April 3, 2012

Pantai sepinya melakolis, kota macetnya sanguin

Those who rush arrive first at the grave.
―Pepatah Spanyol


Saya bukannya ingin mempersoalkan kekencangan motor-motor atau kemacetan di kota, terutama seperti di Jakarta. Saya hanya mempersoalkan diri sendiri, dan mungkin berkaitan dengan beberapa orang, mungkin juga Anda.

          Ihwal saya begini, orang-orang yang berangkatnya jauh dari rumah menuju tempat kerja (misalnya dari Depok ke Meruya), pagi-pagi di tengah halau-balau *tidak, kata halau itu bukan salah ketik dari kata kacau, sebab saya sengaja ingin menekankan kata yang kedua itu* kemacetan di jalanan, sesampainya di kantor saat sedikit siang agaknya boleh tidak perlu meleburkan diri di dalam obrolan pagi bersama rekan-rekan. Apalagi kalau sekiranya bekerja di halau (bahasa Hawaii: sekolah, akademi) atau perusahaan berintensitas banyak obrolan lainnya.

          Suara-suara bising mobil, truk beserta asap hitam-putihnya, serta auman sepeda motor sudah cukup amat sangat memenatkan daun dan gendang telinga ini, belum juga ditambah untuk merasuk masuk ke pikiran. Kecuali kalaulah mesin-mesin itu bisa bersiul saja, bolehlah jiwa dan pikiran orang-orang yang bekerja jauh ini merasa tenang, terasa santai bak di pinggir pantai. Jarang ada mesin yang melankolis, sayangnya.

          Ada orang yang pernah mengecap PP jauh dari kediaman ke kantor. Ada juga orang yang pernah jauh, lalu dekat, lalu jauh lagi, kemudian dekat, dan jauh lagi, dan seterusnya. Apakah seseorang bisa menemukan panggilan jarak tempat kerjanya seperti halnya panggilan hidupnya?

          Semoga orang-orang bisa menjadi dirinya sendiri. Kalau ingin tertawa, ya tertawa. Kalau tidak ingin, ya tidak. Sembari tetap bersemangat melakukan apa yang mesti dilakukan selama masih berada di tempatnya bekerja.