Tindakan memang berbicara lebih penting
daripada sekadar perkataan, atau tulisan. Berikut ini adalah beberapa tulisan
yang pernah saya kirimkan ke buletin renungan harian Spirit. Hanya sedikit. Tak
sebanyak Mas Samuel Yudi Susanto yang terbiasa menulis sekitar sepuluh renungan
per hari (10 renungan per hari!), ujarnya pernah saya dengar pada suatu kesempatan dulu, yang
dikirimkan untuk buletin atau majalah tersebut.
Tapi, setidaknya, tulisan-tulisan ini
boleh menjadi permenungan bagi para pembaca juga. Mohon maaf apabila ada
sejumlah salah ketik (typos) karena copy-paste yang agak bermasalah.
Sekali lagi, tindakan lebih penting
daripada perkataan, atau tulisan. Tapi, semoga tulisan ini boleh menjadi berkat
bagi para pembaca sekalian.
===
100.000.000.000
“Saudara-saudara, aku sendiri tidak
menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku
melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di
hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu
panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”
―Filipi
3:13-14
Barangkali
akhir-akhir ini banyak orang yang merasa bersalah apabila mengharapkan sebuah
hadiah. Padahal, sah-sah saja untuk memperoleh hadiah atau meraih kemenangan.
Charles Jones pernah berkata, “Kemenangan memang bukanlah segalanya, tetapi
keinginan untuk menang adalah segala-galanya.” Bukan semata-mata bermentalkan
selalu ingin mendapatkan imbalan, tetapi melakukan sesuatu yang pantas
memperjuangkannya.
Bagaimana
bila seseorang menawari Anda hadiah dan ia pasti akan memberikannya, yaitu uang
nominal sejumlah 100.000.000.000? Bukan dalam dolar atau euro, tetapi rupiah lho―ini
untuk mendukung kampanye cintailah produk-produk buatan dalam negeri : ). Tentu ada syaratnya. Anda harus
berada di sebuah terminal. Tepatnya, di toilet-terminal yang super kotor,
ekstra-jorok, dan sangat menjijikkan. Lalu, Anda harus membersihkannya selama
sebulan.
Apakah
Anda mau menerima tantangannya? Kebanyakan dari kita berpikir mau dan sanggup,
tetapi saat harus menghadapi kenyataan dan benar-benar melakukannya, mungkin
kita akan memikir-mikirkannya seribu kali terlebih dulu, bahkan urung
melakukannyaatau mengambil langkah seribu.
Bumi
ini telah berusia cukup tua, dan kita hidup di dalamnya, serta berbagai
tantangan maupun penderitaan yang terjadi di dunia terkadang membuat kita
merasa tidak mampu bertahan, apalagi menang. Belum lagi harus mengemban
panggilan hidup dari Tuhan atau melakukan pelayanan bagi Tuhan dan sesama.
Tetapi, kita dapat terus bertahan dan menang. Rasul Paulus berkata, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman
sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan
kepada kita(Roma 8:18).”
Saat
kita berhenti memandang pada hadiah,
mungkin cara hidup kita pun akan berhenti menjadi hidup yang layak mendapatkan hadiah. Jadi, apakah Anda mau menerima
100 miliar rupiah? Tetapi, hadiah yang akan kita terima nanti pun jauh lebih besar daripada sekadar Rp1.000 atau 100 miliar
rupiah.
Apa
yang terjadi di kehidupan mempersiapkan diri kita untuk menghadapi apa yang
akan terjadi di kehidupan. Bahkan, mungkin apa yang telah terjadi di kehidupan
akan mempersiapkan kita untuk menghadapi apa yang terjadi sesudah kehidupan.
===
Anak Kecil
“Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang
bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan
perkataan-Nya…”
―Lukas
10:39
Seorang pemuda
terlihatsedang memindahkan sejumlah kardus berisi barang usang ke dalam gudang.
Terdapat beberapa tumpukan jerami di dalam gudang itu. Selesai berbenah dan
hendak menutup pintu gudang, ia baru menyadari bahwa jam tangannya tidak ada di
tangan kirinya. Sepertinya terlepas dan terhilang di antara onggokan
jerami.Setelah mencari-cari, jam tangan merek Swiss Army-nya itu tak kelihatan
di mana “batang hidungnya”. Pemuda itu panik. Beruntung dia menyanyikan lagu Ayu
Ting Ting, “Di mana… di mana… di mana…?” sehingga tak terlalu gundah.
Pemuda itu meminta pertolongan
temannya untuk ikut mencari jam tangannya itu.Setelah dua jam mencari, membongkar-bongkar,
tak kunjung ketemu jua. Ketika hampir pasrah, bermaksud mengeluarkan semua
timbunan jerami, dan mencari esok saja, seorang anak kecil sepupu dari pemuda
tadi mendatanginya dan bertanya ada apa. Sesudah memberi tahu bahwa jam
tangannya hilang di gudang, anak kecil itu ingin membantu mencari. Namun, tetap
tak mendapatkannya.
Kemudian, anak kecil itu meminta
supaya kedua pemuda tadi keluar, membiarkannya mencari sendiri. Hanya selang
hening selama sepuluh menit, jam tangan Swiss Army itu akhirnya ketemu! Pemuda
pemilik jam tangan itu bertanya bagaimana cara menemukannya, lalu anak kecil
itu menjawab, “Gampang kok, Kak, aku cuma diam sebentar dan mendengarkan
detikan jam tangan Kakak, jadi aku tahu di mana letaknya.”
Kadang kita pun seperti pemuda yang
kehilangan jam tangan itu, panik, khawatir, dan mencari-cari jawaban dengan
kekuatan sendiri. Tetapi, kita bisa mengambil sikap hati seperti anak kecil
tadi yang berdiam diri, mendengarkan, sehingga tahu apa yang harus dilakukan.
Alih-alih
gelisah saat tak jelas arah atau
pilihan yang terbaik, sebaiknya kita berdoa dan mendengarkan perintah Tuhan,
lalu menaati-Nya.Seperti yang dilakukan oleh Maria yang lebih mementingkan Dia
daripada hal lainnya, walaupun apa yang dilakukan oleh Martapun penting, Tuhan
malah memuji tindakan Maria, yaitu duduk diam mendengarkan perkataan-Nya (Lukas
10:38-42). Saat Dialah dan suara-Nyalah yang terutama, maka Dia akan
mengutamakan kita serta memberi tahu apa yang penting untuk kita lakukan.
Mazmur 46:10 berkata, “Diamlah dan
ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa,
ditinggikan di bumi!”
===
Antena Kehidupan
“Aku telah berpaut pada
peringatan-peringatan-Mu, ya TUHAN, janganlah membuat aku malu.”
(Mazmur
119:31)
Pesawat TV saya
bisa dibilang lumayan bagus. Ukurannya besar. Mereknya pun terkenal. Waktu
membeli TV itu, sudah termasuk mendapatkan remote
control beserta antenanya. Jadi, tidak perlu susah payah mencari atau membeli
kedua alat itu. Sayangnya, antenanya agak bermasalah, jelek mutunya. (Remote-nya sihtidak apa-apa). Hanya satu
atau dua siaran saluran stasiun televisi yang sanggup secara jernih berhasil
diterima oleh antena tersebut. Siaran lainnya buram seperti kerumunan semut
kecilhitam. Jadi, saya harus saya menyesuaikan arah yang tepat supaya
memperoleh gambar yang jelas. Memang ternyata sesuatu yang bagus atau besar
yang tampak dari luar belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik.
Ilustrasi di atas
adalah satu hal. Hal lainnya adalah mungkin dulu kita pernah mendengar
ilustrasi sederhana tentang radio: Bahwa bukan pihak stasiun radio yang harus
mengarahkan atau mencari arah yang tepat terhadap kita atau radio kita,
melainkan kitalah yang menyesuaikan, mengarahkan antena radio kita atau
gelombang radio kita agar mendapatkan siaran radio dengan suara yang jernih.
Merek atau canggihnya radio kita mungkin akan mempengaruhi kualitas suara
siaran radio yang kita terima, tetapi tetap kitalah pihak yang harus mencari
dan menyesuaikan gelombang tepat terhadap siaran stasiun radio yang ingin kita
dengarkan.
Dari kedua
ilustrasi di atas, mungkin kita bisa menarik pelajaran bagi kehidupan kita.
Barangkali saat ini kita sedang memiliki posisi yang lumayan bagus atau mengerjakan
sesuatu yang besar. Namun, tanpa bimbingan atau kasih karunia Tuhan, dan jika
hati kita tidak berpaut pada peringatan-peringatan firman-Nya, mungkin kita
selalu akan merasa khawatir dan bingung menentukan sesuatu. Kita tidak mendapatkan gambaran yang jelas dan
tidak menjalani arah yang tepat di
dalam kehidupan kita. Mazmur 119:30-40 mengajak
kita agar mengutamakan firman Tuhan. Kita sungguh membutuhkan penyertaan serta
firman-Nya. Itulah antena dan gelombang yang tepat bagi kita. Daud
mengingatkan kita melalui Mazmur 119:33, “Perlihatkanlah
kepadaku, ya TUHAN, petunjuk ketetapan-ketetapan-Mu, aku hendak memegangnya
sampai saat terakhir.”
Mungkin seperti
halnya jika kita merasa jauh dari Tuhan, bukan Tuhanlah yang menjauh, melainkan
kita, demikian juga jika kita ingin merasa dekat dengan Tuhan, kitalah yang
butuh mendekatkan diri kepada-Nya (lihat Yak.
4:8), walaupun Ia telah mendekatkan diri-Nya kepada kita. Kita membutuhkan
sinar terang dan tuntunan firman Tuhan di dalam kehidupan kita sehari-hari.
===
Arang
“Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak
dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!”
(Wahyu
3:15)
Kebanyakan dari
kita mungkin penggemar sate. Dan kita tahu bahwa pada umumnya para penjual sate
di pinggir-pinggir jalan memakai arang atau bahan bakar warna hitam terbuat
dari bara kayu itu atau bekas batok kelapa untuk membuat sate hingga masak.
Hal
menarik dari arang adalah apabila arang itu hanya berdiri sendiri, tidak bergabung dengan arang lainnya akan cepat
pudar, hilang panasnya. Sedangkan jika arang bersatu dengan arang-arang lainnya
misalnya di panggangan sate bisa kuat, tahan lama panasnya sampai benar-benar
habis menjadi abu.
Di dalam kehidupan kekristenan kita
bisa diibaratkan demikian. Kita membutuhkan komunitas,bergabung bersama
saudara-saudari seiman. Bukan sebaliknya komunitas yang membutuhkan kita.
Mengapa? Agar kita dapat keep on-fire (tetap
semangat) untuk melayani Tuhan dan sesama. Seperti firman Tuhan di dalam Ibrani
10:25 yang menegur,“Janganlah kita
menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh
beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat
melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
Walaupun
kadang kita memang memerlukan waktu untuk menyendiri, menjauh sejenak dari
komunitas, seperti yang pernah dilakukan oleh Tuhan Yesus, kita tidak bisa
memungkiri arti penting komunitas. Bukankah lidi yang sebatang mudah patah,
sementara batang-batang lidi yang bersatu amat kuat? Namun, memang ada kalanya
kita perlu menjauh segera dari komunitas jika komunitas itu malahmenjauhkan
kita dari memaksimalkan potensi maupun pelayanan kita. Rasul Paulus berkata
melalui 2 Tesalonika 3:6, “Tetapi kami
berpesan kepadamu, saudara-saudara, dalam nama Tuhan Yesus Kristus, supaya kamu
menjauhkan diri dari setiap saudara yang tidak melakukan pekerjaannya dan yang
tidak menurut ajaran yang telah kamu terima dari kami.”
Kita
pada akhirnya akan menjadi serupa dengan orang-orang yang terdekat dengan kita
dalam hal karakter. Dan kita pun bisa mengetahui seseorang dari komunitasnya.
Apakah kita masih berada di dalam sebuah dan tetap berkomunitas agar tetap panas dan berantusias melayani Tuhan?
===
Baut
“…jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah
dengan Dia…”
(2
Timotius 2:12 a)
Bayangkan
bagaimana bila pekerjaan Anda adalah harus memasang baut selama delapan jam,
tiap hari? Kemungkinan Anda akan jemu. Jangankan delapan jam sehari, mungkin 15
menit ataulah setengah jam saja bisa pingsan kebosanan. Apalagi itu bila Anda
tidak tahu untuk apa Anda bekerja dan tidak ada hasil akhir atau manfaatnya
bagi diri sendiri maupun orang lain.
Akan tetapi, bayangkan bila selama
delapan jam setiap hari itu Anda memasang baut untuk perakitan mobil
Lamborghini yang memang salah satu produknya adalah buatan tangan? Dan Anda
tahu untuk apa bekerja, bahwa hasil akhirnya adalah sebuah mobil yang sangat
berkelas. Tentu, kemungkinan besarnya adalah Anda akan antusias, tekun
mengerjakannya. Walaupun mungkin sesekali merasa jenuh, tetapi karena Anda
melihat gambaran besar atau hasil akhirnya, Anda akan tetap bertekun untuk
memasang baut setiap harinya.
Dengan mengarahkan pandangan ke depan,
kita akan memiliki perspektif yang benar tentang apa yang sedang terjadi
hari-hari ini. Bukan maksud untuk berleha-leha menanti masa depan, melainkan
menatap masa depan sembari mengerjakan apa yang bisa kita lakukan pada saat
ini.
Rasul Paulus berkata melalui Roma
8:24-25, “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang
dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa
yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita
menantikannya dengan tekun.” Rasul Paulus mendorong kita untuk tetap bertekun.
Seseorang pernah memberi tahu bahwa
dalam bahasa Inggris, kita bisa mengartikan kata perseverance (ketekunan)
sebagai frasa persist even if things go
severe atau tetap bertahan kendati hal-hal menjadi berat atau keras.Dan
kita tentu ingat tentang sebuah ilustrasi, bukan? Bahwa sepasang siput pun
akhirnya sampai di dalam bahtera Nuh dan selamat dari terjangan air bah. Karena
ketekunan.
Semoga kita bisa melihat garis akhir
kehidupan kita (begin with the end in
mind), sambil mengarahkan pandangan kita kepada upah (lih. Ibr. 11:26) agar
kita akan memerintah bersama dengan Dia (lih. 2 Tim. 2:12). Namun, tetap
motivasi utama kita adalah kasih kita yang tulus kepada-Nya. Ketulusan adalah
ketekunan yang terdalam.
===
Berseru Kepada Tuhan
● Kisah Para Rasul 2:21
Pada 23 April 2011, penyanyi ABG dunia terkenal asal Kanada, yaitu Justin
Bieber, mengadakan konsernya yang pertama kali untuk para penggemarnya di
Indonesia, tepatnya di SICC (Sentul International Convention Center), Jakarta.
Banyak fans-nya yang berteriak-teriak, “Justin! Justin!”, menyerukan namanya
baik ketika ia tiba di bandara Soekarno-Hatta maupun saat penampilannya di
panggung. Sesekali ia mendengar seruan mereka dan menyapa balik, tapi mungkin
tak jarang juga ia tidak mendengar atau membalasnya. Bahkan, ada juga
penggemar-penggemarnya, terutama para gadis ABG, yang rela tidak tidur dan
absen makan supaya dapat menonton konser Justin Bieber tersebut.
Jika “beliebers” (sebutan untuk para fans Justin Bieber) saja
seperti itu, apakah kita para umat percaya (Inggris: believers) bisa
seperti itu atau bahkan lebih, bukan kepada Justin Bieber, tetapi kepada Jesus
Christ (Yesus Kristus)? Mungkin kita pun lebih perlu berseru kepada Tuhan Yesus
daripada kepada Justin Bieber atau lainnya. Dan apakah kita masih berpuasa bagi
Dia dan pelayanan-Nya? Apakah kita rela kehilangan jam-jam tidur kita dan
menggantinya untuk berdoa demi orang-orang yang membutuhkan doa kita, serta untuk
diri kita sendiri?
Rasul Petrus mengingatkan kita dalam Kisah Para Rasul 2:21, “Dan
barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.” Juga, Rasul
Paulus dalam Roma 10:13 pun mengingatkan, “Sebab, barangsiapa yang berseru
kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Apakah kita pernah benar-benar
berseru kepada Tuhan? Saya pernah mendengar cerita bahwa ketika Daud menghalau
singa atau beruang, ia tidak hanya berdoa dalam hati kepada Tuhan, melainkan
juga berseru-seru kepada-Nya!
Ingatlah pula bahwa Elia pernah berseru kepada-Nya. Musa, Daud, bahkan
Tuhan Yesus pun berseru kepada Bapa di surga. Tuhan kadang menyuruh kita diam
dan menantikan-Nya, tapi mungkin lebih sering untuk berseru dan mengharapkan
pertolongan-Nya. Hanya orang yang benar-benar hampir tenggelam dalam lautan
masalah pelik, dengan gelombang air menutupi lehernyalah, yang akan
berseru-seru, meminta tolong. Dan Ia akan mendengarnya, membalas balik, dan
menolongnya.
===
Berubah untuk Perubahan
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu…”
―Roma
12:2 a
Doni (nama
samaran) seorang pemuda akhirnya mendapatkan pekerjaan setelah delapan bulan
menganggur serta mencari-cari lowongan kerja dan menunggu panggilan untuk
diwawancarai. Mungkin banyak pengalaman yang serupa.
Sayangnya,
gaya hidupnya sesudah maupun sebelum memperoleh pekerjaan masih saja sama. Ia
getol keluar malam sampai kadang lebih dari pukul satu dini hari sehingga tidur
larut dan telat bangun pagi, padahaljam masuk kantor adalah 8.00. Seharusnya,
saat ia memperoleh sesuatu yang baru, ia melakukan sesuatu yang baru pula.
Memang
ada hal-hal yang membuat bahkan memaksa kita untuk berubah saat harus berubah,
seperti halnya kasus Doni ini; ada kalanya kita tidak bolehatau jangan berubah
saat memang tidak usah berubah, misalnya saat ada ancaman bila tidak mengubah
keyakinan terhadap Tuhan Yesus Kristus. “Kata-kata Rasul Paulus berlaku untuk
kita hari ini seperti halnya bagi para jemaat 2.000 tahun yang lalu ketika ia menulisnya.
Bahwasanyadi dalam hidup kita ini,” wejang vokalis grup musik Third Day Mac Powell,“ke mana pun kita
bisa pergi, siapa pun yang dapat kita temui, apa pun yang kita lihat, atau apa
saja yang mampu kita peroleh, kita raih, ataupun diberikan kepada kita, tak ada
satu hal pun di dalam hidup ini yang akan menyamaisedikit pun kemuliaanuntuk
mengenal Tuhan kita, Yesus Kristus.”
Ketika Saulus akhirnya dipakai dan dipanggil oleh Tuhan untuk
menjadi alat-Nya (lih. Kis. 9:15), sehingga namanya berganti menjadi Paulus,
lambat laun kehidupannya mulai berubah bahkan 180 derajat―bukan 360 derajat ya,
sebab kalau 360 berarti kembali ke gaya hidup yang lama. Dia pun berani
mengajak orang lain untuk berubah seturut pembaruan budi (Rm. 12:2 a) dan
mengikuti teladannya (Flp. 3:17).
Mungkin kehidupan Rasul Paulus merupakan contoh yang terlalu besar
dan teladan yang terlampau sukar untuk ditiru. Bahkan, perihal untuk sekadar
berubah pun bukanlah perkara yang mudah. Tetapi, kita pun bisa memulai dari
perubahan-perubahanterhadap hal-hal kecil terlebih dulu untuk berubah.Berubah
untuk perubahan.Karena kita semua
sama-sama manusia,seperti pengakuan Rasul Petrus, “Tetapi Petrus menegakkan
dia, katanya: ‘Bangunlah, aku hanya manusia saja.’” (Kis. 10:26)
Tak
seorang pun bisa balik ke masa lalu dan memulai perjalanan baru, tapi setiap
orang tentu dapat memulai hari ini untuk membuat tujuan akhir yang baru.
===
Biji Rebus
“Bersorak-sorailah, hai orang-orang benar,
dalam TUHAN! Sebab memuji-muji itu layak bagi orang-orang jujur.”
—Mazmur
33:1
Salah satu adegan
pada film Courageous garapan Alex
Kendrick, diceritakan tentang seorang karyawan bernama Javier Martinez yang
akan mendapatkan promosi menjadi manajer bidang di pabrik pemintalan benang.
Namun, ia harus melewati satu beban tes terlebih dahulu dari sang CEO, yaitu
berdasarkan perintah si bos untuk memalsukan jumlah pemasukan barang pada
inventarisasi perusahaan.
Peristiwa itu hampir sebelas
duabelas dengan sebuah cerita berikut ini: seorang pemilik perusahaan hendak
melakukan regenerasi kepemimpinan. Lalu ia pun menguji sejumlah kandidat. Ada
enam calon. Tesnya: menumbuhkan biji kecil menjadi sebuah tanaman. Waktunya
sebulan. Ketika tiba hari terakhir ujian, kandidat pertama berkata, “Lihat nih,
tanamanku sudah tumbuh 10 cm.” Karyawan kedua menimpali, “Lihat nih, tanamanku
sudah tumbuh 15 cm.” Tak mau kalah, anak buah ketiga menyombong, “Ah, itu semua
pendek kan.Lihat nih punyaku, sudah tumbuh 1 meter!” Begitu seterusnya sampai
lima karyawan berkata mampu menumbuhkan sebuah tanaman dari biji dari si bos
perusahaan tadi. Mereka berlima pun telah menghadap serta menyerahkan hasil
ujian ke sang pemimpin. Namun, karyawan keenam sambil memelas serasa menyerah,
berkata kepada si bos, “Maaf, Pak, saya tidak bisa menumbuhkan tanaman dari
biji ini…”
Tapi, alangkah terkejutnya staf
keenam yang mengaku tidak bisa itu karena justru ialah yang terpilih oleh sang
bos untuk meneruskan puncak kepemimpinan. Rupa-rupanya sang bos pun mengaku, “Anak muda, saya memilihmu
karena kamu jujur. Biji ini sebulan yang lalu sudah saya rebus, jadi tidak
mungkin bisa tumbuh jadi tanaman.”
