Sebuah
pemandangan terpampang dari sebuah stasiun,
stasiun Mangga Besar. Seorang bapak-bapak tua sedang terbaring, ibarat sekarat.
Ingin saya awalnya mendekatinya,
tetapi takut, dan merasa bersalah. Takut dikira ada motif-motif tersembunyi di
balik tindakan yang akan saya lakukan. Akan tetapi, ya, saya hanya mencoba
memotret pemandangan itu dari jauh.
Tak berani berbuat lebih.
Saat itu sebenarnya saya sedang mencari-cari
objek foto untuk bahan Tugas Akhir kuliah saya. Saya yang mengambil mata kuliah
Desain Komunikasi Visual (DKV). Saat berkeliling di sekitaran stasiun itu,
orang-orang di sana mungkin mengira saya adalah wartawati. Dan mungkin mereka
pun ada yang sepertinya meminta dipotret.
Dan di sela-sela berjalan itulah,
saya melihat seorang bapak-bapak tua tadi yang ternyata menderita lumpuh total.
Beliau tinggal di stasiun itu bertahun-tahun.
Saya tepiskan sejenak sekenanya rasa
ketakutan saya. Mulai memberanikan diri untuk berbincang-bincang dengan beliau.
Semacam wawancara. Wawancara yang akan berujung pada pihak saya: mata yang ingin
menangis, menitikkan air mata. Tak saya tulis di atas barisan-barisan kertas,
tapi telah tertulis di dasar hati, dan sekarang mengalir begitu saja. Pun masih
teringat baik di benak saya. Sebuah perbincangan yang takkan saya lupakan.
Sayangnya, saya lupa nama bapak itu—walaupun
dulu telah meminta tahu namanya. Please forgive
me for my bad memory.
Tapi, saya mengingat harapan bapak itu. Harapan yang seolah-olah
painful yet beautiful. Menyakitkan
tetapi menenteramkan. Indah.
Awalnya, saya penasaran. Mengapa
bapak-bapak tua itu di sana, terbaring di lantai yang beralaskan kardus cokelat
lapuk. Mungkin selebar 2,5 x 2 meter persegi. Lingkungan sekitarnya kotor.
Berdebu. Bercuil-cuil sampah-sampah di sana-sini. Tetapi, tak demikian dengan
bapak itu. Beliau cukup resik. Bersih. Memang beliau punya dan menyimpan banyak
barang di “istananya”, tapi semua tertata rapi.
Lalu, saya duduk dekat beliau dan
mulai membuka percakapan.
“Halo, Pak. Saya Julie... Nama Bapak siapa…?”
(Saya lupa namanya).
Yang pasti, mendengar sambutan saya, atau setidaknya mengetahui
masih ada seseorang yang menaruh peduli, perhatian padanya, bapak itu mulai
menyimpul senyum. Ah, giginya. Pun
rapi—serapi barang-barangnya yang beliau susun. Giginya bersih bak sungguh rajin
sikat gigi. Hanya, ada satu hal saja yang kurang… Tercium bau. Ya, aroma dari
mulut beliau bau. Namun, saya pun masih menetapkan diri untuk duduk di
sebelahnya.
“Kenapa Adek ada di sini…? Lagi apa…?” bapak itu juga mulai
bertanya.
“Saya lagi foto-foto buat tugas kuliah, Pak…”
“Maaf ya Dek, Bapak engga bisa ke mana-mana… Kaki Bapak nggak bisa
bergerak…”
“Oh ya, Pak…? Bapak … kenapa…?”
menyopankan diri, saya bertanya.
Ringkas cerita, beliau dulu adalah seorang
tukang becak. Pada suatu hari, beliau ditabrak mobil. Bapak-bapak itu terjatuh.
Beberapa waktu setelah tertabrak, beliau mengira tidak akan apa-apa. Tidak
sakit. Jadi, hanya biarlah dipijit-pijit saja. Tetapi, ternyata, lama-kelamaan
malah terdeteksi adanya kelumpuhan syaraf. Bapak itu lumpuh. Di kedua kakinya.
