November 28, 2014

U R

It takes courage to grow up and turn out to be who you really are.
—e. e. cummings


you are my synonym
you are my antonym, at times

you are my homonym, when we act the same but have different feeling or meaning
you are my homograph, we’re the same but different at the same time
my homophone

you are my superlative
my hyperbole, when I (probably should do it more often) adore you more and while you say something bad, worse, and even worst about me

you are my anaphora, pleonasm, I think about you all the time
my ellipsis, at times, in which I actually can’t do

you are my onomatopeia, I do what you do, though at times I hesitate to acknowledge it

but, most of all
you are my language
at times
and
most of the time
all of the time















Deja Vu?

JDDO NM VQHSHMF. Judul tulisan yang saya tulis dua hari lalu tentang word play. Bermain kata. Hari ini juga ingin berbagi lagi sedikit tentang permainan kata. Permainan ini dipelopori oleh Charles Dogson, seorang ahli matematika dan pengarang, yang lebih terkenal pseudonimnya dengan nama Lewis Carroll, penulis Alice in Wonderland.

Dia mempelopori word play berjudul double play, yaitu sebuah permainan kata yang memiliki kemungkinan hubungan-hubungan atau kombinasi. Mungkin kita pun secara sengaja atau tidak, pernah melakukannya. Misalnya, dari kata tiga bisa berubah menjadi kata satu dengan cara mengubahnya: tiga – liga – laga – lagu – sagu – satu.

Pena menjadi buku. Pena – peka – reka – rela – bela – bala – pala – palu – paku – baku – buku.

Anak menjadi ayah. Anak – ayak – ayah.

Lama jadi baru. Lama – lara – mara – masa – mata – bata – bara – baru.

Dan kata-kata lainnya. Silakan mencari dan mengolahnya sendiri. : )

Terkait tentang hubungan-hubungan atau kombinasi, terutama dalam kata atau tulisan, di dalam buku Hundred Secret Senses atau Seratus Indra Rahasia oleh Amy Tan, kalau tidak salah, juga ada dibahas tentang koneksi-koneksi bahkan antarperistiwa di dalam kehidupan kita. (Teaser di www.barnesandnoble.com untuk buku itu: Amy Tan's latest effort unfolds a series of family secrets that questions the connection between fate, beliefs, and hopes, memory and imagination, and the natural gifts of our hundred secret senses.)

Jadi, bukan hanya kata-kata yang memiliki kombinasi atau sejumlah hubungan, kaitan, seperti di double play tadi, tetapi mungkin juga apa pun di dalam hidup kita. Bukankah beberapa kali pun kita pernah seolah mengalami deja vu? Atau mungkin itu adalah, hanyalah sebuah perspektif.


Relativity





















November 26, 2014

Pret?

Tadi pagi, hampir sharing renungan di kantor karena teman (Kenny Saputra) minta tolong supaya menggantikan dia. Tapi, karena kemungkinan telat sampai di sana, saya meminta tolong Pak Ryan saja yang membawakan renungan.

Renungannya dari Santapan Harian-nya SABDA. Sebagai berikut.

Wahyu 12:1-12

Judul: Rival Allah: Sang Naga

Wahyu bukanlah catatan sejarah masa lampau atau gambaran kronologis masa depan. Wahyu memperlihatkan kedaulatan Allah atas dunia ini, atas sejarah, dan atas masa depan dari berbagai perspektif.

Pasal 12-13 memperlihatkan bagaimana rival Allah, yang diwakili si Naga (12:3), binatang yang keluar dari laut (13:1-2), dan binatang yang keluar dari bumi (13:11), yang melambangkan kekuatan triritunggal yang jahat/najis, berupaya mengacaukan karya penyelamatan Allah tritunggal atas dunia milik-Nya. Upaya tritunggal yang palsu itu tidak berhasil. Allah Tritunggal sejatilah yang mengendalikan sejarah, bahkan para musuh-Nya.

Si Naga merupakan musuh Allah yang mencoba merintangi rencana-Nya menyelamatkan kemanusiaan. Dia mencoba menggagalkan rencana itu melalui memusnahkan umat Allah Perjanjian Lama, yang dilambangkan oleh perempuan yang bermahkotakan 12 bintang, yang melaluinya Mesias dilahirkan (5, bdk. Mzm. 2:7). Alih-alih membinasakan Sang Mesias, si Naga justru mendapatkan kekalahan telak oleh karya penebusan sang Anak Domba (11). Dari sudut pandang surgawi, si Naga dan para pengikutnya tersebut dikalahkan oleh Mikhael dan para malaikatnya dan dilemparkan ke bumi (7-9). Perikop ini bukan membahas asal muasal Iblis sebagai malaikat yang memberontak, sebagaimana diajarkan oleh tradisi Yahudi dan Kristen tertentu.

