March 20, 2018

Hidup itu seperti uap

Minggu lalu, 18 Maret, saya mendengar khotbah dari Ibu Pdt. Siti Khadijah. Namun, sebelum beliau menyampaikan firman, beliau sejenak membacakan syair dari penyair besar Indonesia sesaat sebelum meninggal, WS Rendra—si burung merak asal Surakarta. Puisi dan pembacaan yang sangat apik.

Saya kira sekadar puisi, tapi ternyata maknanya dalam sekali. Saya kira tak ada unsur-unsur rohaninya dan tidak ada kaitannya dengan khotbah yang akan beliau sampaikan, tetapi bukankah untuk menjadi rohani tak serta-merta harus sok rohani, dan bisa saja lewat hal-hal kecil, seperti kesederhanaan hidup, puisi maupun kegiatan sehari-hari.

Cuplikannya berikut ini. Semoga bermanfaat bagi Anda juga ya. 


***

Hidup itu seperti uap, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap!

Ketika orang memuji milikku, aku berkata bahwa ini hanya titipan saja.

Bahwa mobilku adalah titipan-Nya
bahwa rumahku adalah titipan-Nya
bahwa hartaku adalah titipan-Nya
bahwa putra-putriku hanyalah titipan-Nya

Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya,
“Mengapa Dia menitipkannya kepadaku?”
“Untuk apa Dia menitipkan semuanya kepadaku?”

Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-Nya ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu musibah,
kusebut itu ujian,
kusebut itu petaka,
kusebut itu apa saja
untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan kebutuhan duniawi,
aku ingin lebih banyak harta
aku ingin lebih banyak mobil
aku ingin lebih banyak rumah
aku ingin lebih banyak popularitas
dan kutolak sakit
kutolak kemiskinan
seolah semua derita adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku.

Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,
dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku
Betapa curangnya aku,
kuperlakukan Dia seolah mitra dagangku dan bukan sebagai kekasih!
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku dan menolak keputusan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginanku

Duh Allah…

Padahal setiap hari kuucapkan, "Hidup dan matiku hanyalah untuk-Mu ya Allah."
Ampuni aku, ya Allah.

Mulai hari ini, ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan dan menjadi bijaksana, mau menuruti kehendak-Mu saja, ya Allah.

Sebab aku yakin Engkau akan memberikan anugerah dalam hidupku.
Kehendak-Mu adalah yang terbaik bagiku.

Ketika aku ingin hidup kaya, aku lupa, bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah kekayaan.
Ketika aku berat untuk memberi, aku lupa, bahwa semua yang aku miliki juga adalah pemberian.
Ketika aku ingin jadi yang terkuat, aku lupa, bahwa dalam kelemahan, Tuhan memberikan aku kekuatan.
Ketika aku takut rugi, aku lupa, bahwa hidupku adalah sebuah keberuntungan, karena anugerah-Nya.

Ternyata hidup ini sangat indah, ketika kita selalu bersyukur kepada-Nya.

Bukan karena hari ini indah kita bahagia. Tetapi karena kita bahagia, maka hari ini menjadi indah.
Bukan karena tak ada rintangan kita menjadi optimis. Tetapi karena kita optimis, rintangan akan menjadi tak terasa.
Bukan karena mudah kita yakin bisa. Tetapi karena kita yakin bisa, semuanya menjadi mudah.
Bukan karena semua baik kita tersenyum. Tetapi karena kita tersenyum, maka semua menjadi baik.

Tak ada hari yang menyulitkan kita, kecuali kita sendiri yang membuat sulit.

Bila kita tidak dapat menjadi jalan besar, cukuplah menjadi jalan setapak yang dapat dilalui orang.
Bila kita tidak dapat menjadi matahari, cukuplah menjadi lentera yang dapat menerangi sekitar kita. Bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang, maka berdoalah untuk kebaikan.