Aneh—atau setidaknya, itulah yang
saya rasakan. Belakangan ini, saya sering bertanya-tanya di dalam hati ketika
saya ataupun orang lain mengatakan tentang memberikan yang terbaik kepada Tuhan
atau saat hendak melakukan sesuatu.
Lalu, beberapa waktu yang lalu, seorang teman atau kakak, Jane Purnamasari
meminta saya untuk menuliskan hal memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Dan
inilah hasil dari penulisan tentang itu di dalam versi blog.
Apa sih sesungguhnya
arti dari memberikan yang terbaik? Yang terbaik? Terbaik?
Apakah itu
berarti mengerjakan semaksimal potensi, semampu kita—apa pun pendapat orang
lain—sebab kita merasa telah memberikan atau melakukan sesuatu yang terbaik?
Apakah memilih yang terbaik, atau setidaknya yang baik? Memanajemeni dengan
baik? Memimpin dan mengikuti dengan baik?
Banyak hal atau
kesempatan untuk kita mencoba memberikan atau melakukan yang terbaik. Dan apa
yang dilakukan oleh istri saya berikut ini mungkin adalah salah satu upaya
memberikan, melakukan yang terbaik.
Tidak lama ini,
ayah serta ibu mertua saya sedang berselisih paham sangat sengit di depan kami
anak-anaknya. Keduanya merasa sama-sama benar. Tidak ada yang mau mengalah atau
meminta maaf. Hingga akhirnya istri saya berdiri menengahi sambil menangis dan
berkata, “Oke,
kalau sama-sama merasa benar dan tidak ada yang mau mengalah, sekarang aku
tantang Mama sama Papa. Siapa yang merasa cinta sama Tuhan Yesus, minta maaf
duluan. Ngga peduli siapa yang bener, siapa yang salah, kalau cinta Tuhan
Yesus, minta maaf duluan.”
Beberapa detik
kemudian, ayah mertua saya maju mendekati ibu, menjulurkan tangan dan meminta
maaf terlebih dulu. Lalu ibu mau meminta maaf juga. Itulah hal terbaik yang
bisa dilakukan istri saya. Daripada berdiam diri, memihak salah satu, atau
turut larut di dalam perselisihan, istri saya ingin mendamaikan.
Mungkin itu
konteks yang kecil di dalam sebuah keluarga. Tetapi, sekali lagi, ada banyak
hal dan kesempatan untuk kita berupaya memberikan, melakukan yang terbaik
kepada Tuhan, sesama manusia, dan diri kita sendiri.
Salah satu
contoh lain hal atau kesempatan supaya kita dapat memberikan yang terbaik ialah
saat menghadapi perubahan. Dua hal pasti ada selama kita masih hidup: masalah dan perubahan.
Intinya, bagaimana respons kita?
Terhadap
perubahan. Apakah kita mengeluh, menolak, marah-marah? Tidak lama ini, saya
juga diperhadapkan dengan perubahan. Di satu sisi, saya bisa saja menolaknya; di
sisi lain, mau tak mau saya mesti menerima. Saya mengambil pilihan yang kedua:
menerimanya. Awalnya, saya berkeluh kesah karena dipindahkan ke lokasi kerja
yang lain, bahkan di bidang yang bukan bagian pekerjaan saya. Namun, karena
masih bisa terkait keahlian atau talenta saya, saya mau belajar sesuatu yang
baru, berada di tempat yang baru, bersama dengan orang-orang yang baru.
Sulit serta
terkadang ada waktu ingin menyerah, tetapi saya mau tetap belajar sembari ingin
berusaha memberikan, melakukan yang terbaik. Fleksibel. Mau berubah. Tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip baik yang saya pegang teguh. Dan apabila menurut
orang lain hasilnya belum maksimal, ataupun saya tak mendapatkan apa yang
mungkin patut saya dapatkan, saya telah berusaha memberikan dan melakukan yang
terbaik. Sebisa saya. Dan itu adalah hal yang baik.
Terhadap
masalah. Baik permasalahan dengan orang-orang ataupun hal-hal yang harus kita
hadapi. Apakah kita ingin lari? Menghindari, apatis, atau berlama-lama
bersedih, serta pasrah begitu saja?
Kalau kita ingin
memberikan, melakukan yang terbaik, kita akan berusaha menghadapi
masalah-masalah tersebut, berpikir tentang cara-cara untuk memecahkannya, serta
memohon bimbingan dan penyertaan Tuhan untuk berhasil mengatasinya.
Rasul Paulus mengemukakan,
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang
adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang
disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Filipi 4:8).” Di
Alkitab versi The
Message terjemahan Eugene H. Peterson tertulis: “Summing it all,
friends, I’d say you’ll do best by filling your minds and meditating on things
true, noble, reputable, authentic, compelling, gracious—the best, not the
worst; the beautiful, not the ugly; things to praise, not things to curse.”
Dennis Waitley
pernah berkata, “Getting
into a positive routine or groove will help you become more efective (terj.
bebas: Saat kita memiliki suatu rutinitas yang positif atau kebiasaan baik,
kita akan menjadi lebih efektif di dalam melakukan sesuatu).”
Atlet merupakan
contoh yang bagus tentang memberikan, melakukan yang terbaik. Mungkin ia
pernah, bahkan sering gagal, tetapi pantang menyerah. Mau memetik pelajaran
dari kesalahan dan kegagalan atau kekalahan. Tetap berlatih hingga ia bisa
memperoleh, mengecap kemenangan.