Perikop ini juga tidak boleh dipakai untuk memetakan si Naga dan pribadi-pribadi tritunggal najis lainnya, kepada sosok pribadi, aliran agama, atau bahkan aliran kekristenan tertentu yang dianggap sesat. Perikop ini mencoba menggambarkan bahwa selama bumi belum dipulihkan kembali (Why. 21:1), selama itu pula kejahatan dan antek-anteknya terus merajalela. Namun, dua hal harus terus diingat dan menjadi penguatan dan penghiburan kita. Pertama, kuasa Iblis sudah kalah mutlak pada peristiwa kayu salib, 2000 tahun yang lalu. Kedua, Allah berdaulat, tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi di luar izin-Nya.


Wahyu. Topik berat.

Tapi, kalau boleh mengambil secuil kata dari bahan renungan yang ada di atas, saya ingin mencoba menukil sedikit tentang perspektif.

Kalau berdasar teori relativitas spesialnya Albert Einstein—cie Einstein—mungkin juga mencakup tentang perspektif. (Tolong koreksi saya apabila salah atau kurang, ya para ahli.) Cangkir merah kopi Nescafe di sebelah kanan saya bisa jadi adanya di sebelah kiri apabila dilihatnya dari posisi Anda yang mungkin ada di depan saya.

It's a fact of life: Some things are absolute, and some are relative. For me, the teapot on the table is to the left of my cup. From the point of view of an observer sitting directly opposite, it's the other way around: My cup is to the left of the teapot. "Left" and "right" are relative. Whether or not an object is located to the left or to the right of another depends on the observer. On the other hand, if the cup is filled to the brim with coffee, all observers should agree to the fact, regardless of where they sit. That, it would seem, is an absolute statement, independent of who makes the observation.

Einstein's special theory of relativity (special relativity) is all about what's relative and what's absolute about time, space, and motion. Some of Einstein's conclusions are rather surprising. They are nonetheless correct, as numerous physics experiments have shown. And they have forced physicists to revise the way they think about some of their science's most basic concepts. (http://www.einstein-online.info/elementary/specialRT)


Kalau boleh mengaitkannya dengan perspektif, apa pun yang kita alami sekarang, khususnya yang kurang mengenakkan bagi kita—seperti penderitaan, cobaan, atau apa pun—mungkin terlihat kusut, acak-acakan di hidup kita. Itu yang kita lihat dari bawah sini, dari bumi. Namun, mungkin Ia yang telah melihat segalanya, berbeda. Dari atas. Tampak indah. Sudah tahu polanya. Dan Ia bisa memakai semuanya untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi Dia.

Pret,” celetuk Anda. Bahkan, kata saya juga.

Mungkin mudah mengatakannya, menasihatkannya. Apalagi kalau belum atau tidak mengalaminya sendiri. Tapi, berat, seberat topik tentang Wahyu tadi di atas saat melakukan, menerimanya. Tapi, kalau kita mau mencobanya, sedikit demi sedikit, mungkin akan menjadi sebuah, istilahnya, disiplin. Dan bukankah kerohanian kadang lebih membutuhkan kedisiplinan daripada bidang olahraga?

Kalau boleh lagi sedikit mengupas tentang perspektif, beberapa hari yang lalu, saat sedang terjebak kusutnya kemacetan jalan dekat RS Fatmawati, tebersit tentang, mungkin agak mistis menurut Anda, adanya suara seolah-olah orang-orang yang di atas berkata, "Just be patient," dan orang-orang yang di bawah, "Just do what's important in your life."

Pret?

Mungkin itu adalah sebuah perspektif.


Pria-pria Perkasa



















JDDO NM VQHSHMF

Saya suka bermain kata. Mungkin bahasa adalah matematika sayapengakuan, berhubung dulu nilai-nilai ilmu eksak saya jelek, dan sering kali gentar ketika masa SMP dan SMA kalau guru menanyai murid-murid tentang soal-soal matematika.

Juga suka bermain asah otak, tapi mungkin bukan yang ranah hitung-hitungan. Lebih ke yang arah kata-kata atau lainnya.

Berikut ini ada sedikit latihan asah otak plus mungkin bisa juga sebagai permainan kata. Sudah terpatri di benak kita yang memakai dan tahu huruf Romawi bahwa A adalah A dan Z adalah Z. Bagaimana kalau kita coba mengubah-ubahnya? A menjadi B, atau C, D, atau E, dst.

A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A
C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B
D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C
E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D
F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E
G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F
H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G
I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H
J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I
K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J
L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K
M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L
N O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M
O P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N
P Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O
Q R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P
R S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q
S T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R
T U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
U V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T
V W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U
W X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V
X Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W
Y Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X
Z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

Nah, kalau A = Z, apakah bacaan judul tulisan ini di atas?


ilustrasi dari sini










November 7, 2014

K


Saat baca-baca kemarin pas kelompok sharing di kantor, mata menyorot, atau hati sih tepatnya, pada kata-kata, “Mungkin karena kita takut terhadap kekosongan dalam jiwa kita yang cenderung terasa pada jam-jam sunyi,” oleh Charless Swindoll. Mungkin karena kita takut terhadap kekosongan dalam jiwa kita yang cenderung terasa pada jam-jam sunyi. Ketemplak.

