February 28, 2014

El Solo Bolo

Tiga hari yang lalu, ketika pengucapan selamat untuk hari ulang tahun seorang rekan kerja, Pak Obedi Zalukhu, beliau berkata satu hal saat ditanya tentang mau didoakan untuk apa. Pak Obed, akrab disapa, menjawab, “Supaya makin dekat dengan Tuhan saja…”

            Polos? Canda? Ada atau tanpa motif? Saya tidak tahu, tetapi yang pasti hanya itulah yang Pak Obed katakan. Sesederhana itu.

            Memikirkan hari-hari ini yang mungkin sedang mengalami beberapa hal, membuat seperti membutuhkan sandaran agar merasa tetap tenang. Lewat uang. Orang-orang. Bercandaan. Hiburan. Dan lain-lain. Tetapi, sepertinya semua itu kurang—bahkan tidak dapat—memberikan yang sebenarnya saya atau kita perlukan.

            Apa, atau mungkin tepatnya siapa, yang bisa? Mungkin benar kata Pak Obed, yang barangkali juga mengutip perkataan Daud.    

Mazmur 62:1b:
Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku.

            Ya.

Hanya dekat Allah saja … aku tenang.

Hanya dekat Allah saja … aku aman.

Hanya dekat Allah saja … aku damai.

Hanya dekat Allah saja … aku kaya.

Hanya dekat Allah saja … aku puas.

Hanya dekat Allah saja … aku pulas.

Hanya dekat Allah saja … aku tidak sendirian.

Hanya dekat Allah saja … aku kenyang.

Hanya dekat Allah saja … aku diam.

Hanya dekat Allah saja … aku.



Oh, Lord-e

I started writing songs when I was 13 or 14, because I've always been a huge reader. My mum's a poet and we've always had so many books, and that's always been a big thing for me, arguably more so than music.

—Ella Maria Lani Yelich-O'Connor



February 25, 2014

Kokor-o no moto

I think we never become really and genuinely our entire and honest selves until we are deadand not then until we have been dead years and years. People ought to start dead, and they would be honest so much earlier. 
Mark Twain








Beberapa waktu lalu saya men-Tweet seperti itu. Entah lupa kapan tepatnya copywriting panjang dari pemerintah yang menyertai iklan-iklan rokok berubah menjadi singkat seperti di atas: Rokok membunuhmu.

Dulu:






 Ups, salah:







Sepertinya, copywriting singkat itu “berhasil” memikat banyak orang untuk membacanya. Mungkin. Berhasil di satu sisi. Tetapi, sepertinya juga kalau seperti itu, adalah preseden yang salah untuk premis terhadap suatu hal yang lain.

Memang konotasi rokok atau merokok condong ke hal yang negatif, sehingga ada anggapan kalaulah kebanyakan melakukan kebiasaan itu, akan merenggut napas terakhir seseorang. Tetapi, barangkali rokok atau merokok bukanlah hal yang pasti, selalu negatif. Sebab, ada beberapa orang besar juga yang terbiasa merokok. Yang bilang, “If you're going through hell, keep going,” juga merokok.

Tiap-tiap hal mungkin memiliki risiko kalau berangkat dari copy atau moto singkat tadi.

Naik sepeda motor membunuhmu.

Internet membunuhmu.

Cokelat membunuhmu.

Tidur membunuhmu.

Kopi membunuhmu.

"Obat" nyamuk membunuhmu—dan nyamuk.

Bungee jumping membunuhmu.

Makan membunuhmu.

Maka, mungkin ketimbang mengatakan, Rokok membunuhmu, bukankah alangkah lebih baik menyatakan, Bunuh (Matikan) rokokmu? Sebab, belum tentu pihak yang menuliskan copy yang pertama itu beberapa anggota keluarganya tidak ada yang merokokatau adakah yang merokok juga?

Copy singkat tadi memang berhasil. Tetapi, ada yang lebih singkat. Bunuh rokokmu. Matikan rokokmu. Ini datangnya dari kokoro no tomo—bukan dari pejabat, tapi hati seorang sahabat. : )




February 17, 2014

Mawar



Berangkat dari terbakarnya sekitar 3.000 buku koleksi Bpk. Iwan Gardono Sujadmiko di sini dan di sini pada awal tahun ini, apakah kita siap kehilangan barang-barang yang mungkin berarti bagi kita? Tetapi, itu terhadap barang-barang atau benda-benda. Belum kalau tentang orang-orang. Saya sendiri membayangkan, bagaimana kalau-kalau rumah saya di Ciliwung – Depok kebakaran atau kebanjiran dan melahap buku-buku saya… Semoga tidak terjadi, sih. 

            Entah salah, entah benar, Thomas Alva Edison pernah berkata kepada putranya, “Where is mom? Go get her and tell her to bring her friends they’ll never see a fire like this one again (Mana Ibumu?! Cepat panggil Ibumu dan suruh membawa teman-temannya untuk melihat kebakaran luar biasa ini)!” Saat labnya hampir habis dilalap api.

            Sepertinya Thomas Edison tidak terlalu memegang erat-erat benda-benda atau barang-barang sebagai miliknya. Seindah apa pun. Mesti siap kehilangannya. Seperti mawar mungkin. Siapa yang mau menggenggamnya terlalu erat?

            Terkait tentang itu, berikut tulisan—sekali lagi—dari Pak Jati tentang saat kita memegang sesuatu atau banyak hal terlalu erat. Go ahead, Mr. Jati.