Bagaimana dengan nasib Javier?
Setelah meminta waktu sehari untuk berpikir dan berdoa dan CEO-nya pun
mengizinkan, akhirnya tepat di depan meja sang bos sehari sesudahnya, Javier
menolak berbohong. Setelah mengucap terima kasih atas tawaran, mengatakan bahwa
ia takut akan Tuhan, menjelaskan alasannya, dan terjadi keheningan sejenak di
ruangan, sang bos justru menyalami Javier serta segera memilihnya sebagai salah
satu manajer! Sang wakil perusahaan yang juga sedang ada di ruangan saat itu
serta kemarin, berkata pula kepada Javier, “Setelah lewat enam kandidat yang
gagal di ujian ini, saya benar-benar hampir pasrah dan tak percaya kamu pun
bisa berhasil.”
Ternyata, kejujuran mempunyai jalan belakang yang lebih baik.
Javier bersukacita. Memuji-muji
Tuhan di dalam hatinya.
===
Brugmansia
“Janganlah menginginkan kecantikannya dalam hatimu,
janganlah terpikat oleh bulu matanya.”
―Amsal
6:25
Ada banyak bunga
atau tanaman yang indah di dunia. Salah satunya adalah brugmansia. Berbentuk terompet, bunga dari tanaman ini
sampai-sampai mendapat julukan the
angel’s trumpet (terompet malaikat) karena keelokan atau keindahannya.
Namun, meskipun tergolong bisa menjadi tanaman hias, tanaman ini pun mendapat
julukan the devil’s trumpet (terompet
setan) karena jenisnya yang beracun. Seluruh bagian tanaman ini berbahaya atau
beracun. Ternyata memang hal-hal yang indah belum tentu seindah apa yang
tampak. Winston Churchill bahkan pernah berkata, “…appearance are often very deceptive (penampilan sering kali
menipu).”
Tidak ada godaan
yang tidak memikat.Seneca pernah berkata, “Tidak ada kejahatan yang tidak
menawarkan kenikmatan. Keburukan menggoda Anda dengan hadiah yang ditawarkan.”
Firman Tuhan hari
ini di atas mengingatkan kita untuk tidak teperdaya, terpikat oleh godaan
ataupun tipu daya dosa. Bahkan, Salomo mengingatkan untuk tidak terpikat terhadap
bulu mata, sesuatu yang sepertinya kecil atau remeh, tetapi mungkin sanggup
menjatuhkan atau merupakan awal dari kejatuhan. Namun, mungkin sering kali saat
kita menghadapi pencobaan―yang berbeda dari ujian karena pencobaan adalah
bersifat untuk menjatuhkan kita, sementara ujian adalah bersifat untuk menguji
ataupun meningkatkan tahapan iman kita―kita merasa bahwa hanya si jahat atau
Iblislah yang serta-merta mencobai kita.Padahal, kadang godaan atau pencobaan
itu datangnya dari dalam diri kita sendiri, seperti yang dikatakan oleh Rasul
Yakobus,“Tetapi tiap-tiap orang dicobai
oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila
keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah
matang, ia melahirkan maut.” (Yakobus 1:14-15)
Menjadi orang
jahat memang lebih gampang daripada orang baik. Dan hal-hal yang tidak benar
sering kali menggoda kita untuk kita perbuat, bahkan rasa-rasanya hampir selalu
ada setiap hari. Bahkan ada yang mengatakan bahwa selama kita hidup atau seumur
hidup, kita akan dapat tetap menghadapi pencobaan. Namun, kita tidak akan dapat
bertahan bila mengandalkan kekuatan atau diri kita sendiri. Kita memerlukan
Tuhan serta pertolongan Roh Kudus agar memampukan kita menghadapi segala
sesuatu yang seolah tidak mampu kita hadapi.
===
Contraflow
“Beberapa orang telah menolak hati nuraninya
yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka.”
―1
Timotius 1:19
Karena seorang pemuda
ingin menghemat waktu supayacepat-cepat tiba di kantor, ia lewat jalur pintu
keluar pinggir tol dengan sepeda motornya setiap pagi. Padahal, pengendara
sepeda motor dilarang melalui area itu, apalagi bila dari arah berlawanan
karena besar risikonya, yaitu tertubruk mobil.
Akan
tetapi, ketimbang mesti terlalu jauh memutar kalau menyusuri jalan normal, ia
lebih memilih untuk menanggung risiko ditilang polisi atau bahkan tertabrak
mobil.Lagipula, karena ia merasa kalau mobil-mobil saja di jalan tol boleh contraflow (memakai jalur berlawanan
saat macet pada pagi hari), masak dirinya yang memakai sepeda motor saja tidak
boleh lewat jalur di pintu keluar pinggir tol? Ia merasa “ada temannya” untuk
bertindak kesalahan.
Sebenarnya,
hati nuraninya berkata bahwa perbuatannya itu salah. Apa pun alasannya.
Meskipun sesekali masih merasa bersalah atau takut bakal dikejar-kejar petugas
di belakangnya atau dicegat kalau lewat situ, sepertinya lama-kelamaan ia
terbiasa untuk mengambil jalan pintas itu.
Kadang kita seperti itu mungkin.
Hati kita menjadi kebas terhadap melakukan hal yang benar. Lalu, karenalambat
laun setelah mengulang-ngulang kesalahan yang sama, padahal semestinya kita
telah menaklukkannya dengan pertolongan Roh Kudus, hal-hal yang kita benci saat
awal-awal kita mengenal Tuhan malah kita anggap biasa kemudian. Saat hati
nurani mengingatkan kita bahwa itu salah atau bahwa kita telah berbuat dosa,
kita berpikir, ah ini tidak apa-apa,dan
bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Dosa
yang mana, ya…?”
Raja
Daud bermazmur, “Hati mereka tebal
seperti lemak, tetapi aku, Taurat-Mu ialah kesukaanku (Mazmur 119:70).”
Saat hati menjadi terlalu tebal, semakin susah untuk menyaring kebaikan.Jika
masih ada kesempatan untuk bertobat, maka cepat-cepat meralat diri, bertobat.
Firman Tuhan dan kadang hati nurani adalah saringan
yang tepat untuk mengetahui apakah kita melakukan hal yang salah ataukah
kebenaran. Kadang sikap dan hidup kita seperti contraflow: jika bertentangan dengan hati nurani dan berlawanan
dengan firman, mengapa kita tetap melakukan?
===
Cukup
Apakah kadang
Anda merasa takut diberkati?
Apalagi secara
berlimpah oleh Tuhan.
Saya iya.
Entah, belum begitu
jelas apa yang menyebabkan sehingga merasa seperti ini.
Mungkin tepat
perkataan Agur bin Yake yang juga terkait denganrasa cukup. “Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau
kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku (Amsal 30:8
b).”
Jadi, apakah
tidak perlu terlalu kaya, dan janganlah sangat miskin sehingga pas-pasan saja
atau menerima dan memiliki sesuatu sesuai dengan porsi yang sanggup kita terima
atau kapasitas kita?
Jika sejenak
mengupas definisi berkat,ada beberapa
penjelasannya. Berkat adalah:
- Karunia yang membawa kebaikan dalam hidup manusia dari Tuhan
- Doa restu atau pengaruh baik dari orang yang dihormati atau dianggap suci yang mungkin akan menjadikanselamat dan mendatangkan rasa bahagia
- Makanan atau sesuatu lainnya yang dibawa pulang sehabis kenduri (perjamuan makan untuk memperingati peristiwa dan lain-lain)
- Sesuatuyang bermanfaat atau mendatangkan kebaikan
Ada sesuatu yang
menarik, yaitu contoh kalimat pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia untuk salah satu penjelasan dari kata berkat itu, khususnya arti pada poin 4
tadi: Uangnya banyak, tetapi tidak
bermanfaat.
Bayangkan, uang
banyak, tapi tidak bermanfaat. Tanpa berkat.
Uang mungkin bisa
menjadi salah satu parameter berkat, tapi bukanlah satu-satunya.
Berkat bisa saja
teman-teman yang baik, yang dengan mereka kita bisa saling mempedulikan, saling menajamkan(lih. Amsal 27:17).
Bisaberupa kesehatan.Atau, seperti salah satu lagu Thank You Lord, for Your Blessings On Me, berkat bisa melalui
berbagai hal. Bukan semata-mata uang, harta, atau kekayaan.
Saya suka bekerja
keras. Juga, suka bekerja cerdas. Plus kerja cerdas dan kerja keras. Saya juga
suka memiliki impian, dan berusaha menggapai impian tersebut. Tetapi, semoga
saya pun mau dan suka untuk belajar mencukupkan diri. Merasa cukup. Sambil
tetap melakukan yang sepatutnya saya lakukan, mengejar yang selayaknya saya
kejar.
Robert Jeffress,
penulis 'The Road Most Traveled: Releasing
the Power of Contentment in Your Life' pernah berujar, “There comes a time in every man's life when he wakes up and realizes he
will never marry Cindy Crawford, be president of his company, or have a million
dollars. At that point, he can leave his wife, quit his job, buy a red
convertible, and search for a new road to travel. Or, like the Apostle Paul, he
can learn the powerful secret of contentment.”
“Akan ada
waktunya dalam kehidupan tiap manusia {pria khususnya dalam hal ini}, yaitu
saat ia terbangun di pagi hari dan menyadari bahwa ia takkan pernah bisa
menikahi model secantik Cindy Crawford, atau menjadi direktur di perusahaan,
ataulah memiliki uang jutaan dolar. Di titik momen seperti itu, ia bisa saja
meninggalkan istrinya, atau berhenti dari pekerjaannya, membeli mobil red convertible, lalu mencoba mencari
jalan yang baru untuk berpetualang. Atau, seperti halnya rasul Paulus, ia bisa
belajar menerima rahasia besar dari merasa cukup (terj. bebas).”
Apakah kadang
Anda merasa takut diberkati? Mari kita ganti pertanyaannya, apakah kita sudah belajar
merasa cukup? Dalam berbagai hal?
Thank You Lord, for Your Blessings On
Me
—by
Gordon Mote & Jason Crabb
While the world looks upon me
as I struggle along
and they say I have nothing,
but they are so wrong.
In my heart I'm rejoicing,
how I wish they could see.
Thank You Lord, for Your blessings on
me!
There's a roof up above me
and I've a good place to sleep.
There's food on my table
and shoes on my feet.
You gave me Your love, Lord,
and a fine family.
Thank You Lord, for Your blessings on
me!
I know I'm not wealthy
and these clothes are not new
and I don't have much money,
but Lord I have You!
And to me thats all that matters,
though the world may not see.
Thank You Lord, for Your blessings on
me!
Thank You Lord, for Your blessings on
me!
===
Daun dan Buah
• Yesaya 17:7-8
Ketika saya sedang berada di rumah saudara, saya mendengar seseorang yang
menceletuk, “Pohon mangga itu terlalu banyak daunnya, tapi sedikit buahnya.”
Saya melihat ke arah pohon yang dimaksud, dan seketika itu sebuah pengertian
terlintas. Kita kadang tak menyadari bahwa kita mempunyai begitu banyak daun
(pengetahuan, pemahaman firman, kekayaan, dan lainnya), tetapi memiliki
sedikit sekali buah (kontribusi konkret, tindakan nyata, kepeduliaan
sosial, dan lain-lain). Kita ibarat pohon mangga tadi yang lebat daunnya,
tetapi jarang buahnya.
Kita mengetahui amat banyak hal, tetapi jarang mengaplikasikannya. Kita
memiliki sangat beragam kelebihan, namun jarang membagikannya. Kita tidak akan
berfaedah bagi orang lain. Lebat tapi tak begitu bermanfaat. Apalagi, dengan
semua yang kita ketahui atau miliki, kita tidak mengandalkan Tuhan, maka kita
akan kering. Bukankah hidup yang indah dan bisa dinikmati diri sendiri
maupun orang lain adalah kehidupan yang menghasilkan buah-buah, bukannya
menghasilkan dedaunan? Akan tetapi, jangan pula kita seperti pohon mangga yang
terlampau banyak buahnya, sedangkan daunnya tidak ada. Artinya, kita sibuk
mengurusi perkara di luar diri kita, tetapi mengabaikan diri sendiri.
Firman Tuhan dalam Yeremia 17:7-8 menyatakan, “Diberkatilah borang yang
mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon
yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan
yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang
tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.”
Justru dengan mengutamakan, menomor-satukan Tuhan lebih daripada apa pun yang
kita ketahui atau miliki, Tuhan akan memberkati kita. Daun kita tetap
hijau dan kita tidak berhenti menghasilkan buah.
Mungkin lebih baik kita mengetahui setitik hal serta merasakan setetes
keuntungan, namun kita mengemban kepedulian besar, ketimbang mengenyam berbagai
hal dan menikmati semua kelebihan, tetapi tidak rendah hati dan tak
sungguh-sungguh peduli. Semoga kita menyadari maksud perkataan Tuhan Yesus
dalam Kitab Lukas 17:33, “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan
kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan
menyelamatkannya.”
===
Dipecat Secara Integritas
“Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya
seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku
sendiri ditolak.”
(1
Korintus 9:27)
Menurut teman
saya, sebenarnya tidak apa-apa menyalakan handphone
di dalam pesawat, sekalipun saat sedang terbang di udara. Dari mana teman
saya itu mendapatkan “informasi berharga” itu? Tak lain dan tidak bukan, dia
menerima bocoran rahasia itu pamannya, yang merupakan seorang pilot salah satu
armada penerbangan swasta di Indonesia. Kita boleh mencoba menanyakan
kebenarannya kepada sanak saudara yang berprofesi sebagai pilot.
Paman
teman saya itu melanjutkan memberi tahu bahwa memang boleh menyalakan HP di
dalam pesawat, tetapi harus provider (operator)
kartu HP-nya yang sama dengan sang pilot. Mengapa? Karena jika banyak penumpang
yang menyalakan HP dengan penyedia jasa komunikasi seluler yang berbeda, maka
semua sinyalnya akan benar-benar mengganggu sistem penerbangan pesawat. Teman
saya bercanda, “Jadi, boleh-boleh saja menyalakan HP di dalam pesawat asalkan provider-nya sama dengan yang digunakan
pilot.”
Sementara awak pesawat, melalui
salah satu pramugari atau petugas yang mengingatkan kepada para penumpang untuk
mematikan HP, ternyata di dalam kokpit sendiri sang kapten pesawat bebas
menyalakan HP, mengirimkan SMS, bahkan mungkin menelepon. Ada isu integritas di
sini. Hal kecil yang berdampak besar.
Seperti nasihat Rasul Paulus melalui
firman Tuhan hari ini di dalam 1 Korintus 9:27 (“Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah
memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.”), semoga
saat kita mengingatkan orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
kita pun mempraktikkannya, supaya mereka tidak menolak ajakan/larangan,bahkan
diri kita sendiri. Dengan kata lain, “dipecat secara integritas”.
Janganlah menjadi seperti seorang
penyanyi pria yang menyenandungkan belasan lagu bertema cinta di TV untuk sang
kekasih wanita pujaan, namun ternyata di kehidupan aslinya ia jatuh hati dan
menjalin hubungan dengan sesama jenis.Jangan pula ibarat anggota sebuah
kelompok tertentu yang mendengung-dengungkan anti terhadap sesuatu, tapi
rupa-rupanya melakukannya, apalagi lebih brutal. Bagaimanapun, walaupun
tantangannya amatlah susah, marilah kita menjaga integritas dan karakter kita
yang bagus lainnya, maka reputasi atau jati diri kita akan terjaga dengan
sendirinya.
===
Egois
“…hanya kami harus tetap mengingat
orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan
melakukannya.”
—Galatia
2:10
Di aktivitas kita
sehari-hari, mungkin orang-orang sering meminta bantuan kita. Tetapi, apakah
kita tidak tulus dalam menolong orang lain? Memiliki maksud atau motif yang
terselubung di dalam hatikah? Rasul Petrus mengingatkan, “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain…”
(1 Petrus 4:8)
Seorang
pengusaha kaya raya mengendarai mobil mewah dan besar (saya cenderung
menganggap mobil yang terlalu besar dengan istilah “mobil egois” karena memakan
banyak badan jalan). Ketika di suatu jalan, ia melihat seorang lelaki sedang
merangkak makan rumput!Karena heran, pengusaha itu berhenti sejenak dan menanyakan
mengapa dia seperti itu. “Saya tidak punya pekerjaan, Tuan…Sudah tiga hari saya
belum makan karena tidak punya uang, Tuan…”
Pengusaha berpikir sekilas lalu
menawari lelaki itu, “Bagaimana kalau kamu ikut pulang ke ke rumah saya saja?”
Pria kelaparan tadi menjawab, “Wah, terima kasih, Tuan! Tapi, Tuan… saya juga
punya istri dan anak juga, Tuan…” “Bawa mereka juga,” balas pengusaha.
“Bolehkah saya membawa empat teman saya juga, Tuan…?Mereka juga belum makan
empat hari…” “Boleh, boleh,” jawab pengusaha.
Setelah semua masuk mobil egois dan
seiring mulai melaju menuju rumah, lelaki yang kelaparan itu berkata, “Terima
kasih sekali, Tuan karena telah menolong kami… Semoga makanannya cukup untuk
kami, ya Tuan…”
“Tenang saja,” ujar pengusaha, “saya
ini sudah sangat sibuk sekali sampai-sampai tidak punya banyak waktu untuk
memotong rumput di halaman rumah saya. Kalian boleh memakannya.”
Kiranya saat kita menolong orang
lain, apa pun yang dipikirkan orang itu maupun orang-orang lainnya, kita tetap
tulus dan ajakan rasul Paulus boleh me-rhema
di dalam pikiran dan hati kita, “Hendaklah
kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!” (Filipi 4:5) dan
“…dan janganlah tiap-tiap orang hanya
memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
(Filipi 2:4)
===
Enam Kali
“Tetapi gusarlah abdi Allah itu kepadanya
serta berkata: ‘Seharusnya engkau memukul lima atau enam kali! Dengan berbuat
demikian engkau akan memukul Aram sampai habis lenyap. Tetapi sekarang, hanya
tiga kali saja engkau akan memukul Aram.’”
—2
Raja-raja 13:19
Kita acap berpuas
diri dengan usaha ala kadarnya. Hasil yang begitu-begitu saja. Impian-impian
kecil. Tidak demikian halnya nabi Elisa. Menjelang nabi Elia terangkat ke surga
dan menyarankannya untuk tinggal, nabi Elisa tidak ingin. Seolah saat itu sudah
ada prinsip go the extra mile (go the second mile atau memberi lebih
atau ekstra). Bahkan sampai tiga kali nabi Elisa seperti itu (2 Raj. 2:1-6).
Pula sesaat sebelum nabi Elia
akhirnya terangkat ke surga, nabi Elisa meminta sesuatu yang mungkin berlebihan, yaitu: “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu.” (2 Raj. 2:9)
Itu berbeda halnya dengan yang
dilakukan raja Yoas. Ketika Israel berperang melawan bangsa Aram, nabi Elisa
memerintah sang raja, “Ambillah anak-anak
panah itu! … Pukulkanlah itu ke tanah!” (2 Raj. 13:18). Akan tetapi, sang
raja hanya puas serta merasa cukup memukulkan ke tanah tiga kali. Padahal, bisa
saja ia berbuat lebih, bahkan terus-menerus. Terus-menerus memukulkannya ke tanah.
Tanpa kenal lelah. Dan sangat menginginkan kemenangan. Maka nabi Elisa pun
berteriak, “Seharusnya engkau memukul
lima atau enam kali!”(lih. 2 Raj. 13:19). Sebuah sikap yang mengingatkan
kita tentanggo the extra mile-nya di
awal. Juga tentang bejana-bejana seorang janda (2 Raj. 4:3).
Jika
kita hendak memperoleh berkat Tuhan, kita mesti berusaha, dan apabila telah
menerimanya, kita pun memang patut bersyukur dan menikmatinya serta mungkin
beristirahat sejenak seusainya. Namun, bukan berarti lalu kita berhenti bekerja
keras menghadapi tantangan-tantangan yang ada lagi. Masih ada peperangan. Setiap hari. Bukankah
nikmat bila kita bisa mengecap hasil jerih lelah keringat kita di
dalammengerjakan sesuatu yang benar-benar kita pedulikan ataupun sesuai panggilan
hidup kita?
Saya
pernah melihat tulisan di belakang sebuah jaket: Never Give Up, Soldier. Anda dan saya, wanita maupun pria
kepunyaan-Nya, adalah prajurit Kristus. Mungkin apa yang kita kerjakan belum
sempurna, masih menemui jalan buntu, ataupun mengalami kegagalan. Tetapi,
janganlah menyerah. Tetaplah bekerja keras. Bersemangatlah. Allah mengurapi
kerja keras kita.
Saya
ingin memberikan ayat ekstra: “Sampai
sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan
menerima, supaya penuhlah sukacitamu.” (Yohanes 16:24)
===
Entropi Maksimum
“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia
di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya
kembali.”
