March 27, 2015

69

Saya pernah menuliskan berikut di blog ini (lihat Tulisan Campuran). Tentang orang-orang sudah berusia tua, tapi masih mau melakukan sesuatu yang bagi mereka mungkin adalah hal yang baru. Saya cuplik sedikit saja, ya.
  
  • Pada usia 59 tahun, Daniel Defoe menulis novel pertamanya, The Life and Adventures of Robinson Crusoe
  • Usia 62, John Ronald Reuel Tolkien menerbitkan edisi perdana Lord of the Rings
  • Pada umur 65 tahun, Noah Webster menyelesaikan American Dictionary of the English Language
  • Pada umur 67, Viktor Frankl, penulis Man’s Search For Meaning, menjadi pilot. 67 tahun!
  • Pada 71 tahun, Katsusuke Yanagisawa berhasil mendaki Gunung Everest!
  • Usia 82, Winston Churchill menulis A History if the English-Speaking Peoples, serta Leo Tolstoy menulis I Cannot Be Silent
  • Umur 84, W. Somerset Maugham menulis Points of View
  • Dan pada usia 85 tahun, Viktor E. Frankl masih mengajar

Lalu, apa lagi yang mau saya angkat?

Tak banyak sih. Hanya ingin berbagi lagi. Kalau contoh-contoh orang tua di atas kebanyakan dari luar negeri, nah apakah ada juga yang dari negara sendiri, ya? Mungkin banyak. Namun, izinkan saya untuk menceritakan satu di antaranya saja.

Ketika saya membaca sebuah warta jemaat gereja, tertulis tentang Om Njo, beliau merupakan almarhum ayahandanya Pdt. DR. Niko Njotorahardjo. Om Njo memulai serta merintis pembangunan salah satu gereja di kota Depok yang kini terletak di jalan Kamboja—setelah sempat berpindah-pindah tempat—dan dikenal dengan nama GBI (Gereja Bethel Indonesia) Kamboja.

Dan beliau mulai melakukannya pada usia 69 tahun. 69. Tahun. Usia yang bisa terbilang cukup lanjut juga. Dan hingga umurnya menutup pada usia 81 tahun, telah ada enam belas gereja yang terbangun.

Mungkin kita belum mencapai usia sepanjang itu. Dan kita belum mencapai banyak impian—bahkan mungkin satu impian pun. Namun, semoga kita tak gampangan, mudah menyerah. Merasa susahlah untuk berputus asa. Lalu, kita mencoba melakukan sesuatu yang mungkin menggiring kita makin mendekati mimpi itu, hingga benar-benar mencapainya.

Atau, mungkin sudah ada di antara Anda, para pembaca yang sudah memasuki usia tua. Banyak gejolak jiwa yang kita rasakan. Juga, beberapa hal terasa berkurang, tapi semoga keberanian serta semangat tak lekang, hilang. Lalu, cobalah mengerjakan sesuatu yang mungkin, bagi kita, baru. Akan ada hal-hal baik melampaui usia itu.

sumber: istimewa






















March 12, 2015

Equipment

Figure it out for yourself, my lad,
You've all that the greatest of men have had,
Two arms, two hands, two legs, two eyes
And a brain to use if you would be wise.
With this equipment they all began,
So start for the top and say, "I can."

Look them over, the wise and great
They take their food from a common plate,
And similar knives and forks they use,
With similar laces they tie their shoes.
The world considers them brave and smart,
But you've all they had when they made their start.

You can triumph and come to skill,
You can be great if you only will.
You're well equipped for what fight you choose,
You have legs and arms and a brain to use,
And the man who has risen great deeds to do
Began his life with no more than you.

You are the handicap you must face,
You are the one who must choose your place,
You must say where you want to go,
How much you will study the truth to know.
God has equipped you for life, but He
Lets you decide what you want to be.

Courage must come from the soul within,
The man must furnish the will to win.
So figure it out for yourself, my lad.
You were born with all that the great have had,
With your equipment they all began,
Get hold of yourself and say: "I can."

