November 25, 2016

Sukacita sejati


Tulisan ini diangkat setelah berbincang dengan salah seorang teman, Timothy Satya, yang memiliki gelak tawa cukup melegakan, lepas, dan penuh sukacita.

***

Klise tapi mau mengerti dari mana lagi: Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata sejatimemiliki arti tulen, asli, murni, dan tidak ada campurannya. Kalau diaplikasikan dengan kata sukacita, apa arti sukacita sejati?

Salah satu tolok ukur sukacita sejati adalah tertawa secara lepas. Tidak jaim”. Walau tak semata-mata tertawa lepas bisa menjadi ukuran sukacita sejati—sebab dalam diam pun bisa bersukacita—sering kali itu menandakan ketulusan seseorang, apa adanya, dan tanpa beban.

Mungkin ada beban, tapi meski demikian, ia tetap berupaya tersenyum dan bersukacita. Dan hanya aktor hebatlah yang dapat menyembunyikan hati yang hancur di balik raut wajah bahagia.

Sukacita lebih daripada sekadar emosi. Sukacita adalah perasaan berbahagia bercampur perasaan diberkati. Sukacita yang sejati tidaklah bergantung keadaan, melainkan merupakan karunia yang khas dari Roh Kudus (Kis. 8:39, Gal. 5:22).

Di dalam Perjanjian Lama, sukacita ditandai dengan kegembiraan luar biasa pada saat-saat perayaan tertentu (Ul. 12:6-28) dan perasaan lega ketika seseorang dapat membawa keluh-kesahnya ke bait Allah untuk mendapatkan penyelesaian (Mzm. 43:4).

Di Perjanjian Baru, nada sukacita menonjol pada Lukas 2:10 dan 19:37, serta Kisah Para Rasul 13:52.

Colleen Townsend Evans berujar, “Menurut dunia ini, sukacita harus selalu disertai dengan alasan yang tepat. Misalnya, tim favorit kita menang atau kita mendapat kenaikan gaji. Jika kita tidak punya alasan yang wajar untuk bersukacita, maka orang lain cenderung mencemooh.” Tapi, ketika Paulus menulis, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! (Filipi 4:4)”, ia sedang dipenjara. Jadi, apa pun yang terjadi, tetaplah bersukacita!

Sukacita ialah kualitas atau watak, bukannya perasaan hati melulu. Merupakan ciri khas kekristenan (1 Ptr. 1:8), gambaran permulaan sukacita kekal bersama Kristus di kerajaan surga (Why. 19:7), dan didasarkan pada Allah karena berasal dari-Nya (Mzm. 16:11, Flp. 4:4, Rm. 15:13).

Tapi... bisakah kita kehilangan sukacita yang sejati? Bisa. Karena apa?

  1. Faktor kepribadian atau temperamen | Misalnya, seseorang dengan tipe kepribadian melankolis mungkin akan sulit mengekspresikan tawanya, perasaannya. Lalu, lama-kelamaan ia takkan merasakan sukacita lagi, apalagi setelah berbuat jahat
  2. Latar belakang atau masa lalu seseorang | Seseorang yang pernah mengalami berbagai hal traumatis sehingga sulit mengekspresikan perasaan, mungkin dapat mempengaruhinya melakukan hal lain juga yang membuatnya kehilangan sukacita
  3. Faktor dari keadaan luar | Apa pun yang sedang dialami oleh seseorang, misalnya duka, penderitaan, dan lain-lain, lambat laun bisa saja membuatnya kehilangan sukacita sejati
Apakah kita bisa memperoleh kembali sukacita yang sejati itu? Juga bisa.

Apakah sesimpel itu? Ya, pertama, datanglah kepada Tuhan. Seperti Maria yang duduk dekat kaki Tuhan Yesus (Lukas 10:39). Ceritakan semuanya kepada Tuhan melalui doa. Dan jangan lupa membaca firman. Akan ada banyak hal yang membuat kita meninggalkan atau kehilangan sukacita, tapi Tuhan dapat memakai semua itu agar kita sadar serta belajar untuk hanya mengandalkan Dia.

Kedua, kita bisa datang kepada konselor gereja, atau seseorang yang sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan, maupun kepada komunitas kita. Sebaiknya, kita tidak memendam masalah kita sendiri. Kita butuh bercerita. Memberi tahu kepada orang lain yang dapat dipercaya tentunya, bukannya malah menggosipkan yang telah kita ceritakan.

Ibarat truk besar yang berjalan sangat-sangat lambat karena membawa beban berat, apabila kita memanggul masalah kita sendirian terus-menerus, itu akan mempengaruhi pikiran dan kehidupan kita. Lalu, suasana hati. Maka, mau tak mau akan mempengaruhi perkataan dan kinerja kita. Sehingga dapat berpengaruh buruk terhadap masa depan. Dan menggerogoti iman. Bahkan, saat tak lagi dapat menanggungnya, maka membuat kita depresi, stres, bahkan terdorong melakukan tindakan bunuh diri.

Ketiga, cobalah untuk menceritakan keadaan kita kepada anggota keluarga kita, istri atau suami, ataupun lainnya. 

Yang terakhir, keempat, mungkin adalah meniru dan belajar dari sikap anak-anak. Mereka sering tertawa dan sekadar bersukacita, bukan?