(Matius
18:15)
Tentang kebiasaan
buruk yang merugikan atau mengganggu orang lain, seorang rekan kerja pernah
berujar, “Kalau ada rekan kerja satu divisi yang salah, ya dikasih tahu, dong.”
Mungkin agak susah untuk mengingatkan orang lain. Tetapi, upaya itu bukan hanya
berharga bagi masing-masing orang, melainkan juga supaya tujuan bersama
tercapai.
Kita
mungkin pernah mendengar tentang Hukum
Entropi. Tetapi, jika belum, berikut ini beberapa uraiannya: Hukum Entropi
adalah sebuah ketentuan dalam ilmu Fisika yang menyatakan bahwa di dalam suatu
sistem yang tertutup seperti alam semesta ini, energi yang tersedia akan
berangsur-angsur habis. Pada saat energi yang tersedia berkurang, maka
kekacauan akan meningkat! Tanpa energi dari luar, alam semesta semakin lama
akan semakin kacau melampaui waktu. Para ahli Fisika mengungkapkan tentang alam
semesta yang ‘mati’ karena hukum ini. Matahari dan bintang-bintang yang
memenuhi alam semesta pada akhirnya akan menjadi tenang kembali satu per satu
menjadi masa yang gelap. Nah, saat itu terjadi, hal itu disebut sebagai entropi maksimum. Kita mungkin juga bisa
mengaitkan Hukum Entropi untuk psikologi dan kerohanian. Jika seseorang
ditinggalkan sendirian tanpa sahabat dan tanpa Tuhan, dunianya makin lama akan
kian kacau, makin gelap. Dia akan mencapai entropi
maksimum.
Seorang
wanita bernama Heather Lende yang
berprofesi sebagai penulis untuk kolom berita dukacita (obituaries) di sebuah harian dan sadar betul akan apa yang dia
tulis berikut ini karena pekerjaannya,berkata, “Seandainya saya menjelang ajal
dan punya satu kesempatan tarikan napas saja―saya telah mengatakan kepada
suami, anak serta cucu dan cicit saya bahwa saya mengasihi mereka―dan jika saya
boleh merangkum semua hikmat di hati saya menjadi kata-kata terakhir supaya
mereka hidupi adalah: Temukan yang baik (Find
the good). Maksud saya, usahakanlah untuk mencari yang terbaikdi dalam apa
pun, di dalam segalanya, terutama di dalam orang-orang.”
Memang agak sulit untuk melihat yang
terbaik di dalam diri orang lain, apalagi kalau kita sedang bermasalah
dengannya. Tetapi, Tuhan Yesus sendiri selalu berusaha melihat yang terbaik di
dalam diri setiap orang, ciptaan-Nya. Mulai dari Yudas Iskariot sampai Simon
Petrus, hingga Paulus, dan lain-lain. Bahkan sampai diri kita. Tentang
kepedulian terhadap sesama atau sahabat dan saudara kita, Tuhan mengingatkan
kita melalui Matius 18:15, “Apabila
saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan
nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” Kalau kita peduli, kita akan
mengerti. Kalau kita benar-benar peduli, kita akan cukup peduli, tanpa tedeng
aling-aling.
===
Geser ke Kiri
• Ibrani 11:8
Salah satu hal yang pasti kita perbuat atau ingat saat ke tukang potong
rambut adalah ketika si tukang cukur menyuruh kita menggeser kepala, baik ke
arah kiri maupun kanan, kita selalu taat. Atau misalnya, saat para calon
mempelai perempuan dirias di salon, mereka pasti taat kepada tukang salon saat
ia menyuruh menggeser kepala. Akan terjadi “debat” atau keanehan yang lucu bila
kita menolak taat, apalagi dengan bantahan keras, kepada tukang potong rambut
atau salon tersebut, bukan?
Kita bisa taat pada hal-hal kecil, tapi kenapa susah taat pada hal-hal
besar, ya? Terutama hal-hal besar dari Tuhan. Memang kita harus taat atau setia
terlebih dulu terhadap perkara-perkara kecil supaya dapat terlatih dan setia
pada perkara-perkara besar (lht. Matius 25:21). Namun, ukuran hal-hal besar
adalah tergantung penilaian kita dan Tuhan sendiri. Penulis Annette Simmons
berkata, “The definition of ‘win’ is up to you (Definisi menang
itu tergantung penilaian Anda).”
Dalam Ibrani 11:8 tertulis bahwa Abraham taat walaupun tidak mengetahui
tempat yang ia tuju. Apakah kita pernah mengalami hal yang serupa? Tanpa
mengetahui hasil atau tujuan akhirnya, kita mau taat.
Usia kita bertambah dan kita menjadi makin tua. Kesempatan untuk
menjalankan ketaatan tidaklah berlangsung selamanya; hanya sepanjang proses
serta sisa hidup kita. Tindakan kita selama rentang hidup kita barangkali lebih
penting ketimbang awal maupun akhir hidup kita. Misalnya, kalau kita lahir pada
tahun 1982 dan wafat pada tahun 2034, maka mungkin pada nisan akan tertulis:
1982 – 2034. Namun, hal yang terpenting pada tulisan (kurun waktu) tersebut
adalah tanda dash atau garis setrip di tengah. Apakah kita lebih banyak
taat terhadap manusia atau menaati Allah selama waktu hidup kita itu? Semoga
Tuhan memampukan untuk menaati Dia agar penyesalan tak datang.
Lain kali, saat Tuhan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, taati Dia, ya.
===
Grand Master
“…manusia melihat apa yang di depan mata,
tetapi TUHAN melihat hati.”
—lht.
1 Samuel 16:7
Saya sedang
getolbermain catur dari pengembang aplikasi untuk fitur BBM, Limichsoft. Saya
bertanding mengejar target menjadi Grand
Master (GM) dengan harus memperoleh skor minimal 30.000 dan lulus beberapa
level terlebih dahulu di permainan itu. Apakah Anda juga salah satu penggemar
permainan ini?
Sekalipun motivasi saya adalah
mengejar gelar GM, motivasi yang sebenarnya hanyalah supaya dipandang hebat bisa
memperolehnya dan “mengerikan” untuk dilawan. Bukannya memang karena sekadar
bisa dan bermain baik, saya hanya ingin tampil mentereng, dianggap jago oleh
pemain lain dari berbagai negara. Bahkan menganggap diri sendiri ahli. Padahal
masih banyak pemain yang lebih hebat. Bukannya bertekun saja bermain hingga
memperoleh poin yang diperlukan atau berfokus pada kekuatan saya sehingga
seberapa pun skor atau poin saya, intinya saya memang bermain baik dan sanggup
mengalahkan lawan, saya hanya berusaha mendapat nilai sebanyak-banyaknya.
Namun, saya mengalami beberapa
kekalahan, baik karena kendala koneksi, kehabisan waktu, maupun benar-benar
kalah bermainyang memang lebih sering. Percuma bila saya bergelar GM tapi bisa
saja dikalahkan oleh siapa saja yang masih level bawah.
Kadang mungkin seperti itu pula di
kehidupan kita. Kita berjuang, bekerja atau berprestasi sehabis-habisnya hanya
supaya untuk dilihat wah oleh orang lain. Padahal, tampilan dalamatausejatinya
kita jauh daripada itu. Tampil baik atau berupaya berprestasi itu satu hal,
tetapi kalau kita hanya ingin tampil bagus dan wah di luar, tapi kosong dan
kering di dalam diri kita, itu semua terasa percuma.Banyak kali kita berhadapan
dengan godaan seperti itu, entah di dalam kehidupan profesional ataupun
kerohanian kita.
Sejumlah pakar motivator yang telah
teruji waktu berkata, “When the inside is
right, the outside is right too,”oleh John C Maxwell, kemudian “Your key life is your secret life,” dan
“Private victory is always precede the
public victory,” oleh Stephen R Covey. Walaupun apa yang terlihat di luar
itu tak sepele, tetapi apa yang di dalam itulah yang amat sangat sejati.
Daripada mencoba mengejar serta sok
menjadi grand master, marilah kita
tetap menjadi hamba-Nya, Grand Master kehidupan,
Yesus Tuhan.
“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura!
Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.”
—Roma
12:9
===
Hadiah Tak Tampak
Ketika Natal
hampir tiba, sebuah keluarga mencanangkan untuk saling memberikan kado. Keluarga
kecil itu baru terdiri dari seorang ayah, ibu, dan satu orang putri yang masih
berusia 10 tahun. Rencana ini adalah inisiatif dari sang ayah, yaitu ia akan
memberi hadiah Natal kepada istrinya, kemudian sang ibu akan menghadiahi putri
tercintanya, lalu si putri kecil itu akan membuat kado mungil spesial untuk
sang papa.
Hari makin
mendekati Natal dan kado masing-masing telah siap. Hingga tibalah hari sukacita
itu. Saat malam tiba, mereka bertiga duduk di dekat bawah pohon Natal di ruang
tamu, lalu mulai bertukar kado. Hadiah pertama yang dibuka adalah dari ibu
untuk si putri berupa bando merah bermotif gambar pohon Natal mungil berhias
salju-salju. Sementara sang ibu sendiri mendapatkan kado berupa voucher menginap bersama-sama keluarga
di sebuah hotel yang ada di tempat wisata di Singapura.
Tiba giliran sang
papa.Ketika menerima dan membuka kado dari putrinya, ternyata tidak ada isinya.
Sang papa sedih serta agak marah sebenarnya karena merasa putrinya kok tidak
memberikan hadiah apa-apa. Lalu, berkata kepada anaknya, “Mana, Nak? Kok nggak
ada hadiahnya? Kan sudah Papa bilang supaya kita semua tuker kado, tapi kok
kamu tidak memberi apa-apa kepada Papa?”
“Itu ada isinya,
Papa…” jelas sang anak. “Tapi mana?? Kosong gini,” balas papa. “Ada, Pa...”
“Nggak ada. Nih,” ujar papa sambil menunjukkan bagian dalam kado tak berisi
itu. “Ada, Pa… tadi malam sebelum Adek bungkus kado itu, aku berdoa buat Papa
kepada Tuhan Yesus… aku juga udah masukin banyak hadiah ke dalam kado itu buat
Papa… aku bilang I love you Daddy… I love
you Daddy… I love you Daddy… lalu aku bungkus kado itu buat Papa…” urai
sang putri.
Kita mungkin
sudah mengetahui tentang bahasa kasih, dan kita sangat ingin merasakan kasih
atau menerima sesuatu yang dapat kita lihat maupun alami secara langsung.
Tetapi, kita jarang mau atau enggan menerima sesuatu yang tidak bisa kita lihat
atau alami langsung. Padahal, mungkin keluarga kita atau orang-orang yang dekat
dengan kita, bahkan teman-teman telah sering mendoakan kita dan sungguh-sungguh
mengasihi serta memperhatikan kita tanpa mengharapkan balasan setimpal dari
kita.
Demikian juga
dengan Tuhan. Ia telah menyatakan kasih-Nya, pertolongan-Nya, yang mungkin
secara tak sadar kita terima lebih dari yang dapat kita hitung. Seperti halnya hadiah dari putri kecil tadi, Tuhan
mungkin tak secara langsung memberikan sesuatu yang konkret atau kasat mata
untuk apa-apa yang ingin kita peroleh dan rasakan, tapi Ia pasti mengasihi kita
lebih daripada yang kita sadari, bahkan lebih daripada segalanya.
===
Halal
“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan
percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak.”
—Mazmur
37:5
Jika ditanyakan
kepada para politisi, atlet, atau pengusaha dan lain-lain, “Bagaimana kita bisa
membedakan antara sedang berusaha melakukan yang terbaik dengan segenap upaya,
dengan sedang berserah kepada Tuhan?”, mungkin jawabannya akan samar-samar atau
sekadar menjawab karena mungkin beberapa jenis pekerjaan atau posisi tertentu
yang dipangku oleh seseorang menuntut usaha yang maksimal, lebih dan lebih
lagi. Seolah tak ada kata menyerah
atau berserah saja.
Kalau kita
melakukan yang terbaik—setidaknya menurut pendapat atau pemikiran pribadi kita
sendiri—seperti anggapan atau apa yang pernah dilakukan oleh Baana dan Rekhab
(2 Samuel 4:1 – 12), takutnya itu malah menghalalkan
segala cara. Segala cara apa pun kita tempuh untuk meraih apa yang kita
inginkan, atau mempercepat tujuan dan
kehendak Tuhan di dalam hidup kita.
Kalau begitu,
marilah kita berserah. Tetapi, bagaimana kita bisa tahu secara pasti bahwa kita
memang benar-benar, sadar sedang berserah kepada Tuhan—seperti yang dilakukan
oleh Daud? Mungkin jawabannya adalah waktulah
yang akan membuktikan bahwa kita memang telah berserah, mengandalkan Tuhan,
sekalipun sudah mengupayakan yang terbaik dengan segenap tenaga, pikiran, dan
kemampuan kita. Barangkali Tuhan ada di ujung daya kita. Juga, saat kita
benar-benar berserah total kepada-Nya, apa pun yang akan ataupun telah dan
sedang terjadi, kita tahu bahwa kita tahu bahwa kita tahu bahwa kita berserah
kepada Tuhan.
William Booth,
bapak pendiri The Salvation Army atau Bala Keselamatan, pernah mengatakan, “The greatness of a man’s power is the
measure of his surrender (terj. bebas: Sesungguhnya, ukuran kebesaran dari
kekuatan manusia adalah ukuran keberserahan dirinya).”
Semoga, sepanjang
perjalanan kehidupan kita di dunia ini, kita mau untuk selalu belajar berserah
kepada Tuhan.
===
Hati
“Bersihkanlah hatimu dari kejahatan, hai
Yerusalem, supaya engkau diselamatkan! Berapa lama lagi tinggal di dalam hatimu
rancangan-rancangan kedurjanaanmu?”
―Yeremia
4:14
Seorang teman
mengilustrasikan tentang mata air yang bermuara di sebuah sungai di suatu desa
di Afrika Utara. Para warga yang ada di sana memanfaatkan air jernih yang
mengalir di sungai itu untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, bahan air
minum, dan lain-lain.
Sayangnya, pada suatu hari, tanpa
nyana air di sungai itu menjadi berbau apak atau tidak sedap. Bukan hanya
sehari. Bahkan, karena berlangsung selama berhari-hari, walhasil sejumlah warga
desa menjadi jatuh sakit. Para pemimpin dan warga desa bertanya-tanya, apakah gerangan yang menyebabkan air sungai
itu menjadi bau?
Ternyata, setelah mereka menyelidiki
dan pergi ke sumber mata air itu yang ada di sebuah gunung, terdapat beberapa
bangkai babi di situ. Mereka mendadak merasa mual. Pantas saja aliran air
sungai di desa menjadi bau. Lalu, mereka mengangkat dan membuang
bangkai-bangkai kotor itu, dan membersihkan sumber mata air itu.Akhirnya,
sungai di desa mereka menjadi jernih kembali.
Biasanya, kecenderungan banyak orang
adalah berbuat jahat. “Ketika dilihat
TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan
hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (lih. Kej. 6:5).” Bahkan,
kadang manusia pun tidak sanggup untuk sekadar menginginkan untuk melakukan apa
yang baik.
Seperti
halnya sebelum kotoran-kotoran itu dihilangkan dari sumber mata air, sungai itu
bau dan tidak sehat, begitu pula sebelum hati kita bersih dari
rancangan-rancangan perbuatandan keinginan-keinginan jahat, mungkin kehidupan
kita pun takkan maksimal atau berguna bagi orang lain. Kita harus menjaga hati
kita agar kehidupan kita pun sesuai dengan keadaan hati kita. Sebab hati adalah
mata air kehidupan. Amsal 4:23
berkata, “Jagalah hatimu dengan segala
kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.”
Marilah
kita mendengarkan seruan nabi Yeremia sesuai dengan ayat topik hari ini agar
kehidupan kita memancarkan kejernihan kasih Tuhan serta mengalirkan berkat-Nya
bagi sesama.
===
Jaap Dieleman
“Harta benda yang diperoleh dengan kefasikan
tidak berguna, tetapi kebenaran menyelamatkan orang dari maut.”
—Amsal
10:2
Suatu hari seorang
ayah atau om yang bernama om Jaap Dieleman memarahi anaknyakarena anaknya itu
mencuri uang ayahnya di tas. Setelah memarahi, om Jaap berkata kepada
putranya, “Nak, kalau kamu mencuri atau mengambil barang yang bukan punyamu,
barang yang kamu curi itu tidak akan berguna bagimu.” Lalu, anaknya meminta
maaf kepada om Jaap, menangis, dan menyesal.
Di suatu hari lain, ada
anaklaki-laki yang mencuri uang mamanya. Lalu, abangnya sangat memarahinya
karena mamanya yang memberitahu kalau adiknya sudah mencuri uang. Akhirnya,anak
laki-laki yang mencuri itu menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi.Rasul
Paulus berkata, “Orang yang mencuri,
janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan
pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan
sesuatu kepada orang yang berkekurangan.” (Efesus 4:28)
Dua cerita di atas itu kejadian nyata.
Apakah kita pernah juga mengambil barang orang lain atau sesuatu milik orang
lain? Kalau iya, barang atau uang curian itu tidak akan berguna bagi kita.
Kalau kita mencuri, kita malah mungkin akan mengeluarkan atau mengganti uang
atau barang lebih banyak daripada yang kita ambil atau curi itu. Uang atau
barang curian itu mungkin bisa memberi kebahagiaan, tetapi semua itu tidak akan
membuat kita benar-benar bahagia karena hati kita merasa bersalah.
===
Kanji Kasih
“Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!”
—1
Korintus 16:14
Saya suka kanji. Bukan
tajin atau bahan untuk mengeraskan pakaian ya, melainkan abjad Jepang yang
teradaptasi dari aksara Mandarin atau China.
Ternyata
saya baru tahu (betapa banyak hal yang mungkin belum kita ketahui) bahwa aksara
Mandarin di China untuk kata kasih
atau cinta sudah berubah ke bentuk yang lebih simpel, meskipun di
Jepang sendiri bentuknya masih tetap. Ada bagian yang dihilangkan atau
disederhanakan, yaitu suatu bagian dari aksara tersebut yang apabila berdiri
atau ditulis sendiri berarti hati.
Seolah hal itu pun mempengaruhi manusia—terutama masa-masa kini—di dalam
mengerjakan, menerima atau mengalami sesuatu sudah kurang memakai atau tanpa
hati. Tanpa kasih. Hilang makna.
Kabarnya hal itu—juga untuk beberapa
aksara Mandarin lainnya—terpaksa dilakukan supaya pembelajaran terhadap
penulisan aksara Mandarin mudah dilakukankarena dengan sedikit goresan
dibandingkan bentuk sebelumnya yang lebih banyak serta mungkin rumit dan perlu
waktu berulang-ulang memakainya agar khatam.
Sederhana itu satu hal seperti kata
sebuah kutipan, “Everything should be
made as simple as possible, but not simpler (terj. bebas: Buatlah segala
sesuatunya sesederhana mungkin, namun janganlah ala kadarnya).” Kalau ala
kadarnya atau terlalu menyederhanakan segala sesuatu, seperti halnya terhadap
aksara Mandarin itu, nilai klasiknya, arti artistiknya akan hilang.
Memang
pada kurun waktu tertentu, pemerintah China hampir memunahkan pemakaian aksara
khas negeri tirai bambu ini lalu menggantikannya dengan penggunaan alfabet
romawi. Namun, untung rencana jangka
panjang itu tak bertahan lama. Tetapi, pemakaian aksara Mandarin yang sederhana
tetap terlaksana sampai sekarang.
Saya ragu apakah di tengah zaman
serbacanggih saat ini, di kota-kota besar yang hiruk pikuk kehidupan dan
kesehariannya supercepat, apakah orang-orang masih mau dan melakukan sesuatu
dengan dan di dalam kasih? Apakah sekadar mengerjakan segala sesuatunya karena
order, jadwal, atau bahkan karena tak tahu mesti mengerjakan apa?
Saya
berharap kita dapat tetap mengerjakan segala sesuatu dalam kasih. Seperti
sapaan firman Tuhan hari ini dari rasul Paulus, “Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!” (1 Korintus 16:14). Dan
yang terpenting adalah: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Markus 12:30)
===
Kasih Setia Tuhan
● Hosea 1:1-12
Kita bisa mengonsepkan kasih Tuhan—seperti halnya mengonsep tentang Tuhan
sendiri—bahwa kasih-Nya penuh kesabaran, kasih-Nya mengampuni, dan sifat-sifat
kasih lainnya (lht. Galatia 5:22-23 dan 1 Korintus 13:1-13). Namun, mungkin
kita tidak akan benar-benar mampu menjelaskan atau memahami secara sepenuhnya
kasih Tuhan. Seperti halnya kita bisa sepenuhnya merasakan, mengalami, menghirup
angin atau udara atau hawa AC, tetapi untuk benar-benar menjelaskan secara
tepat bentuknya, arah datang dan perginya, kita tidak akan bisa. Demikian juga
kita hanya bisa sepenuhnya merasakan, mengalami kasih-Nya, serta meneruskannya
kepada orang-orang.
Mungkin dalam memahami kasih Tuhan itu seperti ketika santo Agustinus
berupaya mencari tahu atau berusaha sepenuhnya memahami Trinitas
(ke-Tritunggalan Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus). Terkisah bahwa
saat berusaha memahami Trinitas, santo Agustinus berjalan-jalan di pantai. Di
sana ia melihat seorang anak kecil yang sedang bermain pasir dan membuat lubang
kecil. Tertarik dengan sesuatu yang dilakukan oleh si anak kecil, sang santo
bertanya, “Apa yang sedang kaulakukan, Nak?” Anak itu menjawab bahwa ia ingin
memasukkan semua air laut ke dalam lubang kecil tersebut! Hal yang tidak
mungkin, bukan? Seperti itu jugalah bila kita mencerna sepenuhnya kasih-Nya.
