April 20, 2015

Buta di Belakang, Tahu di Depan

Saya membaca ulasan singkat dari Linda Yezak tentang isi cerpen The Boy Who Smelled Colors oleh H. Lee Barnes.

Di paragraf-paragraf awal, penulisnya memperkenalkan kedua tokoh, Julian dan Christopher yang berpetualang di sebuah gurun pasir di Arizona. Christopher sebagai tokoh utama dengan sudut pandang pertama (POV), sedangkan Julian adalah saudaranya.

Christopher menghaturkan bahwa Julian menghadap ke cakrawala yang membentang di depannya, seolah ingin merasakan desiran angin dari berbagai penjuru.

Kemudian, pada paragraf-paragraf selanjutnya, cerpen tersebut berisi dialog antarkedua karakter tersebut seperti tentang cuaca panas ataupun hawa hangat. Sampai pada dialog berikut ini, barulah jelas tentang keadaan Julian yang sebenarnya:

“This way.” Christopher aims Julian toward the trailhead and takes his forearm in hand. “Careful. There’s rock ahead.” (terj. bebas: “Lewat sini.” Christopher mengarahkan Julian sambil memegang lengannya. “Hati-hati. Ada batu di depan.”)

Menurut Linda Yezak, penulis cerpen tersebut menguraikan sebanyak tujuh paragraf yang berisi narasi serta sejumlah dialog sebelum akhirnya pembaca dapat mengetahui bahwa Julian itu tunanetra. Bahkan, terdapat delapan paragraf lagi sebelum akhirnya penulis memasukkan kata buta.

Lagi, menurut Linda, sebenarnya bisa saja H. Lee Barnes memulai cerita langsung dengan menjelaskan bahwa Julian itu buta. Dan Christopher sedang bersamanya, membimbingnya melintasi gurun pasir. Tapi, kalau seperti itu, karena para pembaca sudah mengetahui di awal, kemungkinan alur ceritanya mudah ditebak. Tak terlalu menarik. (Mungkin ada perbedaan besar antara cerita yang mudah diikuti atau dinikmati dengan yang mudah ditebak, ya?)

Begitu juga mungkin halnya dengan kehidupan.

Kalau kita sudah tahu banyak yang akan terjadi di depan, mungkin rasanya kehidupan ini takkan terlalu menarik. Atau, mungkinkah karena kita haus kontrol sehingga kalau bisa, kita harus dapat mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi supaya kita tidak terlalu panik, kewalahan? Ataukah, sebenarnya kita sekadar takut?

Membuat perencanaan boleh-boleh saja. Dan perlu. Sebab kalau kita sudah tak punya rencana apa-apa, kita perlu bertanya-tanya, ke mana sebenarnya tujuan kita? Tapi, kita tak dapat selalu mengetahui apa saja yang akan terjadi di depan. Tapi, kita tahu kepada Siapa kita sebaiknya berharap.


Maybe the reason for this mystery is so that we will turn to him. After all, what do we need the Lord for if we already know what will happen?
—Rick J. Pritikin

Image from here