May 9, 2017

Kichijiro


Always question those who are certain of what they are saying.”
Elie Wiesel


Kebanyakan dari kita seperti Kichijiro. Salah satu tokoh dalam novel maupun film Silence.

Ataukah hanya saya yang mirip?

Mengapa saya menulis tentang Kichijiro jika saya saja sendiri masih seperti Kichijiro? Entahlah.

Saya memang belum pernah membaca langsung bukunya, namun dari filmnya kita bisa belajar tentang tokoh Kichijiro ini.

Kichijiro adalah seorang pemabuk sekaligus nelayan yang dimintai tolong dan ditawari untuk dapat pulang ke negara asalnya oleh Father Rodrigues dengan menjadi guide atau penunjuk jalan.

Tapi, sekalipun dia sudah diberi kesempatan untuk kembali ke negara asalnya dan mengabdi pada satu tujuan, yaitu menjadi guide, sepertinya Kichijiro sering kali berusaha mengkhianati. Sering kali jatuh-bangun. Entah demi uang. Demi menepis ketakutan. Demi menyelamatkan nyawanya sendiri. (Mungkin mirip figur Yudas Iskariot.)

Meskipun Kichijiro sering jatuh-bangun, ia selalu mau mengakui dosa-dosanya. Lalu, meminta pengampunan. Namun, jatuh lagi. Begitu seterusnya. Mirip kita, bukan?

Kichijiro pernah sekali menyangkali imannya supaya terbebas dari hukuman mati dan melihat anggota keluarganya tewas dibakar akibat mempertahankan iman mereka. Tapi, bagaimana dengan kita sendiri apabila berada di dalam posisi tersebut? Kita mengaku-mengaku mengenal Tuhan, memiliki iman besar, dan menyebarkan pengajaran-pengajaran yang baik. Tapi, seperti yang baru saja saya perbincangan dengan seorang teman, bagaimana saat kita sedang berada dalam posisi yang menyudutkan iman dan nyawa kita? Atau, taruhlah saat sedang menghadapi masalah-masalah kecil di dalam rumah tangga atau keluarga: apakah kita akan tetap mempertahankan iman dan terus melakukan yang baik?

Father Rodrigues pernah menyebut Kichijiro, “Could it be possible that Christ loved and searched after this dirtiest of men? In evil there remained that strength and beauty of evil; but this Kichijiro was not even worthy to be called evil (Mungkingkah Kristus mengasihi dan mencari orang yang paling hina ini? Di dalam kejahatan mungkin masih ada kekuatan itu serta suatu keindahan akan kejahatan itu sendiri. Tapi, di dalam Kichijiro ini sendiri tidak pantas disebut kejahatan).” Mirip pengakuan John Newton yang menyebut dirinya sendiri slave of slaves (budaknya para budak).

Kichijiro kerap mendadak liar saat terjadi hal-hal di luar kendalinya. Sampai akhirnya, ia menyangkali imannya untuk yang “kedua kalinya”. Sebisa-bisanya, kalau bisa jatuh, ya jatuh saja, demikian natur Kichijiro. Kita pun mungkin sering kali membahas atau memperdebatkan hal-hal yang kita pikir esensial (walau memang pada dasarnya esensial), tapi esensi diri kita sendiri tidak menunjukkannya. Kita berupaya menampilkan sisi-sisi yang lembut, indah, padahal sebenarnya ada juga sisi yang sangat liar di dalam diri kita. Ibarat ada sisi Kichijiro juga di dalam diri Father Rodrigues. Begitu pula sebaliknya. Manusia, atau tepatnya jiwa, memang kompleks.

Sering kali juga—entah saya lupa siapa yang bilang, mungkin Jonathan Edwards di Sinners in the Hands of An Angry God atau juga John Bunyan dalam Grace Abounding to the Chief of Sinners bahwa—kita mau bertobat dan berubah bukan karena murni sungguh-sungguh mau bertobat atau berubah, melainkan karena takut akan penghukuman—walau mungkin ini memang pun perlu—apabila tidak melakukannya.

Mungkin tokoh Kichijiro yang diperankan di dalam versi filmnya berbeda dengan yang di novelnya. Sebab menurut sebuah artikel, Kichijiro pada akhirnya mau sungguh-sungguh bertobat.

Semoga kita lebih mirip Kichijiro yang di versi buku atau novelnya.
















The heart is hopelessly dark and deceitful,
    a puzzle that no one can figure out.
But I, God, search the heart
    and examine the mind.
I get to the heart of the human.
    I get to the root of things.
I treat them as they really are,
    
not as they pretend to be.”
—Jeremiah 17:9-10, MSG