Firman Tuhan menyapa kita hari ini tentang Nabi Hosea yang—atas perintah
Allah—memperistri Gomer, wanita sundal, dengan kasih yang tak masuk akal.
Kasih Allah begitu besar terhadap bangsa Israel, terhadap umat manusia,
terhadap kita. Kasih-Nya lebih besar daripada yang kita pikirkan. Bahkan saat
kita merasa tak layak mendapatkannya, kasih-Nya selalu ada bagi kita. Bukan
hanya saat segala sesuatu berjalan dengan baik, melainkan juga saat banyak hal
tak berjalan sesuai keinginan atau pikiran kita, kasih setia Tuhan selalu
tersedia.
Kita barangkali seperti “Gomer”, kita melacurkan diri pada uang,
dunia, kekhawatiran, kenajisan, pekerjaan, dan lainnya―hal-hal yang membuat
kita tidak mempunyai waktu untuk membalas serta meneruskan cinta-Nya. Padahal,
kita sudah menjadi milik Tuhan. Tetapi, kesetian Tuhan sebesar kasih-Nya. Jika
kita tidak setia, Dia tetap setia (lht. 2 Timotius 2:13). Buluh yang patah
terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan
dipadamkan-Nya (lht. Matius 12:20). Akhirnya, we will never fully understand
His love, but He fully understands to love us completely (kita tidak akan
mampu memahami kasih-Nya sepenuhnya, tapi Ia amat mengasihi kita sepenuhnya, terj.
bebas).
===
Kikir
“Orang yang kikir tergesa-gesa mengejar
harta, dan tidak mengetahui bahwa ia akan mengalami kekurangan.”
―Amsal
28:22
Saya tidak habis
pikir kalau ada orang yang terlalu kikir. Hemat adalah satu hal, tetapi kikir
itu hal lain. Saya menulis ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk
memberikan contoh serta mungkin kita bisa mempelajarinya.
Ada
seorang ibuyang berprofesi sebagai bos sebuah pusat kesehatan masyarakat atau
puskesmas. Dia dikenalamat sangat terlalu (penekanan ditambahkan) berhemat oleh
karyawan-karyawatinya, bahkan memperhitungkan perihal pengeluaran keuangan yang
terkecil sekalipun. Lampu-lampu yang menyala untuk ruangan yang tidak dipakai
harus dipadamkan. Begitu juga dengan AC. Bensin yang dipakai sebisa mungkin
yang bersubsidi. Lauk sisa kemarin yang masih bisa dipanaskan, maka alangkah
baiknya bila disajikan lagi untuk dimakan hari ini.
Sampai
pada suatu bulan, tibalah hari yang berbahagia untuk putra si ibu itu menikah.
Kabarnya, si ibu mengundang orang-orang yang mau datang saja. Menurut si ibu,
sayang kalau sudah mencetak dan mengirim banyak undangan,sedangkan pihak yang
diundang tidak datang. Jadi, beliau harus memastikan dan menanyakan sebisanya
terlebih dulu kepada calon-calon undangan apakah benar-benar pasti (sekali lagi
penekanan ditambahkan) akan datang?
Kemudian,
walaupun memang menyewa gedung untuk resepsi pernikahan di dekat pusat
perkotaan supaya terkesan ekslusif dan elegan, aula gedung yang dipilih terlalu
sempit untuk sekitar lima ratusan orang.Kasihan para tamu undangan yang datang
malam itu karena hampir saling berdesakan.Merekamesti berhati-hati saat
berjalan apalagi bilasambil membawa makanan karena takut bertabrakandengan
orang-orang yang berlalu lalang.
Raja Salomo berkata, “Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah
kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan (Amsal
11:24).” Saat kita terlalu kikir, kasihan orang-orang lain yang akan merasakan
dampaknya. Kita mungkin lupa bahwa segala sesuatu yang kita miliki merupakan
pemberian, anugerah dari Tuhan. Dan kita pun diingatkan untuk memberikan
persembahan persepuluhan (lih. Maleakhi 3:6-12). Tapi itu di Perjanjian Lama, tidak disebutkan di dalam Perjanjian Baru,
mungkin sebagian orang berpikir atau berkata. Ya, tapi bukankah di Perjanjian
Baru malah lebih lagi, yaitu menyerahkan segalanya (lih. Lukas 18:22)?
Nah,
sebagai penutup tulisan, karena topik renungan hari ini jangan kikir, tolong
kirimkan sejumlah uang ke rekening saya, ya. Becanda kok, tidak boleh kikir
senyum, ya.
===
Kolibri
“Namun demikian Aku mencela engkau, karena
engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula.”
—Wahyu
2:4
Saya ingin
membagikan sebuah rahasia. Tentu banyak orang suka rahasia, bukan? Rahasia
tersebut adalah tentang burung kolibri atau hummingbird.
Ada rahasia apa?
Makanan utama
burung yang bisa terdengar ber-humming atau
bersenandung saat terbang sesuai dengan namanya itu adalah nektar. Nektar
adalah cairan manis pada bunga yang biasanya diserap oleh lebah. Nektarjuga
merupakan bahan utama untuk madu.
Sekalipun nektar
cairan manis, tapi sebenarnya kolibri tidaklah mempunyai indera pengecap untuk
merasakan rasa manis. Jadi, bagaimana burung itu bisa merasakan manisnya rasa
nektar?Ternyata, kolibri memiliki reseptor responsif terhadap gula yang
biasanya digunakan oleh hewan-hewan vertebrata (bertulang belakang), termasuk
ayam, untuk mendeteksi rasa umami atau
rasa gurih dalam suatu makanan. Nah, reseptor terhadap umamiyang pada ayam maupun unggas lain gagal merespons rasa manis
(gula atau nektar tadi), lain halnya dengan reseptor umami milik kolibri yang bisa, bahkan terhadap pemanis buatan.
Ternyata kolibri
mampu beradaptasi untuk memperoleh kembali kemampuan mengecap rasa manis.
Sebuah kemampuan yang telah hilang pada burung-burung lain. Menurut ilmuwan di
Monell Chemical Senses Center, Peihua Jiang, “Di saat banyak spesies kehilangan
fungsi reseptor mereka, ini [kemampuan reseptor kolibri mengecap rasa manis]
satu-satunya contoh yang menunjukkan bahwa reseptor tersebut bisa difungsikan
ulang [beradaptasi].”
Kita pun mungkin
selama ini atau sampai saat ini merasa telah kehilangan rasa manis dalam kehidupan kita atau dalam apa pun yang kita
lakukan. Tak bersemangat bertemu orang lain. Tak ada semangat bahkan dalam
melakukan hal terkecil sekalipun. Tapi, semoga seperti halnya burung kolibri
tadi, bersama Tuhan kita mampu beradaptasi di dalam segala situasi, kemudian
menemukan kembali, bahkan membuat hal-hal
yang manis di dalam kehidupan ini.
Sehingga, seperti
burung kolibri atau hummingbird tadi
yang mampu beradaptasi untuk memperoleh kembali kemampuan mengecap rasa manis,
kita pun mampu melakukannya.Hingga kita pun mungkin akan ber-humming, bersenandung lagi seperti
burung kolibri, bersukacita saat melakukan apa pun. Hal terkecil
sekalipun.Sehingga, ada rasa manis yang
kita temukan, kita dapatkan. Lalu, membagikan rasa manis (kebahagiaan, sukacita, semangat, kasih, dan lain-lain)
itu bersama dengan orang lain.
===
Kontrak
“TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala
dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau
mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan
dengan setia.”
―Ulangan
28:13
Seorang teman,
sebut saja inisialnya PR, menceritakan bahwa walaupun dia telah bekerja selama bertahun-tahun,
kurang lebih tujuh tahun, sebagai karyawan di sebuah institusi.Namun, dia masih
berstatus sebagai pekerja kontrak.
MemangPR
mengatakan dan mengaku pula bahwa mungkin sebenarnya dia sendirilahyang
menyebabkan lembaga tersebut tidak mengangkat-angkatnya menjadi karyawan tetap
karena sudah lama belum bisa mengoperasikan komputer (melek terhadap update teknologi informasi), membuat
sistem perencanaan, dan tidak fokus saat bekerja.Tetapi,semestinya PR sudah
layak untuk menjadi staf tetap―mengingat masa kerjanya yang bisa dibilang cukup
lama dan loyal. Namun, sampai detik ini pun, dia belum diangkat ke dalam
keluarga besar perusahaan tersebut sebagai karyawan tetap.
Membaca firman Tuhan di atas hari
ini, kebanyakan dari kita menyukainya dan memegang teguh terhadap janji-Nyaitu
bahwa Tuhan akan mengangkat kita menjadi kepala dan bukan ekor, bahwa kita akan
tetap naik dan bukan turun―bila kita mendengarkan dan melakukan perintah-Nya
dengan setia. Namun pertanyaan kejujurannya, bagaimanakah keadaan kerohanian
maupun kekristenan kita saat ini?
Apakah
kita “masih seperti yang dulu” atau status
quosetelah bertahun-tahun atau beberapa lama ‘mengenal’ Tuhan Yesus? Atau,
kalau boleh kita analogikan dan bertanya kepada diri sendiri, apakah kita masihkaryawan kontrak padahal seharusnya
sudah menjadi pegawai tetapbagi-Nya
di dalam pelayanan karena kita sudah bertahun-tahun mengikut Diaserta menjadi
orang Kristen?Kitab Ibrani 5:12 dapat menjadi peringatan bagi kita: “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut
waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan
asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan
makanan keras.”
Semoga kita dapat menjadi pribadi
yang makin baik. Oliver Cromwell berkata, “He
who stops being better stops being good (terj. bebas: Orang yang berhenti berubah makin baik, maka dia akan
berhenti untuk berbuat baik).”
===
Kue yang Pertama
● Markus 10:35-45 (Lukas 9:46-48)
Saya agak cemburu dan kurang setuju dengan pertanyaan yang biasanya
ditujukan kepada seseorang yang berulang tahun. Saat setelah ia meniup lilin
dan akan memotong dan membagikan kuenya, ada pertanyaan: “Hayo, kue (potongan)
pertamanya untuk siapa?”
Hal itu mungkin dapat menimbulkan iri hati, sejentik kekesalan yang
berkesan mendalam, atau bermacam-macam perasaan lainnya di dalam hati
orang-orang yang datang dan ikut merayakan. Mungkin tidak bagi Anda, tetapi
saya sungguh kurang sependapat dengan adanya pertanyaan itu. Sebaiknya tidak
perlu bertanya dan membeda-bedakan seperti itu. Tidak ada kue pertama, sebab
kue tersebut utuh dan untuk bersama-sama.
Dalam surat Markus 10:35 – 45, Yakobus dan Yohanes meminta kepada Tuhan
Yesus, “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang
lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu (ay. 37)”.
Tetapi, Tuhan Yesus menjawab, “Tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di
sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada
orang-orang bagi siapa itu telah disediakan (ay. 40).”
Juga, dalam Lukas 9:46 – 48, terhadap pertengkaran di antara
murid-murid-Nya tentang yang terbesar di antara mereka, Tuhan Yesus mengetahui
isi hati mereka dan mengingatkan, “Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku,
ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang
mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang
terbesar (ay. 48).”
Kelihatannya Tuhan mungkin pernah membeda-bedakan, tapi Dia juga tidak
membeda-bedakan. Hanya Bapa di surga yang memiliki hak preogatif itu.
Anugerah bergantung pada pihak yang memberikan―bukan pada yang diberi atau
menerima―anugerah. Jadi, lain waktu saat Anda sekiranya berulang tahun dan
ditanya, “Hayo, untuk siapa kue pertamanya?”, sebaiknya Anda menjawab, “Tidak
ada kue pertama. Semuanya mendapat potongan pertama karena yang utama bukanlah
tentang kue atau menerima dan memakan kue ini, melainkan semuanya mau datang ke
sini turut merayakan dan kebersamaan kita.”
Tuhan Yesus adalah roti hidup, dan Ia adalah Yang utama dan pertama untuk
semua umat manusia.
===
Landak Mini
“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas
hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.”
―Mzm.
37:8
Anda mungkin
tentu tahu tentang adanya seekor hewan peliharaan yang berupa landak mini? Ya,
seekor landak mini. Ada juga orang-orang yang mau memeliharanya, lho. Bukan
landak yang besar secara umumnya, tapi landak mini. Apabila secara tiba-tiba
mendengar suara atauintonasi yang kecil sekalipun, secara tiba-tiba juga landak
mini itu akan memberdirikan duri-duri yang memang sudah tercipta ada tertancap
alami di tubuhnya.Mengapa? Karena waspada dan merasakan bahaya yang mengancam.
Padahal, mungkin tidaklah ada ancaman atau bahaya yang menghadang hewan itu.
Hewan itu sangat sensitif sehingga
memasang pertahanan yang sepertinyaterlalu berlebihan. Tetapi, karena takut
atau merasa terancam, seolah-olah menjadi marah dan membuat pertahanan yang
mungkin tidak perlu.
Firman Tuhan hari
ini menyapa kita melalui mazmur raja Daud di dalam Mazmur 37:8 supaya kita
berhenti marah dan meninggalkan panas hati: “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu
hanya membawa kepada kejahatan.”
Kadang kala,
bahkan mungkin sering kali kita cenderung bersikap atau bertindak seperti
landak mini tadi. Kita berupaya berjaga-jagadan mewaspadai setiap hal yang
terjadi, setiap gerak-gerik, ataupun setiap orang yang kita temui dengan cara
memasang duri-duri pertahanan yang mungkin
kita miliki: sikap-sikap ketus, perkataan-perkataan pedas, penolakan-penolakan,
dan hal-hal lainnya yang malah akan berpotensi melukai orang lain walaupun
membuat kita merasa aman,meskipun semu. Padahal mungkin tidaklah perlu
pertahanan diri yang berlebihan seperti itu.Toh tidaklah ada bahaya atau
ancaman terlalu besar yang mendatangi kita. Kita mungkin hanya merasa takut di
dalam diri sehingga marah.
Ingat, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih
yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan
barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih (1Yoh 4:18 ).”
Jadi, saat kita
hendak marah, janganlah kita seperti landak mini. Sangat sensitif. Marahlah
terhadap hal-hal yang memang saatnya patut kita marahi. Jangan takut. Itu
pertanda Anda peduli dan benar. Dan daripada memiliki rasa amarah yang besar,
lebih baik milikirasa semangat yang besar untuk melakukan hal-hal yang benar;
atau sekadar mengerjakan hal-hal yang kecil,tapi dengan rasa cinta yang besar.
Jangan ber-“landak mini” terhadap tulisan atau firman Tuhan hari ini, ya.
===
Lupa Daratan
“Tetapi barangsiapa tidak memiliki semuanya
itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa dosa-dosanya yang dahulu
telah dihapuskan. Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh,
supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh.”
―2
Ptr.1:9-10 a
Di dekat pedesaan
nelayan, sebuah musibah kecelakaan kapal yang bertabrakan dengan kapal lainnya
terjadi. Banyak penumpang yang berupaya menyelamatkan diri di dekat pantai itu.
Beruntung, karena sejumlah besar nelayan sedang pulang dari melaut melihat
peristiwa itu, mereka berusaha menolong para penumpang tersebut.
Singkat cerita,
media massa mengangkat topik berita tentang kepahlawanan para nelayan itu,
meskipun mereka hanya mampu menolong beberapa orang karena memang sejumlah
korban tidak bisa berenang.
Tergerak untuk
memperlengkapi para nelayan agar lebih andal lagi dalam hal pemberian pertolongan,
maka pemerintah mengadakan pelatihan-pelatihan SAR (search and rescue) bagi seluruh nelayan di pedesaan itu. Tak
tanggung-tanggung, pemerintah bahkan menyelenggarakan pelatihan tingkat
internasional dengan mendatangkan pembicara-pembicara berpengalaman dari Jepang
maupun Inggris karena dua negara itu terkenal akan kecepatan, ketanggapan, dan
ketangkasan penanggulangan bencana maupuntindakan SAR.
Ketika sedang
salah satu sesi seminar, sekonyong-konyong seseorang masuk ke dalam ruangan
pelatihan dan berseru, “Tolong! Ada kecelakaan kapal, banyak yang tenggelam!
Cepat tolong!” Namun, bukannya para peserta―yang semuanya terbilang
nelayan―segera beranjak dari ruangan dan menolong, mereka malah menyuruh
panitia untuk mengeluarkan orang itu
karena mengganggu ketenangan, ketertiban, dan kekhidmatan sesi seminar
internasional itu. Mereka lupa diri bahwa mereka pun pernah menolong; terbuai
dengan pelatihan-pelatihan yang justru mungkin tidaklah mereka perlukan.
Kadang kita
seperti itu. Kita menerima banyak hal, beragam pelatihan, atau hal-hal lainnya
tapi melupakan apa yang semestinya kita lakukanataupun jati diri kita. Lupa daratan. Firman Tuhan hari ini
menegur kita untuk berusaha secara sungguh-sungguh supaya panggilan dan pilihan
kita makin teguh (2 Petrus 1:10 a).Apabila kita hendak menyombongkan diri atau
pongahtentang apa pun yang telah kita lakukan, alami, atau miliki maupun
melupakan siapa diri kita sebenarnya di hadapan Tuhan dan mungkin juga manusia,
bacalah Efesus 2:1-10. Atau 1 Korintus 1:26-29.
===
Mesin Motor
“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!”
―Mzm.
46:11a
Pada 10-12 Juli
2013 yang lalu, saya mengikuti sebuah retret dari tempat saya bekerja. Retret
iu berlangsung selama tiga hari dua malam di Puncak, Jawa Barat. Saya antusias
terhadap acara ini serta menanti-nanti, berharap-harap mendapatkan sesuatu dari
Tuhan. Namun, beberapa orang di antara para peserta terlihat dari roman wajah
serta sikap mereka sepertinya mengeluhkan,Mengapa
begitu lama waktu untuk retret ini?Mereka setengah hati mengikutinya
sehingga kurang menikmati isi-isi acara yang diadakan. Anda mungkin juga
bertanya-tanya, Ya, apa sih perlunya
retret?
Retret yang
diikuti 900 orang lebih (jarang ada perusahaan yang mengirimkan peserta sebanyak
itu ikut retret, apalagi untuk selama beberapa hari) dari tempat saya bekerja
tersebut bertema: “Be still and know that
I am God” dari Mazmur 46:11a dalam bahasa Inggrisatau Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Tuhan.
Sesuai dengan tema,
kami diajak untuk berdiam diri sejenak.Salah
seorang pembicara dari Singapura untuk retret, Rev. Christopher Chia mengatakan
bahwa be still atau berdiam diri
bukanlah berarti don’t do nothing (tidak
mengerjakan apa-apa), melainkan don’t do
nothing without God atau makin mempercayai Tuhan dan menyertakan-Nya dalam
tiap aspek kehidupan kita atau apa pun yang kita kerjakan). Retret ini juga
menjadi “kesempatan”untuk menarik diri dari
bisingnya aktivitas-aktivitas atau rutinitas-rutinitas yang telah terbiasa kami
jalani. Lalu, mengambil waktu tiga hari tersebut untuk memperbaruisemangat
melalui firman Tuhan dan pengajaran-pengajaran yang meneguhkan kembali komitmen
hubungan kami dengan Tuhan, makna alasan kami bekerja, dan lain-lain.
Anda tahu, sehari
sebelum tulisan ini dibuat, saya hendak menserviskan sepeda motor saya ke
bengkel karena salah satu bagian mesin (laher noken as-nya) sepertinya rusak.
Suara mesinnya kasar. Tetapi, kalau Anda mendengarkannya di antara bisingnya
kendaraan-kendaraan lain di jalan, mungkin suara kasar atau rusaknya mesin
tersebut takkan terdengar. Malah akan terdengar sama saja dengan suara sepeda
motor pada umumnya. Saya perlu mendengarkannya di tempat atau jalanan yang sepi
supaya bisa membedakan dan tahu keadaan mesin motor saya. Seperti itulah kita
memerlukan waktu hening sejenak, berdiam diri dari semua ributnya aktivitas
kehidupan agar bisa mengetahui keadaan hati kita, apa yang sedangkita alami,
supaya kita pun dapat menentukan apa yang sebaiknya kita perbuat, atau meneguhkan
kembali arti hidup, makna pekerjaan atau apa pun profesi kita.
Jadi, untuk
pertanyaan apakah perlu retret, Anda tentu tahu jawabannya, bukan?
===
Nama Orang Benar
● Amsal 10:7
Kenangan kepada orang
benar mendatangkan berkat, tetapi nama orang fasik menjadi busuk. (Amsal 10:7)
Ketika Steve Jobs meninggal dunia pada 5 Oktober 2011, banyak orang yang
merasa kehilangan seseorang yang penting dan pemberi banyak sumbangsih bagi
dunia. Baik Bill Gates sampai warga biasa Jakarta maupun mungkin beberapa kita
yang tak memiliki sangkut paut dengan Steve Jobs, mengenang namanya saja
membuat haru karena hal-hal berfaedah yang telah dilakukannya di dalam
kehidupan serta bagi banyak orang.
