April 17, 2012

Catatan Si Bolang Seri 1


Menyusuri Curug Cibereum, Gunung Gede 
Oleh: April Widjaja


Memenuhi hasrat merayakan ulang tahun ke-27 yang tidak mau ala kadarnya atau seperti biasanya dengan makan di restoran atau romantic dinner, saya pengen sesuatu yang beda: merayakan ulang tahun dengan tema Forest Day! Ulang tahun kali ini saya ngacir PP ke kaki Gunung Gede, daerah Cimacan - Puncak, kawasan Taman Wisata Cibodas, 14 april 2012. Nah di situ kita (saya, Rudy, Beatrix, dan Dea) ingin tracking menuju Curug Cibereum.

Masuk ke Taman Wisata Cibodas tidak terlalu mahal alias murah. Kita secara personel berempat + mobil hanya mengeluarkan Rp19.000, lalu dari situ baru kita bisa pilih mau ke mana: bumi perkemahan, Taman Wisata Cibodas, atau Curug Cibeureum.

Tujuan langsung ke Curug Cibereum, bayar lagi Rp3.000 saja per orang. Curug dalam bahasa Jawa itu artinya air terjun. Nah, untuk mencapai air terjun pertama, kita akan melewati tengah hutan, dengan jalanan berbatu! Perjalanan menanjak kurang lebih 20 km (Woo… mari latihan Shaolin^^).

Pemandangan di kiri-kanan hutan belantara penuh pepohonan hijau yang lebat. Dan kalau kita berjalan dengan cukup cepat, air terjun pertama akan ditemui dalam waktu tempuh 1 jam. Saya sarankan sih menggunakan sepatu/sandal gunung, karena medannya walau tidak sampai berat sekali, tetapi licin dan menanjak.

Sepanjang perjalanan, kita disuguhi nuansa 100%  hutan! Jangan berharap ada yang jualan makanan atau merchandise setempat.

Kita juga akan melalui persimpangan jalan menuju penangkaran burung, lalu telaga biru yang agak terkesan mistis karena berwarna biru. Lalu, tiga jembatan: jembatan pertama berada di atas rawa-rawa yang ditumbuhi tumbuhan, dua jembatan berikutnya agak-agak reyot dan banyak lubangnya tapi masih aman untuk dilalui. Nah, setelah perjalanan yang cukup panjang dan agak melelahkan, barulah kita sampai di Curug Cibereum.

Sebenernya, agak kurang worth it sih setelah perjalanan sejauh itu, curugnya tidak terlalu fantastis. Menggambarkan Curug Cibereum, yakni air terjun yang kecil, tidak lebar, tingginya sekitar 20 m, namun airnya dingin luar biasa.

Kita pergi terlalu sorean, jadi sewaktu jalan balik kisaran pkl. 17.00 – 18.00. Suasananya memang sudah agak mencekam, suara-suara liarnya hutan sudah mulai terdengar… Namun, walau bagaimanapun, menyusuri tengah hutan tetap memberikan kesan dan keindahan pengalaman tersendiri.

Sedikit saran tracking menyusuri hutan di kaki Gunung Gede: pakailah sepatu/sandal gunung karena medan batu-batuan yang ada bisa jadi licin saat hujan, bawa jas hujan karena tidak ada tempat berteduh, bawa bekal karena di atas tidak ada yang jualan, berangkat sepagi mungkin, bawa senter kalau berangkat sore.

Lastly but surely not least, terima kasih untuk Rudy, Beatrix, dan Dea yang kali ini menemani perjalanan Si Bolang dengan tidak mengeluh sama sekali dan terus bersemangat mencapai puncak tujuan. Yah, seperti menjalani hidup, terus bersemangat mencapai puncak tanpa mengenal lelah.

Nantikan catatan Si Bolang berikutnya.

April 3, 2012

Pantai sepinya melakolis, kota macetnya sanguin

Those who rush arrive first at the grave.
―Pepatah Spanyol


Saya bukannya ingin mempersoalkan kekencangan motor-motor atau kemacetan di kota, terutama seperti di Jakarta. Saya hanya mempersoalkan diri sendiri, dan mungkin berkaitan dengan beberapa orang, mungkin juga Anda.

          Ihwal saya begini, orang-orang yang berangkatnya jauh dari rumah menuju tempat kerja (misalnya dari Depok ke Meruya), pagi-pagi di tengah halau-balau *tidak, kata halau itu bukan salah ketik dari kata kacau, sebab saya sengaja ingin menekankan kata yang kedua itu* kemacetan di jalanan, sesampainya di kantor saat sedikit siang agaknya boleh tidak perlu meleburkan diri di dalam obrolan pagi bersama rekan-rekan. Apalagi kalau sekiranya bekerja di halau (bahasa Hawaii: sekolah, akademi) atau perusahaan berintensitas banyak obrolan lainnya.

          Suara-suara bising mobil, truk beserta asap hitam-putihnya, serta auman sepeda motor sudah cukup amat sangat memenatkan daun dan gendang telinga ini, belum juga ditambah untuk merasuk masuk ke pikiran. Kecuali kalaulah mesin-mesin itu bisa bersiul saja, bolehlah jiwa dan pikiran orang-orang yang bekerja jauh ini merasa tenang, terasa santai bak di pinggir pantai. Jarang ada mesin yang melankolis, sayangnya.

          Ada orang yang pernah mengecap PP jauh dari kediaman ke kantor. Ada juga orang yang pernah jauh, lalu dekat, lalu jauh lagi, kemudian dekat, dan jauh lagi, dan seterusnya. Apakah seseorang bisa menemukan panggilan jarak tempat kerjanya seperti halnya panggilan hidupnya?

          Semoga orang-orang bisa menjadi dirinya sendiri. Kalau ingin tertawa, ya tertawa. Kalau tidak ingin, ya tidak. Sembari tetap bersemangat melakukan apa yang mesti dilakukan selama masih berada di tempatnya bekerja.