***


Pekan ini ada banyak orang yang sedang menikmati momen hari Valentine, entah karena benar-benar merayakannya, entah sekadar latah ikut-ikutan momennya.

Bicara tentang kasih sayang atau kaitannya dengan mencintai, ada satu hal yang ingin saya bagikan.

Kita selalu diminta untuk menyayangi dan mencintai apa pun yang kita miliki, entah kepada orang lain, pekerjaan, komunitas, benda atau hal yang lainnya.

Tapi, pernah tidak kita ketika menyayangi atau mencintai seseorang atau suatu hal, kita tersakiti atau terlukai? Ada yang mengatakan, “Mencintai atau menyayangi itu menyakitkan.” Saya berpikir, kenapa bisa muncul ungkapan itu, ya?

Setelah saya mencoba merenungkannya dan refleksi dengan pengalaman pribadi saya, kalau dianalogikan mencintai atau menyayangi seseorang atau sesuatu hal yang kita miliki itu seperti sedang memegang setangkai bunga mawar.

Kalau kita memegang dengan terlalu erat, pasti telapak tangan kita akan terluka karena durinya akan menusuk, tetapi kalau kita memegangnya dengan benar, tepat (pas), dan yang utama dengan kasih, pasti rasanya akan indah.

Begitu pula ketika mencintai atau menyayangi segala hal yang kita miliki di dunia ini keluarga, sahabat, teman, harta, atau pekerjaankita perlu melakukannya dengan pas dan yang utamanya dengan kasih.
           
Kasih membuat kita tidak merasa tersakiti ketika mencintai atau menyayangi sesuatu hal, bahkan dapat menguatkan atau mengikhlaskan ketika yang kita cintai atau kita kasihi itu hilang…

Kita dapat belajar dari Allah yang kasih-Nya tak berkesudahan bagi kita semua.

Nah, selamat belajar mencintai dan mengasihi dengan kasih.



—Jati Wicaksono
(Secangkir teh dan sepotong singkong rebus bagi sahabat.)



Image courtesy of Lifehack



February 13, 2014

Ransel


Saat-saat ini saya sedang kembali belajar tentang berserah, satu tindakan yang rasa-rasanya mudah dilakukan, tetapi bisa tidak mudah ketika berhadapan dengan suatu masalah yang berbeda kadar kesulitannya.

Kalau boleh dianalogikan seperti kita sedang melakukan perjalanan menumpang bus dengan membawa ransel. Selama perjalanan, tanpa sadar kita duduk sambil memangku ransel tersebut, padahal di sebelah kita ada bangku kosong, bahkan sopir bus atau penumpang lainnya pun sudah ingin membantu kita menurunkan ransel tersebut.

Entah apa yang membuat kita tanpa sadar enggan menaruh ransel tersebut atau bahkan ada kecemasan yang amat sangat terhadap ransel yang akan kita taruh itu.

Ransel, saya ibaratkan permasalahan dalam perjalanan hidup kita; penumpang lain ibarat orang-orang di sekeliling kita yang peduli dengan permasalahan yang kita alami; sopir bus ibarat Allah yang menolong kita dengan cara-Nya yang unik. Dengan cara-Nya yang unik.

Dari proses pengalaman belajar saya tentang berserah, ada satu hal yang saya dapatkan, yaitu kita harus benar-benar meyakini dan percaya kepada Allah, sang sopir perjalanan kehidupan kita karena Dia selalu membantu menopang dan menurunkan ransel (masalah) yang sedang kita bawa dalam kehidupan kita.

Ada orang-orang yang Dia kirimkan untuk membantu kita, bahkan Dia selalu memberikan cara-cara yang unik agar beban ransel kita pun berkurang atau pada akhirnya dapat kita letakkan…

Mari kita terus belajar berserah.


Jati Wicaksono
(secangkir teh & singkong rebus bagi sahabat)



February 7, 2014

Terus cipta, jujur rasa, jaga karsa, tulus karya

No matter how fast a lie is, the truth will catch up with her 
(Sekencang apa pun kebohongan berlari, kebenaran akan jauh melampaui).
—pepatah Belanda


Dentuman musik!

Mencari tempat di hati ini...

Kadang dalam hidup

Tak mendapat tempat sedikit pun

Terlalu tertambat kepada kebisingan sekitar!

Kadang tercipta dentuman hangat dari siul-siul kecilmu...

Terkadang dentuman itu berhenti

Tersentak oleh kemuraman hati

Masih bisakah kita jujur untuk bermusik?

Ataukah sudah mustahil untuk bernyanyi dari hati?

Apakah suatu hari kita mampu membawa melodi ini melampaui bumi?

Mereka bilang, bernyanyilah dari hati

Tapi, yang jujur dari hati membuahkan kontroversi

Malah yang berpura-pura terapresiasi…

Maukah kau mengucap syair tanpa memaknainya?

Sudah lupakah kau begitu banyak jiwa yang tersentuh oleh tulusnya aliran musikmu?

Menciptalah…

Berkaryalah…

Bernyanyilah…

Bukan untuk sebuah pujian… tapi…

Kebanggaan

Karena engkaulah mahakarya Sang Maestro

Yang mencipta dengan terampil, tulus, tak bercela



—oleh Estherina “Eshkreem_Lezatouse” Djaja