apalagi ditambah musik dan ketenangan. Hati yang akan
mendiktenya. Meskipun masih ada keresahan dan beban dalam hati saya, saya telah
berusaha menulis dan akan tetap menulis. Ternyata lebih mudah juga saat menulis
tentang diri sendiri melalui sudut pandang orang ketiga. Hartaku adalah
tulisan. Jika saya tak bisa membagikan apa pun, selain hidupku dan tulisan,
saya akan tetap menulis.
Saya masih tetap berusaha mendesak hati untuk
tetap jujur, supaya hati saya menyala sehingga dapat menulis dengan indah. Saya
tidak bisa mengakhiri tulisan ini, karena saya tidak akan pernah berhenti
menulis. Namun, saya harus berhenti sebentar sampai di sini, kita akan bertemu
lagi. Saya ingin memberi sentuhan akhir kepada bejana ini dengan percaya.
“Remehkan
aku sebagai apa pun. Tapi, jangan remehkan aku sebagai penulis.”
—Franisz Ginting
***
Kembali ke topik tentang hidup sebagai penulis.
Teman saya,
Kenny
Saputra, membuatkan secuplik klip tentang penulis ini. Semoga bisa menjadi
berkat saja.
Lagipula, siapakah saya ini,
apakah sudah menulis dan memiliki banyak buku yang terbit?
Belum sih. Hanya pernah mencoba mengirimkan satu naskah cerita, itu pun
masih
berupa cerita untuk anak-anak. Juga tetap berusaha bisa, baik menulis dan
mengirimkan lagi maupun yang terpenting, mau menulis setiap hari. Seberapa pun,
sehalaman atau selembar pun.
Di bawah ini cuplikan oleh teman saya tadi, dan sekali lagi, maaf kalau
terkesan narsis ataupun agak kekanak-kanakan, ya. Sedikit pengakuan:
Entah, saya lupa apakah Romo Mangun atau nama lain untuk Y.B.
Mangunwijaya, entah Putu Wijaya, atau memang Pramoedya Ananta Toer yang pernah
berkata bahwa ia tak bisa melakukan hal lain, hanya menulis. Mohon memberi tahu, ya, apabila mengetahuinya.
Maaf juga kalau masih ada yang salah, ya. Semuanya pada saya, bukan kesalahan
pada teman saya ini, Kenny. (Videonya yang berjudul
I'm a writer ini juga ada di
website teman saya di sini:
tripleninestudio.com.)
Semoga memberkati.