Bapak itu sempat pulang ke kampung
halamannya sebab musibah itu. Tetapi, setelah bercerita dan mungkin mencurahkan
segala keluh kesah hatinya, alih-alih mau menampung maupun setidaknya turut mengobati,
malah menolaknya karena akan merepotkan saja!
Keluarganya di kampung hanya memberi
si bapak-bapak tua makan nasi seadanya, dan bahkan tak segan menyuapi makanan
basi. Setiap hari. Tiap hari supaya tidak betah.
Alhasil dari respons keluarga
kampung halamannya, bapak-bapak tua itu memantapkan hati dengan kesabarannya
untuk merantau sekali lagi ke muara negeri ini, kota Jakarta. Dan di sanalah di
salah satu sudut emperan stasiun Mangga Besar, Jakarta Pusat itu beliau
menetap. Sebuah tempat yang beliau sebut sebagai rumah. Luas 2,5 x 2 meter persegi.
Seiring saya mengingat wawancara
saya dengan beliau ini, sepertinya sudah lebih dari lima tahun beliau mengaku
telah bermukim di sana. Hingga usianya
waktu itu sekitar 60 – 70an tahun.
Lalu, tersembul pertanyaan yang
membuat saya terenyuh.
“Kenapa … Tuhan enggak panggil saya
saja…?”
Saya terdiam beberapa detik, lalu
hanya sanggup memikirkan dan mengeluarkan kata-kata yang mungkin terdengar dangkal
bagi beliau ataupun orang-orang yang pernah merasakan seperti yang bapak itu
rasakan, “Karena … Tuhan mungkin masih punya rencana buat Bapak…”
Kata-kata yang mungkin juga menyalurkan
harapan untuk bapak itu. Harapan, tetapi, yang painful yet beautiful. Terasa menyakitkan sekaligus menenteramkan,
indah.
“Rencana apa, Dek…? Saya nggak bisa
apa-apa…” si bapak kembali bertanya.
“Rencana … mungkin rencana … bisa,
bisa ketemu saya hari ini. Dan saya senang hari ini bisa kenal Bapak… Saya
sendiri engga tahu, Pak, tapi itu yang saya percaya…”
“Tuhan bisa pakai semua orang, Pak,”
saya melanjutkan.
Beliau sepertinya cuma tersenyum.
Senyuman harapan. Setidaknya mau tersenyum. Salah satu hal yang menurut saya
ialah arti dari kesuksesan. Melihat orang tersenyum karena saya, atau sekadar
mau tersenyum untuk saya.
“Pak … apa yang paling sulit Bapak
lakukan dengan hidup seperti ini…?”
“Susah makan tidak, Pak…? Bapak cari
makannya bagaimana…?”
(Dan sejumlah pertanyaan yang
mungkin mengelitkan, atau mengernyitkan hatinya).
“Saya sudah biasa … puasa, Dek…
Makan bukan masalah…”
“Jadi … yang paling jadi masalah apa,
Pak…?”
“Maaf, Dek … yang paling susah buat
saya adalah … buang air…”
“Itu ... maaf,” bapak itu
melanjutkan sambil menunjuk ke suatu arah, “Di sebelah kamu ada kaleng…”
Tiba-tiba saya mencoba menahan napas
karena tahu arah maksud bapak tadi.
“Kalau ada yang baik,” si bapak
meneruskan, “orang-orang di sekitar sini suka bantuin saya buangin, Dek...
“Saya sendiri juga engga enak sebenernya
kalau minta tolong terus dibuangin, Dek…”
Saya yang ternyata juga terduduk bersebelahan
dengan “WC” dadakan, mau merasa jijik, menunjukkan kejijikan, tetapi tidak mau.
Atau sebenarnya tidak sempat karena lebih menaruh perhatian terhadap keadaan
sengsaranya bapak itu. Saya lebih merasa speechless
daripada merasa jijik.
Memotong waktu, saya bertanya kepada
bapak itu.
“Bapak … Bapak mau didoakan?”
