Minggu lalu, 18
Maret, saya mendengar khotbah dari Ibu Pdt. Siti Khadijah. Namun, sebelum
beliau menyampaikan firman, beliau sejenak membacakan syair dari penyair besar
Indonesia sesaat sebelum meninggal, WS Rendra—si burung merak asal Surakarta. Puisi dan pembacaan yang sangat
apik.
Saya kira sekadar puisi, tapi ternyata maknanya dalam sekali. Saya kira tak ada unsur-unsur rohaninya dan tidak ada kaitannya dengan khotbah yang akan beliau sampaikan, tetapi bukankah untuk menjadi rohani tak serta-merta harus sok rohani, dan bisa saja lewat hal-hal kecil, seperti kesederhanaan hidup, puisi maupun kegiatan sehari-hari.
Cuplikannya berikut ini. Semoga bermanfaat bagi Anda juga ya.
***
Hidup itu seperti
uap, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap!
Ketika orang
memuji milikku, aku berkata bahwa ini hanya titipan saja.
Bahwa mobilku
adalah titipan-Nya
bahwa rumahku adalah titipan-Nya
bahwa hartaku adalah titipan-Nya
bahwa putra-putriku hanyalah titipan-Nya
Tapi mengapa aku
tidak pernah bertanya,
“Mengapa Dia menitipkannya kepadaku?”
“Untuk apa Dia menitipkan semuanya kepadaku?”
Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-Nya ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali
oleh-Nya?
Malahan ketika
diminta kembali,
kusebut itu musibah,
kusebut itu ujian,
kusebut itu petaka,
kusebut itu apa saja
untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah derita
Ketika aku
berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan kebutuhan duniawi,
aku ingin lebih banyak harta
aku ingin lebih banyak mobil
aku ingin lebih banyak rumah
aku ingin lebih banyak popularitas
dan kutolak sakit
kutolak kemiskinan
seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan
dan kasih-Nya harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan
kehendakku.
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,
dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku
Betapa curangnya
aku,
kuperlakukan Dia seolah mitra dagangku
dan bukan sebagai kekasih!
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku dan menolak keputusan-Nya yang tidak
sesuai dengan keinginanku
Duh Allah…
Padahal setiap
hari kuucapkan, "Hidup dan matiku hanyalah untuk-Mu ya Allah."
Ampuni aku,
ya Allah.
Mulai hari ini,
ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan dan menjadi bijaksana, mau menuruti kehendak-Mu saja, ya Allah.
Sebab aku yakin
Engkau akan memberikan anugerah dalam hidupku.
Kehendak-Mu adalah yang terbaik bagiku.
Ketika aku ingin
hidup kaya, aku lupa, bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah kekayaan.
Ketika aku berat
untuk memberi, aku lupa, bahwa semua yang aku miliki juga adalah pemberian.
Ketika aku ingin
jadi yang terkuat, aku lupa, bahwa dalam kelemahan, Tuhan memberikan aku
kekuatan.
Ketika aku takut
rugi, aku lupa, bahwa hidupku adalah sebuah keberuntungan, karena anugerah-Nya.
Ternyata hidup
ini sangat indah, ketika kita selalu bersyukur kepada-Nya.
Bukan karena hari
ini indah kita bahagia. Tetapi karena kita bahagia, maka hari ini menjadi
indah.
Bukan karena tak
ada rintangan kita menjadi optimis. Tetapi karena kita optimis, rintangan akan
menjadi tak terasa.
Bukan karena
mudah kita yakin bisa. Tetapi karena kita yakin bisa, semuanya menjadi mudah.
Bukan karena
semua baik kita tersenyum. Tetapi karena kita tersenyum, maka semua menjadi
baik.
Tak ada hari yang menyulitkan kita, kecuali kita sendiri yang membuat sulit.
Bila kita tidak
dapat menjadi jalan besar, cukuplah menjadi jalan setapak yang dapat dilalui
orang.
Bila kita tidak
dapat menjadi matahari, cukuplah menjadi lentera yang dapat menerangi sekitar
kita. Bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang, maka berdoalah untuk kebaikan.