Kita pun mungkin merasakan perihal yang serupa terhadap tokoh-tokoh dunia
yang berjasa besar. Apalagi kita pasti merasakan yang lebih kepada orang-orang
terdekat kita yang telah begitu menyentuh hati kita dan mengurbankan segudang
hal demi diri kita. Dan pernahkah kita saat mengingat nama mereka maupun
mengenang kisah hidup mereka, kita merasa damai dan diberkati? Ya, mungkin
pernah. Namun sebaliknya, jika ada orang-orang atau individu yang pernah
berbuat jahat, terlepas terhadap siapa mereka melakukannya, barangkali kita
akan merasa kurang berkenan. Terngiang pada nama mereka sekalipun dapat membuat
kita mengenang hal-hal yang pernah mereka perbuat.
Kita tentu tahu peribahasa lama berikut ini, bukan? Bahwa gajah mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati
meninggalkan nama. Raja Salomo dalam Amsal 22:1 mengatakan, “Nama baik lebih
berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak
dan emas.” Ini adalah wejangan paling bernilai yang mungkin dapat kita
miliki. Bukan tentang nama yang indah semata, melainkan saat orang-orang
mengingat kita, mereka akan terkenang akan hal-hal yang baik. Bukan pula
tentang diterima atau dikasihi oleh semua orang, melainkan ‘cukuplah’
dikasihi oleh keluarga, orang-orang terdekat, bahkan diri sendiri, serta Tuhan.
Kehidupan ini hanya sementara, bukan? Usia kita mungkin bisa saja selama
52, 56, atau 72 tahun, ataupun lebih. Tetapi bagaimanapun, kita harus menyadari
bahwa kita akan meninggalkan dunia ini. Namun, nama kita dapat terkenang
melebihi batas waktu usia kita. Semoga sesudah kita tiada, nama kita tetap memberkati
orang-orang yang mengenangnya, seperti saja halnya ketika kita masih hidup di
dunia.
===
Once You're Born
● Yesaya 49:15, Mazmur 103:13
Dalam sebuah film berjudul Once You’re Born, di dalamnya diceritakan
tentang seorang anak kecil yang terjatuh ke dalam lautan luas saat sedang
berlayar dan berpetualang memakai kapal bersama ayah dan pamannya. Ketika
ayahnya baru menyadari bahwa anaknya terjatuh di luar kuasa dan
sepengetahuannya, seketika itu pula ayahnya berlari ke atas dek, berteriak,
menyuruh abangnya memutar arah balik, meraung-raung dalam tangisan, dan ingin
mencebur ke laut mencari anaknya―bahkan mungkin menggantikan posisi anaknya.
Sementara itu, anaknya mengambang sendirian di tengah lautan dan berseru-seru,
“Papa, Papa! Mama, Mama!”
Dalam suatu kejadian di depan rumah tetangga, saya juga pernah menyaksikan
seorang balita yang entah bagaimana terperosok dan berada di dalam selokan.
Ibunya yang baru menyadari ketika mendengar suara khas tangisan anaknya sambil
berulang-ulang berseru, “Mama, Mama!”, segera meminta pertolongan orang-orang,
bahkan mungkin juga ingin menggantikan posisi bayinya itu.
Dalam Yesaya 49:15 dikatakan, “Dapatkah seorang perempuan melupakan
bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia
melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” Kemudian, dalam Mazmur
103:13 tertulis, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan
sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Bahkan, dalam sebuah
lagu dikatakan bahwa kasih-Nya lebih daripada kasih seorang ibu. Bapa di surga
lebih peduli terhadap kita, lebih mengetahui rancangan yang terbaik untuk kita,
dan tangan-Nya senantiasa menopang kita bahkan semenjak kita di dalam kandungan
(Mzm. 22:10). Kasih-Nya lebih besar daripada kasih seorang ibu atau ayah
manapun, bahkan pada saat kita tiada menyadarinya, bukan?
Kadang mungkin lebih berat bagi Bapa di surga untuk melihat anak-anak-Nya
tersiksa atau menderita. Seperti halnya ayah dan ibu yang ingin menggantikan
posisi anak-anak mereka tadi, Tuhan mungkin ingin berada di posisi kita, turut
merasakan, serta menggantikan posisi kita. Karena itulah Ia mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya kita yang percaya kepada-Nya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Juga, kadang Ia lebih berharap
anak-anak-Nya mau percaya kepada-Nya, lebih daripada anak-anak-Nya sendiri
untuk percaya kepada-Nya. Oh ya, anak di dalam film dan bayi pada kejadian
nyata tadi, berhasil diselamatkan.
===
Pelatih Rendah Hati
• Mazmur 124 & 131
Pada 15 November 2003, di arena Alodome (San Antonio, Texas), Amerika
Serikat, petinju hebat Filipina, Manny Pacquiao bertanding melawan petinju asal
Meksiko, Marco Antonio Barrera. Setelah menerima pukulan bertubi-tubi, pada
ronde ke-11, akhirnya pihak sudut atau pelatih Barrera meminta wasit untuk
menyudahi pertandingan. Mengapa? Karena Barrera terlihat sangat kelelahan, tak
berkutik, bahkan mungkin akan terjerembap dan terluka parah. Pelatihnya dengan
rendah hati menghentikan pertarungan dan memeluk Barrera di atas ring dengan
air mata.
Seperti halnya pelatih yang rendah hati mengakhiri pertandingan untuk anak
didiknya terhadap lawan yang ganas, mungkin demikian juga dengan Tuhan. Dia akan
rela dan rendah hati memeluk kita untuk menghentikan kita melawan musuh, diri
kita sendiri, atau bahkan Dia… dengan air mata.
Kadang manusia adalah makhluk terganas, kesia-siaan (lht. Mzm. 39:5), dan
seperti kuda liar yang suka memberontak atau melawan (lht. Kel. 32:25 &
Mzm. 32:9). Kadang kita setiap waktu memusuhi diri sendiri, menghakimi siapa
pun, sok melawan si jahat, angkuh dan marah terhadap Tuhan. Apakah yang membuat
kita selalu seperti itu sepanjang waktu? Padahal, kita tidak mempunyai banyak
kekuatan, makhluk yang lemah, dan memerlukan Tuhan.
Berserahlah dan berharaplah kepada Tuhan (Mzm. 131:3a), maka Dialah yang
akan menggantikan kita melawan musuh (lht. Mzm. 35:1), mendamaikan kita
terhadap diri sendiri dan diri-Nya, dan ‘melemparkan handuk putih’ untuk
menghentikan kita dalam pertarungan yang penuh dengan keangkuhan hidup. Seorang
pelatih lebih tahu keadaan anak didik atau petinjunya. Tuhan amat maha tahu
keadaan umat dan anak-anak-Nya. Dia tidak akan membiarkan kita menerima
pencobaan yang melebihi batas kekuatan kita. Kadang menang berarti berserah dan
mau merendahkan diri. Seperti burung terluput dari jerat (Mzm. 124:7) dan anak
yang disapih di pangkuan ibunya (ps. 131:2), demikianlah Tuhan membebaskan dan
menenteramkan kita. Sungguh jauh lebih berharga disapih oleh Tuhan
daripada terpisah dari-Nya.
===
Perempuan Perintis
● Ulangan 28:56
Banyak hal awal yang dilakukan atau dirintis oleh para pria. Bisa
dihitung dengan jari kalau oleh perempuan. Bukannya menomorduakan kaum yang
diciptakan dari tulang rusuk―dekat dengan hatinya―Adam ini oleh Allah. Tetapi,
sepertinya para pria memang tercipta untuk mengawali sesuatu yang baru.
Christopher Columbus menemukan benua Amerika; SirEdmund Hillary yang pertama
kali mencapai puncak gunung Everest; Erik Weihenmayer adalah pria tunanetra
yang pertama kali mampu mendaki dan menaklukkan gunung itu juga.
Apakah ada wanita perintis signifikan, misalnya menaklukkan gunung Everest
itu? Ada. Dia adalah Junko Tabei asal Jepang, wanita yang pertama kali
menaklukkan puncak Gunung Everest! Dia berhasil mendaki puncak itu melalui
jalur Southeast Ridge (rute South Col) yang 99% nyaris mustahil dilalui!
Padahal, pada masa kecilnya, Junko Tabei memiliki paru-paru yang lemah dan
mudah sakit. Tinggi badannya pada masa dewasanya hanyalah kira-kira 145
sentimeter! Namun, kelemahannya menjadi kekuatannya; dan tinggi badannya tidak
menentukan ketinggian yang sanggup dia raih.
Firman Tuhan melalui Ulangan 28:56 mengingatkan kita, “Perempuan yang lemah
dan manja di antaramu, yang tidak pernah mencoba menjejakkan telapak kakinya ke
tanah karena sifatnya yang manja dan lemah itu…” Banyak orang yang mengenal dan
mengatakan carpe diem atau seize the day (tangkaplah hari ini),
tetapi mereka jarang melakukannya, malah sebaliknya hari-harilah yang
“menangkap” mereka. Hari-hari yang padat, penat, dan penuh. Membuat bosan,
jenuh, dan berpaku pada rutinitas.
Kapankah terakhir kalinya engkau melakukan sesuatu yang pertama kalinya?
Apakah engkau pernah melakukan sesuatu yang baru? Meskipun ada rasa takut,
engkau tetap mau mencobanya? Penulis Ambrose Redmoon berkata, “Keberanian
bukanlah tiadanya ketakutan, melainkan keyakinan akan sesuatu yang lebih
penting ketimbang rasa takut itu sendiri.” Pendaki gunung wanita Alison
Hargeaves berkata, “Lebih baik satu hari mengaum (pemberani seperti harimau)
daripada ratusan hari mengembik (penakut bagai kambing) {terj. bebas}.”
===
Pilot
“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk
dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga…”
(Pengkhotbah
9:10 a)
Rutinitas, oh
rutinitas…Sebagian besar orang mengeluhkannya, beberapa orang lainnya
menjadikannya sebagai alasan saat mereka merasa kelelahan, tak berdaya
melanjutkan tugas yang sudah menjadi tanggung jawab di pundaknya. Termasuk
saya. Saya masih berjuang untuk merangkul
rutinitas agar menjadi rekan saya
dalam bekerja. Chris Guillebeau yang tinggal delapan negara di dunia lagi yang
belum tapi akan dikunjunginya berkata, “Quotas
and deadlines are your friends(Patokan serta tenggat waktu adalah sahabat
Anda; terj. bebas).”
Saya yang sedang bekerja di sebuah
sekolah dan memang masih berposisi di bidang penulisan, namun kadang dapat terasa
begitu menjenuhkan karena apa yang saya kerjakan menjadi rutinitas.Sehingga,
kadang juga terasa seperti itu saat akan melakukan salah satu hobi saya, yaitu…
menulis. Ya, selain saya menulis di kantor, saya pun menulis di rumah. Ingin
menulis setiap hari. Ella Fiztgerald berkata, “The only thing better than singing is more singing (Satu-satunya
hal yang lebih baik daripada bernyanyi adalah bernyanyi lebih lagi.)” Jika
boleh mengaplikasikannyapada penulisan: satu-satunya hal yang lebih baik
daripada menulis adalah menulis lebih lagi.
Bayangkan bagaimana bila saat para
penumpang pesawat telah memasuki badan pesawat semua, lalu tiba-tiba sang pilot
mengumumkan dari pengeras suara, “Mohon maaf, Bapak-bapakdan Ibu-ibu, para
penumpang sekalian, saya tidak bisa terbang hari ini. Saya bosan dengan
rutinitas yang ada, menerbangkan pesawat ini.”
Firman
Tuhan mengajak kita untuk bekerja dengan keras (lih. Pengkhotbah 9:10). Juga,
berusaha memberikan kinerja yang terbaik. Di tengah hiruk pikuk dan rutinitas,
kita sebenarnya bisa bekerja dengan antusias.
Kita
mungkin sering mendengar bahwa life goes
onatau theshow must go on(Kehidupan
terus berjalan. Pertunjukan harus terus berlangsung). Hal itu dituntut terutama
apabila kita mau dianggap bekerja secara profesional. Namun, alangkah lebih
baiknya bila semua yang kita lakukan ada maknanya, apalagi dengan pernyertaan
dan perkenanan-Nya.Kiranya Dia pun akan terus memberkati kita dengan
anugerah-Nya melalui pekerjaan maupun keseharian kita.Tak ada suatu hal pun yang
sekadar rutinitas apabila kita mempunyai hati dan benar-benar memilih untuk
mencintai sesuatu yang kita kerjakan itu.
===
Pohon
Baru-baru ini,
hiasan berupa pohon ataupun tiang menyerupai bentuk pohon yang terpampang di
halaman depan dua buah mall mearik perhatian saya.Mall itu sebut saja—ya karena memang namanya jadi saya sebut
saja—Living World Alam Sutera dan Lippo Mall Puri.
Hiasan itu bukan
pohon sekadar pohon atau tiang yang mirip pohon, melainkan dibuat hampir
semirip pohon terang atau pohon Natal yang menjulang ke atas dengan bentuk
kerucutnya. Mungkin pihak mall itu secara sengaja menghiasi halaman depannya
itu untuk nanti saat malam-malam Natal supaya tak perlu repot-repot lagi
memasang atau mencari-cari pohon yang tinggi untuk menerangi, menghiasi
sekitaran mall.Apalagi sebentar lagi pun Desember, menjelang Natal.
Bicara tentang
pohon Natal, istri saya senang sekali mempersiapkan—beberapa harisebelum hari H—pohon terang serta menghiasinya dengan ornamen-ornamen
atau pernak-pernik penghias seperti lampu-lampu kecil yang kelap-kelip nyalanya
berwarna putih, merah, biru atau hijau, dan kuning. Lalu, ada
bintang-bintangan, kapas-kapas agar mirip salju, ataupun kado-kado yang mungkin
tanpa isi serta kartu-kartu ucapan yang juga mungkin sudah bertahun-tahun
dipakai. Kartu-kartu ucapan selamat Natal kiriman dari sanak saudara serta
kerabat. Dan entah kado atau kartu itu sudah melewati perayaan Natal yang
keberapa kali.
Istri saya juga
sering mengajak untuk ikut menghiasi pohon itu, mempersipkan apa-apa saja yang
perlu, setidaknya sekadar ikut merasakan rasa gempita atau semangat Natal
seperti yang dia rasakan. “Dari dulu aku
seneng banget ngerayain Natal,” katanya suatu kali.
Tapi, entah,
rasanya saya tidak seperti itu. Biasa saja merayakan Natal. Dari dulu.
Mungkin karena
sejak kecil dulu di keluarga saya, arti Natal biasa-biasa saja, dan kami
merayakannya biasa-biasa saja, bahkan bagi saya sendiri Natal artinya sendu.
Mengapa? Ya, mungkin karena tanpa arti spesial saja. Tanpa makna.
Namun, saya juga
selalu ingat saat-saat ketika Mamak (sebutan
untuk ibu saya dalam keluarga kami yang keturunan Batak; ibu saya Batak Toba,
ayah Batak Karo, dan kami empat anak-anaknya lahir semua di pulau Jawa) memasang,
merapikan, menghiasi pohon Natal sekitar seminggu sebelum 25 Desember, lalu
membiarkannya menyala dengan kelap-kelip lampunya tiap malam yang terlihat pula
apabila dari luar rumah. Bahkan, sampai melewati tahun baru pun Mamak membiarkan pohon Natal kami itu
tetap menyala. Mungkin terangnya terasa menenangkan.Apa yang dilakukan Mamak mungkin hampir persis dengan yang
dilakukan oleh istri saya.
Kadang saya
membantu Mamak menghiasi, tak banyak
sih. Kadang pula saat Natal tahun berikutnya, hanya ingin menikmati karya
gubahan Mamak untuk pohon terang di
rumah kami. Tapi, jarang, bahkan mungkin belum pernah saya membantu istri untuk
menghiasi pohon terang kami.
Natal mungkin
punya arti biasa buat saya. Tetapi, entah semenjak melihat-lihat hiasan pohon di
kedua mall tadi, atau kalau melihat ada kelap-kelip lampu yang mirip untuk
pohon Natal, saya jadi merenungkan arti Natal sebenarnya. Setidaknya, artinya
bagi saya pribadi.
Sebenarnya, Natal
bisa saja menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga, bahkan sudah
sepatutnya menikmatinya bersama mereka. Di manapun dan bagaimanapun caranya.
Mungkin seperti judul bukunya Bill Duncan, You
Had to Be There (Anda Harus Ada di Sana). Berada bersama keluarga. Sekadar
menikmati waktu yang bisa saja terasa spesial dan sangat berarti bagi mereka,
atau beberapa dari antara mereka.
Saya juga baru
sadar mengapa saya begitu suka dan senang saat melihat pohon-pohon di mall-mall
tadi, atau melihat lampu-lampu hias yang hanya berwarna kuning pun yang
terpasang pada hiasan-hiasan berbentuk hewan-hewan di pinggiran sebuah jalan
suatu kompleks perumahan.
Mungkin bagi
Anda, atau beberapa orang, apalah arti pohon atau lampu-lampu itu. Tapi, semua
itu bisa mengingatkan saya akan lampu-lampu kecil saat malam-malam berpohon
terang di dalam rumah. Mengingatkan akan waktu-waktu bersama keluarga. Baik
saat bersama keluarga dengan Mamak di
rumah di Surabaya waktu dulu, maupun kini saat sudah berkeluarga bersama istri
dan anak di rumah kami.
Begitu juga saat
melihat pohon-pohon yang dibentuk mungkin untuk pohon Natal di pusat-pusat
perbelanjaan tadi, mengingatkan saya akan pohon-pohon terang yang dipasang oleh
Mamak ataupun istri saya. Terlebih,
mengingatkan saya—dan semoga saja kita
semua—untuk mau menikmati, merayakan momen-momen seperti ini bersama
keluarga, atau siapa pun yang dapat menjadi dan kita anggap seperti keluarga
sendiri. Sesederhana apa pun tempatnya, perayaannya. Bukankah Tuhan Yesus sendiri pun terlahir di palungan yang sederhana…?
Saya ingin
mengakhiri dengan sebuah puisi, yang juga tentang pohon. Semoga memberkati
kita, walau tanpa terjemahan, ya.
Trees
—by
Joyce Kilmer
I THINK that I shall never see
A poem lovely as a tree.
A tree whose hungry mouth is prest
Against the sweet earth's flowing
breast;
A tree that looks at God all day,
And lifts her leafy arms to pray;
A tree that may in summer wear
A nest of robins in her hair;
Upon whose bosom snow has lain;
Who intimately lives with rain.
Poems are made by fools like me,
But only God can make a tree.
===
Polisi Tidur
“Pada hari ini, jika kamu mendengar
suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!”
―Ibrani
4:7 b
Tidak ada sesuatu
pun yang kebetulan, bukan?Menarik dan lega, bukan,saat menyadarinya?Mulai dari
hal yang sepelesampai yang gede tak ada yang kebetulan.
Beberapa
hari belakangan ini, saya merenungkan polisi tidur. Apakah itu sepele? Bukan
polisi tidur, loya. Tetapi,permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang
untuk memperlambat laju kendaraan,terdiri dari satu ataudualebih gundukan di
sejumlah jalanan. Selain untuk memperlambat sepeda motor atau mobil, tujuan
pembuatan polisi tidur itu juga adalah supayapenyeberang jalan atau pejalan
kaki di sekitarnya lebih aman dan terhindar dari kecelakaan. Polisi tidur,
seperti halnya peraturan lalu lintas, adalah untukkebaikan kita dan orang lain
dan keamanan.
Nah, bukan hanya diperlukandi jalan,
rambu-rambu juga perludalam berpacaran.Hati nurani adalah “polisi tidur”,bahkan
mungkin bisa menjadipolisi bangun, ya. Batasan-batasan yang ada dalam berpacaran
bukanlah untuk membebani, tapi justru untuk membuat aman. Biasanya saat ingin
melanggar larangan-larangan, mungkin ada suara lembut di dalam hati yang ingin
didengarkan supaya ditaati atau dilakukan. Suara itu mengajak kita untuk
memilih hal yang benar, memperlambat ketergesa-gesaan kita, dan untuk menjaga
kekudusan.Ada banyak hal yang bisa kita kerjakan, namun yang terutama adalah
mendengarkan terlebih dulu apa kata Tuhan di hati.Suara yang pelan itu lebih
benar dan menenangkan daripada teriakan-teriakan keras yang merayu-rayu di
pikiran.
Tahun
2008 yang lalu, Dr. Andik Wijayapernah menuliskan bahwa6-20% pelajar SMU dan
mahasiswa pernah melakukan seks pranikah,lalu 93% remaja terjerembapke produk
pornografi,dan 2,5 juta aborsi terjadi pertahun di Indonesia… Tak terbayangkan
bagaimana dengan keadaan tahun empat tahun kemudian 2012 sekarang dan
tahun-tahun ke depan.
Firman
Tuhan hari ini mengingatkan, “Pada hari
ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu(Ibrani 4:7 b)!” Saat suara Tuhan melalui firman-Nya
atau Roh Kudus menegur dengan lembut supaya menjaga kekudusan hidup, dengarkan
dan lakukan. Jika peduli terhadap pacar, jagalah dia.Bekal konsumsi untuk
piknik yang dihabiskan sebelum sampai di tempat tujuan piknik akan terasa percuma,
bukan?Bekal untuk masa pernikahan akan
sayang, bukan, bila habis saat pacaran?
===
Pramugari
“Dan jika ada orang bertanya kepadamu:
Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya.”
(Lukas
19:31)
Setiap kali naik pesawat,
sebelum lepas landas, para pramugari akan menginformasikan maupun memperagakan
gerakan atau cara-cara penyelamatan, pemakaian masker oksigen ataupun pelampung
bila terjadi keadaan darurat. Beberapa penumpang menyimak dengan saksama tapi
entah penjelasannya atau pramugarinya; beberapa penumpang lainnya acuh tak
acuh,terbiasaatau hapalkarenakarena sudah terlalu sering naik pesawat.