Seorang investor
yang super kaya ditanyai (dengan nominal segini dan segitu) tentang seberapa
sih ukuran tertinggi merasa puas atau cukup itu terhadap kekayaan. Dan di tiap
pertanyaan nominal tertentu, ia selalu menjawab, “Sedikittt lagi…” Mungkin kita
pun boleh mengaplikasikan jawaban tersebut saat untuk memberikan, melakukan
yang terbaik. Apakah kita sudah memberikan, melakukan yang terbaik? “Sedikit
lagi.”
Memberikan yang
terbaik bukan berarti menjadi perfeksionis. Ingin segala sesuatu sempurna.
Tanpa cacat atau cela.
Melakukan yang
terbaik pun bukan berarti mencoba terus-menerus memberikan performa setengah
mati untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan keahlian atau talenta kita serta
banyak orang menegaskannya. Contohnya seperti yang kita tahu, banyak individu
ingin menjadi penyanyi terkenal lewat audisi The X-Factor atau
American Idol,
tetapi tentu sedikit yang lolos seleksi juri.
Kemudian, antara
satu orang dengan orang yang lainnya, takaran memberikan atau melakukan yang
terbaik itu berbeda-beda. Seseorang yang memang hanya mampu memberikan sesuatu
secara sedikit tapi sudah yang terbaik darinya, mungkin di mata orang lain
taklah seberapa. Seseorang yang telah sekuat tenaga, semampunya mengusahakan
dan mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, walau menurut orang-orang
belumlah seberapa, asalkan ia yakin serta percaya di dalam hatinya bahwa itulah
yang terbaik dari dirinya, maka ia telah memberikan, melakukan yang terbaik.
Anda bisa
menyebutnya Man In
the Arena (Pribadi di Sebuah Pertandingan) untuk tajuk kutipan dari Eleanor
Roosevelt yang menulis, “It is not the critic
who counts. It is not the man who sits and points out how the doer of deeds
could have done things better and how he falls and stumbles. The credit goes to
the man in the arena whose face is marred with dust and blood and sweat. But
when he’s in the arena, at best he wins, and at worst he loses, but when he
fails, when he loses, he does so daring greatly (terj. bebas: Tidaklah
begitu penting orang-orang yang hanya mampu mengkritik. Tidak juga orang-orang
yang hanya duduk diam serta memberi tahu apa yang seharusnya bisa dikerjakan
dengan lebih baik oleh orang yang benar-benar mengerjakannya, atau mengapa ia
terjatuh serta gagal. Orang yang patut menerima pujian ialah ia yang
benar-benar berada di pertandingan dengan wajah penuh debu, kotor, bahkan
terluka, dan berbalut peluh. Saat ia bertanding, kadang kala ia menang, kadang
tertimpa kekalahan. Namun, meskipun mungkin ia gagal atau kalah, ia telah
berusaha memberikan, melakukan yang terbaik).”
Sudahkah yang terbaik
kuberikan
kepada Yesus,
Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya
di Kalvari!
Diharapkan-Nya
terbaik dariku.
Sebuah lagu
mengingatkan kita. Dan saat kita sedang memberikan atau melakukan sesuatu yang
menurut kita adalah yang terbaik, kita bisa berkata-kata di dalam hati, “Sedikit lagi.”
Dan saat kita sedang mengerjakan sesuatu yang lain, apa pun itu, kita bisa
bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya sudah memberikan yang terbaik?”
“Apakah ini sudah yang terbaik?”
Jadi, apa arti
sesungguhnya dari memberikan yang terbaik? Apa definisi yang terbaik—terlebih
kepada dan untuk Tuhan? Saya rasa, kita dan hati kita sendirilah yang tahu
jawabannya. Dan Tuhan.
Apakah kita
sudah memberikan, melakukan yang terbaik hari ini?
Menjelang
hari-hari ke depan dan saat Natal nanti pun, apakah kita akan memberikan,
melakukan yang terbaik? Bukankah Allah Bapa
pun telah memberikan, melakukan yang terbaik, melalui pengurbanan Putra-Nya,
Yesus Kristus di kayu salib? Yang terbaik. Terbaik.
“I firmly believe that
any man’s finest hour, the greatest fulfillment of all that he holds dear, is
that moment when he has worked his heart out in a good cause and lies exhausted
on the field of battle—victorious (terj. bebas: Saya sangat yakin bahwa
saat terbaik seseorang, atau rasa puas terhadap segala sesuatu yang ia pegang
teguh, adalah ketika ia telah memberikan segenap hatinya untuk sebuah tujuan
mulia, serta terbaring kelelahan karena kehabisan tenaga di medan pertandingan.
Berkemenangan).”
—Vince
Lombardi
Tunggu. Biasanya
setelah memberi kutipan ilustrasi di bagian tengah bawah seperti di atas dari
Vince Lombardi tadi, saya menyudahi sebuah tulisan. Tapi, kali ini ingin
memberikan lebih. Mencoba memberikan, melakukan yang terbaik.
Kadang kita
ingin menyerah karena merasa telah gagal berulang-ulang. Atau mungkin kita
merasa tidak, kurang layak melakukan sesuatu. Tetapi, saat kita tetap mencoba
mau memberikan segenap hati, melakukan yang terbaik—atau setidaknya yang baik
pun sudah berarti yang terbaik bagi kita—menjadi seperti man in the arena,
itu adalah hal yang baik.
“I want no more and no
less than the best life God wants to give me!”
—Joyce
Meyer