Istilah
mamon muncul di dua tempat di
Perjanjian Baru, yaitu Matius 6:24 dan Lukas 16:9-11, 13. Keduanya merupakan bagian dari serial khotbah Yesus di bukit. Istilah mamon sendiri berasal
dari bahasa Kasdim atau Aramaik yang berarti rumah, harta benda, atau kekayaan,
namun dengan konotasi negatif/jahat.
Dalam Injil Matius, Tuhan
Yesus sedang membahas kekhawatiran yang umumnya melanda manusia tatkala
berbicara tentang kebutuhan hidup. Saking khawatirnya,
orang-orang sering kali
terlalu terpaku pada hal mengumpulkan
kekayaan, padahal Bapa di surga sudah tahu apa yang kita perlukan (Matius 6:32).
Apa yang terjadi? Lupa waktu karena fokus pada karier
atau usaha, menghalalkan segala cara supaya sukses, menjalin hubungan dengan
pihak-pihak yang tidak baik (bnd. Mazmur 1 dan I Korintus 15:33), dan lainnya.
Intinya, terjadi ketidakseimbangan―baik segi
rohani, sosial, keluarga, kesehatan, karier, emosi, maupun
pengembangan diri.
Banyak orang yang tanpa sengaja telah terjebak akan kekhawatiran
akan masa depan yang berlebihan atau nafsu untuk memperoleh kekayaan, sehingga
hal ini menjadi ilah/mamon yang menjauhkan mereka dari Tuhan
(bnd. Hukum 1 dari 10 Hukum Taurat).
Terjemahan Alkitab Bahasa
Indonesia Sehari-hari untuk Matius 6:33 menarik,
“Jadi, usahakanlah dahulu supaya Allah
memerintah atas hidupmu dan lakukanlah kehendak-Nya. Maka semua yang lain akan
diberikan Allah juga kepadamu.” Jadi, sebenarnya
mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya berkaitan erat dengan peran Allah dalam
hidup kita: dominan total, amat dominan, dominan,
cukup dominan, agak dominan, atau tidak ada sama sekali;
dan respons kita terhadap kehendak-Nya:
taat total, amat taat, taat, cukup taat, agak taat, atau tidak taat sama
sekali.
Jika jawabannya semakin ke kiri,
maka semakin terpenuhi pula kebutuhan kita. Hal ini terjadi karena apa yang
kita inginkan sudah selaras dengan apa yang Bapa juga inginkan terhadap
hidup kita. Sebaliknya, jika seseorang sudah terlalu fokus pada
kekhawatiran akan kebutuhannya,
ia cenderung mengejar kekayaan/mamon
sehingga tak lagi berfokus pada Allah dan kehendak-Nya, sehingga
janji di akhir ayat 33 pun jauh dari kenyataan.
Sementara itu, di Injil
Lukas, Yesus sedang berbicara tentang
penatalayanan dari kekayaan yang Bapa percayakan kepada kita. Ia menggunakan
ilustrasi bendahara yang tak jujur dalam mengelola harta tuannya. Yesus bukan
sedang memuji kelicikan orang ini, tapi
usahanya dalam menjamin masa depannya pasca-PHK. Apakah
kita dengan demikian saksama dan pandai mengatur kekayaan seperti
orang licik itu agar memiliki masa depan yang terjamin?
Kita harus mempertimbangkan masa depan dalam
perencanaan keuangan kita―baik masa
depan saat kita masih di dunia maupun saat kita telah dipanggil pulang oleh Bapa di surga. Jika untuk hal kecil atau
kekayaan kecil saja tidak becus, bagaimana mungkin kita dipercayakan dengan
yang lebih besar lagi?
Aplikasi:
- Setiap orang perlu melek finansial. Kita perlu mengetahui cara menyusun cash flow atau anggaran keluarga dan disiplin dalam mencatat dan menaati anggaran
- Kita perlu belajar menyisihkan penghasilan kita dengan bijak untuk diinvestasikan (antara 10-15%), baik lewat tabungan, asuransi, reksadana, saham, obligasi, emas atau properti dan lainnya
- Kita perlu belajar dengan lebih sungguh lagi mengembangkan penguasaan diri untuk menunda kepuasan sehingga tidak tergoda untuk mengikuti dunia yang dirasuki konsumerisme (saya lihat, saya mau) dan hedonisme (yang penting saya senang dan puas)
- Kita perlu belajar mengembangkan semangat rela memberi (spirit of giving) dan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality)
- Kita perlu mengucap syukur dalam segala keadaan untuk beberapa alasan: Pertama, apa pun yang terjadi, kita tetap dalam kedaulatan/rencana/izin Allah; Kedua, pasti ada orang yang lebih buruk kondisinya ketimbang kita; Ketiga, pasti ada orang yang dulu memiliki kondisi yang lebih buruk daripada kita, namun bisa berhasil
- Kita perlu mengajarkan poin 1-5 kepada anak-anak kita sedini mungkin