Adegan
menyanyikan lagu itu pun dilakukan secara live recording, bukan lip
sync. Whitney mendesak sang sutradara, “Anda boleh melakukan apa pun yang
Anda mau, tapi kalau saya harus menyanyikan lagu ini, kita harus merekamnya
secara langsung.”
Dan
lagu tersebut melambungkan nama Kirk Whalum.
Namun,
Kirk merendah, “Kadang merupakan sebuah berkat tersendiri bagi kita untuk
melakoni peran pendukung saja, sementara pusat perhatian tertuju pada orang
lain yang kita tolong supaya dapat tampil baik.”
DNA
Musik di Urat Nadi
Kirk
Whalum lahir pada 1958 di Memphis, Tennessee, kota yang mengukuhkan nama
pejuang hak-hak sipil warga kulit hitam AS, Martin Luther King, Jr. Kota yang memiliki
sungai terbesar nomor dua di sana, Sungai Mississippi.
“Lahir
dan besar di Memphis membuat kita sepertinya menyia-nyiakan banyak hal seiring
kita beranjak dewasa,” tutur Kirk. “Tapi, saya tak bisa benar-benar kabur dari
pengaruh musik kota Memphis ketika saya berada di Paris. Saya bisa saja sedang
di kafe, restoran kecil, tapi selalu saja ada lagu dari Al Green, Isaac Hayes,
David Porter, dan Elvis. Jadi, saya selalu saja mengingat musik-musik Memphis.”
“Saat
berada di Paris, orang-orang di sana berkata kepada saya, ‘Oh, Anda dari
Memphis, ya? Keren, saya ingin pergi ke sana kapan-kapan untuk melihat tempat-tempat
rekaman B.B. King, Elvis Presley, sama Isaac Hayes,’” kenang Kirk tentang
Memphis saat pulang kampung, setelah hampir 30 tahun meninggalkan kota
kelahirannya itu.
Bakat
musik mengalir di urat nadi keluarga Kirk. Nenek serta kakeknya penyanyi. Ayah
dan ibunya sering memperdengarkan lagu-lagu rohani maupun RnB. Sang
nenek, Thelma Twigg Whalum kerap mengajarinya bermain piano. Pamannya, Hugh
“Peanuts” Whalum yang merupakan pemain piano serta saksofon begitu mengilhami
dirinya. Tak ayal, DNA musik ikut tumbuh di dalam diri Kirk.
Kirk
awalnya bermain drum saat remaja untuk paduan suara di Gereja Olivet Baptist,
tempat ayahnya, Kenneth Whalum, Sr menjabat sebagai pendeta. Lalu, Kirk mulai
belajar saksofon saat ia SMP.
Menginjak
masa SMA, bakatnya bermain instrumen tiup tersebut memancar sehingga oleh guru
musiknya dimasukkan ke grup jazz sekolah. Tapi tak serta-merta ia
menerima. Ketika mengetahui bakat Kirk dan memintanya bergabung, ia menolak
karena merasa masih hijau, tak tahu apa-apa soal jazz.
Namun,
sang guru bersikeras, mengatakan bahwa Kirk sudah terdaftar. “Jadi, bukan saya
yang memilih jazz, tapi saya tahu sejak ikut latihan pertama tersebut
bahwa jazz inilah yang ingin saya mainkan,” ia mengingat.
Lulus
SMA, ia memperoleh beasiswa dari Texas Southern University, Houston untuk studi
musik. Ketika sedang pentas bersama grupnya, seorang pemain piano dan musisi jazz
Bob James terpincut bakat terpendamnya serta mengajaknya ikut tur, plus kontrak
rekaman album.
Renungkan
Ulang Prioritas Hidup
Lulus
kuliah, hampir saja ia melepaskan talenta musiknya demi mengambil karier lain.
Tak dinyana, baru sehari bekerja di suatu supermarket di kota Houston, Texas,
dan kembali dari sebuah konser, ia mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya
mau tak mau merenungkan ulang prioritas utama hidupnya. Ia akhirnya menyadari,
ia hanya akan berbahagia apabila menempuh jalur karier di bidang musik secara
sepenuh waktu.
“Tuhan
menginginkan saya bermain musik, menciptakan lagu. Apa pun risikonya,” aku Kirk.
Musik
Kirk terpengaruh sejumlah musisi, di antaranya Louis Armstrong dan Duke
Ellington. “Bukan semata-mata mereka sanggup menembus batas,” jelas Kirk,
“melainkan mereka memainkan musik untuk orang-orang.
“Musik
yang sanggup membuat Anda berdansa, sungguh-sungguh mendengarkannya, dan jatuh
cinta terhadap musik tersebut. Mungkin kita menganggap hal itu bertujuan
komersial, tetapi menurut saya, itu lebih pada memberikan human touch.”
Selain
musik, Kirk juga bertekun memberikan pengajaran Alkitab lewat program gratis The
Bible In Your Ear (BIYE), yaitu pembacaan Alkitab selama 15 menit per hari
untuk setahun—lima belas menit yang dapat mengubahkan hidup seseorang yang
mendengarkannya.
“Orang-orang
berbicara tentang agama, tetapi sebenarnya tidaklah seperti itu. Ini adalah
tentang penerimaan, pengampunan,” urai Kirk. “Mendapatkan hal-hal demikian dari
seseorang butuh sebuah hubungan dengan Seseorang, yaitu Yesus Kristus. Sukar
mengungkapkannya dengan kata-kata. Saya sendiri secara pribadi sadar bahwa saya
akan terhilang di kehidupan ini tanpa Dia.”
Dedikasi
dan musikalitas Kirk Whalum melambungkan namanya pula di jajaran panggung
internasional. Ia menerima 12 nominasi Grammy serta menang salah satu
penghargaan itu pada kategori Best Gospel Song untuk lagunya, It’s
What I Do.
Lagi
ia merendah, “Saya sangat bersemangat saat orang-orang mengatakan bahwa ketika
mereka mendengar saya bermain, mereka tak hanya mendengar suara permainan
saksofon, melainkan pesan yang saya bagikan lewat sebuah lagu. Saksofon menjadi
sarana saya menyampaikan isi hati terdalam saya. Nah, itu adalah berkat
tersendiri yang terus menyemangati saya.”
Ia melanjutkan, “Di setiap proyek pembuatan
musik, saya terus meyakinkan diri bahwa saya harus jujur kepada diri sendiri.
Saya juga selalu menyampaikan kebenaran atas sepenggal pengalaman hidup dan
iman saya.
“Proses awal saya sebelum membuat lagu
ialah pergi menyendiri, berlutut dan
berdoa, bersyukur kepada Tuhan untuk segala hal. Lalu, memohon kepada-Nya
supaya mengaruniakan alunan-alunan musik yang akan memuliakan nama-Nya. Itulah
sebabnya, hanya beberapa dari rekaman saya yang mengandalkan konsep-konsep atau
teknik musik. Saya membiarkan semuanya mengalir saja.”
Tak banyak orang yang memiliki kerendahhatian, selalu berusaha untuk tetap merendahkan hati walau di tengah kesuksesan yang sanggup membuat menyombongkan diri.