May 6, 2014

Isih Jam Pitu


Isih Jam Pitu adalah sebuah prinsip yang saya dengar, dan mungkin olah juga, sekilas dari Mas Jati Wicaksono. Prinsip yang saya dengar ketika kami—Mas Jati, Bu Widya, Jiyuu, dan saya—hendak menyaksikan pertunjukan teater Matinya Sang Maestro di Taman Ismail Marzuki. TIM.

Sabtu, 12 April 2014 yang lalu.

Perjalanan mulai dari Depok pukul 5 sore. Lebih sekitar lima belas menit ketika saya tiba di rumahnya Mas Jati untuk berangkat bersama naik “Mumun”—panggilan kesayangannya untuk mobil Suzuki Karimun mungil merahnya. Cuaca agak mendung, awan-awan hitam mengumpul, mau hujan. Ditambah ada takut akan kemacetan di benak saya, mungkin Mas Jati juga. Maklum, malam Minggu, bro.

Sementara itu, pertunjukan akan mulai pukul 8 malam gong. Kurang dari tiga jam lagi waktu kami menuju ke sana, yang juga mesti menyusul Bu Widya ke apartemennya untuk ke TIM bertiga. Jiyuu sudah berangkat terlebih dulu.

Singkat cerita.

Setibanya menjemput Bu Wid, mungkin waktu tinggal sedikit tersisa agar sampai di TIM tanpa terlambat. Karena perjalanan sebelumnya ternyata menemui kemacetan di sejumlah titik, seperti dekat Lebak Bulus, ITC Permata Hijau, dan lain-lain. Belum lagi harus menuju ke TIM-nya.

Belum sempat makan malam pula.

Sesampainya memasuki gerbang masuk TIM, parkiran tampak padat. Mobil-mobil antre. Dan waktu itulah—juga mungkin beberapa kali sebelumnya—saya mendengar prinsip tadi dari tuturan Mas Jati. Isih Jam Pitu. Masih jam tujuh (7, 19.00). Itu pun semacam terapi ringan untuk beliau, yang juga mungkin—karena juga sudah beberapa kurun waktu lamanya mengaspal jalanan Jakarta—mengalami rasa terburu-buru, tergesa-gesa. Itu supaya tetap tenang. Tanpa panik. Berserah. Menenangkan diri.

Di banyak kota besar, say Singapura, Tokyo, Hong Kong, atau Jakarta, tentu kebanyakan orang yang bergerak cepat, berjalan cepat, dan serbacepat lainnya. Seolah tak bisa lagi, atau jarang, menikmati segala sesuatu.

            Saya juga yang masih naik motor untuk berangkat serta pulang kerja—yang dulunya mungkin mampu santai menikmati jalan raya—sekarang pun hampir sering tergesa-gesa. Maklum, Jakarta, jarang ada pengendara yang mau mengalah, tidak seperti ujar salah satu dosen saya dahulu, yaitu di Jepang para pengendaranya masih mau mendahulukan orang lain di jalan.

Semoga prinsip Isih Jam Pitu mengingatkan supaya kita masih mau menikmati momen. Waktu mengerjakan sesuatu. Tanpa terburu-buru. Walau memang mesti fleksibel dan tahu kapan perlu cepat atau lambat. Melambatlah sesaat. Saat merasa tergesa-gesa dan harus cepat, pikirkan, ataupun katakan, “Isih Jam Pitu.”

Isih jam pinten sak niki ning Jogja, Mas Jati...?


Referensi:


Jiyuu & Bu Wid













Mas Jati & saya