Saat memperagakan cara-cara itu pun,
para pramugari mau bahkan kudu mendengarkan arahan petugas yang mengarahkan
melalui pengeras suara tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan
oleh para penumpang saat keadaan darurat. Para pramugari pemeraga itu menjadi jembatan atau penyampai pesan melalui
gerakan, dan harus menuruti sesuai arahan yang ada. Coba bayangkan kalau para
pramugari itu secara mengasal memperagakan semau diri mereka sendiri, tanpa
mendengarkan petugas pengarah, maka tentu para penumpang akan kebingungan, atau
bahkan akan fatal akibatnya seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadi, baik para pramugari itu maupun para penumpang mesti menuruti arahan yang
ada demi keselamatan dan kebaikan bersama.
Dalam Luk.19:28-35, Mat.17:24-27,
Yoh.6:1-13, murid-murid Tuhan Yesus mendengarkan dan menaati perintah-Nya.
Kalau mereka menolak apa yang Tuhan perintahkan, tujuan Tuhan takkan
kesampaian―baik terhadap rencana Tuhan, para murid itu sendiri, maupun
orang-orang lain yang ada.
Mungkin kadang-kadang (bukan kadang kala sebab walaupun hampir sama,
tapi menurut seorang teman, frasa kadang-kadangmenunjukkan
intensitas yang lebih sering) sulit sampai-sampai pikiran terasa melilit untuk
mendengarkan, apalagi menaati perintah Tuhan, baik berupa firman-Nya maupun
hati nurani kita. Namun, saat kita mau melakukannya—apa pun risikonya atau
kelihatan tidak mungkin sekalipun untuk dilakukan—pada akhirnya,kita akan
merasakan damai sejahtera di hati dan pikiran kita. Nah, bagaimana kita dapat
mengetahui bahwa itu adalah perintah atau suara-Nya? Well, seseorang pernah berkata, “Saya tahu bahwa saya tahu bahwa saya
tahu bahwa saya tahu.” Dan mungkin seseorang itu adalah Anda.
===
Renungan dan Ilustrasi
• Ayub 42:5
Ada seorang penulis yang menyatakan bahwa keunikan sebuah buku renungan
adalah tanpa menenggelamkan poin-poin pengajaran firman Tuhan ke dalam berbagai
ilustrasi yang berlebihan. Hal itu memang ada benarnya. Tetapi, kadang
peristiwa praktis atau pengalaman nyata dapat berbicara lebih dalam, lebih
kuat. W. G. Simms berkata, “The proverb answers where the sermon fails
(Praktik menjawab lebih baik daripada sekadar teori, terj. bebas).
Ketika Ayub menyadari, mengakui, mengalami, dan mengetahui secara langsung
(bhs. Inggris: firsthand), ia berkata, “Hanya dari kata orang saja
aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”
(Ayub 42:5). Mungkin bukan untuk selalu meminta jawaban atau melihat langsung
supaya mengerti atau percaya seperti ratu negeri Syeba terhadap Raja Salomo,
atau Rasul Tomas terhadap Tuhan Yesus, melainkan kenyataan akan berkesan
lebih mendalam dan lama daripada perkataan biasa. Rasul Petrus takkan
ingat Tuhan Yesus telah memperingatkannya bahwa ia akan tiga kali menyangkali
Dia sebelum ayam berkokok (Lukas 22:61). Para hawari (murid) Tuhan Yesus tak
akan ingat Ia telah mengatakan bahwa Ia akan bangkit dari antara orang mati
sebelum nyata-nyata Tuhan Yesus bangkit (Yohanes 2:22).
Saya bukan ingin mengatakan bahwa buku renungan tanpa ilustrasi itu salah
atau kurang baik. Saya juga bukan ingin memperbedakan buku renungan yang banyak
ilustrasi dengan menyatakan bahwa buku tersebut lebih bagus. Mungkin keputusan
dan pilihan ada di tangan masing-masing orang atau pembaca ingin membaca yang
mana, buku renungan mana yang lebih me-rhema bagi mereka, lebih mengena.
Bagaimanapun, satu hal yang patut disetujui adalah perkataan selanjutnya
dari penulis tadi bahwa kita diajar untuk makin lama makin bergantung kepada
pimpinan Roh Kudus lebih daripada pada buku renungan itu sendiri sehingga saat
menghadapi berbagai masalah yang datang silih berganti dalam kehidupan, kita
akan siap menghadapinya bersama dengan Tuhan. Mengapa? Karena kita kian
mengenal Tuhan melalui pergaulan hari demi hari dalam saat teduh kita. Ya,
apakah kita setia bersaat teduh?
===
Ruang Tunggu
“Adapun Allah, jalan-Nya sempurna…”
(2
Samuel 22:31)
Siapa yang suka
berada di ruang tunggu?Banyak orang yang tidak suka mengantre di ruang tunggu.
Entah di stasiun kereta api, bandara, apalagi di klinik dokter gigi yang lama
sekali membuat kita lama menanti nama kita tiba dipanggil.
Hewan
saja sanggup mengantre, misalnya sudah pasti rombongan bebek.Atau seperti yang
pernah saya lihat pada sebuah poster bertuliskan Take Turns (Antre Dong) bergambar segerombolan penguin yang
menunggu giliran untuk mencebur ke laut di Kutub Selatanhendak mencari ikan
atau sekadar berenang.
Jika
kita mengamati kehidupan sejumlah tokoh di dalam Alkitab, seperti Yusuf atau
Daud, mereka rela dan memilih untuk mau berada di dalam ruang tunggunya Allah. Allah rindumembentuk mereka dalam proses-Nya
sehingga menjadi seperti yang Ia inginkan, dansebab Dia lebih mementingkan
karakter mereka dalam perspektif kekekalan daripada segala keberhasilan yang
sekiranya dapat mereka raih seumur hidup mereka. Walaupun melakukan
“coretan-coretan” kesalahan, namun mereka tetap menjalani prosesnya Allah
hingga akhir.Sayangnya, banyak dari kita yang mungkin tidak suka berada di
ruang tunggunya Allah. Kita bahkan terburu-buru mencari solusi sendiri,
sehingga akhirnya kita keluar dari ruang tunggu tersebut.
Dalam
serial artikel Waiting Room,Steven
Furtick berkata bahwa Tuhan selamanya memegang kuasa, sekalipun kita sedang
berada dalam suatu penantian.Steven Furtickmencontohkan, seperti halnya ada
penerbangan transit sebelum membawa kita ke tujuan sebenarnya, kadang dalam
hidup kita pun demikian, Tuhan kerap membawa kita ke arah yang berbeda total
dari tujuan yang kita inginkan. “Sering kali kita mesti melewati sebuah proses
untuk mencapai suatu tujuan,”kata Steven Furtick, “sebab Tuhan ingin Anda
melakukan sesuatu terlebih dulu di sana.”
Seperti
halnya Daud yang menyadari jalan Tuhan sempurna (2 Samuel 22:31), semoga begitu
juga hendaknya dengan hidup kitauntuk mengakui bahwa waktu, rancangan, dan
jalan-Nya Tuhan itusempurna. Waktunya tidaklah terlalu cepat atau terlambat,
melainkan tepat.
===
Selalu Bangkit Kembali
• Mazmur 51:14
Mungkin hal ini terdengar klise karena kita telah mendengar atau membacanya
berulang-ulang. Tetapi, saat kita melihatnya secara langsung, menyadari dan
merenungkannya, memang anak kecil―balita atau batita yang sedang belajar
berjalan maupun anak-anak pada umumnya―pasti selalu bangun, bangkit lagi
setelah tersandung atau terjatuh. Mungkin mereka akan menangis dan mengaduh
terlebih dahulu, tapi tidak berlama-lama, terutama para batita, dan mereka pun
akan selalu bangkit kembali. Saat mereka kesulitan untuk bangun, orangtua
mereka atau orang yang lebih dewasa akan berusaha menawarkan bantuan untuk menolong
atau membuat mereka berdiri. Lalu, anak-anak itu pun mau bangkit dan berdiri.
Saat kita mengalami kegagalan (melakukan kesalahan), baik yang disebabkan
oleh diri sendiri maupun―disengaja atau direncanakan oleh―orang lain, apakah
kita sungguh-sungguh mau bangkit dan tetap kuat? Apakah kita masih memiliki
jiwa anak-anak? Apakah kita masih ingat (ataukah sudah lupa) bagaimana dulu
bersemangatnya, beraninya kita waktu kanak-kanak? Barangkali kita perlu
mengenang kembali dan merenungkan masa kita kanak-kanak dulu. “Sebagian besar
manusia,” kata penulis Dawn Turner Trice, “mempunyai masa lalu yang patut
dimengerti.”
Firman Tuhan dalam Mazmur melalui Daud berkata, “Bangkitkanlah kembali
padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan
roh yang rela! (Mzm. 51:14)” Kemudian dalam surat dari Rasul
Paulus kepada jemaat di Korintus berkata, “Berjaga-jagalah! Berdirilah
dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat! (1
Korintus 16:13)” Tuhanlah yang dapat menjadi kekuatan kita,
menopang-menjaga-memperbarui semangat kita bila kita mau bangkit dan tetap
kuat.
Tuhan Yesus Kristus mampu bangkit dari kegagalan terbesar dalam
sejarah manusia karena dosa―kematian. Kebangkitan-Nya mungkin dapat menjadi
inspirasi dan bukti nyata bahwa apakah kita tidak bisa dan tak mau bangkit dari
apa pun: untuk hal yang kurang baik, kekalahan, kegagalan, dan masalah, kita
tetap kuat; untuk hal yang baik, kita mau tetap belajar,
mengasah-memperbaiki-memperlengkapi diri, dan terus makin maju?
===
Selalu Ingin Kembali
● Yesaya 3:1-22
Di dalam hati setiap manusia, selalu ada keinginan untuk kembali.
Kembali pada apa pun: ke masa lalu, ke kampung halaman atau rumah orangtua di
pedesaan, ke perusahaan tempat kita bekerja sebelumnya, bahkan mantan pacar,
sampai pada tindakan-tindakan maupun kebiasaan-kebiasaan yang telah kita
akhiri. Dan kemungkinannya, tak jarang kita kembali pada hal-hal yang tidak
baik. Jarang kita memilih untuk kembali pada sesuatu yang baik. Kita pun kerap
mengulang kesalahan yang sama; kalau mengulang kemenangan, sih, tidak apa-apa.
Kita acap pula berubah setia terhadap Tuhan, lalu bertendensi kembali pada
hal-hal, sesuatu, atau seseorang yang telah kita tinggalkan karena pengaruh tak
baiknya. Kita kembali pada dosa yang itu-itu saja. Tetapi, saat kita
tidak setia, Dia tetap setia karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya (lht. 2
Timotius 2:13).
Tuhan yang menuntun kita untuk kembali kepada-Nya. Di dalam Yeremia 3:1-22,
terdapat beberapa kali ajakan Tuhan terhadap bangsa Israel supaya kembali
kepada-Nya. Misalnya pada ayat 12, 14, hingga 22. Salah satu bukti seseorang
peduli adalah meminta orang lain yang melakukan kesalahan untuk kembali,
meminta maaf, dan memperbaiki kesalahan. Sebab jika tidak ada lagi arahan,
bimbingan, maupun teguran, menandakan tak ada lagi kepedulian. Elie Wiesel
pernah berkata, “Lawan dari kasih bukanlah rasa benci, melainkan tiadanya
kepedulian.”
Kita memang memiliki keinginan untuk kembali, tetapi semoga kita dapat
memilih untuk kembali ke hal-hal yang baik. Terutama, kembali kepada Tuhan.
Gembala domba ingin seekor dombanya yang terhilang agar kembali. Sang ayah
ingin anaknya yang hidup sesat untuk kembali. Tuhan ingin umat-Nya yang berdosa
supaya kembali kepada-Nya. Anehnya, bukannya kita yang sangat ingin kembali
kepada Dia, melainkan Tuhan sendirilah yang lebih ingin kita sungguh-sungguh
kembali kepada-Nya.
===
Selalu Panas
● Galatia 3:3
Ada seorang anak muda yang menyalakan dispenser di rumah untuk membuat
secangkir kopi. Namun ternyata, setelah airnya panas, anak muda tersebut hendak
harus pergi keluar sehingga tidak jadi memakai air panas dari dispenser tadi.
Ia pun mematikan dispensernya. Sia-sia ia memanaskan air, berlama-lama menanti,
dan memakai listriknya. Mungkin kita pernah seperti itu atau bahkan lupa
memakai air panas serta tidak mematikan dispenser.
Dalam kehidupan rohani dan di dalam bahasa Inggris, mungkin kita mengenal
dan pernah mendengar istilah keep on fire (‘tetap bersemangat’, terj.
bebas) dalam Tuhan, dalam melayani-Nya, dan lain-lain. Tetapi, seiring tahun
demi tahun berjalan dan berlalu, kita lupa tentang hal itu, lupa untuk
menghayati atau menghidupinya, serta melupakan masa-masa seperti itu. Bahkan,
jika kita disuruh―baik karena tantangan dari orang lain maupun oleh seruan
batin diri sendiri―untuk mengulangnya, mungkin kita merasa keberatan dan tidak
mau. Kita terbuai oleh hal-hal lain dan merasa wajib atau harus
melakukannya.
Galatia 3:3 berbunyi, “…Kamu telah mulai dengan Roh, maukah kamu
sekarang mengakhirinya di dalam daging?” Dan entah apa pun arti dari “…engkau
tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau
panas!” dalam Wahyu 3:15, sebaiknya kita memilih salah satu dan tetap
panas. Mungkin kita merasa sulit melakukannya, tetapi memang kadang hal-hal
yang terpenting dan utama adalah hal-hal yang sulit, namun hasilnya selalu
melegakan.
Kita juga mungkin merasa sia-sia saat memanaskan air di dispenser tanpa
memakai dan memanfaatkannya, apalagi lupa memadamkan tombol nyalanya. Itu
memang terasa percuma. Tetapi, dalam kita melayani Tuhan, mengenal-Nya lebih
lagi, berjerih payah demi Dia, itu semua tidak akan pernah sia-sia, walaupun
mungkin kita merasa sebaliknya. Dan, alangkah baiknya bila kita tetap di dalam
Dia dan selalu panas. Dan, jika kita lupa akan semua itu, Tuhan tidak akan
pernah melupakannya dan akan mengingatkan kita, baik melalui hal-hal besar
maupun perkara-perkara kecil, mungkin seperti tentang dispenser panas tadi.
===
Selama Punya Orangtua
“Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan
engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau ia sudah tua.”
(Amsal
23:22)
Seorang penulis
wanita bernama Widyawati Puspita Dewi berkata, “Selama punya orangtua,
syukurilah.” Ya, bersikaplah bersyukur apa pun yang terjadi. Ada dua cerita
ilustrasi. Cerita yang pertama begini:
Ada
seorang pemuda yang selalu, selalu, dan selalu menceritakan ibu atau neneknya.
Hampir-hampir tidak pernahsekali pun bercerita tentang ayahnya. Suatu hari,
seorang konselor bertanya kepadanya, “Apakah ayahmu masih hidup, masih ada…?”
“Ya,
saya punya seorang ayah,” jawab pemuda ituketus seraya melanjutkan, “tetapi,
ayah tidak pernah meluangkan waktunya untuk saya. Saya tidak mau berbicara
tentang ayah karena saya sudah menganggap ayah tidak ada.”
Di
atas tadi cerita singkat yang pertama. Nah, ini cerita yang kedua:
“Bagaimana
kabarmu?! Bagaimana anakmu?” tanya seorang bapak kepada teman lamanya yang
ketika terakhir kali bertemu, keluarga teman lamanya itu sedang mengalami
keadaan sulit. Anak teman lamanya itu berjiwa pemberontak, sehingga membuat
renggang hubungan antara ayah dan anak.
“Kamu
mungkin tak percaya,” kata teman lama itu, “waktu anak saya masuk kuliah, saya
merasa beruntung sekali. Saya tidak tahu kenapa begitu, tetapi yang pasti, saya
berubah!” Sebenarnya teman lama itu bukan berubah. Pindah dari rumah ke rumah
yang membuat anaknya bergaul dengan lingkungan baru yang tidak jelas
juntrungannya. Tetapi, tiba-tiba anaknya itu tidak lagi memberontak setelah
mengetahui dan menyadari semua yang telah diperbuat oleh ayahnya selama
bertahun-tahun. Ayahnya berbuat baik demi dia, berdoabagi dia, memasangkan
selimut kepadanya saat dia tertidur pulas kedinginan, dan kebaikan lainnya.Dan
yang terutama, ayahnya mengasihi dia.
Dari dua contoh cerita tadi, kita
bisa menyimpulkan bahwa sebagai anak, mungkin ada 1.001 alasan untuk marah atau
tidak bersyukur terhadap keluarga atau orangtua. Tapi, yang pasti ada dua hal
yang tidak bisa dipilih oleh seorang manusia: mau lahir di keluarga mana dan meninggal
seperti apa.Firman Tuhan hari ini (Ams. 23:22) mengajak kita merenung untuk
menghormati orangtua kita, ayah dan ibu kita.Sebab mungkin juga hubungan antara
kita dengan orangtua kita adalah cerminan hubungan antara kita dengan
Tuhan―Bapa kita di surga.
===
Sensor
“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih
banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari
kuasa yang bekerja di dalam kita…”
―Efesus
3:20
Seorang anak
kecil sedang melipir (bahasa Jawa:
berjalan memepet) di dinding untuk menuju pintu masuk sebuah mal. Bocah itu
melakukannya karena ingin menghindari sensor di atas pintu mal yang akan
membuat pintu secara otomotis terbuka bila ada pengunjung yang keluar-masuk.
Setelah sampai di depan pintu mal
tanpa terdeteksi oleh sensor, anak itu lalu mencoba membuka pintu dengan kedua
tangan mungilnya. Setelah berusaha sekuat tenaga, pintu itu terbuka. Kemudian,
ia berseru, “Hore! Aku berhasil!” Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hal itu
terjadi hanya karena ada pengunjung yang hendak keluar melaluinya.
Apakah kadang kita bersikap seperti
anak kecil itu? Kita begitu berbangga hati, menyombongkan diri terhadap sesuatu
yang berhasil kita capai. Padahal, belum tentu itu terwujud karena usaha atau
kerja keras kita semata-mata. Bisa saja ada orang lain atau teman-teman yang
membantu kita, bahkan tentu saja Tuhan yang membuat kita berhasil.
Saya
jadi teringat tentang cerita tikus di atas seekor gajah yang bersama-sama
menyeberangi sebuah sungai melalui jembatan gantung. Ketika mereka sampai di
seberang, tikus kecil itu berkata, “Wow, aku tadi bisa menggoyang-goyangkan
jembatan!” Padahal, bukan dia, melainkan sang gajah.
Kita
memang tidak tahu bagaimana cara Allah bekerja di antara atau bagi kita, tetapi
kita dapat tahu dengan pasti bahwa Allah bekerja, bahkan di dalam kita.Mungkin
pertolongan-Nya pun tak secara pasti terlihat atau terasa, seolah-olah Tuhan menyensornya,tetapi Ia memiliki maksud
dan rencana yang indah bagi kita asalkan kita percaya serta setia. Babbie Mason
bernyanyi, “Ketika engkau tak dapat
melihat rencana-Nya, saat engkau tak bisa melihat pertolongan tangan-Nya,
percayalah saja kepada hati-Nya.”
Kalau
kita saja tidak keberatan bila sebuah pemerintahan memiliki lembaga sensor,
masakah kita keberatan bila Tuhan memiliki sensor
untuk pertolongan tangan-Nya, tangan yang tak kelihatan?
===
Shift Happens
● Roma 12:2
Mau tidak mau, selalu ada perubahan. Pertanyaannya, bagaimanakah atau
seperti apa respons kita terhadap perubahan tersebut? Menurut Darmadi
Darmawangsa, salah satu motivator kenamaan negeri ini, dalam sebuah seminarnya
bertajuk The Champion In You, ada lima keputusan yang perlu kita cermati
dan mungkin ikuti dalam menghadapi perubahan-perubahan yang tengah terjadi di
dunia ini, yaitu:
- Pertama, you have to take a 100 % responsibility (Anda harus bertanggung jawab penuh). Menyalahkan orang lain atau sesuatu hal di luar diri kita tiap waktu, akan menyendat pertumbuhan menuju keberhasilan yang ingin kita raih
- Kedua, you got to qualify for your future, for the next level (kita selayaknya makin berkualifikasi demi masa depan). Jika tingkat lanjutan dalam sebuah permainan PlayStation sajaselalu lebih susah, apalagi tahapan selanjutnya dalam kehidupan.
- Ketiga, change your way of talking and thinking (ubah pola pembicaraan dan pemikiran). Pola perkataan dan pemikiran kita berperan besar dalam menentukan tujuan hidup kita, seperti halnya kemudi kapal yang mampu mengendalikan, menentukan arah kapal menurut kehendak jurumudinya.
- Keempat, the decision to pursue your dream (pilihlah untuk mengejar impian Anda). Jika tiada lagi pengejaran impian, maka hasrat hidup akan meloyo.
- Yang terakhir, kelima, the decision to develop your difference (tentukan untuk mengembangkan sesuatu yang membuat Anda berbeda). Semua manusia memiliki keunikan atau perbedaan masing-masing, mulai dari sidik jari pun tak ada yang sama. Rasul Paulus mengingatkan kita melalui Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Akhirnya, orang lain mungkin bisa memotivasi kita untuk berubah ataupun
beradaptasi dan mengatasi perubahan-perubahan. Namun, seseorang yang mampu dua
kali, bahkan tiga kali lebih besar menyemangati kita adalah, selain Tuhan, diri
kita sendiri.
