May 24, 2013

N.I.R.W.I.S.

A Confession of A Professional Amateur-Dreamer

 

Saya lapar.

Kak Yusni Reiny tentu pernah mendengar, mungkin masih mengingat frasa berikut ini: tukang roti yang kelaparan.

Izinkanlah saya untuk mengaku saat ini, bahwa saya merasa seperti itu.

Saya membagi-bagikan kutipan di grup Gudang Mimpi seraya merayu-rayu ataulah mendorong teman-teman, atau kalau bukan, orang-orang untuk mengejar, menggapai impian. Impian-impian. Sedangkan, saya sendiri? Impian apa yang pernah saya raih?

Jujur, impian kecil saya ketika SMA, yang pernah saya peroleh adalah supaya bisa kuliah di Bandung (tapi ternyata baca: J.a.t.i.n.a.n.g.o.rya, Jatinangor karena memelesat, bukan memeleset ke “kota” itu), walaupun memang sesekali, misalkan Sabtu, Minggu bisa berkunjung ke Bandung. Tapi, seandainya saya tidak berada di kota itu tadi, tentu mungkin tidak akan bertemu dengan Kak Yusni [alih-alih Yunus], Dina Panjaitan [alih-alih Dinda], Tongam Pardomuan [alih-alih mungkin Tono], Tama [mungkin Tari], Mitha [alih-alih Mira]. Nama-nama di dalam tanda kurung bukanlah nama sebenarnya, hanya rekaan, respectively.

Tapi, apakah hal bisa pergi, berkuliah, ataupun berada di Bandung bisa dibilang merupakan suatu impian? Itu bagi saya mungkin iya, salah satu impian saya waktu itu. Tapi, tentu, tiap-tiap orang mempunyai impian atau tempat-tempat tujuan yang berbeda. Juga, impian saya itu amatlah kecil bila dibandingkan dengan impian besar lainnya milik orang lain, mungkin ibarat bumi berbanding dengan Canis Majoris.

Saya. Ingin. Mimpi. Yang. Lebih. Lebih. Lebih. Besar. Impian yang benar-benar impian. Mungkin saya tidak bisa mendefinisikan apa itu impian yang benar-benar impian. Tapi, ya, hati kita mengetahui, impian yang benar-benar impian. Mimpi yang besar. Saya tidak ingin menjadi tukang roti yang kelaparan, tidak ingin menjadi sekadar tukang mimpi! Yang menjual, membagi-bagikan roti pagi-pagi tapi kekurangan makan; yang mendorong-dorong, mengajak orang-orang untuk mengejar impian mereka, tapi kealpaan, berada di dalam masa ketiadaan impian.

Mungkin teman-teman atau anggota di grup Gudang Mimpi punya impian, atau sedang mengerjakan impian, atau bahkan sudah memperoleh impian besarsesuatu yang diimpikan-impikan. Tetapi saya? Padahal, seolah-olahnya saya menebarkan kutipan-kutipan yang menyemangati 'tuk merengkuh dan merenggut impian.

Jadi, janganlah, kalaulah boleh saya diizinkan bersuara, melihat, menilai apa yang terlihat sesungguhnya seperti apa yang terlihat. Belum pasti. Itu N.I.R.W.I.S. Nothing is really what it seems. Hanya beberapa yang tampak seperti yang sebenarnya. Kalaulah, apa-apa yang telah saya bagikan, kutipan-kutipan sempat bermanfaat, menginspirasi, itu adalah hal yang baik; kalau tidak pun, baiklah. Tetapi, saya pun masih teringat perkataan dari Kak Yusni, yaitu untuk, “Janganlah sekadar menginspirasi, De, tapi bertanggung jawablah.”

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca-baca sejumput-jumput sekilas buku tebalnya Seno Gumira Ajidarma, berjudul Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk. Di halaman lembar pembukanya, yang berupa kutipan, ada kalimat tertulis: Dalam kegelapan saya memilih untuk bekerja. Bukan bekerja untuk kegelapan, melainkan walaupun sedang di dalam kegagalan, kekalahan, ataukalau boleh meminjam istilah bahasa Alaykegalauan, kesalahan, tetap bertahan, memilih untuk tetap bertahan hingga melakukan apa yang diperlukan sampai memperoleh (maaf bila klise, tapi jadi klasik jika memperolehnya) keberhasilan. Lalu, berbuat sesuatu untuk terang.

Di dalam proses kejujuran ini (yang merupakan proses yang panjang, namun semoga tak terlalu panjang atau lama, sebab pembohong biasanya suka berpanjang lebar), mungkin pula kegagalan atau kekalahan atau kesalahan, saya masih memilih untuk memiliki impian, mengerjakan sesuatu, walaupun masih menunggu, mengharapkan sampai benar-benar berada di dalam terang.

Impian yang benar-benar impian ituizinkan saya memberi ilustrasi ini―seperti halnya sudah sangat ingin poop (BAB), mules banget, sangat-sangat ingin buang air besar karena diare, perut serasa tertusuk-tusuk, sudah sangat di ujung tanduk, tidak bisa ditahan-tahan. Dan apa pun akan kita lakukan. Tak acuhkan rasa malu. Risiko kita mau ambil. Rohani dan rasio berpadu, seperti ujar Pak Gene Getz: “At this point, he [Abraham] had learned that there is an important balance between trusting God’s sovereign involvement in our lives, and, at the same time, using the human capacities God has given us to make intelligent decisions and to act responsibly.” Tidak, kutipan itu bukanlah datang dari tukang roti yang kelaparan. Lalu… tercapailah tujuan kita.

Inilah pengakuan secuil dari a professional amateur-dreamer. Saya rindu, suatu hari, segeralah(!), kata amateur itu hilang, jadi professional dreamer. Bahkan, pun kata professional itu lesap, lenyap... Hanya dreamer. Tapi, semoga, kata itu pun tercoret, menghilang, berubah, menjadi seperti salah satu kata yang benar yang juga pernah Kak Yusni ucap, tuliskan: a doer. Bukan perpetrator, pelaku kejahatan. Tetapi, a doer. Orang yang bertindak. Orang yang bermimpi, berencana, dan bertindak.

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan menuangkan kutipan dari seorang teman saya, Ryan Darliansyah, “Pada akhirnya, bukan impian kita yang kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri.” Semoga kita semua adalah pengusaha roti yang kenyang.


“Apabila daya tarik Anda luntur, Anda tidak akan pernah memiliki apa pun lagi, yang tersisa hanyalah karakter.”
W. T. Gatson