Saya tahu orang-orang pasti memiliki kuota rasa tidak puas, atau kekosongan, di dalam hati, entah berapa pun jumlahnya, kadarnya. Dan barangdanau (bukan barangkali) itu sah-sah saja kalau ada rasa puas yang tidak sah, maksudnya suka keadaan stagnan, mencari hal-hal yang gampang saja, terpaku dan terpukau masa lalu. Atau, mungkin wajar-wajar saja kalau ingin mengejar pekerjaan bergaji lebih besar lagi atau yang lebih baik sesuai panggilan hidup—maksudnya, untuk itu kita mulai terpanggil merasa benar-benar hidup—memiliki hubungan, menguasai komunikasi, mengatur keuangan dengan lebih bagus lagi, mencoba kesempurnaan, kesuksesan. Kejarlah.

Rasa puas bukan hanya berarti mencakup pada materi atau makanan, seperti kata penulis Ibrani, “… cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu (lih. Ibrani 13:5).” Kecukupan.

Rasa puas itu mungkin juga bisa berarti, dipelajari, didapatkan melalui, atau bicara tentang puas terhadap kerjaan yang banyak, atau teman yang masih sedikit, rumah yang jaraknya jauh, mengalami sakit, atau ditinggal orang dekat, dan apa pun yang mungkin kita alami dan anggap sebagai sesuatu yang negatif atau membuat merasa kosong. Kini.

Di satu sisi, St. Agustinus memang pernah berkata, “Thou hast made us for thyself, O Lord, and our heart is restless until it finds its rest in thee,” atau Tuhan telah menciptakan manusia sebenarnya semata-mata bagi-Nya dan hati mereka takkan pernah tenang sebelum tenang, puas, berserah hanya di dalam Dia. Kristus.

Di sisi lainnya, mungkin kita pun tak akan belajar memperoleh ketenangan sebelum kita berada, menghadapi, mensyukuri keadaan yang tidak kita inginkanataukah yang sebenarnya kita inginkan, butuhkan. Memang ini sesusah membalik telapak tangan kalau sekadar teori, segampang membalikkan Telaga Sarangan apabila mengalaminya sendiri. Krisis.

Apakah bisa terasa kosong kala merasa puas, serta sebaliknya? Bagaimana dengan sesudahnya, apakah akan ada kekosongan setelah mengalami kepuasan, lalu merasa puas setelah rasa tidak puas? Apakah kekosongan dan kepuasan, rasa tidak puas dan puas itu seimbang? Tetapi, mungkin rasa puas yang sejati tidak memberi tempat untuk rasa tidak puas, meski mengakui keberadaan perasaan tersebut. Rasa puas itu selalu berada jauh lebih di atas, walau merasa adanya hal-hal yang sedang di bawah. Klop.

 
ilustrasi dari sini














November 5, 2014

Bohong Adalah Pisau


Ilustrai dari Fancy
Gestapo, polisi rahasia Nazi mendesak: “Di mana kalian sembunyikan orang-orang Yahudi itu?!”

“Saya tahu mereka di sini! Jangan bohong!”

Corrie ten Boom yang sejujurnya tidak suka berbohong, mungkin terpaksa melakukannya, bohong. “Tidak ada orang Yahudi di sini…” jawab Corrie.

Setelah saat itu, sempat terjadi perselisihan kecil dan singkat antara Corrie dengan kakaknya, Betsie ten Boom tentang apakah boleh berbohong—apalagi dalam keadaan seperti di atas?

Saya tidak tahu. Atau apakah saya tahu? Tapi mungkin untuk keadaan seperti itu boleh. Menurut cerita lain, Betsie menjawab jujur kepada Gestapo, dan hasilnya malah polisi rahasia itu tidak percaya, menganggapnya bercanda.

Jadi, apakah sebaiknya bohong—ataukah jujur?

Saya tidak tahu. Tapi mungkin suara hati kecil kita yang paling tahu, suara yang bisa saja paling keras ataupun sangat lembut, mengingatkan kita untuk apa yang sebaiknya kita lakukan.

Bohong mungkin seumpama pisau. Pisau seperti politik. Bisa digunakan untuk tujuan jahat atau baik. Seperti halnya bahasa Jerman. Apakah Elie Wiesel dan Viktor Frankl tidak mau menggunakan bahasa itu, bahasa yang negaranya pernah mengadopsi Nazi yang telah memenjarakan dan menyiksa mereka di kamp-kamp konsentrasi? Masih mau menggunakannya, bukan?

Saya tidak tahu apakah analogi pisau, politik, dan bahasa ini linear atau segaris untuk kebohongan, tidak? Tetapi, satu yang saya tahu. Saya tahu kadang saya harus bohong, saya tahu kapan saya mau jujur.