September 28, 2016

Kirk Whalum, kerendahhatian dalam kesuksesan

“And I... will always love you...” Sepenggal lirik lagu Whitney Houston di film yang populer pada 1992-an, The Bodyguard. Lagu yang mengalahkan kepopuleran film itu sendiri. Lagu yang diiringi saksofon tenor oleh Kirk Whalum.

Adegan menyanyikan lagu itu pun dilakukan secara live recording, bukan lip sync. Whitney mendesak sang sutradara, “Anda boleh melakukan apa pun yang Anda mau, tapi kalau saya harus menyanyikan lagu ini, kita harus merekamnya secara langsung.”

Dan lagu tersebut melambungkan nama Kirk Whalum.

Namun, Kirk merendah, “Kadang merupakan sebuah berkat tersendiri bagi kita untuk melakoni peran pendukung saja, sementara pusat perhatian tertuju pada orang lain yang kita tolong supaya dapat tampil baik.”

DNA Musik di Urat Nadi
Kirk Whalum lahir pada 1958 di Memphis, Tennessee, kota yang mengukuhkan nama pejuang hak-hak sipil warga kulit hitam AS, Martin Luther King, Jr. Kota yang memiliki sungai terbesar nomor dua di sana, Sungai Mississippi.

“Lahir dan besar di Memphis membuat kita sepertinya menyia-nyiakan banyak hal seiring kita beranjak dewasa,” tutur Kirk. “Tapi, saya tak bisa benar-benar kabur dari pengaruh musik kota Memphis ketika saya berada di Paris. Saya bisa saja sedang di kafe, restoran kecil, tapi selalu saja ada lagu dari Al Green, Isaac Hayes, David Porter, dan Elvis. Jadi, saya selalu saja mengingat musik-musik Memphis.”

“Saat berada di Paris, orang-orang di sana berkata kepada saya, ‘Oh, Anda dari Memphis, ya? Keren, saya ingin pergi ke sana kapan-kapan untuk melihat tempat-tempat rekaman B.B. King, Elvis Presley, sama Isaac Hayes,’” kenang Kirk tentang Memphis saat pulang kampung, setelah hampir 30 tahun meninggalkan kota kelahirannya itu.

Bakat musik mengalir di urat nadi keluarga Kirk. Nenek serta kakeknya penyanyi. Ayah dan ibunya sering memperdengarkan lagu-lagu rohani maupun RnB. Sang nenek, Thelma Twigg Whalum kerap mengajarinya bermain piano. Pamannya, Hugh “Peanuts” Whalum yang merupakan pemain piano serta saksofon begitu mengilhami dirinya. Tak ayal, DNA musik ikut tumbuh di dalam diri Kirk.

Kirk awalnya bermain drum saat remaja untuk paduan suara di Gereja Olivet Baptist, tempat ayahnya, Kenneth Whalum, Sr menjabat sebagai pendeta. Lalu, Kirk mulai belajar saksofon saat ia SMP.

Menginjak masa SMA, bakatnya bermain instrumen tiup tersebut memancar sehingga oleh guru musiknya dimasukkan ke grup jazz sekolah. Tapi tak serta-merta ia menerima. Ketika mengetahui bakat Kirk dan memintanya bergabung, ia menolak karena merasa masih hijau, tak tahu apa-apa soal jazz.

Namun, sang guru bersikeras, mengatakan bahwa Kirk sudah terdaftar. “Jadi, bukan saya yang memilih jazz, tapi saya tahu sejak ikut latihan pertama tersebut bahwa jazz inilah yang ingin saya mainkan,” ia mengingat. 

Lulus SMA, ia memperoleh beasiswa dari Texas Southern University, Houston untuk studi musik. Ketika sedang pentas bersama grupnya, seorang pemain piano dan musisi jazz Bob James terpincut bakat terpendamnya serta mengajaknya ikut tur, plus kontrak rekaman album.

Renungkan Ulang Prioritas Hidup
Lulus kuliah, hampir saja ia melepaskan talenta musiknya demi mengambil karier lain. Tak dinyana, baru sehari bekerja di suatu supermarket di kota Houston, Texas, dan kembali dari sebuah konser, ia mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya mau tak mau merenungkan ulang prioritas utama hidupnya. Ia akhirnya menyadari, ia hanya akan berbahagia apabila menempuh jalur karier di bidang musik secara sepenuh waktu.

“Tuhan menginginkan saya bermain musik, menciptakan lagu. Apa pun risikonya,” aku Kirk.

Musik Kirk terpengaruh sejumlah musisi, di antaranya Louis Armstrong dan Duke Ellington. “Bukan semata-mata mereka sanggup menembus batas,” jelas Kirk, “melainkan mereka memainkan musik untuk orang-orang.

“Musik yang sanggup membuat Anda berdansa, sungguh-sungguh mendengarkannya, dan jatuh cinta terhadap musik tersebut. Mungkin kita menganggap hal itu bertujuan komersial, tetapi menurut saya, itu lebih pada memberikan human touch.”

Selain musik, Kirk juga bertekun memberikan pengajaran Alkitab lewat program gratis The Bible In Your Ear (BIYE), yaitu pembacaan Alkitab selama 15 menit per hari untuk setahun—lima belas menit yang dapat mengubahkan hidup seseorang yang mendengarkannya.

“Orang-orang berbicara tentang agama, tetapi sebenarnya tidaklah seperti itu. Ini adalah tentang penerimaan, pengampunan,” urai Kirk. “Mendapatkan hal-hal demikian dari seseorang butuh sebuah hubungan dengan Seseorang, yaitu Yesus Kristus. Sukar mengungkapkannya dengan kata-kata. Saya sendiri secara pribadi sadar bahwa saya akan terhilang di kehidupan ini tanpa Dia.”

Dedikasi dan musikalitas Kirk Whalum melambungkan namanya pula di jajaran panggung internasional. Ia menerima 12 nominasi Grammy serta menang salah satu penghargaan itu pada kategori Best Gospel Song untuk lagunya, It’s What I Do.

Lagi ia merendah, “Saya sangat bersemangat saat orang-orang mengatakan bahwa ketika mereka mendengar saya bermain, mereka tak hanya mendengar suara permainan saksofon, melainkan pesan yang saya bagikan lewat sebuah lagu. Saksofon menjadi sarana saya menyampaikan isi hati terdalam saya. Nah, itu adalah berkat tersendiri yang terus menyemangati saya.”

Ia melanjutkan, “Di setiap proyek pembuatan musik, saya terus meyakinkan diri bahwa saya harus jujur kepada diri sendiri. Saya juga selalu menyampaikan kebenaran atas sepenggal pengalaman hidup dan iman saya.

“Proses awal saya sebelum membuat lagu ialah pergi  menyendiri, berlutut dan berdoa, bersyukur kepada Tuhan untuk segala hal. Lalu, memohon kepada-Nya supaya mengaruniakan alunan-alunan musik yang akan memuliakan nama-Nya. Itulah sebabnya, hanya beberapa dari rekaman saya yang mengandalkan konsep-konsep atau teknik musik. Saya membiarkan semuanya mengalir saja.”

Tak banyak orang yang memiliki kerendahhatian, selalu berusaha untuk tetap merendahkan hati walau di tengah kesuksesan yang sanggup membuat menyombongkan diri.



(disadur dari berbagai sumber)