===
SLB
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih,
berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab
kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
―1
Korintus 15:58
Seorang guru
Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C (untuk tunagrahita) ingin mengundurkan diri
dari pekerjaannya. Ia merasa bahwa usahanya selama ini empat tahun mengajari
anak-anak yang terbelakang mental sia-sia. Seminggu dia bergumul di dalam doa
kepada Tuhan untuk bertanya apakah akan mundur saja atau meneruskan tugasnya.
Seminggu berlalu seolah tanpa
peneguhan atau pernyataan dari Tuhan, baik di dalam hatinya maupun jawaban doa.
Lalu, ia mencoba berkonsultasi dengan kepala sekolah di SLB itu tentang
situasinya. Kepala sekolah itu menyarankannya supaya bersabar dan berdoa
kembali. Hingga pada suatu hari yang menentukan, keadaan itu dan keputusan
hatinya akan segera berubah.
Suatu malam, kebakaran melanda
asrama SLB itu. Beberapa siswa dan guru terjebak oleh amukan api. Beberapa dari
mereka ada yang bisa menyelamatkan diri, namun ada juga yang masih terkurung di
dalam kamar tak mampu mengeluarkan diri karena kebingungan, panik serta kalut.
Api masih terus berkobar sampai para pemadam kebakaran tiba di lokasi kejadian
dan berusaha memadamkan si jago merah.
Setelah para petugas berhasil
memadamkan api, mereka berusaha mencari adakah korban yang masih bisa
terselamatkan. Ternyata hasilnya nihil, hanya beberapa siswa dan guru tadi yang
mampu meloloskan diri, termasuk guru yang ingin resign dan kepala sekolah, yang masih hidup. Namun, ada laporan
“aneh” dari para pemadam. Mereka berkata bahwa anak-anak yang menjadi korban di
masing-masing ruang yang terpisah, mereka seperti berposisi menggenggam jari
telunjuk kiri dengan tangan kanannya.
Seketika itu juga, mendengar laporan
pemadam, ibu guru yang hendak resign itu
menangis, bersimpuh. Dia lalu menceritakan kepada kepala sekolah bahwa sebelum
kejadian itu, dia telah mengajari anak-anak tersebut untuk berdoa kepada Tuhan
Yesus dengan carademikian. Di saat terdesak dan tidak tahu apa yang harus
diperbuat, mereka boleh berdoa seperti itu. Bukan mengajarkan hal yang aneh,
melainak sekadar supaya berdoa. Dia mengira tidak akan ada hasilnya dan
sia-sia, namun ternyata anak-anak itu tahu dan benar-benar melakukannya.
Saudara, sering kali apa yang kita
pikirkan―yang terburuk sekalipun―ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang
terjadi di depan. Tetapi tetaplah berharap. Harapkan yang terbaik dan berserah
kepada Tuhan.
===
Takut Satu Kata
● Matius 26:70
Saya mempunyai satu kata yang saya takuti: integritas. Susah untuk
menerapkan integritas, tetapi bukan tidak mungkin untuk berusaha menerapkan
atau melakukannya.
Pada suatu hari, ada seorang ibu yang membawa putra kecilnya menemui
Mahatma Gandhi. Ibu ini meminta tolong kepada sang bijak Gandhi supaya
menyuruh, menasihati putranya ibu tadi berhenti memakan permen. Lalu, Gandhi
hanya tersenyum dan menjawab bahwa supaya sang ibu kembali kepada Gandhi
seminggu lagi. Sambil sewot-sewotan karena merasa tak memperoleh jawaban, ibu
tersebut pulang. Akhirnya, setelah seminggu, sang ibu kembali kepada Gandhi.
Kemudian, Gandhi menyuruh anak itu berhenti makan permen. Mengapa butuh waktu
seminggu? Karena waktu ibu tadi datang kepadanya, Gandhi masih suka memakan
permen dan perlu seminggu untuk berhenti juga menyukai permen.
Kita mungkin tahu bahwa integritas adalah apa yang kita katakan sesuai
dengan apa yang kita lakukan, baik saat berada di hadapan orang banyak maupun
saat sedang sendirian. Kita pun mungkin sudah tahu bahwa kata ‘integritas’
(bahasa Inggris: integrity) berakar kata dari bahasa Latin: integer yang
berarti utuh, lengkap. Intinya, integritas adalah kebalikan dari kemunafikan
(bahasa Inggris: hypocrisy). Menurut Jonathan Lamb, integritas memiliki
3 arti, yaitu motivasi yang murni, benar serta tepercaya dalam
perkataan atau tindakan, dan menjalani kehidupan sebagai satu keutuhan.
Dalam Matius 26:70, Rasul Petrus takut terhadap satu kata: ya. Ia
tidak mau mengakui bahwa ia murid Tuhan Yesus. Rupanya, integritas harus diuji
terlebih dulu sebelum kesungguhan integritas terbukti nyata. Bahkan, sekali
kokok ayamlah yang mengingatkan integritas Petrus―tentang motivasinya
mengikut Tuhan Yesus, tentang perkataan atau tindakannya, dan kehidupannya.
===
Tanpa Nama
“Berkatalah gadis itu kepada nyonyanya:
‘Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu
akan menyembuhkan dia dari penyakitnya.’”
―2
Raja-raja 5:3
Seorang rekan
penulis, Fiane Filadelfia pernah menulis di status situs media sosialnya pada page Spirit Writers Fellowship, “Mungkin
tidak banyak orang yang mengenal kita,tapi coba pikirkan,seberapa banyak orang
yang membaca tulisan-tulisan kita dapat menikmati kebenaran firman Tuhan dan
diberkati…? Teruslah berkarya selama masih bisa… Semoga tulisan kita makin
berisi… God be with us… :-).”
Ya, mungkin tidak banyak orang yang
mengenal kita, tetapi mereka bisa merasa terberkati, tersentuh, atau bahkan
diubahkan oleh karena kebenaran firman Tuhan dan berbagai pengalaman yang kita
sampaikan atau melalui tulisan-tulisan kita.
Siapa yang kita kenal, mempengaruhi
kita.
Ayat dari firman Tuhan hari ini
menyatakan bahwa ada seorang gadis yang menyarankan kepada istri panglima raja
Aram yang bernama Naaman agar panglima itu dibawa kepada nabi Elisa di Israelsupaya
disembuhkan dari penyakit kusta.Kita tidak tahu siapakah nama gadis itu karena
tidak tercatat di Alkitab. Namun, salah satu tafsiran Alkitab menulis bahwa
sang penulis Kitab Raja-raja ini bermaksud untuk menyemangati para umat Israel
ketika sedang berada dalam masa pembuangan. Penulis Kitab Raja-raja itu seolah
berkata bahwa untuk tetapmengingat kebesaran Tuhan.
Apa yang dilakukan oleh gadis itu
cukup berani karena dia hanyalah seorang tawanan dan menjadi pelayan. Juga
bangsa Israel yang kalah kala itu oleh bangsa Aram tentu semestinya membuat
Naaman ataupun raja Aram bertanya-tanya dan seolah merendahkan, Tuhanmu saja tidak mampu menyelamatkan
bangsamu, masakah bisa menyembuhkanku (panglimaku)? Tetapi, gadis itu
mengenal Allahnya sehingga realitas tidaklah menghalangi atau melayukan
imannya, dan puji Tuhan, mereka mau percaya sehingga Naaman memperoleh
kesembuhan dan mengalami, merasakan kuasa Tuhan yang dahsyat.
Jika seorang gadis saja tahu tentang
Tuhan yang dia sembah dan hal itu begitu berakar di dalam hati dan kehidupannya
sehingga dia mau dan mampu merekomendasikan kepada istri tuannya, dan mereka
terberkati sekalipun kita tidak tahu namanya, semoga kita pun dapat menjadi
berkat (Ibrani: barakh) bagi banyak
orang. Baik mereka mengenal maupun tidak ada yang mengenal kita. Lagipula,
‘Siapakah’ yang mengenal kita?
===
Teladan Profesional
“Saudara-saudara, ikutilah teladanku …”
(Filipi
3:17 b)
Sebagian kita
mungkin telah mengetahui dan bisa menyimpulkan tentang akar kata profesional, yaitu‘profitieri’(bahasa
Latin) yang berarti mengakui secara
terbuka. Sementara, menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia), salah satu arti dari profesional adalah memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya. Secara singkat, barangkali arti dari profesional adalah
sikap memberikan yang terbaik―apa
pun yang terjadi, kemudian menuntaskannya.Starting
well, doing well, andfinishing well.
Mari coba kita
telaah ringkas satu per satutiga arti profesional tadi.
Satu: Mengakui secara
terbuka berarti berani mengakui atau mendeklarasikan tentang pekerjaan kita
kepada publik. Kalau boleh terus terang, kadang saya agak malu atau
menutup-nutupi bahwa pekerjaan saya sebenarnya merupakan seorang penulis, di
perusahaan tertentu―nah, ini pun masih belum mau mengakui tempat saya bekerjaJ. Mengakui secara terbuka pun berarti
mau mengaku saat melakukansalah, walaupun hal ini susah, lalu berani
bertanggung jawab terhadapnya. Contoh di Alkitab adalah tentang kisah Paulus
yang mengakui masa lalunya (lihat di beberapa ayat: Kis.9:1, Fil. 3:6, I Tim.
115, I Kor. 15:9).
Dua: Memerlukan
kepandaian atau keahlian khusus dalam menjalankan atau mengerjakan sesuatu
memang tidak perlu dipertanyakan dalam hal menjadi profesional karena mungkin
sudah jelas. Kita bisa meniru Paulus melalui I Korintus 9:27, “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya
seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku
sendiri ditolak.”
Tiga, yang
terpenting: Memberikan yang terbaik. Tidak mesti yang terbesar, tetapi tetap
yang terbaik. Kadang saya maupun sebagian orang yang bekerja dalam bidang
pelayanan rohani atau Kristen, merasa sah-sah saja untuk memberikan kinerja
tidak profesional, apa adanya, bahkan mungkin serampangan, apalagi kalau ada halangan
atau secuil masalah. Sedangkan, kalau bekerja di bidang lain, kita berusaha dan
mengejar tampil profesional serta maksimal. Padahal, sebaiknya kita sama saja
profesionalnya di mana pun kita berada.
Dalam Filipi
3:17, Paulus menulis, “Saudara-saudara,
ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang
menjadi teladanmu.” Hanya sedikit orang yang mampu mengajak orang lain
supaya mengikuti teladan mereka, kecuali mereka benar-benar profesional dalam
hal apa pun pekerjaan mereka. Paulus pun menyelesaikan panggilan hidup dari
Tuhan dengan baikhingga akhir hayatnya. “Aku
telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku
telah memelihara iman (II Tim. 4:7).” Itulah yang terbaik tentang teladan
profesional Paulus: mengakhiri pertandingan yang baik, mencapai garis akhir,
dan memelihara iman.
===
Telunjuk
“Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah
bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa,
tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk
bersukacita dengan sahabat-sahabatku.”
(Lukas
15:29)
“Dia yang salah!”
“Mereka yang salah!”Bukankah mudah bagi kita untuk menyalahkan, menghakimi
orang lain?Teras mudah, aman, dan menyenangkan.
Suatu
hari ada seorang istri yang mengatakan, dia tak sanggup mengampuni suaminya
karena telah berkhianat lebih dari 10 tahun. Namun, Tuhan berbisik di
dalam hati sang istri bahwa dia terlalu sombong sebab tidak mau mengampuni suaminya. Padahal,
Tuhan saja mau mengampuninya. Seolah sang istri melihat semut yang di pulau
seberang, tapi tidak dapat melihat gajah di depan mata. Atau seperti firman
Tuhan, “Mengapakah engkau melihat
selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau
ketahui? (Mat. 7:3)”
Saat
kita menghakimi, menyalahkan, dan menunjuk-nunjuk orang lain, biasanya
kitamenggunakan jari telunjuk, bukan? Mustahil menggunakan kelima jari untuk
mengarah ke orang lain.Bisa jadi aneh kalau begitu. Malah jadi memberkati,
bukan menghakimi. Tetapi, kita lupa satu hal:saat jari telunjuk mengarah ke
orang lain, ketiga jari lainnya (jari manis, tengah, dan kelingking―jempol
entah ke mana) mengarah kediri sendiri.Silakan praktikkan. Dengan kata lain,
kita belum tentu lebih baik daripada orang yang kita persalahkan itu. Firman
Tuhan berkata, “Jangan kamu menghakimi,
supaya kamu tidak dihakimi (Mat. 7:1).”
Dalam
perumpamaan anak yang hilang, ketika anak yang sulung marah karena anak yang
bungsu kembali ke rumah ayahnya setelah memboroskan harta ayahnya (lht. Luk.
15:11-32), kita mungkin sudah pernah mendengar bahwa anak sulung itu pulalah
yang perlu bertobat. Lagipula, bagaimana kakaknya itu bisa tahu bahwa sang adik
pergi kepada para tunasusila (ay. 30), padahal tidak disebutkan segamblang itu
tentang tingkah laku adiknya?
Menegur,
menasihati orang lain tidak apa-apa. Terutama kepada orang-orang yang terdekat
kita karena kita peduli dan sayang terhadap mereka. Jika kita berhenti menegur
atau menasihati, kita berhenti peduli. Akan tetapi, saat menghakimi mereka,
sementara itu jauh di dalam lubuk hati kita, suara hati kita pun berkata lembut
bahwa kita sebelas duabelas dengan mereka, sebaiknya kita bertobat dan berusaha
memperbaiki diri.
===
Tempat Sampah
• Matius 6:13
Bayangkan, bagaimana jika anak kita yang masih balita mendekati atau pergi
ke tempat sampah, bahkan memegang dan mengambil beberapa sampahnya? Putri saya
yang baru berumur satu tahun tujuh bulan pernah melakukannya. Lalu, saya
memarahinya dan melarangnya untuk mendekati atau pergi ke tempat sampah lagi.
Bukannya karena saya terlalu cinta akan kebersihan atau sebab masa kecil saya
sendiri yang dididik oleh ayah untuk bersih, melainkan karena tidak ingin anak
perempuan saya kotor.
Mungkin Anda yang memiliki anak pun akan seperti itu, bukan? Nah, apalagi
dengan Tuhan. Bapa di surga tentu sangat tidak ingin kita, anak-anak-Nya,
mendekati atau pergi ke tempat sampah―tempat-tempat yang membuat kita
berdosa, menjauhi-Nya, maupun hal-hal yang membuat kita tidak memuliakan, tak
menyembah-Nya. Akan tetapi, kadang kita justru mendekati, pergi ke tempat
sampah itu, bahkan mengambil dan memainkan sampah-sampah tersebut.
Kemudian, ketika kita telah kotor, kita kembali kepada Allah Bapa, meminta-Nya
membersihkan dan membasuh kita.
Firman Tuhan dalam Matius 6:13 menyatakan, “…dan janganlah membawa kami
ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.” Ada
seseorang yang pernah mengatakan bahwa apabila kita berdoa seperti ayat
tersebut, maka kita pun sebaiknya tidak mencobai diri sendiri dengan membawa
diri kita ke dalam pencobaan-pencobaan, ke tempat-tempat sampah. Lebih
baik membuat pagar kawat besi di tepi jurang ketimbang mendirikan rumah sakit
di bawah jurang, bukan?
Berani kotor itu memang kadang baik dan menjadikan seseorang eksploratif,
kreatif, dan tidak terlalu rentan terhadap penyakit. Namun, berani berbuat dosa
pasti membuat kita tidak peka terhadap kehendak Allah, serta kian jauh dari
kebersamaan dengan-Nya, bukan? Bapa memang mengampuni dosa, tetapi kita harus
ingat bahwa, dalam kata-kata William Gurnall, “God's wounds cure, sin's
kisses kill (Bilur-bilur Tuhan Yesus menyembuhkan kita, namun upah dosa
ialah maut, terj. bebas).”
===
Terbaik
Belakangan ini, saya
sering bertanya-tanya di dalam hati tentang memberikan yang terbaik—kepada
Tuhan ataupun saat hendak melakukan sesuatu. Apa sih sesungguhnya arti dari memberikan yang terbaik? Yang terbaik?
Terbaik?
Apakah
itu berarti semaksimal potensi? Semampu kita—apa pun pendapat orang lain—sebab
kita merasa telah memberikan, melakukan sesuatu yang terbaik? Apakah berarti
memilih yang terbaik? Memanajemeni dengan baik? Memimpin dan mengikut dengan
baik?
Banyak
hal atau kesempatan untuk kita bisa mencoba memberikan, melakukan yang terbaik.
Apa yang dilakukan oleh istri saya berikut ini mungkin adalah contoh salah satu
upaya melakukan yang terbaik.
Ayah
serta ibu mertua saya pernah berselisih paham sangat sengit. Di depan kami
anak-anaknya. Keduanya merasa sama-sama benar. Tidak ada yang mau mengalah atau
meminta maaf. Hingga akhirnya istri saya berdiri menengahi. Sambil terisak, dia
berkata, “Kalau sama-sama merasa benar
dan ngga ada yang mau mengalah, sekarang siapa yang merasa cinta Tuhan Yesus,
minta maaf duluan. Ngga peduli siapa yang bener, siapa yang salah. Kalau cinta
Tuhan Yesus, minta maaf duluan.”
Beberapa
detik kemudian, ayah mertua maju, menjulurkan tangan dan meminta maaf kepada
ibu terlebih dulu. Lalu ibu juga mau meminta maaf. Itulah hal terbaik yang bisa
dilakukan istri saya. Daripada berdiam diri, memihak, atau malah turut larut di
dalam perselisihan, istri saya ingin mendamaikan.
Ah, itu konteks kecil di dalam sebuah keluarga.
Tetapi, sekali lagi, bukankah ada banyak hal dan kesempatan untuk kita berupaya
memberikan, melakukan yang terbaik—kepada Tuhan, sesama manusia, keluarga, diri
kita sendiri? Apa pun risikonya. Apa pun hasilnya.
Bagaimana
respons kita pada dua hal yang pasti ada selama kita masih hidup berikut ini: masalah dan perubahan?
Apakah
kita mengeluh, menolak, marah-marah terhadap perubahan? Belakangan ini juga,
saya berhadapan dengan perubahan. Satu sisi, saya bisa saja menolaknya; di sisi
lain, mau tak mau saya mesti menerima karena sejumlah pertimbangan. Saya
mengambil pilihan kedua: menerimanya. Awalnya, saya kerap berkeluh kesah sebab
dipindahkan ke lokasi kerja yang lain dan di bidang yang bukan bagian pekerjaan
saya sebenarnya. Namun, masih bisa terkait keahlian atau talenta saya, maka
saya mau belajar sesuatu yang baru, berada di tempat yang baru, bersama dengan
orang-orang yang baru.
Benar,
pasti sulit serta terkadang ada waktu ingin menyerah saat ada perubahan, tetapi
tetaplah belajar sembari memberikan, melakukan yang terbaik. Fleksibel. Mau
berubah. Beradaptasi seperti halnya kala mengemudikan mobil lain atau memainkan
saksofon tenor baru. Tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang baik dan kita
pegang teguh. Dan apabila menurut orang lain, hasilnya belum maksimal, ataupun
tak mendapatkan apa yang patut kita dapatkan, setidaknya kita telah memberikan,
melakukan yang terbaik. Sebisa kita. Dan itu adalah hal yang baik.
Bagaimana
terhadap masalah—baik permasalahan dengan orang-orang ataupun hal-hal yang
harus kita hadapi? Apakah kita ingin lari? Menghindari? Apatis? Berlama-lama
bersedih, serta pasrah begitu saja?
Apabila
ingin memberikan, melakukan yang terbaik, kita akan berani menghadapi
masalah-masalah tersebut, berpikir tentang cara-cara untuk memecahkannya, serta
memohon bimbingan dan penyertaan Tuhan supaya berhasil mengatasinya.
Berpikir
positif atau yang baik-baik penting pula. Rasul Paulus mengemukakan, “Jadi
akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil,
semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang
disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Filipi 4:8).”
Di
Alkitab versi The Message terjemahan
Eugene H. Peterson tertulis: “Summing it
all, friends, I’d say you’ll do best by filling your minds and meditating on
things true, noble, reputable, authentic, compelling, gracious—the best, not
the worst; the beautiful, not the ugly; things to praise, not things to curse.”Dennis
Waitley pernah berkata, “Getting into a
positive routine or groove will help you become more efective (Saat kita
memiliki suatu rutinitas yang positif atau kebiasaan baik, kita akan menjadi
lebih efektif di dalam melakukan sesuatu).”
Atlet
merupakan contoh yang bagus tentang memberikan, melakukan yang terbaik. Mungkin
ia pernah, bahkan sering gagal, tetapi pantang menyerah. Mau memetik pelajaran
dari kesalahan dan kegagalan atau kekalahan. Tetap berlatih hingga ia bisa
memperoleh, mengecap kemenangan.
“Berapa
sih ukuran puas atau kaya menurut Anda?” seorang investor superkayaditanyai
dengan nominal segini dan segitu. Satu miliar dolar? “Sedikittt lagi…” Sepuluh
triliun dolar? “Sedikittt lagi…” Dan di tiap pertanyaan, ia selalu menjawab,
“Sedikittt lagi…” Mungkin kita pun boleh mengaplikasikan jawaban tersebut saat
memberikan, melakukan yang terbaik. Apakah kita sudah memberikan, melakukan
yang terbaik? “Sedikit lagi.”