—by Edgar A. Guest


Bahasa yang universal

Menurut saya—meskipun mungkin ribuan—ada satu perwakilan untuk bahasa universal yang dapat diterima oleh orang-orang di dunia. Bahasa itu, berdasarkan urutannya, adalah:

·   Semoga tawa
·   Duka atau air mata
·   English
·   Keberanian atau perjuangan
·   Harapan

Kalau kata Anda dan berdasarkan urutan, apa yang mewakili dan bisa menjadi bahasa yang universal…?


March 3, 2015

Merah, kuning, hijau



Gambar di atas adalah lampu lalu lintas di dekat mal Gandaria City. Lampu yang selalu menyala ketiga-tiganya—merah, kuning, hijau. Membingungkan. Kasihan orang-orang yang sangat mematuhi rambu-rambu kalau melewati jalan itu, sebab mungkin tidak tahu nyala lampu yang benar.

Itu saja?

Tidak. Saya ingin menganalogikan ketiga lampu yang menyala itu dengan jenis kepribadian yang berbeda-beda. Koleris dan sanguin ibarat lampu hijau atau jalan terus. Plegmatis adalah lampu kuning atau hati-hati. Melankolis ialah lampu merah atau silakan berhenti.

Nah, seandainya masing-masing kepribadian itu merasa harus dominan di suatu tempat, misalnya di sekolah, apa yang akan terjadi?

Pribadi yang selalu merasa senang dan terbuka, menganggap bahwa orang-orang lain pun harus sama, mengikuti irama perasaan atau keadaan di kesehariaannya. Pribadi yang hati-hati jarang atau enggan, bahkan tidak pernah mencoba memeluk keberanian. Pribadi yang sok tertutup, harus diam sepanjang waktu, tak mau belajar terbuka atau apa adanya, dan menganggap orang-orang mesti mengerti apa pun yang ia rasakan atau jalani.

Butuh keseimbangan dan bergantian, bukan? Tak bisa selalu menyala semua seperti ketiga lampu di dekat Gandaria City di atas.

Kadang ada waktunya untuk semua orang sama-sama merasa senang, walau sesekali—ataukah sering kali?—dalam tawa, hati bisa saja merana. Kadang perlu memang untuk berhati-hati, sebab itulah salah satu fungsi pemikiran—misalnya, kita bisa merasa aman-aman saja dan beriman tidak ada apa-apa saat berbelok atau mengubah arah secara tiba-tiba di jalan raya tanpa menengok ke spion terlebih dulu, tapi lebih baik mengamati sekitar walau sepintas. Kadang ada waktunya juga kita butuh untuk diam, menyendiri—meski semestinya perlu pula mencoba apa adanya saja.

Di satu sisi, lampu lalu lintas yang menyala tiga-tiganya itu mungkin membingungkan. Tetapi, di sisi lainnya, menurut saya itu lebih baik, jauh menghibur, ketimbang ada sejumlah lampu lalin yang ketiganya mati, redup. Tak menyala.

Kesimpulan akhirnya, memang menyala saja semua lebih baiklah, walau kadang perlu memikirkan keseimbangan. Sebab apabila tak menyala, apalah gunanya. Itu pun lebih membingungkan daripada ketiga lampu yang menyala, dan malah membahayakan orang-orang kalau padam.

Apakah semangat lenyap, iman mati, harapan pudar? Menyalalah.



March 2, 2015

H

See, seminggu yang lalu kira-kira, saya sudah pangkas rambut, merapikannya supaya tak tampak rontok bagian tengahnya. Nah, kemudian, Minggu kemarin, saya pergi lagi ke tukang potong rambut langganan untuk merapikan. Ya, entah mengapa saya mengalami penipisan rambut : ). Mungkin sebabnya panas karena sering memakai helm, entah hormon, entah penyebab yang lainnya.

Berharap dan berdoa juga supaya bisa tumbuh lagi : ), tapi ya belum mencoba ke Erha atau perawatan rambut agar menumbuh. Tapi, mungkin ada yang lebih baik daripada sekadar rambut yang bertumbuh…

Instead of asking You to merely grow my hair,
please grow my heart
grow my humility
grow my honesty
grow my hope
grow my ability-to-play-the-horn
grow my hunger of You
grow my brouhaha
grow my adaptability-to-hang-on-and-know-when-to-move-on