“Always question those who are
certain of what they are saying.”
—Elie Wiesel
Kebanyakan
dari kita seperti Kichijiro. Salah satu tokoh dalam novel maupun film Silence.
Ataukah hanya saya
yang mirip?
Mengapa saya
menulis tentang Kichijiro jika saya saja sendiri masih seperti Kichijiro?
Entahlah.
Saya memang
belum pernah membaca langsung bukunya, namun dari filmnya kita bisa belajar
tentang tokoh Kichijiro ini.
Kichijiro adalah
seorang pemabuk sekaligus nelayan yang dimintai tolong dan ditawari untuk dapat
pulang ke negara asalnya oleh Father Rodrigues dengan menjadi guide atau penunjuk jalan.
Tapi,
sekalipun dia sudah diberi kesempatan untuk kembali ke negara asalnya dan mengabdi
pada satu tujuan, yaitu menjadi guide,
sepertinya Kichijiro sering kali berusaha mengkhianati. Sering kali
jatuh-bangun. Entah demi uang. Demi menepis ketakutan. Demi menyelamatkan
nyawanya sendiri. (Mungkin mirip figur Yudas Iskariot.)
Meskipun Kichijiro
sering jatuh-bangun, ia selalu mau mengakui dosa-dosanya. Lalu, meminta pengampunan.
Namun, jatuh lagi. Begitu seterusnya. Mirip kita, bukan?
Kichijiro pernah
sekali menyangkali imannya supaya terbebas dari hukuman mati dan melihat
anggota keluarganya tewas dibakar akibat mempertahankan iman mereka. Tapi,
bagaimana dengan kita sendiri apabila berada di dalam posisi tersebut? Kita mengaku-mengaku
mengenal Tuhan, memiliki iman besar, dan menyebarkan pengajaran-pengajaran yang
baik. Tapi, seperti yang baru saja saya perbincangan dengan seorang teman,
bagaimana saat kita sedang berada dalam posisi yang menyudutkan iman dan nyawa
kita? Atau, taruhlah saat sedang menghadapi
masalah-masalah kecil di dalam rumah tangga atau keluarga: apakah kita akan
tetap mempertahankan iman dan terus melakukan yang baik?
Father
Rodrigues pernah menyebut Kichijiro, “Could
it be possible that Christ loved and searched after this dirtiest of men? In
evil there remained that strength and beauty of evil; but this Kichijiro was
not even worthy to be called evil (Mungkingkah Kristus mengasihi dan
mencari orang yang paling hina ini? Di dalam kejahatan mungkin masih ada
kekuatan itu serta suatu keindahan akan kejahatan itu sendiri. Tapi, di dalam
Kichijiro ini sendiri tidak pantas disebut kejahatan).” Mirip pengakuan John Newton
yang menyebut dirinya sendiri slave of
slaves (budaknya para budak).
Kichijiro kerap
mendadak liar saat terjadi hal-hal di luar kendalinya. Sampai akhirnya, ia
menyangkali imannya untuk yang “kedua kalinya”. Sebisa-bisanya, kalau bisa
jatuh, ya jatuh saja, demikian natur Kichijiro. Kita pun mungkin sering kali membahas
atau memperdebatkan hal-hal yang kita pikir esensial (walau memang pada
dasarnya esensial), tapi esensi diri kita sendiri tidak menunjukkannya. Kita
berupaya menampilkan sisi-sisi yang lembut, indah, padahal sebenarnya ada juga
sisi yang sangat liar di dalam diri kita. Ibarat ada sisi Kichijiro juga di
dalam diri Father Rodrigues. Begitu pula sebaliknya. Manusia, atau tepatnya
jiwa, memang kompleks.
Sering kali
juga—entah saya lupa siapa yang bilang, mungkin Jonathan Edwards di Sinners in the Hands of An Angry God atau
juga John Bunyan dalam Grace Abounding to
the Chief of Sinners bahwa—kita mau bertobat dan berubah bukan karena murni
sungguh-sungguh mau bertobat atau berubah, melainkan karena takut akan
penghukuman—walau mungkin ini memang pun perlu—apabila tidak melakukannya.
Mungkin tokoh
Kichijiro yang diperankan di dalam versi filmnya berbeda dengan yang di
novelnya. Sebab menurut sebuah artikel, Kichijiro pada akhirnya mau
sungguh-sungguh bertobat.
Semoga kita
lebih mirip Kichijiro yang di versi buku atau novelnya.
“The heart is hopelessly dark and deceitful,
a puzzle that no one can figure out.
But I, God, search the heart
and examine the mind.
I get to the heart of the human.
I get to the root of things.
I treat them as they really are,
not as they pretend to be.”
a puzzle that no one can figure out.
But I, God, search the heart
and examine the mind.
I get to the heart of the human.
I get to the root of things.
I treat them as they really are,
not as they pretend to be.”
—Jeremiah 17:9-10, MSG