Namun,
memberikan yang terbaik bukan berarti menjadi perfeksionis. Ingin segala
sesuatu sempurna. Tanpa cacat atau cela. Bukan pula mencoba terus-menerus
memberikan performa setengah mati untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan keahlian
atau talenta kita serta banyak orang telah menegaskannya. Contohnya,kita tahu
banyak individu mengotot ingin menjadi penyanyi terkenal lewat audisi The X-Factor atau American Idol, tetapi tentu sedikit yang lolos seleksi juri.
Antara
satu orang dengan orang yang lainnya, takaran memberikan atau melakukan yang
terbaik berbeda-beda. Seseorang yang memang hanya mampu memberikan sesuatu
secara sedikit tapi sudah yang terbaik darinya, mungkin di mata orang lain
taklah seberapa. Seseorang yang telah sekuat tenaga, semampunya mengerjakan
sesuatu dengan sebaik-baiknya, walau menurut orang-orang belumlah seberapa,
asalkan ia yakin serta percaya di dalam hatinya bahwa itulah yang terbaik
darinya, maka ia telah memberikan, melakukan yang terbaik.
Bisa
kita menyebutnya Man In the Arena (Seorang
Pejuang di Sebuah Pertandingan) untuk tajuk kutipan dari Eleanor Roosevelt yang
menulis, “It is not the critic who
counts. It is not the man who sits and points out how the doer of deeds could
have done things better and how he falls and stumbles. The credit goes to the
man in the arena whose face is marred with dust and blood and sweat. But when he’s
in the arena, at best he wins, and at worst he loses, but when he fails, when
he loses, he does so daring greatly (Taklah begitu penting orang-orang yang
hanya mampu mengkritik. Tak juga orang-orang yang cuma duduk diam serta
menceramahi apa yang seharusnya bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh orang
yang benar-benar mengerjakannya, atau mengapa ia terjatuh jua gagal. Yang patut
menerima pujian ialah ia yang benar-benar berjuang di pertandingan dengan wajah
penuh debu, kotor, bahkan terluka, dan berbalut peluh. Saat ia bertanding,
kadang kala ia menang, kadang tertimpa kekalahan. Namun, meski mungkin ia gagal
atau kalah, ia telah memberikan, melakukan yang terbaik).”
Sudahkah yang terbaik kuberikan
kepada Yesus, Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya di Kalvari!
Diharapkan-Nya terbaik dariku.
Adalah
sebuah lagu yang mengingatkan kita. Dan saat kita sedang memberikan atau
melakukan sesuatu yang menurut kita adalah yang terbaik, sekali lagi kita bisa
berbisik di dalam hati, “Sedikit lagi.”
Dan saat sedang mengerjakan sesuatu yang lain, apa pun itu, kita bisa bertanya
kepada diri sendiri, “Apakah aku sudah memberikan yang terbaik?” “Apakah memang
ini yang terbaik?”
Balik
pada pertanyaan di awal.Jadi, apa arti sesungguhnya dari memberikan yang
terbaik? Apa definisi yang terbaik—terlebih kepada Tuhan? Saya rasa, kita dan
hati kita sendirilah yang tahu jawabannya. Dan Tuhan.
Apakah
kita sudah memberikan, melakukan yang terbaik hari ini?
Begitu
juga menjelang hari-hari ke depan dan saat Natal 2015 serta tahun baru 2016
nanti, apakah kita akan memberikan, melakukan yang terbaik? Bukankah Allah Bapa pun telah memberikan,
melakukan yang terbaik, melalui pengurbanan Putra-Nya, Yesus Kristus di kayu
salib? Yang terbaik. Yang terbaik. Terbaik.
===
Terpikat (1)
“…tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus
melakukannya, sebab seluruh rakyat terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan
Dia.”
―Lukas
19:48
Saya pernah
mempresentasikanesensi buku The End of
Marketing As We Know It karya Sergio Zyman, mantan Direktur Marketing
Coca-Cola internasional.Saya membawakannya pada sesi sharing knowledge(berbagi pengetahuan) yang merupakan program
bulanan bagi setiap staf di bidang Publikasi dan Komunikasi tempat kerja saya.
Nah,
karena perihal berbicara di depan umum adalah salah satu topik yang masih saya
pergumulkan dan latih supaya dapat menampilkan yang terbaik, maka menurut saya
hari itu saya masih belum maksimal, belum bisa menguasai audiens, walaupun saya
menguasai materi presentasi. Saya berjalan mondar-mandir, ke kanan dan kiri
sambil menjelaskan terlalu cepat sehingga saya terlihat grogi. Semestinya saya
bisa memberikan presentasi secara baik dengan berlatih dan berdoa terlebih
dulu.
Saya
percaya Tuhan Yesus adalah Pembicara atau Komunikator yang andal, hebat, dan
luar biasa. Seperti yang kita ketahui dari ayat bacaan hari ini, Lukas 19:48.
Seluruh rakyat terpikat mendengarkan Tuhan Yesus. Terpikat! Di atas semua itu,
kata-kata Tuhan Yesuspasti penuh kuasa, pun terlebih lagi penuh kasih bagi orang-orang
yang mendengarkan-Nya. Kata-kata yang lahir dari kepeduliaan yang
sungguh-sungguh kepada pendengar-Nya dan percaya sepenuh hati terhadap apa yang
Dia sampaikan, bahkan percayai sampai mati.
Nah,
kalau kita, bagaimana? Selain dengan memperlengkapi diri melalui belajar dan
berdoa, apakah kita pun mau memiliki kualitas seperti yang dimiliki oleh Tuhan
Yesus, yaitu kepedulian untuk apa yang kita sampaikan dan kepada orang-orang
yang mendengarkan kita?Rasul Paulus berkata di dalam Kolose 4:6, “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh
kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab
kepada setiap orang.”
Akan
tetapi, memang ada satu prasyarat agar kita menjadi pembicara ataukomunikator
yang lebih ulung, makin baik, yaitu kadang lebih baik bagi kita untuk diam dan
benar-benar mendengarkan, memperhatikan, mempedulikan. Daripada banyak
berbicara, tetapi tidak benar-benar memiliki simpati. Sebab banyak orang yang
mendengarkan tapi tak sungguh-sungguh memperhatikan, dan banyak orang yang
berbicara tapi tak sungguh-sungguh mempedulikan.
===
Terpikat (2)
“Jawab Agripa: ‘Hampir-hampir saja
kauyakinkan aku menjadi orang Kristen!’”
―Kisah
Para Rasul26:28
Seorang rekan
kerja berkata bahwa ketika ia sedang beribadah di gereja pada hari Minggu, dan
tiba saatnya mendengarkan khotbah dari pendeta, rekan saya itu menuju ke ruang
lain.Lalu apa yang ia lakukan? Alih-alih mendengarkan khotbah, ia malah membaca
berita di Internet. Mengapa teman saya melakukan aktivitas seperti itu yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan di gereja? Ia bekata bahwa khtobahnya atau
penyampaiannya membosankan, tidak menyentuh kedalaman, sehingga teman saya itu
keluar.Walaupun padahal sebenarnya apa pun “keadaan khotbah”, pasti ada satu
atau dua hal penting yang bisa kita petik,namun mungkin ada baiknya bila
khotbah maupun cara penyampaiannya tidak sampai membuat orang-orang malah
enggan mendengarkan khotbah.
Khotbah seperti apa yang dapat
membuat orang-orang, atau setidaknya teman saya tadi, terpikat? Mungkin jawaban
yang paling singkat dan mudah adalah khotbah yang berapi-api atau penuh antusiasme, ataupun bisa saja dengan cara
penyampaian yang tenang namun penuh
keyakinan.
Ayat
topik renungan hari ini membahas tentang respons atau perkataan raja Agripa
terhadap pembelaan Rasul Paulus yang dapat pula menjadi kesaksiannya tentang
Kristus. Pembelaan Paulus yang panjang lebar dan tentu dapat saja membuat para
pendengarnya, apalagi bila di hadapan raja-raja atau para pembesar yang
notabene pasti akan jenuh bila bertele-tele, namun karena Roh Kudus menyertai
Paulus sehingga pembelaan dan kesaksiannya dapat berapi-api sehingga bahkan
hampir-hampir mengubahkan raja Agripa menjadi umat percaya. Namun, keputusannya
ada di tangannya entah dia mau menjadi Kristen atau tidak. Intinya, raja Agripa
dan orang-orang yang hadir di sana terpikat terhadap “khotbah” atau penyampaian
pembelaan Paulus.
Tuhan
Yesus pernah berfirman dalam Lukas 21:14-15: “Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan
lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata
hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu.”
Jadi, apa yang mesti kita lakukan
supaya orang-orang yang mendengarkan kita dapat mempercayai apa yang kita
utarakan, meskipun pada akhirnya keputusan akhir ada di tangan mereka dalam
meresponsnya? Bergantunglah sepenuhnya kepada tuntunan Roh Kudus dan
mempercayai sepenuhnya terhadap apa yang kita katakan. Seorang penginjil pernah
berkata bahwa sebaiknya kita benar-benar mempercayainya dengan segenap hati,
sekalipun mendapatkan ancaman hidup atau mati. Itulah—sikap, hati, dan iman
kita—yang sekiranya dapat membuat orang-orang terpikat mendengarkan kita.
===
Tua
“Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua,
lagipula sekarang dipenjarakankarena Kristus Yesus…”
―Filemon
1:9b
Beberapa ormas
atau organisasi masa pemuda dikelola oleh pria-pria yang sudah tua atau
katakanlah bapak-bapak. Ada pula seseorang yang berkata tentang adanya suatu
organisasi yang bernama GPT (Gerakan Pemuda Terus) yang diisi oleh bapak-bapak
yang ingin muda abadi. Ada pula bapak-bapak yang masih senang bergaul dengan
anak-anak mudadan berpakaian ala anak muda supaya merasa awet muda, meskipun memiliki
pelayanan di bidang itu. Seolah ingin menjadi seperti salah satu lirik lagu forever young, I wanna be forever young (selamanya
aku ingin menjadi muda).
Saya pun ingin mengaku bahwa saya
terkadang tergoda untuk berpakaian ala pemuda, bersikap seperti anak-anak muda,
tetapi yang lebih parah adalah bersikap kekanak-kanakan. Padahal, saya sudah
berusia 30 tahunan.
Saya salut, mengaku malu, dan ingin
meniru bila melihat teladan Rasul Paulus yang berani dan mau mengakui bahwa dia
sudah menjadi tua. Saya rasa tidak banyak orang, terutama mungkin para kaum
hawa, yang mau menyatakan diri bahwa mereka telah tua. Jangankan mengaku tua,
bahkan kadang sekadar menuliskan usia ataupun tahun kelahiran saja di sebuah
lembar data atau informasi agak malu-malu. Takut ketahuan tua.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita
berani mengakui atau setidak-tidaknya menyadari di dalam hati bahwa kita sudah
tua. Boleh-boleh saja memang untuk merasa muda di hati, pikiran dan jiwa agar
kehidupan kita terasa terus-menerus segardan
semangat terbarui. Namun, kita tidak boleh menyangkali bahwa tubuh kita akan
dan bisa menua. Jonathan Swift berkata, “Banyak orang ingin hidup selamanya,
tapi jarang ada orang yang mau menjadi tua.”
Raja
Salomo menyadari dan mengakui keindahan menjadi tua melalui salah satu
amsalnya, “Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah
uban (lht. Amsal 20:29).” Seorang pujangga dari Irlandia, Brendan Kennelly
pernah menulis, “If you want to serve the
age, betray it (terj. bebas: Jika
engkau ingin melakukan sesuatu yang benar-benar berarti di dalam hidupmu, sangkallah umurmu).”
===
Tuan, Kami Ingin Bertemu dengan Yesus
“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau
tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah
dengan segala kesabaran dan pengajaran.”
—2
Timotius 4:2
Saya senang
menolong. Bukan maksud hati untuk pongah. Atau mungkin pada dasarnyasemua orang
memang suka menolong.
Senang juga saya—dan sering—saat bersepeda
motor di jalan, baik kala pagi, siang, sore maupun malam melihat pengendara
sepeda motor ataupun mobil dengan beberapa hal yang mungkin berbahaya.
Misalnya, kain yang terjuntai dapat terkena dan terlilit roda; pintu samping
mobil yang kurang tertutup rapat; ikatan tali barang yang terlepas, dan masih
banyak hal lainnya.
Sebisanya saya berusaha memberitahu
mereka tentang hal itu supaya berhenti dulu dan memperbaiki atau membenahi.
Apabila mereka tetap tidak menyadari, cuek atau sudah terlalu jauh jaraknya
untuk saya samperi dan beri tahu karena jalan macet, mungkin saya hanya bisa
berdoa dalam hati agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Apakah Anda pun sering melihat hal
seperti itu dan berbuat seperti saya? Jika ya, puji Tuhan karena kita peduli
terhadap orang lain. Jika kita peduli terhadap jiwa mereka selama menapakkan
kaki di bumi, bagaimana dengan kepedulian terhadap jiwa mereka di dalam
kekekalan? Apakah kita pun senang dan sering mengingatkan mereka agar
menjauhkan diri dari hal-hal yang membahayakan,
dosa, dan lain-lain, lalu membawa mereka agar percaya kepada Tuhan Yesus
Kristus danberoleh keselamatan dan hidup yang kekal di surga?
Di Bali, ada sebuah gereja yang
memajang suatu tulisan yang terambil dari salah satu ayat firman Tuhan. Plakat
kecil di mimbar itu bertuliskan: “Tuan,
kami ingin bertemu dengan Yesus.” Kutipan dari Yohanes 12:21 itu untuk
mengingatkan para pembicara atau pengkhotbah yang berdiri di atas mimbar
memberitakan firman Tuhan agar berfokus pada kebutuhan jemaat agar mereka dapat
dijamah oleh kuasa kasih Tuhan Yesus Kristus. Apakah kita dapat mengingatkan
diri sendiri seperti itu? Bahwa apa pun pekerjaan kita, menulis novel,
merancang pembangunan gedung, menjual alat-alat sepeda, dan lain-lain, apakah
kita menggunakannya sebagai kesempatan di manapun dan kapanpun untuk membawa
orang-orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus Kristus agar percaya
kepada-Nya dan beroleh keselamatan?
Mereka perlu Tuhan Yesus. Kita butuh
Tuhan Yesus.
===
Ulang
Tahun Pertama
● Yohanes 14:1 – 3
Ada orangtua, sepasang suami istri, yang begitu mempersiapkan pesta untuk
perayaan ulang tahun yang pertama untuk putrinya, yang akan berusia satu tahun.
Mereka rela mengeluarkan banyak biaya. Sang ibu mau sibuk-sibuk menyiapkan
kelengkapan acara, mulai dari membeli kado dan kue tart, menulis kartu
undangan, memikirkan siapa MC-nya, dan lain-lain. Sang ayah, walaupun lelah,
mau membantu membungkus hadiah-hadiah untuk teman-teman putrinya nanti.
Bayangkan, jika orangtua saja―ibu maupun ayah―seperti itu, betapa Bapa
lebih rindu mempersiapkan perjamuan pesta untuk anak-anak-Nya, baik pria maupun
wanita, Anda dan saya nanti di surga. “Janganlah gelisah hatimu; percayalah
kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat
tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi
ke situ untuk menyediakan tempat bagimu… supaya di tempat di mana Aku berada,
kamupun berada (ay. 1 – 3)”.
Jika kita percaya kepada Tuhan Yesus dan menerima Dia di dalam hati kita
(lht. Rm. 10:9 – 10), janganlah gelisah hati dan jiwa kita. Jika kita masih
gelisah, barangkali karena kita masih memendam dosa-dosa. Dulu mungkin kita
gelisah dan bertanya-tanya, ke manakah aku setelah tiada nanti?
Sekarang, setelah kita mengaku dosa dan mempercayai-Nya, tidaklah perlu kita
gelisah tentang hal itu. Sebab Bapa di surga sedang mempersiapkan perjamuan
besar untuk ‘ulang tahun pertama’ kita, anak-anak-Nya.
Seperti halnya seorang anak yang akan genap satu tahun percaya dan bergantung
penuh kepada orangtuanya, serta tidak tahu akan menerima kejutan istimewa dari
mereka, dan mungkin akan mensyukuri momen itu saat dia dewasa, mungkin begitu
jugalah dengan kita terhadap Bapa, Tuhan kita.
===
Usher
“Layanilah seorang akan yang lain, sesuai
dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik
dari kasih karunia Allah.”
—1
Petrus 4:10
Saya senang
melihat usher di gereja. Maksud saya,
terhadap cara kerja para penerima tamu itu yang menyambut, melayani para jemaat
yang masuk ke gereja. Hal itu pasti membutuhkan kerendahhatian yang tinggi. Jika tidak, rendah hati yang
pura-pura atau tersenyum terpaksa.
Tak
hanya menyambut, para usher juga
terkadang mengemban tugas ganda atau tiga, yaitu mencarikan tempat duduk,
mengedarkan kantong kolekte, atau menhitung jumlah presensi jemaat. Namun,
mungkin beberapa orang menganggap pelayanan seperti itu adalah hal yang biasa,
kecil atau temeh-temeh. Apakah Anda pun menilai seperti itu?Atau, apakah Anda
pernah berada di pihak sebagai penerima tamu gereja?
Banggalah.
Menjadi usher pun penting. Bahkan
mungkin amat penting. Bayangkan sekiranya ada jemaat datang terlambat, lalu
mencari kursi, namun kebingungan menemukantempat karena tak ada bimbingan dari
penerima tamu.
Apabila sebagai usher di gereja, teladan Andaadalah Andreas. Mantan murid Yohanes
Pembaptis yang kemudian menjadi murid Tuhan Yesus Kristus.Andreas dikenal juga
sebagai Sang Penerima Tamu. Ia
menyambut orang masuk ke dalam hadirat Tuhan dan memperkenalkan orang lain
kepada Yesus.
Ingatkah tentang peristiwaketika ia
memperkenalkan Simon saudaranya (Yoh. 1:41-42), mempertemukan anak kecil
pembawa bekal roti dan ikan (Yoh. 6:8-9), dan mengintroduksikan orang-orang
Yunani (Yoh. 12:22), kesemuanya kepada Yesus?
Mungkin apa yang Andreas perbuat
adalah hal-hal sederhana seperti sebutan John MacArthur pada buku Twelve Ordinary Men untuk Andreas bahwa
ia adalah “Rasul Hal-hal Kecil”, “Andreas lebih seperti siluet samar ketimbang
foto jelas di halaman-halaman Kitab Suci”, tetapi tindakan Andreas sangat
signifikandan pentingdaripada yang dapat dibayangkan. Bersyukurlah apabila kita
pun mungkin bertugas seperti Andreas. Sebab bagaimanapun berita utama kita adalah Tuhan Yesus Kritus.
Apabila di PL ada perintah untuk
persepuluhan: Bawalah seluruh persembahan
persepuluhanitu ke dalam rumah perbendaharaan(lih. Mal),. 3:10), dan di PB
ada perkataan: Ia harus makin besar,
tetapi aku harus makin kecil (Yoh. 3:30maka sekarang pun mungkin kita
bahkan harus memberikan segalanya bagi Tuhan, dan Ia adalah segala-galanya.
Harry S. Truman pernah berkata, “It is amazing what you can accomplish if you
do not care who gets the credit (Betapa luar biasanya yang dapat Anda raih
apabila Anda tak memedulikan siapalah orang yang bakal memperoleh pujian).”
===
Venus
“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu,
bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau
mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?”
(Mazmur
8:3-4)
Pada 5 Juni 2012,
beberapa orang di sejumlah negara seperti Amerika, Inggris, Korea Selatan dan
India dapat memandangi planet Venus yang beranjak melintasi matahari. Sebuah
fenomena alam yang hanya akan terulang 105 (seratus lima) tahun
mendatang.Peristiwa yang dinanti-nantikan dan akhirnya dapat dinikmati para
pengamat perbintangan masa sekarang.
Dengan
melihat dari gambar atau foto pemandangannya di Internet saja, kita dapat
merasa takjub oleh luar biasanya kejadian ini. Venus yang berukuran hampir
sebesar planet Bumi, jauh kalah besar daripada matahari.
Kalau
kita boleh merenungkan dan membandingkan antara galaksi yang ada dengan semua
manusia, ibaratnyakita ini kuman-kuman kecilsaja.
Namun, kadang kita menjadi begitu sombong atau bahkan sangat khawatir terhadap
sesuatu.Saat seperti itu, kita perlu mengingatbahwa ada hal-hal yang lebih
besar daripada kita, misalnyafenomena planet Venus atau keajaiban galaksi.
Lalu, kita merendahkan diri dan mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi
Tuhan.
Dr.
John Calvin Maxwell menulis dalam Maxwell
Leadership Bible bahwa di dalam Mazmur 8: 1-9, Daud menyadari manusia
hanyalah bagian kecil di luasnya galaksi, dan dengan menyadari hal ini akan
menolong kita untuk dapat tetap merendahkan hati. Daud pun menutup pasal
tersebut seperti halnya saat memulainya, “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya
nama-Mu di seluruh bumi (lih. Mzm. 1 a & 9)!” Daud memuliakan dan
memuji-Nya untuk segala kebaikan di dalam kehidupan dan kepemimpinannya.
Kepada
generasi yang sekiranya hidup pada masa 105 tahun lagi terhitung dari sekarang,
kalau bisa semoga punya kesempatan secara langsung melihat fenomena Venus yang
melintasi matahari, ya. Dan yang terpenting, menyadari keagungan Tuhan melalui
segala penciptaan, kesombongan serta pastilah masalah kita terlihat amatlah
kecil dibandingkan dengan keagungan itu. Kesombongan
dan masalah apakah yang sebesar perihal menciptakan galaksi-galaksi yang super
besar?
===