“Mau…”
Lalu, saya berdoa. Berdoa apa
adanya, bukan dengan doa-doa sebatas kata-kata anak-anak remaja atau para
penggila sosial media di media sosial.
Sambil berdoa, saya pun memberanikan
diri memegang kakinya.
Tuhan,
salahkah aku meminta mukjizat…?
Walaupun mungkin iman saya tak sebesar kota ini dan saya tak
berharap terlalu banyak, serta merasa tak benar-benar punya iman sebenarnya,
saya hanya bisa berdoa meminta kekuatan, bahkan mungkin kesembuhan untuk bapak
itu.
Lalu, saya pergi. Pulang. Dan saya bersyukur dapat mengenal bapak
itu.
Ketika sampai di rumah dan hampir tertidur, pikiran saya masih
tertuju pada si bapak-bapak tua tadi.
Keesokannya, saya mengajak dua teman ke sana setelah menceritakan
yang saya alami. Sebelumnya, saya berniat untuk membawa uang dan memberikannya
nanti kepada si bapak, tetapi mama saya melarang karena takut kemungkinan
dirampok di jalan, apalagi di stasiun di tengah ingar-bingar kehidupan Jakarta.
Jadinya, saya hanya membawa sekaleng besar biskuit supaya bisa tahan lama dan
dapat dinikmati si bapak berhari-hari. Juga, sebuah buku karya dari Max Lucado.
Juga, segenggam buku tebal berupa Alkitab.
Di hari kedua itu, saya dan kedua teman saya datang ke sana. Ke
salah satu sudut emperan stasiun di tempat bapak itu terbaring tak mampu
berjalan.
Saat bertemu, si bapak sedang duduk waktu itu, dan ketika melihat
saya datang lagi, muka beliau menjadi sangat ceria! Lalu, kami memberikan
sekaleng biskuit, buku Max Lucado dan Alkitab itu kepada si bapak.
“Saya pikir si Adek engga bakal dateng-dateng lagi…” sambil
tersenyum si bapak berujar. Lalu, juga berkenalan dengan dua teman saya, cowok
dan cewek. Tak lama kami kala itu berkunjung di sana. Dan saya teringat si
bapak mengatakan sesuatu.
“Makasih … ya Dek… Adek ingetin saya kemaren ... kalau Tuhan ada
rencana buat saya... Saya bisa lebih merasa tenang sekarang…
“Makasih … saya juga udah lama ga baca Alkitab… Saya dulu orang Kristen,
Dek... Mata saya sih sekarang sudah kurang bagus… tapi saya ada kaca pembesar,
Adek…”
Ingin saya menangis. Di sana.
Tapi, saya merasa tak etis menangis di sana. Entah karena di
hadapan teman-teman. Juga mungkin karena berpasang-pasang mata yang
melihat-lihat.
Saya hanya bisa, dan memberanikan diri, untuk memeluk bapak-bapak
tua itu. Harapan memeluk harapan. Keinginan menangis masih ada, keinginan
untuk berkata-kata, memberikan kata-kata pengharapan juga masih ada, tetapi
saya hanya bisa memberikan sejentik pelukan untuk bapak-bapak tua itu.
Lalu, saya dan kedua teman saya pun pulang…
Sampai saat ini, saya tidak tahu
lagi bagaimana keadaan, atau sekadar bagaimana si bapak itu… Hampir ingin
selalu mampir lagi ke sana, tapi entah selalu juga belum bisa, atau tak
menyempatkan diri. Mungkin lupa akan where
there is a will, there is a way—there is time. Sampai sekarang.
Dan setiap kali saya melewati
stasiun Mangga Besar itu, saya cuma bisa berdoa, “Tuhan … semoga Engkau bersama dengannya saat ini, ya…”
Itulah perkenalan saya dengan
seorang bapak-bapak tua yang lumpuh tadi. Di stasiun Mangga Besar. Waktu itu
tahun 2008, dan kini telah enam tahun lamanya hingga 2014. Dan peristiwa pertemuan
itu masih mengiang jelas di pikiran saya. Masih memberkas di hati. Painful yet beautiful.
—by Juliana Putra